SEMPURNAKAN PEMAHAMAN ANDA TENTANG MANDI !!!

HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN MANDI

بسم الله الرحمن الرحيم

BAK MANDI7Meninggalkan wudlu setelah mandi

 Apabila mandi janabat atau mandi haidl telah ditunaikan maka orang yang mandi tersebut tidak lagi perlu untuk berwudlu sebab wudlu pertama sebelum mandi telah mencukupinya.

عن عائشة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ اْلغُسْلِ (و فى رواية: مِنَ اْلجَنَابَةِ)

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak berwudlu lagi setelah mandi (di dalam satu riwayat, dari janabat). [HR at-Turmudziy: 107, an-Nasa’iy: I/ 137, 209, Ibnu Majah: 579, Ahmad: VI/ 68 dan al-Hakim: 563. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

عن عائشة قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَغْتَسِلُ وَ يُصَلِّى الرَّكْعَتَيْنِ وَ صَلاَةَ اْلغَدَاةِ وَ لاَ أَرَاهُ يُحْدِثُ وُضُوْءًا بَعْدَ اْلغُسْلِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Biasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mandi lalu sholat dua rakaat dan sholat shubuh. Aku tidak melihatnya memperbaharui wudlu setelah mandi”. [HR Abu Dawud: 250 dan al-Hakim: 562. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

Berkata al-Allamah Abu ath-Thayyib rahimahullah, “tidak diragukan bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasa berwudlu di dalam mandi. Maka wudlu sebelum menyempurnakan mandi adalah sunah yang tsabit (tetap) darinya dan adapun wudlu setelah selesai dari mandi maka hal tersebut tidak terjaga dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan tidak pula tsabit”. [3]

Maka dalil di atas menunjukkan bahwasanya setelah mandi tidak perlu memperbaharui wudlu lagi, karena wudlu pertama sebelum mandi telah mencukupinya.

Apakah sekali mandi itu mencukupi untuk dua mandi apabila meniatkan semuanya?

Maksudnya bolehkah mengerjakan sekali mandi dengan dua niat untuk dua mandi?. Hal ini telah dijawab oleh ulama yang memang kompeten dalam bidangnya, yakni,

Asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah menjawabnya, “Yang demikian itu tidaklah mencukupi. Bahkan sudah seharusnya mandi untuk setiap yang diwajibkan mandi sekali mandi atas satu batas. Sekali mandi untuk haidl dan sekali mandi yang lain untuk janabat. Atau sekali mandi untuk janabat dan untuk jum’at ada mandi yang lain karena mandi-mandi tersebut telah dikatakan oleh dalil atas wajibnya masing-masing darinya atas kesendiriannya. Maka tidak boleh menyatukannya di dalam satu amalan. Tidakkah engkau perhatikan bahwa andai kata seseorang mengganti shaum bulan Ramadlan ia tidak boleh meniatkan menggantinya bersamaan dengan menunaikan shaum Ramadlan. Demikian pula dikatakan tentang sholat dan yang semisalnya, dan memisahkan antara perkara-perkara ibadah dan mandi adalah tidak ada dalilnya, dan barangsiapa yang berdasarkan atas dugaan-dugaan maka silahkan ia (datang) dengan (membawa) keterangan.

     عن عبد الله بن أبي قتادة قَالَ:دَخَلَ عَلَيَّ أَبيِ وَ أَنَا أَغْتَسِلُ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَقَالَ: غُسْلٌ مِنْ جَنَابَةٍ أَوْ لِلْجُمُعَةِ؟ قَالَ: قُلْتُ: مِنْ جَنَابَةٍ قَالَ: أَعِدْ غُسْلاً آخَرَ فَإِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ كَانَ فىِ طَهَارَةٍ إِلىَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى

Dari Abdullah bin Abi Qotadah berkata, “Ayahku pernah masuk menemuiku sedangkan aku sedang mandi pada hari jum’at”. Ia berkata, “Apakah engkau mandi dari janabat ataukah untuk jum’at?”. Ia (yaitu Abdullah), aku berkata, “Dari sebab janabat”. Ayahku berkata, “Ulangilah mandi yang lain karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari jum’at maka ia di dalam keadaan suci sampai jum’at berikutnya”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Hakim: 1083 dan Ibnu Khuzaimah: 1760. Ia berkata: hadits shahih atas syarat dua syaikh dan al-Imam adz-Dzahabiy menyepakatinya].

Andaikan Abu Qotadah memandang cukupnya satu mandi atas dua mandi tentulah ia tidak akan menyuruh putranya untuk mengulangi satu mandi lagi yaitu mandi jum’at. Tetapi ia akan mengatakan kepadanya, “niatkanlah di dalam mandimu dari janabat dan mandi jum’at juga”. [4]

Ringkasannya jika ada seseorang hendak melakukan suatu perbuatan yang mengharuskan dua kali mandi, maka ia hendaklah melakukannya dua kali mandi, dan sekali mandi tidaklah mencukupinya. Misalnya seseorang hendak sholat jum’at tetapi sebelumnya ia dalam keadaan junub dari sebab mimpi atau jimak, maka ia mesti mandi dua kali yaitu mandi janabat dan jum’at. Yakni ia berniat mandi janabat untuk mandi janabat, setelah ia selesai dari mandi janabat tersebut ia berniat lagi mandi jum’at untuk mandi jum’at. Atau seorang perempuan hendak sholat ied namun sebelumnya ia baru selesai dari haidl atau nifas, maka ia mesti mandi dua kali yaitu mandi haidl atau nifas dan kemudian mandi ied, dan begitu seterusnya. Yaitu ia berniat mandi haidl atau nifas untuk mandi haidl atau nifas, setelah selesai dari mandi tersebut lalu ia berniat lagi untuk mandi ied untuk sholat ied. Wallahu a’lam.

Bersembunyi dari penglihatan mata bagi orang yang mandi dan bolehnya telanjang di tempat sunyi

Ketika mandi, hendaknya setiap muslim itu bersembunyi dari penglihatan orang lain agar tidak nampak atau kelihatan auratnya. Hal ini telah diperintahkan oleh Nabi r di dalam dalil hadits-hadits berikut ini,

     عن يعلى (بن أمية) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم رَأَى رَجُلاً يَغْتَسِلُ بِاْلبَرَازِ فَصَعِدَ اْلمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللهَ وَ أَثْنىَ عَلَيْهِ وَ قَالَ: إِنَّ اللهَ U حَلِيْمٌ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُحِبُّ اَلحَيَاَء وَ السِّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ

Dari Ya’la bin Umayyah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki mandi di tanah lapang. Maka beliau naik mimbar, memuji Allah dan menyanjung-Nya lalu bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha pemurah, Maha pemalu lagi Maha penutup aib, menyukai sifat pemalu dan menutup (aib). Apabila seseorang di antara kalian hendak mandi maka bertabirlah”. [HR an-Nasa’iy: I/ 200, Abu Dawud: 4012 dan Ahmad: VI: 224. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

 عن ميمونة قَالَتْ: وَضَعْتُ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَاءً قَالَتْ: فَسَتَرْتُهُ فَذَكَرَتِ اْلغُسْلَ قَالَتْ: ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا

Dari Maimunah radliyallahu anha berkata, “Aku meletakkan air untuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Ia berkata, “lalu aku menutupinya kemudian ia menceritakan tentang mandi (Beliau)”. Ia berkata, “Lalu aku berikan kepadanya secarik kain tapi Beliau tidak menginginkannya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 200 dan Muslim: 337. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

      عن أبي السمح قَالَ: كُنْتُ أَخْدُمُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَكَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَ: وَلِّنيِ فَأُوِلِّيْهِ قَفَاهُ وَ أَنْشُرُ الثَّوْبَ فَأَسْتُرُهُ بِهِ

Dari Abu as-Samh radliyallahu anhu berkata, aku pernah melayani Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka apabila Beliau ingin mandi, Beliau berkata, “Belakangi aku”. Maka aku pun membelakangi tengkuknya dan aku membentangkan kain lalu menutupi Beliau dengannya. [HR Ibnu Majah: 613, Abu Dawud: 376 dan an-Nasa’iy: I/ 126. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

 عن أبي مرة مولى عقيل حَدَّثَهُ  أَنَّ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبيِ طَالِبٍ حَدَّثَتْهُ أَنَّهُ لمـــَّا كَانَ عَامَ اْلفَتْحِ أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِلىَ غُسْلِهِ فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ فَاطِمَةُ ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَالْتَحَفَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى

Dari Abu Murrah maulanya Aqil, ia menceritakan kepadanya bahwasanya Ummu Hani binti Abi Thalib radliyallahu anha menceritakan kepadanya bahwasanya ketika tahun Fat-hu Makkah (penaklukan kota Mekkah) Ummu Hani adliyallahu anha pernah datang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang sedang berada di atas kota Mekkah. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berdiri menuju mandi, maka Fathimah menutupinya kemudian Beliau mengambil bajunya lalu menyelimuti dirinya dengan baju tersebut. Kemudian Beliau sholat delapan rakaat sunat dluha. [HR Muslim: 336 (71), al-Bukhoriy: 280, 357, 3171, 6158, an-Nasa’iy: I/ 126 dan Ibnu Majah: 465, 614. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ يَغْتَسِلُوْنَ عُرَاةً يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلىَ بَعْضٍ وَ كَانَ مُوْسَى يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ فَقَالُوْا: وَ اللهِ مَا يَمْنَعُ مُوْسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلاَّ أَنَّهُ آدَرُ فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ فَفَرَّ اْلحَجَرُ بِثَوْبِهِ فَخَرَجَ مُوْسَى فىِ إِثْرِهِ يَقُوْلُ: ثَوْبيِ يَا حَجَرُ حَتىَّ نَظَرَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ إِلىَ مُوْسَى فَقَالُوْا: وَ اللهِ مَا مُوْسَى مِنْ بَأْسٍ وَ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَطَفِقَ بِاْلحَجَرِ ضَرْبًا فَقَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَ اللهِ إِنَّهُ لَنَدَبٌ بِاْلحَجَرِ سِتَّةٌ أَوْ سَبْعَةٌ ضَرْبًا بِاْلحَجَرِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bani Israil biasa mandi dalam keadaan telanjang bulat yang sebahagian mereka melihat kepada sebahagian yang lain. Sedangkan nabi Musa alaihi as-Salam (mandi) menyendiri. Mereka berkata, “Demi Allah tiada yang mencegah Musa mandi bersama kita melainkan ia seorang yang terkena penyakit hernia (kondor)”. Suatu kali ia mandi dan meletakkan bajunya di atas batu, tiba-tiba batu itu lari membawa bajunya. Maka keluarlah Musa dengan segera seraya berkata, “Wahai batu, (berikan) bajuku!”. Sehingga Bani Israil melihat Musa lalu mereka berkata, “Demi Allah, ternyata tidak ada sesuatu kelainan pada Musa”. Maka nabi Musa mengambil bajunya dan memukul batu itu sekali pukul. Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ada bekas di batu itu yaitu enam atau tujuh pukulan di batu”. [HR al-Bukhoriy: 278, 3404, 4799 dan Muslim: 339. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: بَيْنَا أَيُّوْبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا فَخَرَّ عَلَيْهِ جَرَادٌ مِنْ ذَهَبٍ فَجَعَلَ أَيُّوْبُ يَحْتَثِي فىِ ثَوْبِهِ فَنَادَاهُ رَبُّهُ: يَا أَيُّوْبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى؟ قَالَ: بَلَى وَ عِزَّتِكَ وَ لَكِنْ لاِ غِنىَ بيِ عَنْ بَرَكَتِكَ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ketika nabi Ayyub alaihi as-Salam sedang mandi telanjang tiba-tiba jatuhlah ke hadapannya seekor belalang dari emas. Lalu nabi Ayyub alaihi as-Salam segera menangkapnya ke dalam bajunya. Rabbnya menyerunya, “Wahai Ayyub tidakkah aku telah mencukupimu dari apa yang engkau lihat?”. Ia berkata, “Benar, demi kemulian-Mu tetapi aku tidak pernah merasa cukup dari berkah-Mu”. [HR al-Bukhoriy: 279, 3391, 7493, an-Nasa’iy: I/ 201 dan Ahmad: II/ 314. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [10]

Dalil-dalil di atas menjelaskan tentang pensyariatan menutupi diri dari penglihatan orang lain dengan sesuatu ketika mandi misalnya dengan membentangkan kain, dihalangi oleh tubuh manusia yang membelakanginya atau yang lebih utama adalah mandi di kamar mandi dan sejenisnya. Namun jika keadaan memaksakan ia harus menanggalkan seluruh pakaiannya, maka hendaklah ia menghindari pandangan orang dan menyendiri.

Maka diharapkan bagi setiap muslim yang berpegang kepada kebenaran untuk menanamkan sifat malu di dalam dirinya karena Allah Azza wa Jalla menyukai sifat malu dan malu itu adalah bahagian dari iman. Hendaklah ia menutupi auratnya kecuali yang boleh atau kepada orang yang dihalalkan untuk melihatnya dan begitu juga sebaliknya ia mesti menjaga pandangan dari melihat aurat orang lain kecuali yang diperbolehkan.

Masuk ke tempat pemandian umum

 Oleh sebab itulah Islam melarang umatnya untuk mandi di tempat pemandian umum yang terbuka, yang setiap mata dapat melihat atau memandang ke tempat tersebut lalu tampak jelaslah aurat orang-orang yang mandi padanya.

Seorang muslim dilarang memasuki tempat pemandian umum yang akan terlihat auratnya kecuali dengan menggunakan sarung. Dan juga dilarang baginya untuk membiarkan seseorang dari istri atau anak perempuannya untuk memasuki tempat pemandian umum kecuali jika aman dari penglihatan dan pandangan orang lain.

عن جابر رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُدْخِلْ حَلِيْلَتَهُ اْلحَمَّامَ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ بِغَيْرِ إِزَارٍ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ

Dari Jabir radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memasukkan istrinya ke pemandian umum. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke pemandian umum tanpa sarung. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk di suatu meja hidangan yang diedarkan khomer di atasnya”. [HR at-Turmudziy: 2801, an-Nasa’iy: I/ 198 dan Ahmad: III/ 339. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[11]

عن قاص الأجناد بالقسطنطينية أَنَّهُ حَدَّثَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَقْعُدَنَّ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ إِلاَّ بِإِزَارٍ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُدْخِلْ حَلِيْلَتَهُ اْلحَمَّامَ

Dari Qosh al-Ajnad di Qosthanthiniyah bahwasanya ia menceritakan bahwa Umar bin al-Khothob radliyallahu anhu berkata, “Wahai manusia sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk di suatu meja hidangan yang diedarkan khomer di atasnya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke pemandian umum kecuali dengan sarung. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah memasukkan istrinya ke pemandian umum”. [HR Ahmad: I/ 20, Abu Ya’la dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[12]

عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ إِلاَّ بِمِئْزَرٍ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ مِنْ نِسَائِكُمْ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ قَالَ: فَنَمَيْتُ بِذَلِكَ إِلىَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ رضي الله عنه فىِ خِلاَفَتِهِ فَكَتَبَ إِلىَ أَبيِ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَازِمٍ أَنْ سَلْ مُحَمَّدَ بْنَ ثَابِتٍ عَنْ حَدِيْثِهِ فَإِنَّهُ رَضِيٌّ فَسَأَلَهُ ثُمَّ كَتَبَ إِلىَ عُمَرَ فَمَنَعَ النِّسَاءَ عَنِ اْلحَمَّامِ

Dari Abu Ayyub al-Anshoriy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke pemandian umum kecuali dengan sarung. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka di antara istri-istri kalian jangan dibiarkan masuk ke pemandian umum”. Berkata (Abu Ayyub), “Maka aku sampaikan hal tersebut kepada Umar bin Abdulaziz radliyallahu anhu di masa kekhalifahannya”. Lalu ia menulis (surat) kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazim bahwa, “Tanyakan kepada Muhammad bin Tsabit tentang hadits tersebut”. Maka iapun senang lalu menanyakannya kemudian menulis (surat) kembali kepada Umar (bin Abdulaziz). Lalu Ia melarang para perempuan (memasuki) pemandian umum. [HR Ibnu Hibban, al-Hakim:7853 dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

عن أبي المليح الهذلي: أَنَّ نِسَاءً مِنْ أَهْلِ حِمْصَ أَوْ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ دَخَلْنَ عَلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ: أَنْتُنَّ اللاَّتيِ يَدْخُلْنَ نِسَاؤُكُنَّ اْلحَمَّامَاتِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَا مِنِ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيِاَبهَا فىِ غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ هَتَكَتِ السِّتْرَ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ رَبهِّاَ

Dari Abu al-Mulaih al-Hadzaliy, “Bahwasanya para perempuan dari penduduk Him-sh atau penduduk Syam pernah masuk (menemui) Aisyah radliyallahu anha”. Aisyah berkata, “Kaliankah yang memasukkan para perempuan ke pemandian umum. Karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang perempuan meletakkan pakaiannya di selain rumah suaminya melainkan dibukalah tirai penutup (rasa malu) antaranya dan antara Rabbnya”. [HR at-Turmudziy: 2803, Abu Dawud: 4010 dan Ibnu Majah: 3750. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

عن أم الدرداء رضي الله عنها قَالَتْ: خَرَجْتُ مِنَ اْلحَمَّامِ فَلَقِيَنىِ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: مِنْ أَيْنَ يَا أُمَّ الدَّرْدَاءِ؟ فَقُلْتُ: مِنَ اْلحَمَّامِ فَقَالَ: وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنِ امْرَأَةٍ تَنْزِعُ ثِيَاَبهَا فىِ غَيْرِ بَيْتِ أَحَدٍ مِنْ أُمَّهَاِتهَا إِلاَّ وَ هِيَ هَاتِكَةٌ كُلَّ سِتْرٍ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ الرَّحْمَنِ عز و جل

Dari Ummu ad-Darda’ radliyallahu anhu berkata, “aku pernah keluar dari pemandian umum. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menemuiku dan bersabda, “Dari manakah engkau wahai Ummu ad-Darda’?”. Aku jawab, “Dari pemandian umum”. Maka beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku ada pada tangan-Nya, tidaklah seorang perempuan menanggalkan pakaiannya di selain rumah seorang dari ibunya melainkan ia telah membuka tirai penutup antara dirinya dan antara ar-Rahman Azza wa Jalla”. [HR ini Ahmad: VI/ 361-362 dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[15]

عن ابن عباس أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اتَّقُوْا بَيْتًا يُقَالُ لَهُ اْلحَمَّامُ فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّرَنَ وَ يَنْفَعُ اْلمـَرِيْضَ قَالَ: فَمَنْ دَخَلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Waspadalah dirimu terhadap ruangan yang disebut dengan pemandian umum!”. Mereka bertanya, “Wahai Rosulullah sesungguhnya ia dapat menghilangkan kotoran dan bermanfaat untuk orang sakit. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang memasukinya maka bertabirlah”. [HR al-Hakim: 7848 dan ia berkata: Shahih atas syarat Muslim dan al-Imam adz-Dzahabiy menyepakatinya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلىَ عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَ لاَ اْلمــَرْأَةُ إِلىَ عَوْرَةِ اْلمــَرْأَةِ وَ لاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلىَ الرَّجُلِ فىِ ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَ لاَ تُفْضِي اْلمــَرْأَةُ إِلىَ اْلمــَرْأَةِ فىِ الثَّوْبِ اْلوَاحِدِ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “janganlah seorang lelaki memandang aurat lelaki yang lain dan janganlah pula seorang perempuan memandang aurat perempuan yang lain. Janganlah seorang lelaki bertelanjang dengan lelaki yang lain di dalam satu selimut. Dan janganlah pula seorang perempuan bertelanjang dengan wanita lain dalam satu selimut”. [HR Muslim: 338, Abu Dawud: 4018, at-Turmudziy: 2793, Ibnu Majah: 661, Ahmad: III/ 63 dan Ibnu Khuzaimah: 72. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[17]

Maksudnya seorang lelaki dilarang melihat aurat lelaki yang lain sebagaimana seorang perempuan dilarang melihat aurat perempuan yang lainnya. Jika demikian, bagaimana dengan melihat aurat lawan jenisnya, tentu lebih dilarang lagi. Namun perilaku ini sering dijumpai di tempat pemandian umum, apakah di sungai, pancuran air yang mengalir dari gunung, kolam renang untuk umum dan lain sebagainya.

Dalil-dalil di atas menunjukan bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar berhati-hati mendatangi pemandian umum khususnya kaum perempuan. Karena di tempat tersebut banyak terdapat orang-orang yang menampakkan auratnya sehingga terjadilah saling melihat antara yang satu dengan yang lainnya. Atau banyak orang yang akan memandangi lekuk-lekuk tubuhnya dari kalangan lawan jenisnya dengan cara mengintip atau menatap secara langsung. Dari sebab itu pula, kaum lelaki dari umat ini dicegah memasuki pemandian umum kecuali dengan mengenakan sarung untuk menutupi auratnya. Dan bahkan dilarang membiarkan apalagi menyuruh para perempuan yang dibawah pengawasannya di antara istri-istri dan anak-anak perempuannya untuk memasukinya. Maka siapapun di antara para perempuan itu membuka dan menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya atau rumah suaminya maka berarti ia telah menyingkap tirai penutup rasa malu antara dirinya dengan Rabbnya Jalla wa Ala.

Mandinya seorang lelaki dengan salah seorang istrinya dari satu bejana

Namun dibolehkan seorang muslim mandi dengan salah seorang istrinya, yang masing-masing dari mereka dapat melihat aurat pasangannya. Bagaimana tidak boleh, sebab keduanya telah halal untuk saling bersentuhan, berpelukan, bercumbu rayu dan bahkan berhubungan intim (jimak), yang tidak boleh tidak tentu mereka akan saling melihat aurat pasangannya. [18]

Hal ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mandi bersama salah seorang dari istri-istrinya. Jika beliau melakukannya dan tidak mengkhususkan amal tersebut hanya untuk dirinya maka hal ini boleh diamalkan oleh umatnya, dan di dalam mengikuti perilaku belliau tersebut niscaya mengandung banyak kebaikan. Namun menghimpun beberapa istri untuk mandi bersama dirinya itu jelas tidak boleh dan terlarang.

     عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ إِنَاٍء وَاحِدٍ يُبَادِرُنيِ وَ أُبَادِرُهُ حَتىَّ يَقُوْلُ: دَعِيْ ليِ وَ أَقُوْلُ أَنَا: دَعْ ليِ قَالَ سُوَيْد: يُبَادِرُنيِ وَ أُبَادِرُهُ فَأَقُوْلُ: دَعْ ليِ دَعْ ليِ

            Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Aku pernah mandi bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari satu bejana”. Beliau mendahuluiku dan akupun mendahuluinya sehingga Beliau berkata, “Sisakan untukku” dan akupun berkata, ‘Sisakan untukku”. Berkata Suwaid, “Beliau mendahuluiku dan akupun mendahuluinya”. Lalu aku berkata, “Sisakan untukku, sisakan untukku”. [HR an-Nasa’iy: I/ 130, 202 dan Muslim: 321 (46). Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يَغْتَسِلُ وَ أَنَا مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نَغْتَرِفُ مِنْهُ جَمِيْعًا

            Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mandi bersama denganku dari satu bejana, kami menciduk (air) bersama-sama darinya. [HR an-Nasa’iy: I/ 128, 201. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ رَسُوْلُ للهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنَ اْلجَنَابَةِ

            Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ‘Aku pernah mandi janabat bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari satu bejana”. [HR an-Nasa’iy: I/ 130, 201-202, al-Bukhoriy: 263, Ibnu Majah: 376, Abu Dawud: 77 dan al-Hakim: 250. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: لَقَدْ رَأَيْتُنيِ أُنَازِعُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم اْلإِنَاءَ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ هُوَ مِنْهُ

            Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sungguh-sungguh aku telah rebutan bejana dengan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang aku dan Beliau mandi darinya”. [HR  an-Nasa’iy: I/ 130, 202. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[22]

عن ميمونة رضي الله عنها أَنهَّاَ كَانَتْ تَغْتَسِلُ هِيَ وَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فىِ إِنَاءٍ وَاحِدٍ

            Dari Maimunah radliyallahu anha bahwasanya ia pernah mandi bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam satu bejana. [HR Muslim: 322 dan Ibnu Majah: 377. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]

عن أم سلمة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَتْ هِيَ وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَغْتَسِلاَنِ فىِ اْلإِنَاءِ اْلوَاحِدِ مِنَ اْلجَنَابَةِ

            Dari Ummu Salamah radliyallahu anha berkata, “Ia pernah mandi janabat bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam satu bejana”. [HR Muslim: 324 dan Ibnu Majah: 380. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]

عن ناعم مولى أم سلمة رضي الله عنها أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ سُئِلَتْ: أَتَغْتَسِلُ اْلمَرْأَةُ مَعَ الرَّجُلِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ  إِذَا كَانَتْ كَيِّسَةً رَأَيْتُنيِ وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم نَغْتَسِلُ مِنْ مِرْكَنٍ وَاحِدٍ نُفِيْضُ عَلَى أَيْدِيْنَا حَتىَّ نُنْقِيَهُمَا ثُمَّ نُفِيْضُ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ  قَالَ اْلأَعْرَجُ: لاَ تَذْكُرُ فَرْجًا وَ لاَ تَبَالَهُ

            Dari Na’im maulanya Ummu Salamah radliyallahu anha, “Bahwasanya Ummu Salamah pernah ditanya, “Apakah boleh seorang perempuan mandi bersama suaminya?”. Ia menjawab, “Ya, apabila ia dapat mempergunakan air. [25] Aku melihat diriku bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mandi di satu ruang mandi. Kami menuangkan (air) ke tangan-tangan kami sehingga kami membersihkan keduanya. Kemudian kami menuangkan air ke atas tubuh kami”. Berkata al-A’raj, “Ia (yaitu Ummu Salamah) tidak menyebutkan farji dan juga tidak bertindak masa bodoh”. [HR an-Nasa’iy: I/ 129-130. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

عن جابر بن عبد الله قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ أَزْوَاجُهُ يَغْتَسِلُوْنَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para istrinya mandi dari satu bejana”. [HR Ibnu Majah: 379. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

عن أنس بن مالك يَقُوْلُ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَ اْلمــَرْأَةُ مِنْ نِسَائِهِ يَغْتَسِلاَنِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ

           Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan salah seorang dari istrinya mandi dari satu bejana”. [HR al-Bukhoriy: 264 dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy]. [28]

Dalil-dalil di atas membuktikan bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mandi bersama dengan seseorang dari para istrinya dari satu bejana, satu hari bersama yang ini dan di hari lain dengan yang itu. Maka tiada perkara yang mencegah pasangan suami istri yang menteladani Beliau untuk mencontohnya di dalam keseharian, sebagai bentuk kecintaan terhadap sunnah Rosul Shallallahu alaihi wa sallam, tiada bedanya pasangan muda atau yang mulai menua. Rasa malu dan sungkan jangan menjadi penghambat untuk mengerjakan sunnah tersebut, karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan, misalnya: mendapatkan pahala karena mengikuti sunnah, makin mempererat hubungan di antara keduanya, saling membantu membersihkan tubuh dan sebagainya. Sebab sebagaimana dipahami bahwasanya tidaklah mungkin Nabi r memerintahkan atau mencontohkan sesuatu amalan jika tidak ada kemashlahatan atau kebaikan padanya, dan tidaklah mungkin pula Beliau melarang dan meninggalkan sesuatu amalan jika tidak ada kemudlaratan dan keburukan padanya.

Ucapan ketika memasuki kamar mandi

Berikut ini terdapat dalil dari hadits Anas bin Malik radliyallahu anhu tentang doa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika memasuki tempat atau kamar mandi,

     عن أنس يقول: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا دَخَلَ اْلخَلاَءَ قَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذَ بِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ

            Dari anas berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasanya jika masuk ke dalam kamar mandi Beliau mengucapka, “اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذَ بِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari gangguan setan lelaki dan perempuan)”. [HR al-Bukhoriy: 142, 6322, Muslim: 375, Abu Dawud: 4, at-Turmudziy: 5, 6, an-Nasa’iy: I/ 20, Ibnu Majah: 298, Ahmad: III/ 99, 101, 282 dan ad-Darimiy: I/ 171. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [29]

Jadi jika seorang muslim bermaksud ke kamar mandi untuk menunaikan sebahagian hajatnya maka disyariatkan baginya untuk melangkahkan kaki kirinya masuk ke kamar mandi seraya membaca,

اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذَ بِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ

            Apabila telah menyelesaikan hajatnya dan bermaksud hendak keluar darinya disyariatkan untuk melangkahkan kaki kanannya seraya membaca,

غُفْرَانَكَ

Ucapan ketika keluar dari kamar mandi

Begitu pula dianjurkan baginya untuk berdoa tatkala keluar dari tempat atau kamar mandi sebagaimana telah diajarkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berikut ini,

     عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا خَرَجَ مِنَ اْلخَلاَءِ قَالَ: غُفْرَانَكَ

            Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasanya jika keluar dari keluar kamar mandi Beliau mengucapkan, غُفْرَانَكَ (Ya Allah aku mengharapkan ampunan-Mu)”. [HR at-Turmudziy: 7, Abu Dawud: 30, Ibnu Majah: 300, Ahmad: VI/ 155 dan ad-Darimiy: I/ 174. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[30]

Demikian pembahasan tentang mandi janabat dan haidl atau nifas dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Selanjutnya adalah pembahasan tentang tayammum dan hal-hal yang berhubungan dengannya.


[1] Shahih Sunan at-Turmudziy: 93, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 246, 417, Shahih Sunan Ibni Majah: 470 dan Misykah al-Mashobih: 445.

[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 225.

[3] Aun al-Ma’bud: I/ 292.

[4] Tamam al-Minnah halaman 126, 128 dan Bahjah an-Nazhirin: II/ 315.

[5] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 393, Shahih Sunan Abi Dawud: 3387, Misykah al-Mashobih: 447, Irwa’ al-Ghalil: 2335 dan Shahih al-Jaami’ ash-Shaghir: 1756.

[6] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 395.

[7] Shahih Sunan Ibni Majah: 497, Shahih Sunan Abi Dawud: 362 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 218.

[8] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 219 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 377, 498.

[9] Mukhtashor Shahih Muslim: 158 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2239, 4467.

[10] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 396, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2863 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3613.

[11] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2246, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 388, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6505, 6506, Ghoyah al-Maram: 190 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 159.

[12] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 162 dan Irwa’ al-Ghalil: 1949.

[13] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 160.

[14] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2247, Shahih Sunan Abi Dawud: 3386, Shahih Sunan Ibni Majah: 3021, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 165 dan Ghoyah al-Maram: 194.

[15] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 164 dan Ghoyah al-Maram: halaman 136-137.

[16] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 161, Irwa’ al-Ghalil: VIII/ 206, Ghoyah al-Maram: 193 dan Shahih al-Jaai’ ash-Shaghir: 116.

[17] Mukhtashor Shahih Muslim: 159, Shahih Sunan Abi Dawud: 3392, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2243, Shahih Sunan Ibni Majah: 538, Irwa’ al-Ghalil: 1808, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7800 dan Ghoyah al-Maram: 185.

[18] Adapun atsar dari Aisyah radliyallahu anha, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat aurat (farji)nya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedikitpun”. Di antara perawinya ada seorang pendusta lagi pemalsu hadits yaitu Barokah bin Muhammad al-Halabiy. [Lihat Adab az-Zifaf halaman 109 dan Tuhfah al-Arus halaman163].

[19] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 233, 401 dan Adab az-Zifaf halaman 108.

[20] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 226, 398.

[21] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 227, 399, Shahih Sunan Ibni Majah: 301 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 70.

[22] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 228, 400.

[23] Shahih Sunan Ibni Majah: 302.

[24] Shahih Sunan Ibni Majah: 305.

[25] Kayyisah artinya dapat mempergunakan air (dengan benar). [Catatan kaki pada Shahiih Sunan an-Nasa’iy: I/ 50].

[26] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 231.

[27] Shahih Sunan Ibni Majah: 304.

[28]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 155.

[29] Mukhtashor Shahih Muslim: 108, Shahih Sunan Abi Dawud: 3, Shahih Sunan at-Turmudziy: 5, 6, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 19, Shahih Sunan Ibni Majah: 243, Irwa’ al-Ghalil: 51, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4712, Nail al-Awthar bi takhrij Ahadits Kitab al-Adzkar: 66 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 329.

[30] Shahih Sunan at-Turmudziy: 7, Shahih Sunan Abi Dawud: 23 (1), Shahih Sunan Ibni Majah: 244, Irwa’ al-Ghalil: 52, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4707, Misykah al-Mashobih: 359, Nail al-Awthar bi takhrij Ahadits Kitab al-Adzkar: 73 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 333.

SUDAH BENARKAH MANDI HAIDL ATAU NIFASMU, WAHAI SAUDARIKU???

SHIFAT MANDI JANABAT DAN HAIDL (2)

بسم الله الرحمن الرحيم

Bagaimana caranya mandi haidl/ nifas?

BAK MANDI5Berikut ini akan dijelaskan akan tata cara mandi haidl yang telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada kaum perempuan dari kalangan shahabat. Penjelasan tentang kaifiyat mandi haidl ini juga merupakan penjelasan tentang kaifiyat mandi nifas bagi wanita yang melahirkan. Sebab terkadang kata-kata nifas mempunyai makna haidl, sebagaimana Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menanyakan kepada istrinya Aisyah radliyallahu anha, أَ نَفِسْتِ ؟ (Apakah engkau nifas yaitu haidl?), [1] ketika bersedih lantaran tidak dapat melakukan thawaf sebagaimana wanita lain dapat melakukakannya. [2]

عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ أَسمْاَءَ سَأَلَتِ النَّبِيَّ  صلى الله عليه و سلم عَنْ غَسْلِ اْلمـَحِيْضِ ؟ فَقَالَ: تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَ هَا وَ سِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا حَتىَّ تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَتْ أَسمْاَءُ: وَ كَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ تَطَهَّرِيْنَ بِهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ (كَأَنهَّاَ تُخْفِى ذَلِكَ): تَتَّبَعِيْنَ أَثَرَ الدَّمَ وَ سَأَلْتُهُ عَنْ غُسْلِ اْلجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطَّهُوْرَ أَوْ تُبْلِغُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتىَّ تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيْضُ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ اْلحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فىِ الدِّيْنِ

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Asma’ pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang mandi haidl. Beliau menjawab, ”Hendaklah seseorang di antara kalian mengambil air dan daun sidrahnya (sekarang ini misalnya sabun). Lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia menuangkan (air) di atas kepalanya lalu menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga mencapai ujung kepala. Selanjutnya ia menuangkan air (ke seluruh tubuhnya), kemudian mengambil kain yang diberi wewangian lalu ia membersihkan dengannya”. Asma berkata, ”Bagaimana cara membersihkan dengannya?”. Beliau bersabda, ”Subhanallah, engkau bersihkan dengannya”. Aisyah berkata (seolah-olah ia merahasiakan hal itu), ”Ikutilah sisa-sisa darah”. Asma juga bertanya tentang mandi janabat. Beliau menjawab, ”Hendaklah ia mengambil air lalu ia bersuci dan membaguskan atau menyempurnakan bersucinya. Kemudian menuangkan air di atas kepalanya dan menggosok-gosoknya sehingga sampai keujung kepala lalu mengguyurkan air atasnya”. Aisyah berkata, ”Sebaik-baik perempuan adalah perempuan anshor karena rasa malu tidak mencegah mereka untuk memahami agama”. [HR Muslim: 332, al-Bukhoriy: 314, 315, 7357, an-Nasa’iy: I/ 136-137, Abu Dawud: 314, 315, 316, Ibnu Majah: 642, Ahmad: VI/ 122 dan al-Hakim: 248.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Berdasarkan dalil hadits di atas, dipahami cara mandi haidl yang pernah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada Asma’, yaitu;

1). Si wanita mempersiapkan air dan daun sidrah/ bidara (sekarang ini bisa diganti dengan sabun).

Sebelum mandi, hendaknya wanita yang ingin mandi haidl atau nifas itu mempersiapkan diri dengan menyediakan air dan daun sidrah, jika ada. Namun jika tidak ada, hendak menyiapkan sabun untuk membersihkan darah yang barangkali masih melekat pada daerah kemaluannya yang terkena bekas-bekas darah. Dan juga menyiapkan wewangian berupa minyak kesturi atau semisalnya dan juga secarik kain atau kapas untuk mengoleskan wewangian itu pada bagian yang terkena bekas-bekas darah untuk mengihalangkan bebauan yang tidak menyenangkan.

Disunnahkan menggunakan sabun dan alat pembersih lainnya selain air agar hilang bau tidak sedap dari sisa haidl.

2). Niat yang tidak diucapkan lisan.

 3). Mengucapkan tasmiyah (bismillah).

 4). Kemudian bersuci (wudlu) lalu membaguskan berwudlunya.

Yakni wanita yang hendak melakukan mandi haidl atau nifas itu mengawalinya dengan wudlu yang sempurna dengan menyisakan pembasuhan kaki atau boleh juga tidak, sebagaimana dilakukan seperti pada mandi janabat.

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Ketika mengomentari hadits Aisyah radliyallahu anha di atas, “Bahwa yang dimaksud bersuci yang pertama adalah wudlu sebagaimana di dalam sifat mandinya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”.  [4]

     عن عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ أَغْتَسِلُ عِنْدَ الطُّهُوْرِ؟ قَالَ: خُذِي فِرْصًة مُمْسِكَةً فَتَوَضَّئِي بِهَا قَالَتْ: كَيْفَ أَتَوَضَّأُ بِهَا؟ قَالَ: تَوَضَّئِي بِهَا قَالَتْ: كَيْفَ أَتَوَضَّأُ بِهَا؟ قَالَتْ: ثُمَّ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم سَبَّحَ وَ أَعْرَضَ عَنْهَا فَفَطِنَتْ عَائِشَةُ لمِــَا يُرِيْدُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: فَأَخَذْتهُاَ وَ جَبَذْتهُاَ إِلَيَّ فَأَخْبَرْتهُاَ بِمَا يُرِيْدُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم

            Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bagaimana caranya aku mandi ketika bersuci?”. Beliau menjawab, “Ambillah secarik kain (atau kapas) yang diberi wewangian lalu berwudlulah (bersihkan) dengannya”. Ia berkata lagi, “Bagaimanakah caranya aku membersihkan dengannya ?”. Beliau menjawab, “bersihkan dengannya”. Wanita itu berkata lagi, “Bagaimanakah caranya aku membersihkan dengannya?”. Aisyah berkata, ”Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertasbih dan berpaling darinya”. Maka mengertilah Aisyah terhadap apa yang diinginkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Aisyah berkata, ”Lalu aku memegang dan menariknya kepadaku lalu mengkhabarkan kepadanya tentang apa yang diinginkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR an-Nasa’iy: I/ 207-208. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [5]

5). Kemudian menuangkan (air) ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkan dengan keras sehingga mencapai akar-akar rambut.

            Yakni menuangkan air ke atas kepala lalu menggosok-gosokkan jari jemari pada kulit kepala dengan kuat agar air masuk ke pori-pori rambut kepala. Maka pada saat itu, disyariatkan untuk menguraikan atau melepaskan sanggulan atau kepangan rambut kepala yang tidak dilakukan pada waktu mandi janabat.

     عن عائشة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ لَهَا وَ كَانَتْ حَائِضًا: انْقُضِي شَعْرَكِ وَ اغْتَسِلِيْ قَالَ عَلِيٌّ فىِ حَدِيْثِهِ: انْقُضِي رَأْسَكِ

            Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya dan ia sedang haidl, ”Uraikan rambutmu dan mandilah”. Ali berkata di dalam haditsnya, ”Uraikan (rambut) kepalamu”. [HR Ibnu Majah: 641. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Berkata as-Syaikh al-Albaniy rahimahullah , ”Yang kedua; bahwasanya (hadits ini) datang tentang haidl dan yang itu di dalam janabat, sebagaimana zhahirnya. Penghimpunan (hadits) di antara keduanya adalah diwajibkan penguraian (rambut) di dalam mandi haidl dan tidak pada mandi janabat. Dengan ini pulalah berkata al-Imam Ahmad dan selainnya dari ulama salaf”. [7]

Ia berkata lagi, “Kemudian di dalam hadits ini jelas terdapat perbedaan antara mandi haidlnya seorang wanita dan mandi janabatnya ketika Beliau menguatkan atas mandi haidl agar bersungguh-sungguh di dalam menggosok-gosok dengan keras dan bersuci, yang Beliau tidak menguatkan yang semisalnya di dalam mandi janabat. Sebagaimana di dalam hadits Ummu Salamah radliyallahu anha yang telah disebutkan di dalam kitab merupakan dalil atas tidak wajibnya menguraikan (rambut) di dalam mandi janabat. Dan ini jugalah yang diinginkan di dalam hadits Ubaid bin Umair dari Aisyah radliyallahu anha dengan mengkaitkan mandinya Aisyah bersama dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Maka tiada perselisihan diantara hadits-hadits tersebut dengan rincian ini, yaitu wajib penguraian (rambut) di dalam mandi haidl dan tidak wajib di dalam mandi janabat, hal ini berbeda dengan yang dipegang oleh Mushannif (si penyusun kitab) [8]  dan madzhabnya yang menolak hadits Aisyah tanpa hujjah, dan hal ini tidak boleh. Al-Imam Ahmad berpegang kepada rincian tersebut dan dishahihkan oleh Ibnu al-Qoyyim rahimahullah di dalam Tahdzib as-Sunan. Rujuklah (I/ 165-168) dan ini juga madzhabnya Ibnu Hazm (II/ 37-40). [9]

6). Kemudian menuangkan air ke seluruh tubuh.

            Yakni mengguyurkan air ke seluruh tubuh, ia mandi sebagaimana pada umumnya seseorang mandi. Di dalam hal ini, ia boleh menggunakan sabun untuk menggosok-gosok seluruh tubuhnya agar hilang semua bebauan yang tidak menyenangkan. Dan ia juga boleh menggunakan shampo untuk membersihkan, mengharumkan dan menyehatkan rambut dan kepalanya.

 7). Kemudian mengambil secarik kain yang diberi wewangian lalu mengoleskan dengannya yaitu mengikuti bekas-bekas darahnya.

Jika wanita itu telah selesai dari mandi haidl atau nifasnya, hendaknya ia mengambil secarik kain yang diberi wewangian lalu mengoleskannya pada kemaluannya dan pada bagian yang terkena sisa-sisa darah haidl atau nifas.

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, ”(أثر الدم = sisa-sisa/ bekas-bekas darah) yang dimaksud dengannya menurut para ulama adalah farji. Berkata al-Muhamiliy, “Dianjurkan bagi wanita untuk memberi wewangian ke seluruh bagian badan yang terkena darah”. [10]

Katanya lagi, “Dan yang dimaksud dengan menggunakan wewangian adalah untuk mencegah atau menghilangkan bebauan yang tidak disukai (busuk), berdasarkan penjelasan yang shahih”. [11]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, “Yang benar adalah bahwa yang demikian itu dianjurkan bagi setiap wanita yang mandi dari sebab haidl atau nifas. Bagi wanita yang memiliki kesanggupan hukumnya makruh jika meninggalkan perbuatan tersebut.  Jika ia tidak mempunyai minyak kesturi maka boleh ia memakai wewangian (selainnya). Apabila juga tidak ada maka hendaklah ia menghilangkannya dengan menggunakan tanah lumpur, dan jikapun tidak ada maka dengan menggunakan airpun mencukupi”.  [12]

Perbedaan mandi haidl dengan mandi janabat

1). Mengurai rambutnya yang dikepang dan menggosok kulit kepala dengan kuat sehingga air sampai ke kulit kepalanya pada mandi haidl. Sedangkan pada mandi janabat tidak disyariatkannya penguraian rambut tersebut.

2). Mengoleskan sepotong kain atau kapas yang dibubuhi minyak wangi ke kemaluannya dan bagian tubuh yang terkena darah sesudah mandi haidl atau nifas. Sedangkan pada mandi janabat tidak disyariatkannya menggunakan wewangian. Karena pada saat haidl atau nifas keluar darah kewanitaan yang terkadang menimbulkan bau busuk, maka mandi saja kurang mencukupi, jadi hendaknya dengan mengoleskan wewangian pada bahagian bekas-bekas keluarnya darah.

Wallahu a’lam bish showab.


[1]  Nail al-Awthar: V/ 55.

[2]  HR al-Bukhoriy: 294, 305, 5548, 5559, Muslim: 1211 (119), Ibnu Majah: 2963 dan Ahmad: VI/ 273 dari Aisyah radliyallahu anha. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Mukhtashor Shahih al-Imaam al-Bukhoriy: 178, Shahih Sunan Ibni Majah: 2398 dan Irwa’ al-Ghalil: 191.

[3]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 177, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 177,  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 245, Shahih Sunan Abi Dawud: 306, 307, 308 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 525.

[4] Shahih Muslim bi Syar-h al-Imam an-Nawawiy: IV/ 15.

[5] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 414.

[6] Shahih Sunan Ibni Majah: 524, Irwa’ al-Ghalil: 134 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 188.

[7]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 139.

[8]  Maksudnya si peyusun kitab Fiqhus sunnah yaitu as-Sayyid Sabiq. Lalu kitab tersebut dita’liq (dikomentari) oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam kitab Tamam al-Minnah.

[9]  Tamam al-Minnah halaman 125.

[10] Fat-h al-Bariy: I/ 416 dan Shahih Muslim bi Syar-h al-Imam an-Nawawiy: IV/ 15.

[11] Fat-h al-Bariy: I/ 416.

[12] Fat-h al-Bariy: I/ 416.

SUDAH BENARKAH MANDI JANABATMU, WAHAI SAUDARAKU???

SHIFAT MANDI JANABAT DAN HAIDL (1)

 بسم الله الرحمن الرحيم

bak mandi4Berikut ini akan dijelaskan tentang kaifiyat atau tata cara mandi janabat dan mandi haidl sebagaimana yang telah diperagakan dan diperintahkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Banyak di kalangan kaum muslimin yang tidak memahami cara mandi janabat, bahkan juga orang yang telah menikah dalam kurun waktu yang lama. Mereka hanya mengetahui bahwa ‘mandi besar’ itu hanyalah mandi seperti biasa tanpa diawali oleh amalan tertentu yang disyariatkan. Bahwa mandi itu hanyalah mengguyurkan air keseluruh tubuh, dan disyaratkan di dalamnya dengan membersihkan rambut dengan shampoo dan menggosok seluruh tubuh dengan sabun.

Padahal anggapan yang telah turun menurun itu tidak sesuai dengan apa yang telah dicontohkan dan diperintahkan oleh teladan kita yaitu Rosululllah Shallallahu alaihi wa sallam.

Bagaimanakah caranya mandi janabat?

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم  أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم  كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ اْلجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ تَوَضَّأَ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فىِ اْلمـَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُوْلَ شَعْرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ (و فى رواية: حَتىَّ إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ) عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيْضُ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila mandi dari janabat beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya kemudian berwudlu seperti wudlunya untuk sholat. Lalu memasukkan jemarinya ke air kemudian menyela-nyela ujung rambutnya lalu menuangkan (dalam satu riwayat, sehingga apabila ia telah yakin telah mengairi kulit kepalanya, ia menuangkan) air atas kepalanya tiga cidukan dengan kedua tangannya kemudian ia menuangkan air ke seluruh kulitnya. [HR al-Bukhoriy: 248, 262, 272 dan lafazh hadits ini di dalam Mukhtashor Shahiih al-Imam al-Bukhooriy, Muslim: 316, Abu Dawud: 242, 243, at-Turmudziy: 104, an-Nasa’iy: I/ 134 dan Ahmad: I/ 307, 330. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

عن ميمونة قَالَتْ: وَضَعْتُ (وفى رواية: صَبَبْتُ) لِلنَّبِيِّ مَاءً لِلْغُسْلِ [مِنَ اْلجَنَابَةِ] [وَ سَتَرْتُهُ] فَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَفْرَغَ [بِيَمِيْنِهِ] عَلَى شِمَالِهِ فَغَسَلَ مَذَاكِيْرَهُ (و فى رواية: فَرْجَهُ وَ مَا أَصَابَهُ مِنَ اْلأَذَى) ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ بِاْلأَرْضِ (و فى رواية:  ثُمَّ دَلَّكَ بِهَا اْلحَائِطَ و فى أخرى: بِاْلأَرْضِ أَوِ اْلحَائِطِ) [مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا] [ثُمَّ غَسَلَهَا] ثُمَّ مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ غَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ [وَ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا] (و فى رواية: تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ) ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى جَسَدِهِ ثُمَّ تَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ [ثُمَّ أَتيَ بِمِنْدِيْلٍ فَلَمْ يَنْفُضْ بِهَا (و فى رواية: فَنَاوَلْتُهُ خِرْقَةً فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَ لَمْ يُرِدْهَا) (و فى أخرى: فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ فَانْطَلَقَ وَ هُوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ)] فَجَعَلَ يَنْفُضُ بِيَدِهِ

Dari Maimunah radliyallahu anha berkata, ”Aku yang meletakkan (di dalam satu riwayat: yang menuangkan) air bagi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk mandi (dari janabat). Aku menutupinya (dari pandangan manusia), maka Beliau membasuh kedua tangannya dua atau tiga kali kemudian menuangkan (air) dengan tangan kanannya atas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya (di dalam satu riwayat, farjinya dan apa yang terkena kotoran). Lalu mengusap tangannya ke tanah (di dalam satu riwayat, lalu menggosok-gosokkan tangannya ke dinding, di dalam riwayat yang lain, ke tanah atau dinding), dua atau tiga kali. Kemudian membasuhnya, lalu berkumur-kumur, beristinsyaq, membasuh wajah, kedua tangan (dan membasuh kepalanya tiga kali) (di dalam satu riwayat, berwudlu seperti wudlunya untuk sholat kecuali kedua kakinya). Lalu menuangkan (air) ke seluruh tubuhnya kemudian berpindah dari tempatnya lalu membasuh kedua kakinya. Lalu didatangkan kepadanya handuk kecil tetapi Beliau tidak mengibaskan kain tersebut ke tubuhnya (di dalam satu riwayat, lalu aku ambilkan untuknya secarik kain, maka Beliau berkata dengan tangannya, ”Begini dan Beliau tidak menginginkannya”). (Di dalam riwayat yang lain, lalu aku mengambilkan sepotong kain tetapi Beliau tidak mengambilnya kemudian pergi sedangkan Beliau sedang mengibas-ngibaskan kedua tangannya). Maka Beliau mengibas-ngibaskan tangannya”. [HR al-Bukhoriy: 249, 257, 259, 260, 265, 266, 274, 276, 281 dan lafazh hadits ini dari Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy, Muslim: 317, Abu Dawud: 245, at-Turmudziy: 103, an-Nasa’iy: I/ 137, 138 dan Ibnu Majah: 573. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[2]

Dari dua hadits di atas, dapat diketahui tentang tata cara mandi janabat yang dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yaitu;

1. Niat mandi di dalam hati tanpa mengucapkan niat dengan lisan. [3]

2 . Kemudian mengucapkan tasmiyah yaitu membaca; بسم الله

 3.Kemudian membasuh kedua (telapak) tangan sebanyak dua atau tiga kali.

4.Kemudian menuangkan (air) dengan tangan kanannya kepada tangan kirinya lalu mencuci farjinya dengan tangan kirinya.

      عن ميمونة قَالَتْ: وَضَعْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم  غُسْلاً يَغْتَسِلُ بِهِ مِنَ اْلجَنَابَةِ فَأَكْفَأَ اْلإِنَاءَ عَلَى يَدِهِ اْليُمْنىَ فَغَسَلَهَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ صَبَّ عَلَى فَرْجِهِ فَغَسَلَ فَرْجَهُ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدِهِ اْلأَرْضَ فَغَسَلَهَا ثُمَّ مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ غَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ ثُمَّ صَبَّ عَلَى رَأْسِهِ وَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى نَاحِيَةً فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ

            Dari Maimunah radliyallahu anhaberkata, ”Aku meletakkan air mandi untuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang Beliau mandi janabat dengannya. Lalu Beliau menuangkan bejana atas tangan kanannya dan membasuhnya dua atau tiga kali. Lalu menuangkan (air) atas farjinya lalu mencuci farjinya dengan tangan kirinya kemudian memukul (menepuk) lantai dengan tangannya, lalu mencuci (tangannya) kembali. Kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq, membasuh wajah dan kedua tangannya lalu menuangkan air di atas kepala dan tubuhnya. Kemudian menggeser pindah dan membasuh kedua kakinya”. [HR Abu Dawud: 245, Muslim: 317 dan an-Nasa’iy: I/ 132-133. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

5.Kemudian mengusap tangan ke tanah (lantai) atau dinding atau menggosok-gosokkan dinding dengannya sebanyak dua atau tiga kali.

 6.Kemudian membasuh kedua (telapak) tangannya kembali.

 7.Kemudian berwudlu seperti wudlunya untuk sholat. Dianjurkan menangguhkan pembasuhan kedua kaki di akhir mandi.

     عن ميمونة زوج النبي صلى الله عليه و سلم  قَالَتْ: اغْتَسَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم  مِنَ اْلجَنَابَةِ فَغَسَلَ فَرْجَهُ وَ دَلَكَ يَدَهُ بِاْلأَرْضِ أَوِ اْلحَائِطِ ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهِ وَ سَائِرِ جَسَدِهِ

            Dari Maimunah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mandi dari janabat. Lalu Beliau membasuh farjinya dan menggosok-gosokkan tangannya ke tanah atau dinding. Kemudian Beliau berwudlu seperti wudlunya untuk sholat lalu mengguyur air ke atas kepala dan seluruh tubuhnya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 208. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

8.Kemudian memasukkan jari jemari ke dalam air lalu menyela-nyela akar-akar rambut dengannya dan menyiram kulit kepala di mulai dari sebelah kanan.

     عن عائشة قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ اْلجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيُفْرِغُ مِنْ يَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ –وَ قَالَ مُسَدَّدٌ: غَسَلَ يَدَيْهِ  يَصُبُّ اْلإِنَاءَ عَلَى يَدَهُ اْليُمْنىَ –فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ- قَالَ مُسَدَّدٌ: يُفْرِغُ عَلَى شِمَالِهِ وَ رُبمَّاَ كَنَتْ عَنِ اْلفَرْجِ- ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فىِ اْلإِنَاءِ فَيُخَلِّلُ شَعْرَهُ حَتىَّ إِذَا رَأَى أَنَّهُ قَدْ أَصَابَ اْلبَشَرَةَ أَوْ أَنْقَى اْلبَشَرَةَ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثًا فَإِذَا فَضَلَ فَضْلَةٌ صَبَّهَا عَلَيْهِ

            Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila mandi dari janabat mulai dengan menuangkan (air) dengan tangan kanannya atas tangannya yang kiri. -Berkata Musaddad, “Membasuh kedua tangannya untuk menuangkan bejana atas tangan kanannya lalu mencuci farjinya”. Berkata Musaddad, ”menuangkan atas tangan kirinya dan barangkali mengibaratkan farji”-. Kemudian Beliau berwudlu seperti wudlunya untuk sholat lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam bejana kemudian menyela-nyela rambutnya sehingga apabila Beliau telah yakin telah mengenai kulit atau membersihkan kulit, Beliau menuangkan (air) atas kepalanya tiga kali. Apabila ada kelebihan air Beliau menuangkan atasnya”. [HR Abu Dawud: 242 dan an-Nasa’iy: I/ 205. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

عن عروة قال: حدثتني عائشة رضي الله عنها عَنْ غُسْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم مِنَ اْلجَنَابَةِ أَنَّهُ كَانَ يَغْسِلُ يَدَيْهِ وَ يَتَوَضَّأُ وَ يُخَلِّلُ رَأْسَهُ حَتىَّ يَصِلَ إِلىَ شَعْرِهِ ثُمَّ يُفْرِغُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ

            Dari Urwah berkata, “Aisyah radliyallahu anha pernah menceritakan kepadaku tentang mandi janabatnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau membasuh kedua tangannya, berwudlu dan menyela-nyela kepalanya sehingga sampai ke rambutnya kemudian menuangkan (air) keseluruhan tubuhnya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 135. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم  إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ اْلجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ اْلحِلاَبِ بِكَفَّيْهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ اْلأَيْسَرِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ

            Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasanya apabila hendak mandi janabat Beliau menyuruh mengambil hilab (bejana). [8] Lalu Beliau mengambil dengan kedua telapak tangannya dan memulainya dari sebelah kanan kepalanya kemudian sebelah kiri. Beliau melakukannya dengan kedua tangannya atas kepalanya”. [HR al-Bukhoriy: 258, Muslim: 318 dan Ibnu Khuzaimah: 245. asy-Syaikh al-Albaniy menshahihkan hadits ini]. [9]

9. Kemudian menuangkan (air) ke kepala sebanyak tiga cidukan dengan kedua tangan dan perempuan tidak perlu menguraikan rambutnya ketika mandi.

     عن أم سلمة رضي الله عنها قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنىِّ امْرَأَةٌ  أَشَدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ اْلجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ إِنمَّاَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَحْثِىَ عَلَى رَأْسِكَ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكَ اْلمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ

            Dari Ummu Salamah radliyallahu anha berkata, aku berkata, “Wahai Rosulullah sesungguhnya aku adalah seorang perempuan yang berambut sangat tebal (sanggulannya), maka bolehkah aku menguraikannya untuk mandi janabat. Beliau bersabda, “Tidak perlu, cukuplah bagimu engkau menyiram kepalamu tiga kali siraman kemudian engkau mengguyur air ke tubuhmu maka engkau telah bersuci”. [HR Muslim: 105, at-Turmudziy: 105, an-Nasa’iy: I/ 13, Abu Dawud: 251 dan Ibnu Khuzaimah: 246. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[10]

عن عبيد بن عمير قَالَ: بَلَغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوْسَهُنَّ فَقَالَتْ: يَا عَجَبًا لِابْنِ عُمَرَ هَذَا يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوْسَهُنَّ أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُؤُوْسَهُنَّ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلَ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَ لاَ أَزِيْدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِي ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ

Dari Ubaid bin Umar berkata, telah sampai kepada Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Ibnu Umar radliyallahu anhuma menyuruh para perempuan untuk meguraikan rambut mereka apabila hendak mandi”. Aisyah berkata, “Sungguh mengherankan Ibnu Umar itu, tidakkah ia menyuruh mereka sekalian agar mencukur (rambut) kepala mereka. Sungguh-sungguh aku pernah mandi bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari satu bejana dan aku tidak pernah menambah atas menuangkan ke atas kepalaku dengan tiga tuangan”. [HR Muslim: 331, Ibnu Majah: 604, Ibnu Khuzaimah: 247 dan Ahmad: VI/ 43. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

عن عائشة قَالَتْ: لَقَدْ رَأَيْتُنيِ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ هَذَا فَإِذَا تَوْرٌ مَوْضُوْعٌ مِثْلُ الصَّاعِ أَوْ دُوْنَهُ فَنَشْرَعُ فِيْهِ جَمِيْعًا فَأُفِيْضُ عَلَى رَأْسِي بِيَدِي ثَلاَثَ مَرَّاتٍ وَ مَا أَنْقُضُ ليِ شَعْرًا

            Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sungguh-sungguh aku telah menyaksikan diriku dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mandi dari (sebab) ini. Tiba-tiba (aku lihat) ada bejana yang diletakkan berisi sekitar satu sha’ atau kurang. Lalu kami memasukkan (tangan kami) ke dalamnya bersama-sama. Lalu aku tuangkan ke atas kepalaku dengan kedua tanganku tiga kali dan aku sama sekali tidak menguraikan rambutku”. [HR an-Nasa’iy: I/ 203. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[12]

عن ثوبان أَ نَّهُمُ اسْتَفْتَوا النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: أَمَّا الرَّجُلُ فَلْيَنْشُرْ رَأْسَهُ فَلْيَغْسِلْهُ حَتىَّ يَبْلُغَ أُصُوْلَ الشَّعْرِ وَ أَمَّا اْلمـَرْأَةُ فَلاَ عَلَيْهَا أَنْ لاَّ تَنْقُضَهُ لِتَغْرِفَ عَلَى رَأْسِهَا ثَلاَثَ غَرَفَاتٍ بِكَفَّيْهَا

            Dari Tsauban radliyallahu anhu bahwasanya mereka pernah meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang hal itu. Beliau bersabda, ”Adapun lelaki hendaklah ia menguraikan (rambut) kepalanya lalu ia membasuhnya sehingga sampai ke akar-akar rambutnya. Dan adapun perempuan maka tidak ada keharusan baginya, ia tidak perlu menguraikannya. Hendaklah ia menciduk (air) atas kepalanya sebanyak tiga kali cidukan dengan kedua telapak tangannya”. [HR Abu Dawud: 255. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

عن جبير بن مطعم قَالَ: َتمَارَوْا فىِ اْلغُسْلِ مِنَ اْلجَنَابَةِ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : أَمَّا أَنَا فَأُفِيْضُ عَلَى رَأْسِي ثَلاَثَ أَكُفٍّ

            Dari Jubair bin Muth’im berkata, ”Mereka pernah berdebat tentang mandi janabat di sisi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”adapun aku akan menuangkan (air) ke atas kepalaku sebanyak tiga telapak tangan”. [HR Ibnu Majah: 575, Muslim: 327, Abu Dawud: 239 dan an-Nasa’iy: I/ 135, 207. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

عن أبي سعيد أَنَّ رَجُلاً سَأَلَهُ عَنِ اْلغُسْلِ مِنَ اْلجَنَابَةِ فَقَالَ: ثَلاَثًا فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنَّ شَعْرِي كَثِيْرٌ  فَقَالَ: رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ أَكْثَرُ شَعْرًا مِنْكَ وَ أَطْيَبُ

            Dari Abu Said radliyallahu anhu bahwasanya ada seorang lelaki bertanya kepadanya tentang mandi janabat. Ia berkata, ”tiga kali”. Lelaki itu bertanya lagi, ”Sesungguhnya rambutku lebih tebal”. Ia menjawab, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memilki rambut yang lebih tebal dan lebih bagus darimu”. [HR Ibnu Majah: 576 dan Muslim: 329 dari Jabir bin Abdullah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[15]

عن أبي هريرة سَأَلَهُ رَجُلٌ: كَمْ أُفِيْضُ عَلَى رَأْسِي وَ أَنَا جُنُبٌ؟ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَحْثُوْ عَلَى رَأْسِهِ ثِلاَثَ حَثَيَاتٍ قَالَ الرَّجُلُ: إِنَّ شَعْرِي طَوِيْلٌ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  أَكْثَرُ شَعْرًا مِنْكَ وَ أَطْيَبُ

            Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, ada seorang lelaki bertanya kepadanya, “Berapa kali aku harus menuangkan air ke kepalaku sedangkan aku junub?”. Ia menjawab, ”Rosulullah biasanya menuangkan (air) ke atas kepalanya tiga kali tuangan”. Lelaki itu berkata, ”Sesungguhnya rambutku panjang”. Abu Hurairah berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memilki rambut lebih banyak dan lebih bagus darimu”. [HR Ibnu Majah: 578 dan al-Hakim: 243 dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [16]

10.  Kemudian menuangkan air ke seluruh tubuh.

 Yaitu ia menuangkan dan mengguyurkan air ke seluruh tubuh dan mandi seperti mandi pada biasanya. Di dalam amalan ini diperbolehkan menggunakan sabun untuk menggosok dan membersihkan seluruh tubuh terutama pada bagian-bagian yang sulit terkena air semisal di ketiak, pangkal paha, lipatan-lipatan kulit dan sebagainya. Diperbolehkan juga menggunakan shampoo untuk membersihkan, mengharumkan atau menyehatkan rambut sebagaimana yang diinginkan oleh orang yang mandi.

11. Kemudian berpindah tempat dan membasuh kedua kaki.

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, ”Hadits ini (yaitu hadits Maimunah radliyallahu anha) merupakan nash (atau dalil) atas bolehnya mengakhirkan pembasuhan kedua kaki dalam mandi berbeda dengan haditsnya Aisyah radliyallahu anha. Boleh jadi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukan kedua perkara itu yaitu sekali waktu membasuh kedua kaki berbarengan dengan wudlu dan sekali waktu mengakhirkan membasuh keduanya sampai akhir mandi. Wallahu a’lamu. [17]

Yaitu ketika orang yang mandi itu telah merasa cukup mandi karena yakin semua anggota tubuhnya kena basuhan air, maka hendaklah ia menggeser atau berpindah tempat ke arah kanan, kiri, ke depan ataupun belakang lalu membasuh kedua kakinya yang di mulai dengan kaki kanan lalu kedua kaki kirinya. Namun boleh juga membasuh kedua kaki itu di dahulukan dari menuangkan air ke seluruh tubuh dan yakni berbarengan dengan wudlu.

Demikian kaifiyat atau tata cara mandi janabat yang disyariatkan dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dan pembahasan ini akan berlanjut kepada kaifiyat mandi haidl dan nifas. In syaa Allah ta’ala.


[1] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 147, Shahih Sunan Abi Dawud: 222, 223, Shahih Sunan at-Turmudziy: 91, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 241 dan Irwa’ al-Ghalil: 132.

[2] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 153, Shahih Sunan Abi Dawud: 224, Shahih Sunan at-Turmudziy: 90, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 404, 405, 406, Shahih Sunan Ibni Majah: 465 dan Irwa’ al-Ghalil: 131.

[3]  Biasanya orang-orang awam mengucapkan: … نويت رفع الحدث dan ini adalah bid’ah.

[4] Shahih Sunan Abi Dawud: 224 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 237.

[5]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 415.

[6] Shahih Sunan Abi Dawud: 222 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 407.

[7] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 242 dan Irwa’ al-Ghalil: 132.

[8]  Tetapi ada juga hilab yang diartikan dengan wewangian. [Fat-h al-Bariy: I/ 369].

[9]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 154.

[10] Shahih Sunan at-Turmuziy: 92, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 235, Shahih Sunan Abi Dawud: 226 dan Irwa’ al-Ghalil: 136.

[11] Shahih Sunan Ibni Majah: 488.

[12] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 403.

[13] Shahih Sunan Abi Dawud: 230 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1343.

[14] Shahih Sunan Ibni Majah: 466, Shahih Sunan Abi Dawud: 220, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 244 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1344, 1345.

[15]  Shahih Sunan Ibni Majah: 467.

[16] Shahih Sunan Ibni Majah: 469.

[17] Irwa’ al-Ghalil: I/ 170.

UNTUK APA ANDA MANDI (2)??..

MANDI YANG DIANJURKAN

 بسم الله الرحمن الرحيم

MANDI1Selain dari amalan-amalan yang mewajibkan mandi, ada juga amalan-amalan lain yang membutuhkan kepada mandi namun mandi di dalam hal ini hanyalah bersifat anjuran dan hukumnya sunnah.

Hal ini perlu diketahui, sebab diharapkan kepada setiap muslim untuk senantiasa berlomba-lomba kepada kebaikan. Beberapa amalan yang membutuhkan mandi di dalam bab ini, meskipun hanya bersifat anjuran tetapi jika dikerjakan dengan niat ikhlas karena Allah Subhanahu wa ta’ala niscaya akan mendatangkan banyak kebaikan, baik di dunia ataupun akhirat.

1). Dianjurkan mandi setiap kali jimak

Islam adalah agama yang bersih dan sangat menyukai kebersihan. Pun demikian dengan perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah rumah tangga.

Sedangkan jimak merupakan salah satu dari beberapa kebutuhan suami dan istri. Mereka tidak hanya membutuhkan sandang, pangan dan papan saja namun juga hubungan yang dapat melekatkan dan mengeratkannya agar lebih harmonis dan romantis yaitu hubungan seksual atau jimak ini. Apalagi jika kebutuhan ini diharapkan dapat melahirkan generasi penerus bagi mereka berupa anak atau keturunan, maka hubungan seksual ini lebih sangat dibutuhkan lagi.

Namun ketika mereka melakukan hubungan seksual ini dalam kondisi yang tidak menyenangkan dari fisik, psikis ataupun lingkungannya maka hal ini akan dapat mengganggu dan merusak hubungan seksual tersebut menjadi tidak nyaman dan tidak pula menyenangkan. Maka dengan ini pulalah hubungan keduanya boleh jadi menjadi renggang, bersitegang dan bahkan di ambang jurang kehancuran.

Oleh sebab itu setiap muslim, bukan hanya berusaha menunaikan kewajibannya sebagai suami yang menggauli istrinya dengan cara ma’ruf atau sebagai istri yang berusaha memenuhi kehendak suaminya yang mengajaknya ke tempat tidur untuk berhubungan intim. Tetapi juga mereka hendaklah berusaha untuk memperhatikan hal-hal yang dapat menimbulkan keinginan, gairah dan kepuasan kepada pasangannya. Di antaranya adalah dengan memperhatikan kondisi tubuh, yakni seseorang di antara mereka ketika akan mendatangi pasangannya, hendaklah dalam keadaan bersih dan harum. Dan mandi adalah solusi atau jalan keluarnya, dengan mandi, tubuh akan menjadi segar, hilang kotoran dan bau-bauan yang tidak sedap dan pasangannyapun akan lebih senang dan bergairah. Apalagi jika kedua pasangan tersebut hendak mengulanginya kembali setelah cukup beristirahat.

Hal ini telah dikerjakan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang pernah menggilir seluruh istri-istrinya dalam satu malam. Dan setiap hendak menggilir salah seorang dari mereka, beliau mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan dalil hadits di bawah ini,

     عن أبي رافع أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم طَافَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى نِسَائِهِ يَغْتَسِلُ عِنْدَ هَذِهِ وَ عِنْدَ هَذِهِ قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ تَجْعَلُهُ غُسْلاً وَاحِدًا؟ قَالَ: هَذَا أَزْكَى وَ أَطْيَبُ وَ أَطْهَرُ

Dari Abu Rafi’ radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam suatu hari pernah berkeliling (menjimak) istri-istrinya yang Beliau mandi di sisi yang ini dan di sisi yang itu. Berkata (Abu Rafi’), ”aku bertanya, ”Wahai Rosulullah tidakkah engkau menjadikannya satu kali mandi saja?”. Beliau menjawab, ”Ini lebih suci, lebih harum dan lebih bersih”. [HR Abu Dawud: 219, Ibnu Majah: 590 dan Ahmad: VI/ 8. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [1]

Mandi setiap kali hendak mengulangi jimak adalah lebih suci, lebih harum dan lebih bersih. Hal inipun disukai oleh suami istri yang melakukannya meskipun mencuci farji dan berwudlu itu sudah memadai sebagaimana telah diterangkan. [2]

2). Dianjurkan mandi bagi perempuan yang istihadlah setiap kali sholat

Penganjuran mandi selanjutnya adalah untuk perempuan yang mengalami istihadlah setiap kali hendak melakukan sholat.

     عن عدي بن ثابت عن أبيه عن جده عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اْلمـُسْتَحَاضَةُ تَدَعُ الصَّلاَةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا ثُمَّ تَغْتَسِلُ وَ تَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلاَةٍ وَ تَصُوْمُ وَ تُصَلِّي

Dari Adiy bin Tsabit dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang istihadlah meninggalkan sholat beberapa hari kebiasaan haidlnya kemudian ia mandi dan wudlu untuk setiap kali sholat. Ia juga mengerjakan shaum dan sholat”. [HR Ibnu Majah: 625, at-Turmudziy: 126, Abu Dawud: 297 dan ad-Darimiy: I/ 202. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[3]

عن فاطمة بنت أبي حبيش أَنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا كَانَ دَمُ اْلحَيْضِ فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِيْ عَنِ الصَّلاَةِ فَإِذَا كَانَ اْلآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ وَ صَلِّيْ

Dari Fathimah binti Abi Hubaisy radliyallahu anha bahwasanya ia pernah mengalami istihadlah. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “jika itu darah haidl maka warna darahnya hitam yang dapat dikenal, jika itu yang engkau alami tahanlah dirimu dari sholat”. [HR Abu Dawud: 304, an-Nasa’iy: I/ 123 dan al-Hakim: 636. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [4]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Hadits ini menunjukan atas wajibnya wudlu (bagi orang yang istihadlah) untuk setiap kali sholat”. [5]

عن عائشة قَالَتْ: اسْتُحِيْضَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبيِ حُبَيْشٍ فَسَأَلَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنيِّ أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِنمَّاَ ذَلِكَ عِرْقٌ وَ لَيْسَتْ بِاْلحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتِ اْلحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَ إِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِيْ عَنْكِ أَثَرَ الدَّمِ وَ تَوَضَّئِيْ فَإِنمَّاَ ذَلِكَ عِرْقٌ وَ لَيْسَتْ بِاْلحَيْضَةِ قِيْلَ لَهُ: فَاْلغُسْلُ؟ قَالَ: ذَلِكَ لاَ يَشُكُّ فِيْهِ أَحَدٌ

Dari Aisyah adliyallahu anha berkata, “Fathimah binti Hubaisy pernah mengalami istihadlah, lalu ia bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata, “ Wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mengalami istihadloh, maka aku tidak suci, bolehkah aku meninggalkan sholat?”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Yang demikian itu adalah cairan penyakit bukannya haidl, maka jika datang waktu haidl tinggalkanlah sholat dan apabila telah berlalu maka cucilah bekas darah darimu dan berwudlulah. Yang demikian itu hanyalah cairan penyakit dan bukannya haidl”. Ditanyakan kepadanya, “Kalau mandi bagaimana?”. Beliau menjawab, “hal tersebut, tiada seseorangpun yang ragu tentangnya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 124. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih isnadnya]. [6]

عن حمنة بنت جحش قَالَتْ: كُنْتُ أُسْتُحَاضُ حَيْضَةً كَثِيْرَةً شَدِيْدَةً فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَسْتَفْتِيْهِ وَ أُخْبِرُهُ فَوَجَدْتُهُ فىِ بَيْتِ أُخْتىِ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنيِّ امْرَأَةٌ أُسْتُحَاضُ حَيْضَةً كَثِيْرَةً شَدِيْدَةً فَمَا تَرَى فِيْهَا قَدْ مَنَعَتْنىِ الصَّلاَةُ وَ الصَّوْمُ؟ فَقَالَ: أَنْعَتُ لَكِ اْلكُرْسُفَ فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّمَ قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ قَالَ: فَاتَّخِذِيْ ثَوْبًا فَقَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ إِنمَّاَ أَثُجُّ ثَجًّا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : سَآمُرُكِ بِأَمْرَيْنِ أَيَّهُمَا فَعَلْتِ أَجْزَأَ عَنْكِ مِنَ اْلآخَرِ وَ إِنْ قَوِيْتِ عَلَيْهِمَا فَأَنْتِ أَعْلَمُ فَقَالَ لَهَا: إِنمَّاَ هَذِهِ رَكْضَةٌ مِنْ رَكَضَاتِ الشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ فىِ عِلْمِ اللهِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ حَتىَّ إِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَ اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي ثَلاَثًا وَ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً أَوْ أَرْبَعًا وَ عِشْرِيْنِ لَيْلَةً وَ أَيَّامَهَا وَ صُوْمِيْ فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِيْكَ وَ كَذَلِكَ فَافْعَلِيْ كُلَّ شَهْرٍ كَمَا َتحِيْضُ النِّسَاءُ وَ كَمَا يَطْهُرْنَ مِيْقَاتَ حَيْضِهِنَّ وَ طُهْرِهِنَّ وَ إِنْ قَوِيْتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي الظُّهْرَ وَ تُعَجِّلَ اْلعَصْرَ فَتَغْتَسِلِيْنَ وَ تَجْمَعِيْنَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ الظُّهْرِ وَ اْلعَصْرِ وَ تُؤَخِّرِيْنَ اْلمـَغْرِبَ وَ تُعَجِّلِيْنَ اْلعِشَاءَ ثُمَّ تَغْتَسِلِيْنَ وَ تَجْمَعِيْنَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ فَافْعَلِيْ وَ تَغْتَسِلِيْنَ مَعَ اْلفَجْرِ فَافْعَلِيْ وَ صُوْمِيْ إِنْ قَدِرْتِ عَلَى ذَلِكَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هَذَا أَعْجَبُ اْلأَمْرَيْنِ إِلَيَّ

Dari Hamnah binti Jahsyi berkata, “Aku pernah mengalami istihadlah yang deras sekali, lalu aku mendatangi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk meminta fatwa kepadanya. Aku mendapatkan berita tentangnya lalu aku jumpai Beliau di rumah saudariku Zainab binti Jahsyi”. Aku berkata, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mengalami istihadlah yang deras sekali, bagaimana pendapatmu, apakah ia mencegahku dari sholat dan shoum?”. Beliau menjawab, “Aku akan terangkan kepadamu, kain kapas (yang engkau lekatkan pada farji) dapat menghilangkan (atau menyerap) darah”. Hamnah berkata, “darahku lebih banyak dari itu”. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Ambillah kain”. Hamnah berkata lagi, ”Darahku lebih banyak lagi dari itu karena ia adalah darah yang mengalir”. Maka bersabdalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ”Aku akan perintahkan kepadamu dua hal, manapun yang engkau kerjakan niscaya mencukupimu dari yang lain, tetapi jikalau engkau mampu keduanya engkaulah yang lebih tahu”. Beliau bersabda kepadanya, ”Itu hanyalah satu gangguan dari beberapa gangguan setan, maka berhaidllah engkau enam atau tujuh hari di dalam ilmu Allah kemudian mandilah sehingga apabila engkau lihat (atau yakin) bahwa engkau telah suci dan telah sampai masa suci maka sholatlah selama dua puluh tiga atau dua puluh empat hari dan shoumlah. Maka sesungguhnya yang demikian itu cukup bagimu dan demikian pula hendaknya engkau lakukan setiap bulan sebagaimana perempuan haidl dan suci pada waktu haidl dan sucinya mereka. Jikalah engkau masih mampu maka hendaknya engkau mengakhiri sholat zhuhur dan menyegerakan sholat ashar lalu engkau mandi dan menjamak antara dua sholat yaitu zhuhur dan ashar, dan engkau mengakhirkan maghrib dan menyegerakan isya kemudian engkau mandi dan menjamak antara dua sholat yaitu maghrib dan isya, maka tunaikanlah. Engkau mandi bersama sholat fajar maka tunaikanlah dan shoumlah jika engkau mampu atas itu”. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Ini adalah dua perkara yang menakjubkan bagiku”. [HR Abu Dawud: 287, at-Turmudziy: 128, Ibnu Majah: 627 dan Ahmad: VI/ 381-382, 439, 439-440. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [7]

عن عائشة قَالَتْ: اسْتُحِيْضَتِ امْرَأَةٌ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَأُمِرَتْ أَنْ تُعَجِّلَ اْلعَصْرَ وَ تُؤَخِّرَ الظُّهْرَ وَ تَغْتَسِلَ لَهُمَا غُسْلاً وَ أَنْ تُؤَخِّرَ اْلمـَغْرِبَ وَ تُعَجِّلَ اْلعِشَاءَ وَ تَغْتَسِلَ لَهُمَا غُسْلاً وَ تَغْتَسِلُ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ غُسْلاً فَقُلْتُ (يَعْنيِ شُعْبَةَ) لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ: عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ؟ فَقَالَ: لاَ أُحَدِّثُكَ إِلاَّ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم بِشَيْءٍ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Pernah seorang perempuan mengalami istihadlah di masa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Lalu ia disuruh untuk menyegerakan ashar dan mengakhirkan zhuhur dan mandi dengan sekali mandi untuk keduanya. Dan juga untuk mengakhirkan maghrib dan menyegerakan isya dan mandi dengan sekali mandi untuk keduanya. Dan juga mandi dengan sekali mandi untuk menunaikan sholat shubuh. Aku (yaitu Syu’bah) berkata kepada Abdurrahman, ”(Apakah itu) dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam?”. Ia menjawab, ”Aku tidak akan menceritakannya kepadamu tentang sesuatu melainkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR Abu Dawud: 294 dan an-Nasa’iy: I/ 122. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

عن أسماء بنت عميس قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبيِ حُبَيْشٍ اسْتُحِيْضَتْ مُنْذَ كَذَا وَ كَذَا فَلَمْ تُصَلِّ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : سُبْحَانَ اللهِ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ لِتَجْلِسْ فىِ مِرْكَنٍ فَإِذَا رَأَتْ صَفْرَةً فَوْقَ اْلمـَاءِ فَلْتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَ اْلعَصْرِ غُسْلاً وَاحِدًا وَ تَغْتَسِلُ لِلْمَغْرِبِ وَ اْلعِشَاءِ غُسْلاً وَاحِدًا وَ تَغْتَسِلُ لِلْفَجْرِ غُسْلاً وَ تَتَوَضَّأُ فىِ مَا بَيْنَ ذَلِكَ

Dari Asma binti Umais radliyallahu anha berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sesungguhnya Fathimah binti Hubaisy mengalami istihadlah sejak ini dan itu dan tidak menunaikan sholat”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Subhaanallah, ini adalah dari setan hendaklah ia duduk di ruang cuci lalu apabila ia melihat warna kuning di atas air maka mandilah untuk menunaikan sholat zhuhur dan ashar dengan sekali mandi. Ia juga mandi untuk mengerjakan sholat maghrib dan isya dengan sekali mandi, juga mandi sekali mandi untuk melaksanakan sholat fajar, dan berwudlulah pada apa yang ada di antara demikian itu”. [HR Abu Dawud: 296. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

 عن أُمِّ حَبِيْبَةَ بِنْتِ جَحْشٍ اسْتُحِيْضَتْ سَبْعَ سِنِيْنَ فَأَمَرَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنْ تَغْتَسِلَ فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلاَةٍ

Dari Ummu Habibah binti Jahsyi radliyallahu anha, ia mengalami istihadlah selama tujuh tahun. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mandi. Maka ia selalu mandi untuk setiap kali sholat. [HR Abu Dawud: 291, 292. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: اسْتُحِيْضَتْ أُمُّ حَبِيْبَةَ بِنْتُ جَحْشٍ وَ هِيَ تَحْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ سَبْعَ سِنِيْنَ فَشَكَتْ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ النَّبيُّ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ هَذِهِ لَيْسَتْ بِاْلحَيْضَةِ وَ إِنمَّاَ هُوَ عِرْقٌ فَإِذَا أَقْبَلَتِ اْلحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَ إِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَ صَلِّي قَالَتْ عَائِشَةُ: فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلاَةٍ ثُمَّ تُصَلِّي وَ كَانَتْ تَقْعُدُ فىِ مِرْكَنٍ لِأُخْتِهَا زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ حَتىَّ إِنْ حَمْرَةَ الدَّمِ لَتَعْلُو اْلمَاءَ

Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Ummu Habibah binti Jahsyii istrinya Abdurrahman bin Auf pernah mengalami istihadlah selama tujuh tahun. Lalu ia mengadukan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ini bukanlah haidl tetapi ia hanyalah cairan penyakit. Apabila datang masa haidl maka tinggalkan sholat dan apabila telah lewat maka mandi dan sholatlah”. Aisyah berkata, ”Ummu Habibah senantiasa mandi untuk setiap kali sholat kemudian menunaikan sholat. Dan ia duduk di ruang cuci saudarinya Zainab binti Jahsyi sehingga warna merah darahnya melebihi warna air”. [HR Ibnu Majah: 626, al-Bukhoriy: 327, Muslim: 334, at-Turmudziy: 129 dan Abu Dawud: 288, 289, 290. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

Istihadlah adalah darah perempuan yang keluar terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar (satu atau dua hari) dalam sebulan dan hal dimanfaatkan oleh setan untuk menggoda kaum perempuan sehingga ada di antara mereka yang tidak melakukan sholat, shaum dan tidak pula menerima ajakan suaminya untuk berjimak. Padahal ini adalah perilaku yang keliru dan tidak dapat dibenarkan oleh syariat sebagaimana telah dituangkan dan dijelaskan dalil-dalilnya.

Jika ada seorang perempuan mengalami istihadlah maka hendaklah ia memperhatikan beberapa perkara di bawah ini;

  1. Apabila ia pernah berhaidl lalu ia mengalami istihadlah maka hendaklah ia mengambil jadwal haidl yang pernah terjadi padanya dalam sebulan. Maka berhaidllah ia seperti biasanya ia berhaidl, dan hendaklah ia menganggap selainnya adalah darah istihadlah yang ia sholat dan shaum padanya dan boleh berjimak dengan suaminya jika telah menikah.
  2. Atau apabila ia baru pertama kali mengalami haidl lalu langsung mengalami istihadlah namun ia dapat membedakan warna darah haidlnya yang kental, berwarna hitam atau aromanya yang khas. Di saat itulah ia menghitung waktu haidlnya dalam sebulan dan selebihnya adalah darah istihadlah, yang ia sholat dan shaum padanya dan boleh berjimak dengan suaminya jika sudah menikah.
  3. Atau seperti yang kedua, yakni ia baru mengalami haidl lalu ia langsung mengalami istihadlah namun ia tidak dapat membedakan darah haidlnya dari darah istihadlahnya maka ia mesti berketetapan untuk berhaidl selama enam atau tujuh hari dalam sebulan seperti umumnya perempuan lain mengalami haidl, lalu ia menganggap sisanya adalah darah istihadlah yang ia sholat dan shaum padanya. Dan boleh berjimak dengan suaminya jika sudah menikah sebagaimana perempuan normal lainnya.

Dianjurkan baginya untuk mandi setiap kali hendak sholat, atau menjadikan satu mandi untuk dua sholat yang dijamak misalnya; zhuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya sedangkan shubuh dengan sekali mandi. Tetapi jika tidak, ia wajib berwudlu setiap kali sholat yang dilakukan sesudah masuknya waktu sholat.

3). Dianjurkan mandi setelah pingsan

          Penganjuran mandi selanjutnya adalah ketika siuman dari pingsan, hal ini sebagaimana telah dialami oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dan Beliau dalam satu waktu mengalaminya beberapa kali pingsan.

عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْتُ: أَلاَ تُحَدِّثِيْنىِ عَنْ مَرَضِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم ؟ قَالَتْ: بَلَى ثَقُلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: أَصَلَّى النَّاسُ ؟ قُلْنَا: لاَ هُمْ يَنْتَظِرُوْنَكَ قَالَ: ضَعُوْا لىِ مَاءً فىِ اْلمـِخْضَبِ قَالَتْ: فَفَعَلْنَا فَاغْتَسَلَ فَذَهَبَ لِيَنُوْءَ فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ صلى الله عليه و سلم: أَصَلَّى النَّاسُ؟ قُلْنَا: لاَ, هُمْ يَنْتَظِرُوْنَكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: ضَعُوْا لىِ مَاءً فىِ اْلمِخْضَبِ قَالَتْ: فَقَعَدَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ ذَهَبَ لِيَنُوْءَ فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ: أَصَلَّى النَّاسُ قُلْنَا: لاَ, هُمْ يَنْتَظِرُوْنَكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَقَالَ: ضَعُوْا لىِ مَاءً فىِ اْلمـِخْضَبِ فَقَعَدَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ ذَهَبَ لِيَنُوْءَ فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ: أَصَلَّى النَّاسُ؟ فَقُلْنَا: لاَ هُمْ يَنْتَظِرُوْنَكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ النَّاسُ عُكُوْفٌ فىِ اْلمـَسْجِدِ يَنْتَظِرُوْنَ النَّبِيَّ عليه السلام لِصَلاَةِ اْلعِشَاءِ اْلآخِرَةِ … الخ

Dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah berkata, “Aku pernah masuk menemui Aisyah”. Aku berkata, ”Tidakkah engkau ceritakan kepadaku mengenai sakitnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?”. Aisyah berkata, ”Boleh, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengalami sakit yang berat lalu bersabda, ”Apakah orang-orang telah menunaikan sholat?”. Kami jawab, ”Belum, mereka sedang menantikanmu”. Beliau bersabda, ”Letakkan air untukku di bejana”. Aisyah berkata, ”Maka kami melakukannya kemudian Beliau mandi lalu pergi untuk bangkit (dengan susah payah)”. Lalu tiba-tiba Beliau pingsan. Kemudian siuman kembali dan bersabda, ”Apakah orang-orang telah menunaikan sholat?”. Kami menjawab, ”Belum, mereka sedang menantikanmu wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Beliau bersabda, ”Letakkan air untukku di bejana”. Aisyah berkata, ”lalu Beliau duduk dan mandi kemudian pergi untuk bangkit. Lalu tiba-tiba Beliau pingsan lagi. Kemudian siuman kembali lalu bersabda, ”Apakah orang-orang telah menunaikan sholat?”. Kami menjawab, ”Belum, mereka sedang menantikanmu wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Beliau bersabda, ”Letakkanlah air untukku di bejana lalu Beliau duduk dan mandi kemudian pergi untuk bangkit tiba-tiba Beliau pingsan kembali”. Lalu siuman dan bersabda, ”Apakah orang-orang telah menunaikan sholat?”. Kami menjawab, ”Belum, mereka sedang menantikanmu wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Dan orang-orang sedang berdiam diri di masjid menanti Nabi untuk menunaikan sholat isya yang akhir… dst. [HR al-Bukhoriy: 687, Muslim: 418, Ibnu Khuzaimah: 257 dan Ahmad: VI/ 228. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah , ”Hadits ini mempunyai banyak faidah yang dipaparkan di dalam syarah (penjelasan) hadits. Penyusun kitab ini telah menyitirnya di sini untuk dijadikan dalil atas dianjurkannya mandi bagi orang yang pingsan. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukannya sebanyak tiga kali padahal Beliau sedang sakit berat. Maka hal ini menunjukan atas kuatnya penganjuran tersebut”.[13]

Maka berdasarkan dalil dan keterangannya di atas maka mandi bagi orang yang pingsan itu sangat dianjurkan namun tidak diwajibkan. Sebab jika mandi itu dapat membahayakan keselamatan jiwa maka diperbolehkan baginya untuk meninggalkannya dan mengganti dengan jenis thaharah yang lain misalnya wudlu atau tayammum. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika ada orang terbunuh karena mandi junub sebab mimpi sedangkan ia dalam keadaan terluka di kepalanya, lalu Beliau mencela orang yang menyuruhnya mandi dan menetapkan tayammum bagi keadaan tersebut. [14]

4). Dianjurkan mandi setelah memandikan mayat

Telah berlalu anjuran berwudlu bagi orang yang ikut menggotong mayat atau jenazah ke pekuburan. Namun jika seorang itu muslim ikut memandikan jenazah saudaranya maka dianjurkan untuk mandi setelah memandikannya. Hal ini telah disebutkan di dalam beberapa riwayat hadits berikut ini,

عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ غَسَلَ اْلمـَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang memandikan mayat maka hendaklah ia mandi dan. Barangsiapa yang menggotongnya maka hendaklah berwudlu”. [HR Abu Dawud: 3161, at-Turmudziy: 993 dan Ahmad: II/ 280, 433, 454, 472. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

 عن ابن عباس رضي الله عنهما قَالَ: لَيْسَ عَلَيْكُمْ فىِ غَسْلِ مَيِّتِكُمْ غُسْلٌ إِذَا غَسَلْتُمُوْهُ فَإِنَّ مَيِّتَكُمْ لَيْسَ بِنَجَسٍ فَحَسْبُكُمْ أَنْ تَغْسِلُوْا أَيْدِيَكُمْ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, ”Tidak ada kewajiban atas kalian wajib di dalam memandikan mayat di antara kalian apabila kalian memandikannya karena sesungguhnya mayat kalian itu bukanlah najis. Maka cukuplah bagi kalian untuk mencuci tangan-tangan kalian”. [Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Telah mengeluarkan atsar ini al-Hakim: 1466 dan al-Baihaqiy. Berkata al-Hakim: Shahih berdasarkan syarat al-Bukhoriy dan al-Imam adz-Dzahabiypun menyepakatinya. Dan ia itu hanyalah Hasan isnadnya sebagaimana di katakan oleh al-Hafizh di dalam kitab at- Talkhiish-]. [16]

           عن ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ: كُنَّا نَغْسِلُ اْلمـَيِّتَ فَمِنَّا مَنْ يَغْتَسِلُ وَ مِنَّا مَنْ لاَ يَغْتَسِلَ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, ”Kami pernah memandikan mayat, lalu di antara kami ada yang mandi dan di antara kami ada juga yang tidak mandi”. [Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Telah mengeluarkan atsar ini ad-Daruquthniy: 1802 dan al-Khathib dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh]. [17]

Hadits dari Abu Hurairah radliyallahu anhu di atas menunjukkan perintah untuk mandi bagi yang telah memandikan mayat dan berwudlu bagi yang menggotongnya. Tetapi perintah tersebut hanyalah mengandung penganjuran dan tidak wajib karena hadits dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radliyallahu anhuma berikutnya menerangkan diantara para shahabat radliyallahu anhum ada yang tidak melakukannya.

5). Dianjurkan mandi dari sebab menguburkan orang musyrik

          Begitu pula anjuran mandi selanjutnya adalah jika ada seorang muslim ikut menguburkan jenazah orang kafir atau musyrik, maka hendaklah ia mandi dengan mandi jenabat. Pada dasarnya, seorang muslim itu dilarang menguburkan jenazah orang kafir atau musyrik. Namun ketika jenazah itu tidak ada yang menguburkan karena suatu mashlahat maka mereka wajib menguburkannya tanpa memandikan, mengkafani, menyolatkan dan mendoakannya.

Hal ini sebagaimana telah diperintahkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalin radliyallahu anhu di dalam hadits berikut,

عن علي رضي الله عنه قَالَ: َلمــَّا تُوُفِّيَ أَبُوْ طَالِبٍ أَتَيْتُ النَّبيَّ صلى الله عليه و سلم فَقُلْتُ: إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ فَمَنْ يُوَارِيْهِ قَالَ: اذْهَبْ فَوَارِهِ ثُمَّ لاَ تُحَدِّثْ شَيْئًا حَتىَّ تَأْتِيَنيِ فَقَالَ: إِنَّهُ مَاتَ مُشْرِكًا فَقَالَ: اذْهَبْ فَوَارِهِ قَالَ: فَوَارَيْتُهُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ قَالَ: اذْهَبْ فَاغْتَسِلْ ثُمَّ لاَ تُحَدِّثْ شَيْئًا حَتىَّ تَأْتِيَنيِ قَالَ: فَاغْتَسَلْتُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ قَالَ: فَدَعَا لىِ بِدَعَوَاتٍ مَا يَسُرُّنيِ أَنَّ ليِ بِهَا حُمُرَ النَّعَمِ وَ سُوْدَهَا قَالَ: وَ كَانَ عَلِيٌّ إِذَا غَسَلَ اْلمـَيِّتَ اغْتَسَلَ

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, “Ketika Abu Thalib wafat, aku datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya pamanmu yaitu orang tua yang sesat sungguh-sungguh telah mati, maka siapakah yang akan menguburkannya?”. Beliau bersabda, “Pergi dan kuburkanlah lalu janganlah engkau berkata sesuatupun sehingga engkau mendatangiku”. Ali berkata, “Sesungguhnya ia telah mati dalam keadaan musyrik”. Beliau bersabda, “Pergi dan kuburkanlah”. Ali berkata, “Kemudian akupun menguburkannya lalu mendatanginya”. Beliau bersabda, ”Pergi dan mandilah lalu janganlah engkau berkata sesuatupun sehingga engkau mendatangiku”. Ali berkata, ”Lalu akupun mandi kemudian mendatanginya”. Ali berkata, ”Maka Beliau mendoakan kebaikan kepadaku dengan beberapa doa yang membuatku bahagia seakan aku memiliki unta merah dan hitamnya”. Ia (yaitu Abdurrahman as-Silmiy) berkata, ”Ali biasanya mandi apabila memandikan mayat”. [HR Ahmad: I/ 97, 103, Abu Dawud: 3214, an-Nasa’iy: I/ 110, IV/ 79-80 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: sanadnya Shahih]. [18]

Perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu di atas menerangkan tentang penganjuran mandi baginya ketika selesai dari menguburkan Abu Thalib ayahnya yang mati dalam keadaan kafir. Dan hal inipun berlaku bagi semua umatnya  karena hadits tersebut tidak ada pengkhususan hanya bagi Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu saja.

6). Dianjurkan mandi untuk dua ied dan hari arafah

Banyak dari kaum muslimin yang kurang mengerti akan anjuran ini, sebab mereka hanya mengerjakan mandi seperti mandi biasa sehari-hari. Penganjuran mandi ini bersifat khusus sebab mandi yang dimaksud adalah mandi seperti mandi janabat.

عن زادان قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ عَلِيًّا رضي الله عنه عَنِ اْلغُسْلِ؟ قَالَ: اغْتَسِلْ كُلَّ يَوْمٍ إِنْ شِئْتَ فَقَالَ: لاَ, اْلغُسْلُ الَّذِي هُوَ اْلغُسْلُ قَالَ: يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَ يَوْمَ النَّحْرِ وَ يَوْمَ اْلفِطْرِ

Dari Zadan berkata, ”Pernah seorang lelaki bertanya kepada Ali radliyallahu anhu tentang mandi?”. Ali menjawab, ”Mandilah tiap hari jika engkau mau”. Ia berkata, ”Bukan itu (yang aku maksudkan), tetapi mandi yang dia itulah mandi (janabat)”. Ali menjawab, ”(Mandi) setiap jum’at, mandi hari arafah, mandi hari nahar (iedul adlha) dan mandi hari (iedul) fithri”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: sanadnya Shahih]. [19]

 عن سعيد بن المسيب أَنَّهُ قَالَ: سُنَّةُ اْلفِطْرِ ثَلاَثٌ اْلمـَشْيُ إِلىَ اْلمـُصَلَّى وَ اْلأَكْلُ قَبْلَ اْلخُرُوْجِ وَ اْلاغْتِسَالُ

Dari Sa’id bin al-Musayyab radliyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Sunnah di dalam Iedul fithri itu ada tiga, yakni berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar (rumah) dan mandi”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Faryabiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: sanadnya shahih]. [20]

Dua atsar di atas menerangkan akan dianjurkannya mandi seperti mandi janabat bagi orang yang hendak berangkat untuk menunaikan sholat iedul adlha dan iedul fithri. Mandi ini juga dianjurkan bagi umat Islam yang hendak melaksanakan wukuf di Arafah pada waktu haji.

7). Dianjurkan mandi untuk ihram

Begitu pula dianjurkan untuk mandi bagi orang yang hendak memakai pakaian ihram ketika menunaikan ibadah haji atau umrah.

عن زيد بن ثابت أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم تَجَرَّدَ لِإِهْلاَلِهِ وَ اغْتَسَلَ

Dari Zaid bin Tsabit radliyallahu anhu bahwasanya ia pernah melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menanggalkan (pakaiannya) untuk berihlal dan mandi. [HR at-Turmudziy: 830, ad-Darimiy: II/ 31, ad-Daruquthniy dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

عن جابر بن عبد الله فىِ حَدِيْثِ أَسمْاَءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ حِيْنَ نُفِسَتْ بِذِي اْلحُلَيْفَةِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أمَرَ أَبيِ بَكْرٍ رضي الله عنه فَأَمَرَهَا أَنْ تَغْتَسِلَ وَ تُهِلَّ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhuma mengenai hadits Asma binti Umais ketika nifas (melahirkan) [22] di Dzul Hulaifah, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar radliyallahu anhu. Lalu Abu Bakar menyuruh istrinya (yaitu Asma) untuk mandi dan berihlal (untuk haji). [HR Muslim: 1209, 1210, an-Nasa’iy: I/ 122-123, 208, Ibnu Majah: 3074 dan Abu Dawud: 1743. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [23]

عن ابن عباس  أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اْلحَائِضُ وَ النُّفَسَاءُ إِذَا أَتَتَا عَلَى اْلوَقْتِ تَغْتَسِلاَنِ وَ ُتحْرِمَانِ وَ تَقْضِيَانِ اْلمـَنَاسِكَ كُلَّهَا غَيْرَ الطَّواَفِ بِاْلبَيْتِ قَالَ مَعْمَرُ فىِ حَدِيْثِهِ: حَتىَّ تَطْهُرَ

Dari Ibnu Abbas adliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Perempuan yang haidl dan nifas apabila telah sampai miqot hendaklah ia mandi, memakai pakaian ihram dan menunaikan semua ibadah haji kecuali thowaf di Ka’bah”. Berkata Abu Ma’mar di dalam haditsnya: sehingga ((kembali suci)). [HR Abu Dawud: 1744 dan Ahmad: I/ 364. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].[24]

 عن ابن عمر قَالَ: إِنَّ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَغْتَسِلَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ وَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ مَكَّةَ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, ”Sesungguhnya termasuk dari sunah adalah mandi apabila ingin berihram dan apabila ingin memasuki kota Mekkah”. [HR ad-Daruquthniy: 2409 dan al-Hakim: 1681, ia berkata: berdasarkan atas syarat dua syaikh (yaitu al-Bukhoriy dan Muslim) dan adz-Dzahabiy menyepakatinya dan hadits ini hanya shahih saja. Di dalam hadits ini ada Shal bin Yusuf dan dua syaikh tidak meriwayatkan darinya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini kendatipun mauquf maka sesungguhnya ucapan Ibnu Umar ((termasuk dari sunnah)) yakni dari sunnahnya Rasulullah sebagaimana diakui di dalam ilmu ushul fiqih]. [25]

Berdasarkan dalil-dalil di atas maka bagi siapapun yang hendak melakukan ihram untuk menunaikan ibadah haji atau umrah disyariatkan untuk mandi. Bahkan bagi perempuan yang sedang nifas atau haidlpun diperintahkan mandi sebagaimana yang Beliau perintahkan kepada Asma binti Umais radliyallahu anha istrinya Abu Bakar radliyallahu anhu, lalu ia menunaikan manasik seluruhnya kecuali thawaf sebab sebagaimana telah diketahui bahwa thawaf itu serupa dengan sholat yang dilarang bagi perempuan haidl dan nifas untuk menunaikannya.

8). Dianjurkan mandi ketika masuk kota Mekkah

 Selanjutnya yang dianjurkan untuk mandi adalah ketika memasuki kota Mekkah untuk menunaikan thawaf ketika umrah atau haji.

     عن نافع أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ لاَ يَقْدِمُ مَكَّةَ إِلاَّ بَاتَ بِذِي طُوًى حَتىَّ يُصْبِحَ وَ يَغْتَسِلَ ثُمَّ يَدْخُلُ مَكَّةَ نَهَارًا وَ يَذْكُرُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ فَعَلَهُ

            Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar radliyallahu anhuma tidaklah memasuki kota Mekkah melainkan ia bermalam di Dzu Thuwa sampai shubuh dan mandi kemudian masuk kota Mekkah di waktu siang hari. Ia menyebutkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau juga melakukannya. [HR Muslim: 1259 (227) dan al-Bukhoriy: 1553, 1573. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[26]

Berkata Ibnu al-Mundzir rahimahullah, ”Mandi ketika masuk ke kota Mekkah adalah dianjurkan menurut seluruh ulama dan meninggalkannya menurut mereka tidaklah menyebabkan membayar fidyah. Mayoritas mereka mengatakan wudlu itu cukup darinya”. [27]

Wallahu a’la bi ash-Showab.


[1] Shahih Sunan Abi Dawud: 203, Shahih Sunan Ibni Majah: 480  dan Adab az-Zifaf halaman 107-108..

[2]Yaitu hadits dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang diantara kalian mendatangi istrinya kemudian ingin mengulanginya maka hendaklah ia berwudlu. Di dalam satu riwayat: karena hal itu lebih memberi semangat untuk mengulang”. [HR Muslim: 308, at-Turmudziy: 141, an-Nasa’iy: I/ 142, Abu Dawud: 220, Ibnu Majah: 587, Ahmad: III/ 21 dan Ibnu Khuzaimah: 219, 220. Tambahan hadits ini bagi Ibnu Khuzaimah: 221, Ibnu Hibban, al-Baihaqiy dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 164, Shahih Sunan at-Turmudziy: 122, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 255, Shahih Sunan Abi Dawud: 204, Shahih Sunan Ibni Majah: 477, Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 263 dan Adab az-Zifaf halaman 107.

[3] Shahih Sunan Ibni Majah: 508, Shahih Sunan at-Turmudziy: 109, Shahih Sunan Abi Dawud: 286, Irwaa’ al-Ghalil: 207 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6698.

[4] Shahih Sunan Abi Dawud: 297, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 209, 210, Irwa’ al-Ghalil: 204 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 765.

[5] Nail al-Awthar: I/ 343.

[6]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 211.

[7] Shahih Sunan Abi Dawud: 267, Shahih Sunan at-Turmudziy: 110, Shahih Sunan Ibni Majah: 509, Irwa’ al-Ghalil: 188, 205, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3585 dan Misykah al-Mashobih: 561.

[8] Shahih Sunan Abi Dawud: 281 dan Shahih Sunan an-Nasai’iy: 207.

[9] Shahih Sunan Abi Dawud: 283.

[10] Shahih Sunan Abi Dawud: 273, 274.

[11] Shahih Sunan Ibnu Majah: 509, Shahih Sunan at-Turmudziy: 111, Shahih Sunan Abi Dawud: 268, 269, 270, 271, Irwa’ al-Ghalil: 148, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2272 dan Tamam al-Minnah halaman 122

[12] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 366, Mukhtashor Shahih Muslim: 319, Irwa’ al-Ghalil: 147 dan Tamam al-Minnah halaman 123.

[13]  Nail al-Awthar: I/ 304-305.

[14]  Akan datang hadits dan takhrijnya di dalam bab “Tayammum”, in syaa Allah ta’ala.

[15] Shahih Sunan Abi Dawud: 2707, Shahih Sunan at-Turmudziy: 791, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6402, Irwa’ al-Ghalil: 144, Tamam al-Minnah halaman 112 dan  Ahkam al-Jana’iz halaman 71.

[16] Ahkam al-Jana’iz halaman 71-72.

[17] Ahkam al-Jana’iz halaman 72.

[18] Shahih Sunan Abi Dawud: 2753, Shahih Sunan an-Nasa’iy:184, 1895, Ahkam al-Jana’iz halaman 169-170 dan Tamam al-Minnah halaman 123.

[19] Irwa’ al-Ghalil: I/ 177.

[20]  Irwa’ al-Ghalil: III/ 104.

[21]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 664 dan Irwa’ al-Ghalil: 149.

[22]  Di dalam riwayat lain dari Aisyah radliyallahu anha, Asma binti Umais radliyallahu anha melahirkan Muhammad bin Abu Bakar radliyallahu anhu di bawah sebuah pohon. (Nail al-Awthar: I/ 300).

[23]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 208, 416, Shahih Sunan Ibni Majah: 2492 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 1533.

[24] Shahih Sunan Abi Dawud: 1534, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3166 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1818.

[25] Irwa’ al-Ghalil: I/ 179.

[26] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 257, 779, Mukhtashor Shahih Muslim: 690 dan Irwa’ al-Ghalil: 150.

[27]  Fat-h al-Bariy: III/ 435 dan Nail al-Awthar: I/ 300.

UNTUK APA ANDA MANDI (1)??..

YANG MEWAJIBKAN MANDI

 بسم الله الرحمن الرحيم

MANDI3Sebagaimana wudlu, akan dibahas di dalam fasal ini beberapa perkara yang mewajibkan mandi. Hal ini wajib diketahui oleh kaum muslimin agar mereka dapat menyempurnakan keislaman mereka dan juga dalam rangka melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sebab haram hukumnya seorang muslim menunaikan sholat dalam keadaan junub yang disebabkan mimpi atau jimak dengan salah seorang istrinya baik keluar mani (inzal) ataupun tidak, perempuan yang telah berhenti masa haidl atau nifasnya atau selainnya sehingga mereka mengerjakan mandi yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Sayangnya, jika seluruh kaum muslimin ditanya tentang kewajiban mandi, tata caranya dan hal-hal yang berkaitan dengannya, banyak di antara mereka yang menggeleng-gelengkan kepala atau terbengong-bengong lantaran tidak mengetahuinya. Bahkan banyak diantara mereka yang telah menikah selama belasan bahkan puluhan tahun yang tidak mengerti sama sekali akan perintah, penyebab dan kaifiyatnya. Mudah-mudahan risalah ini dan semisalnya dari beberapa kitab lainnya dapat membantu mereka di dalam memahami dan mempraktekkannya.

Di antara yang mewajibkan mandi sebagaimana telah banyak diterangkan dalam kitab-kitab fikih adalah sebagai berikut,

1). Keluarnya mani dengan sebab syahwat di dalam tidur ataupun terjaga

Hal pertama yang mewajibkan mandi berupa mandi janabat adalah keluarnya mani yang disebabkan syahwat yang terjadi dalam mimpi ataupun terjaga. Terkadang seseorang itu keluar mani selain dari jimak dengan pasangannya adalah bermimpi, masturbasi dan selainnya. Hal ini berlaku bagi kaum lelaki dan perempuan, baik yang sudah berpasangan ataupun belum. Maka siapa saja di antara mereka yang keluar mani dengan sebabnya maka wajiblah mandi baginya dengan mandi janabat.

Berkata asy-Syaikh Sayyid Sabiq, “(Wajib mandi itu lantaran beberapa perkara). Yang pertama; Keluarnya mani dengan sebab syahwat di dalam keadaan tidur atau terjaga baik kaum lelaki ataupun perempuan. Ini berdasarkan pendapat umumnya para ahli fikih (fuqaha)”. [1]

عن خولة بنت حكيم قَالَتْ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلمـَرْأَةِ تَحْتَلِمُ فىِ مَنَامِهَا فَقَالَ: إِذَا رَأَتِ اْلمـَاءَ فَلْتَغْتَسِلْ

            Dari Khaulah binti Hakim radliyallahu anha berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang perempuan yang bermimpi di dalam tidurnya”. Beliau menjawab, ”apabila ia melihat air (mani) maka hendaklah ia mandi”. [HR an-Nasa’iy: I/ 115. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

عنها أَنهَّاَ سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلمـَرْأَةِ تَرَى فىِ مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ؟ فَقَالَ: لَيْسَ عَلَيْهَا غُسْلٌ حَتىَّ تُنْزِلَ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى الرَّجُلِ غُسْلٌ حَتىَّ يُنْزِلَ

            Dari Khaulah binti Hakim radliyallahu anha bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang perempuan yang bermimpi di dalam tidurnya seperti bermimpinya kaum lelaki?. Beliau menjawab, “tidak ada kewajiban mandi sampai keluarnya (air mani), sebagaimana bahwasanya tidak ada kewjiban mandi bagi kaum lelaki sampai keluarnya (air mani)”. [HR Ibnu Majah: 602 dan Ahmad: VI/ 409. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[3]

عن أم سلمة قَالَتْ: جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ اْلحَقِّ فَهَلْ عَلَى اْلمـَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: نَعَمْ إِذَا رَأَتِ اْلمـَاءَ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ تَحْتَلِمُ اْلمَرْأَةُ ؟ فَقَالَ: تَرِبَتْ يَدَاكِ فَبِمَ يُشْبِهُهَا وَلَدُهَا؟

            Dari Ummu Salamah radliyallahu anha berkata, “Ummu Sulaim radliyallahu anha pernah datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu bertanya, “Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran maka apakah bagi perempuan ada kewajiban mandi apabila ia bermimpi?”. Rosulullah menjawab, “Ya, apabila ia melihat air (mani)”. Berkata Ummu Salamah, “Wahai Rosulullah apakah perempuan itu bermimpi?”. Beliau menjawab, “Mudah-mudahan kedua tanganmu penuh berkah maka dengan apakah anaknya itu menyerupai dirinya?”. [HR Muslim: 313, al-Bukhoriy: 130, 282, 3328, 6091, 6121, an-Nasa’iy: I/ 114-115 dan Ibnu Majah: 600. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

عن  عروة  أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ كَلَّمَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ عَائِشَةُ جَالِسَةٌ فَقَالَتْ لَهُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ اْلحَقِّ أَرَأَيْتَ اْلمـَرْأَةَ تَرَى فىِ النَّوْمِ مَا يَرَى الرَّجُلُ أَفَتَغْتَسِلُ مِنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: نَعَمْ قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ لَهَا: أُفٍّ لَكِ أَوَ تَرَى اْلمـَرْأَةُ ذَلِكَ؟ فَالْتَفَتَ إِليَّ رَسُوْلُ اللهِ  rفَقَالَ: تَرِبَتْ يَمِيْنُكَ فَمِنْ أَيْنَ يَكُوْنُ الشَّبَهُ

            Dari Urwah bahwasanya Aisyah radliyallahu anha mengkhabarkan kepadanya bahwa Ummu Sulaim pernah berbicara kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan Aisyah sedang duduk (di sisinya). Ummu Sulaim bertanya, “Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran maka bagaimana pendapatmu mengenai perempuan yang bermimpi di dalam tidur seperti bermimpinya kaum lelaki?. Maka apakah ia harus mandi dari sebab itu?”. Maka Rosulullah bersabda kepadanya, “Ya”. Aisyah berkata kepada Ummu Sulaim, “Ciss, apakah perempuan bermimpi akan hal itu?”. Maka berpalinglah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepadaku seraya bersabda, “Mudah-mudahan kedua tanganmu penuh berkah, maka dari manakah adanya penyerupaan (anaknya dengan dirinya)?”. [HR an-Nasa’iy: I/ 112-113, Abu Dawud: 237 dan Muslim: 314. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

عن أنس أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلمـَرْأَةِ تَرَى فىِ مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا رَأَتْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَتْ فَعَلَيْهَا اْلغُسْلُ فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَ يَكُوْنُ هَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ مَاءُ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ وَ مَاءُ اْلمـَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ فَأَيُّهُمَا سَبَقَ أَوْ عَلاَ أَشْبَهَهُ اْلوَلَدُ

            Dari Anas radliyallahu anhu bahwasanya Ummu Sulaim radliyallahu anha pernah bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang perempuan yang bermimpi di dalam tidurnya seperti bermimpinya kaum lelaki?. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila ia bermimpi hal tersebut dan keluar (air mani), maka wajiblah mandi atasnya”. Ummu Sulaim bertanya, “Wahai Rosulullah apakah hal itu dapat terjadi?”. Beliau menjawab, “Ya, airnya lelaki adalah keras keputihan dan airnya perempuan adalah lembut kekuningan. Maka manakah di antara keduanya lebih dahulu atau menguasai maka anak itu akan menyerupainya”. [HR Ibnu Majah: 601, an-Nasa’iy: I/ 114, Muslim: 311 dan Ibnu Khuzaimah: 235. berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

عن علي قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلمـَذْيِ فَقَالَ: فِيْهِ اْلوُضُوْءُ وَ فىِ اْلمـَنِيِّ اْلغُسْلُ

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang madzi, maka Beliau bersabda, ”Padanya ada wudlu dan pada mani ada mandi”. [HR Ibnu Majah: 504 dan at-Turmudziy: 114, Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [7]

عن عائشة قَالَتْ سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ اْلبَلَلَ وَ لاَ يَذْكُرُ احْتِلاَمًا؟ قَالَ: يَغْتَسِلُ وَ عَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ احْتَلَمَ وَ لَمْ يَجِدْ بَلَلاً؟ قَالَ: لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلْ عَلَى اْلمـَرْأَةِ تَرَى ذَلِكَ غُسْلٌ ؟ قَالَ: نَعَمْ إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ’Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang lelaki yang menjumpai basah dan ia tidak ingat bermimpi?. Beliau menjawab, ”Ia (wajib) mandi”. Dan Beliau ditanya tentang lelaki yang bermimpi tetapi tidak menjumpai basah?. Beliau bersabda, ”Tiada mandi atasnya”. Ummu Salamah bertanya, ”Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apakah wajib mandi atas perempuan yang bermimpi hal itu?”. Beliau menjawab, ”Ya, karena sesungguhnya perempuan itu belahan (atau saudara)nya lelaki”. [HR at-Turmudziy: 113, Abu Dawud: 236, Ibnu Majah: 612 dan Ahmad: VI/ 256. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Maka siapapun yang mengeluarkan air mani dari lelaki ataupun perempuan dari sebab mimpi ataupun terjaga maka ia wajib mandi. Terkadang seseorang tidak merasakan bermimpi tetapi ia terbangun dalam keadaan mendapati basah air mani pada pangkal pahanya atau celananya maka iapun wajib mandi, berbeda dengan orang yang yakin telah bermimpi tetapi ia tidak menjumpai basah maka ia tidak wajib mandi.

Perempuanpun niscaya mengalami mimpi sebagaimana halnya kaum lelaki, sebab banyak anak yang dilahirkan mirip dan menyerupai ibunya. Sebagaimana telah dituturkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bahwa jika mani perempuan berhasil mengalahkan atau menguasai mani suaminya maka anak itu dimungkinkan akan menyerupai ibunya. Dan begitupun sebaliknya, jika mani lelaki mengalahkan dan menguasai mani istrinya maka anak itu dimungkinkan akan menyerupai bapaknya. Maka dengan inilah dipahami bahwa kaum perempuanpun memiliki air mani sebagaimana kaum lelaki, dan dengan ini pulalah dimengerti bahwa kaum perempuan juga dapat mengalami mimpi sebagaimana dialami kaum lelaki. Wallahu a’lam.

2). Pertemuan dua khitan

Hal lain yang mewajibkan mandi janabat adalah pertemuan dua khitan yakni antara khitan lelaki dan perempun. Yaitu khitan lelaki telah memasuki khitan perempuan, baik inzal (keluar mani) ataupun tidak. Hal ini telah diungkapkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam beberapa dalil berikut ini,

عن أبي هريرة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا قَعَدَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَ أَلْزَقَ اْلخِتَانُ بِاْلخِتَانِ فَقَدْ وَجَبَ اْلغُسْلَ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila telah duduk diantara empat cabang dan melekatnya khitan dengan khitan maka wajiblah mandi”. [HR Abu Dawud: 216, al-Bukhoriy: 291, Muslim: 348, an-Nasa’iy: I/ 110-111, 111 dan Ibnu Majah: 610. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

 عن أبي موسى قَالَ: اخْتَلَفَ فىِ ذَلِكَ رَهْطٌ مِنَ اْلمـُهَاجِرِيْنَ وَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ اْلأَنْصَارِيُّوْنَ: لاَ يَجِبُ اْلغُسْلُ إِلاَّ مِنَ الدَّفْقِ أَوْ مِنَ اْلمـَاءِ وَ قَالَ اْلمـُهَاجِرُوْنَ: بَلْ إِذَا خَالَطَ فَقَدْ وَجَبَ اْلغُسْلُ قَالَ: قَالَ أَبُوْ مُوْسَى فَأَنَا أَشْفِيْكُمْ مِنْ ذَلِكَ فَقُمْتُ فَاسْتَأْذَنْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَأَذِنَ ليِ فَقُلْتُ لَهَا: يَا أُمَّاهْ (أَوْ يَا أُمَّ اْلمـُؤْمِنِيْنَ) إِنيِّ أُرِيْدُ أَنْ أَسْأَلَكَ عَنْ شَيْءٍ وَ إِنيِّ أَسْتَحْيِيْكَ فَقَالَتْ: لاَ تَسْتَحْيِ أَنْ تَسْأَلَنيِ عَمَّا كُنْتَ سَائِلاً عَنْهُ أُمَّكَ الَّتيِ وَلَدَتْكَ فَإِنمَّاَ أَنَا أُمُّكَ قُلْتُ: فَمَا يُوْجِبُ اْلغُسْلَ؟ قَالَتْ: عَلَى اْلخَبِيْرِ سَقَطْتَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَ مَسَّ اْلخِتَانُ اْلخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ اْلغُسْلُ

Dari Abu Musa radliyallahu anhu berkata, ”Sekelompok orang dari golongan Muhajirin dan Anshor berselisih di dalam hal tersebut”. Berkata golongan Anshor, ”Tidak wajib mandi kecuali dari sebab (air) memancar atau dari air (mani)”. Berkata golongan Muhajirin, ”Bahkan apabila telah tercampur maka wajiblah mandi”. Berkata (yaitu Abu Burdah), ’Berkata Abu Musa, ”Aku akan menyembuhkan kalian dari yang demikian itu. Lalu aku berdiri dan minta idzin kepada Aisyah radliyallahu anha (untuk bertemu). Maka ia mengidzinkanku. Aku bertanya kepadanya, ”Wahai ibu (atau wahai ummul mukminin) sesungguhnya aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu tetapi aku malu kepadamu”. Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Janganlah engkau malu untuk bertanya kepadaku tentang apa yang engkau tanyakan kepada ibumu yang melahirkanmu”. Maka sesungguhnya aku adalah ibumu. Aku bertanya, ”Apakah yang mewajibkan mandi?”. Ia menjawab engkau kebetulan bertemu dengan yang tahu. Telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ”Apabila duduk di antara empat cabang dan khitan telah menyentuh khitan maka sungguh-sungguh telah wajib mandi”. [HR Muslim: 349, Ibnu Khuzaimah: 227 dan Ahmad: VI/ 47, 97, 112. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم  قَالَتْ: إِذَا الْتَقَى اْلخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ اْلغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَاغْتَسَلْنَا

Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, ”Apabila dua khitan telah saling bertemu maka sungguh-sungguh telah wajib mandi. Aku dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukannya dan kami mandi”. [HR Ibnu Majah: 608 dan at-Turmudziy: 108. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

عنها قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: إِذَا جَاوَزَ اْلخِتَانُ اْلخِتَانَ وَجَبَ اْلغُسْلُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ’Telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ”Apabila khitan telah melewati khitan maka wajiblah mandi”. [HR at-Turmudziy: 109 dan Ahmad: VI/ 16. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[12]

عنها أيضا قَالَتْ: إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا اْلغُسْلُ ؟ وَ عَائِشَةُ جَالِسَةٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِنىِّ لَأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَ هَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ

Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya ada seorang lelaki bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang seseorang yang menjimak (mencampuri) istrinya kemudian timbul rasa malas. [13] Maka apakah keduanya wajib mandi?, sedangkan Aisyah radliyallahu anha sedang duduk (di dekatnya). Rosulullah bersabda, “Sesungguhnya aku dan dia ini pernah melakukan hal itu lalu kami mandi”. [HR Muslim: 350 ].

Demikian dalil beberapa hadits yang mewajibkan mandi bagi lelaki muslim ataupun istrinya yang melakukan jimak (hubungan intim). Namun karena sesuatu hal timbullah rasa malas darinya atau ia tergesa-gesa melakukannya karena ada orang yang memanggilnya, ada suara tangisan anaknya, atau ada suara gaduh yang mengganggu kegiatannya sehingga air maninya tidak keluar. Yaitu selama farji suami sudah masuk ke dalam farji istrinya tetapi tidak sampai inzal (keluar mani) maka keduanya tetap wajib mandi dengan mandi janabat, karena tidak sah dan tidak diterima sholat mereka berdua kecuali dengannya.

Adapun hadits-hadits,

عن أبي سعيد الخدري قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَوْمَ اْلاِثْنَيْنِ إِلىَ قُبَاءٍ حَتىَّ إِذَا كُناَّ فىِ بَنيِ سَالِمٍ وَقَفَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  عَلَى بَابِ عِتْبَانَ فَصَرَخَ بِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ إِزَارَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : أَعْجَلْنَا الرَّجُلَ فَقَالَ عِتْبَانُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يُعْجِلُ عَنِ امْرَأَتِهِ وَ لَمْ يُمْنِ مَا ذَا عَلَيْهِ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِنمَّاَ اْلمـَاءُ مِنَ اْلمـَاءِ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, ‘Aku pernah keluar bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada hari senin ke Kuba sehingga ketika kami sampai di Bani Salim, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berdiri di depan pintu rumah Itban. Lalu Beliau berteriak memanggilnya maka keluarlah Itban dalam keadaan menyeret sarungnya. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Apakah kami telah membuat seorang lelaki tergesa-gesa”. Itban bertanya, ”Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bagaimana pendapatmu tentang seorang lelaki yang tergesa-gesa dari istrinya dan akhirnya tidak keluar air maninya, apakah yang wajib atasnya?”. Rosulullah bersabda, ”Air itu hanyalah dari sebab air”. [14] [HR Muslim: 343, Abu Dawud: 217, an-Nasa’iy: I/ 115, at-Turmudziy: 112, Ibnu Majah: 608, Ibnu Khuzaimah: 233, 234, Ahmad: III/ 29, 36, 47, IV/ 143, 342, V/ 416, 421 dan ad-Darimiy: I/ 194. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

عن زيد بن خالد الجهني أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ إِذَا جَامَعَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ فَلَمْ يُمْنِ؟ قَالَ عُثْمَانُ: يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ وَ يَغْسِلُ ذَكَرَهُ قَالَ عُثْمَانُ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَسَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ عَلِيَّ بْنَ أَبيِ طَالِبٍ وَ الزُّبَيْرَ بْنَ اْلعَوَّامِ وَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللهِ وَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبِ رضي الله عنه فَأَمَرُوْهُ بِذَلِكَ

Dari Zaid bin Khalid al-Juhniy mengkhabarkannya bahwasanya ia pernah bertanya kepada Utsman bin Affan radliyallahu anhu. Ia bertanya, ”Apakah pendapatmu apabila seorang lelaki menjimak istrinya lalu tidak keluar air mani?”. Utsman berkata, ”Ia berwudlu seperti berwudlunya untuk sholat dan mencuci farjinya”. Utsman berkata, ”Aku pernah mendengarnya dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Lalu aku bertanya hal itu kepada Ali bin Abi Thalib, az-Zubair bin al-Awwam, Thal-hah bin Ubaidullah dan Ubay bin Ka’b radliyallahu anhu maka mereka menyuruhnya dengan yang demikian itu”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy: 292 dan Muslim: 347 ].

عن أبي بن كعب أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِذَا جَامَعَ الرَّجُلَ اْلمـَرْأَةَ فَلَمْ يُنْزِلْ؟ قَالَ: يَغْسِلُ مَا مَسَّ اْلمـَرْأَةَ مِنْهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وَ يُصَلِّي

Dari Ubay bin Ka’b radliyallahu anhu bahwasanya ia berkata, “Wahai Rosulullah apabila seorang lelaki menjimak istrinya lalu tidak keluar air mani?”. Beliau menjawab, “Ia mencuci apa yang mengenai istrinya kemudian ia berwudlu dan sholat”. [HR al-Bukhoriy: 293, Muslim: 346 dan Ahmad: V/ 113, 114. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]

Beberapa dalil di atas menunjukkan tidak wajibnya mandi di awal Islam setelah berjimak dengan istri namun tidak sampai keluar air mani (inzal) tetapi hanyalah dianjurkan untuk mencuci farji atau kemaluannya dan wudlu. Kemudian setelah itu datanglah perintah mandi dari sebab jimak atau bertemunya dua khitan baik keluar air mani ataupun tidak. Hal ini berdasarkan dalil-dalil sebelumnya dan juga atsar di bawah ini,

 عن أبي بن كعب أَنَّ اْلفُتْيَا الَّتىِ كَانُوْا يُفْتُوْنَ أَنَّ اْلمـَاءَ مِنَ اْلمـَاءِ كَانَتْ رُخْصَةً رَخَّصَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ بَدْءِ اْلإِسْلاَمِ ثُمَّ أُمِرَ بِاْلاِغْتِسَالِ بَعْدُ

Dari Ubay bin Ka’b radliyallahu anhu bahwasanya fatwa yang mereka fatwakan bahwasanya air itu dari air merupakan rukhshoh yang diberikan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di awal Islam kemudian diperintahkan mandi sesudah itu. [Telah mengeluarkan atsar ini Abu Dawud: 215, Ibnu Majah: 609, Ahmad: V/ 116 dan Ibnu Khuzaimah: 225. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

Islam adalah agama yang sangat sempurna, tiada sesuatupun yang dapat memasukkan pemeluknya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka niscaya agama ini telah menjelaskannya dengan terang. Jika setiap muslim membaca, menelaah dan berusaha memahami ajaran agamanya yang berdasarkan alqur’an dan hadits-hadits shahih niscaya ia akan menjumpai berbagai kebaikan dan faidah. Yakni masalah hubungan seksual yang merupakan kebutuhan bagi setiap manusia telah dijelaskan dengan santun, gamblang dan sempurna. Islam tidak hanya menjelaskan tentang tata cara dan adab berhubungan intim, faidah-faidah dan selainnya. Namun juga mengajarkan tentang perintah dan tata cara mensucikan diri darinya berupa mandi janabat ini.

3). Terhentinya darah haidl dan nifas

Hal lainnya yang mewajibkan mandi adalah terhentinya kaum perempuan dari darah haidl atau nifas. Haidl adalah darah alami yang mengalir keluar dari dalam rahim perempuan melalui farjinya, pada waktu yang diketahui dan tanpa melalui sebab. Darah haidl biasanya keluar selama tujuh atau sepuluh atau yang terlama lima belas hari. Setiap perempuan mempunyai waktu yang berbeda di dalam mengeluarkan darah haidl.

Sedangkan nifas itu adalah darah yang mengalir keluar dari rahim perempuan dari sebab melahirkan, baik bersamaan dengan kelahiran tersebut, sesudahnya ataupun sebelumnya yang diiringi oleh rasa sakit. Dan keluarnya darah nifas biasanya selama empat puluh hari, bisa berkurang dan bisa juga lebih.

Disaat darah haidl atau nifas dari seorang perempuan telah berhenti, maka disaat itulah ia telah bersih tetapi ia tetap tidak boleh melakukan sholat, shaum dan selainnya sebelum melakukan mandi haidl.

Namun terkadang banyak kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan oleh kaum perempuan yakni di antara mereka ada yang suka menunda-nunda waktu untuk mandi. Ada di antara mereka yang belum mandi padahal mereka sudah bersih dari darah haidl dan kewajiban sholatpun sudah datang kepada mereka, sehingga datang waktu sholat yang lain.

Maka hendaklah mereka sangat memperhatikan masalah ini, yakni jika telah lewat masa haidl mereka lantaran darahnya sudah berhenti dan keadaan mereka sudah bersih, hendaklah mereka bersegera untuk menunaikan mandi haidl sebagaimana telah disyariatkan di dalam alqur’an dan hadits-hadits yang telah tsabit dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan jika mereka tidak mendapatkan air untuk mandi atau akan dapat menimbulkan bahaya jika menggunakan air, maka tidak mengapa mereka bertayammum dengan debu. Namun tatkala mereka telah mendapatkan air atau bahaya menggunakan air sudah hilang maka wajib bagi mereka untuk mandi dengan mandi haidl.

عن عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ حُبَيْشٍ سَأَلَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: إِنيِّ أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ فَقَالَ: لاَ إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ وَ لَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ اْلأَيَّامِ الَّتيِ كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَ صَلِّي

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Fatimah binti Hubaisy pernah bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata, “Sesungguhnya aku sedang istihadlah, maka aku tidak bersih, bolehkah aku meninggalkan sholat?”. Beliau bersabda, “Tidak, sesungguhnya yang demikian itu adalah cairan penyakit, tetapi tinggalkanlah sholat seukuran hari yang biasanya engkau haidl kemudian mandi dan sholatlah”. [HR al-Bukhoriy: 325, 228, 306, 320, 331, Muslim: 333, an-Nasa’iy: I/ 122, 124, Ahmad: VI/ 194 dan ad-Darimiy: I/ 198. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

Kalimat, ((Tinggalkanlah sholat seukuran hari yang biasanya engkau haidl kemudian mandi dan sholatlah)), menunjukkan bahwasanya jika seorang perempuan haidl dan telah selesai dari haidlnya maka ia wajib mandi sebelum menunaikan sholat.

Berkata asy-Syaikh Sayyid Sabiq, ”Meskipun hadits ini datang mengenai haidl, namun nifas itu keadaannya sama seperti haidl sesuai dengan ijmak para shahabat”. [19]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, ”Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa perempuan itu apabila ia dapat membedakan darah haidl dan darah istihadlah maka ia menguji darah haidl dan bertindak atas maju mundurnya. Lalu apabila selesai kadar (waktu)nya ia mandi darinya kemudian jadilah hukum darah istihadlah itu seperti hukum hadats yang ia berwudlu setiap kali sholat. Tetapi ia tidak boleh sholat dengan wudlu tersebut lebih dari satu sholat fardu yang ditunaikan atau dilaksanakan karena zhahirnya sabda Nabi ((kemudian berwudlulah setiap kali sholat))”. [20]

عن عائشة قَالَتْ: اسْتُحِيْضَتْ أُمُّ حَبِيْبَةَ بِنْتُ جَحْشٍ امْرَأَةُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَ هِيَ أُخْتُ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ فَاسْتَفْتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِنَّ هَذِهِ لَيْسَتْ بِاْلحَيْضَةِ وَ لَكِنْ هَذَا عِرْقٌ فَإِذَا أَدْبَرَتِ اْلحَيْضَةُ فَاغْتَسِلِيْ وَ صَلِّي وَ إِذَا أَقْبَلَتْ فَاتْرُكِيْ لَهَا الصَّلاَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ: فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلاَةٍ وَ تُصَلِّي وَ كَانَتْ تَغْتَسِلُ أَحْيَانًا فىِ مِرْكَنٍ فىِ حُجْرَةِ أُخْتِهَا زَيْنَبَ وَ هِيَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم حَتىَّ أَنَّ حَمْرَةَ الدَّمِ لَتَعْلُو اْلمـَاءَ وَ تَخْرُجُ فَتُصَلِّي مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَمَا َيمْنَعُهَا ذَلِكَ مِنَ الصَّلاَةِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Ummu Habibah binti Jahsyi istrinya Abdurrahman bin Auf pernah istihadlah dan ia juga adalah saudara perempuannya Zainab binti Jahsyi”. Ia meminta fatwa kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Maka bersabdalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepadanya, “Sesungguhnya ini bukanlah (darah) haidl tetapi cairan penyakit. Apabila haidl telah berlalu maka mandi dan sholatlah dan apabila (haidl) datang maka tinggalkan sholat”. Aisyah berkata, “Maka ia mandi setiap kali sholat dan menunaikan sholat. Kadang-kadang ia mandi di tempat cuci di kamar saudarinya yaitu Zainab sedangkan ia ada di sisi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sehingga merah darahnya benar-benar mengalahkan (atau melebihi warna) air. Lalu ia keluar dan sholat bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan Beliau tidak mencegahnya dari sholat”. [HR an-Nasa’iy: I/ 118-119, al-Bukhoriy: 326, Muslim: 334 dan al-Hakim: 635. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

Kalimat, ((apabila haidl telah berlalu maka mandi dan sholatlah)) membuktikan bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan perempuan yang telah usai masa haidlnya untuk mandi dan baru kemudian sholat.

عنها أَنَّ أَسمْاَءَ سَأَلَتِ النَّبِيَّ  صلى الله عليه و سلم عَنْ غَسْلِ اْلمـَحِيْضِ ؟ فَقَالَ: تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَ هَا وَ سِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا حَتىَّ تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَتْ أَسمْاَءُ: وَ كَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ تَطَهَّرِيْنَ بِهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ (كَأَنهَّاَ تُخْفِى ذَلِكَ): تَتَّبَعِيْنَ أَثَرَ الدَّمِ وَ سَأَلْتُهُ عَنْ غُسْلِ اْلجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطَّهُوْرَ أَوْ تُبْلِغُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتىَّ تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيْضُ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ اْلحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فىِ الدِّيْنِ

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Asma’ pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang mandi haidl. Beliau menjawab, ”Hendaklah seseorang di antara kalian mengambil air dan daun sidrahnya (sekarang ini misalnya sabun). Lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia menuangkan (air) di atas kepalanya lalu menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga mencapai ujung kepala. Selanjutnya ia menuangkan air (ke seluruh tubuhnya), kemudian mengambil kain yang diberi wewangian lalu ia membersihkan dengannya”. Asma berkata, ”Bagaimana cara membersihkan dengannya?”. Beliau bersabda, ”Subhanallah, engkau bersihkan dengannya”. Aisyah berkata (seolah-olah ia merahasiakan hal itu), ”Iikutilah sisa-sisa darah”. Asma juga bertanya tentang mandi janabat. Beliau menjawab, ”Hendaklah ia mengambil air lalu ia bersuci dan membaguskan atau menyempurnakan bersucinya. Kemudian menuangkan air di atas kepalanya dan menggosok-gosoknya sehingga sampai keujung kepala lalu mengguyurkan air atasnya”. Aisyah berkata, ”Sebaik-baik perempuan adalah perempuan anshor karena rasa malu tidak mencegah mereka untuk memahami agama”. [HR Muslim: 332, al-Bukhoriy: 314, 315, 7357, an-Nasa’iy: I/ 136-137, Abu Dawud: 314, 315, 316, Ibnu Majah: 642 dan Ahmad: VI/ 122, Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]

Pertanyaan Asma binti Syakl radliyallahu anha [23] kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang kaifiyat (tata cara) mandi haidl di atas menunjukkan bahwa umat Islam generasi pertama dari kalangan perempuan itu telah sangat memahami akan kewajiban mandi haidl tatkala telah bersih darinya. Wallahu a’lam.

4). Kematian

Di antara mandi yang diwajibkan adalah memandikan mayat atau jenazah. Jika seorang muslim wafat maka amalan yang mesti dikerjakan oleh kaum muslimin lainnya yang masih hidup adalah memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkannya.

Di dalam memandikan jenazah itu disyariatkan untuk memulai dari sebelah kanan dan anggota-anggota wudlu dari jenazah. Hal ini berdasar dalil hadits di bawah ini,

     عن أم عطية الأنصارية رضي الله عنها قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم حِيْنَ تُوُفِّيَتِ ابْنَتُهُ فَقَالَ: اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِذَا رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَ سِدْرٍ وَ اجْعَلْنَ فىِ اْلآخِرَةِ كَافُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنىِ فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ فَأَعْطَانَا حَقْوَهُ فَقَالَ: أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ تَعْنىِ إِزَارَهُ (قَالَتْ: وَ مَشَّطْنَا ثَلاَثَةَ قُرُوْنٍ) (وَ فىِ رِوَايَةٍ: نَقَضْنَهُ ثُمَّ غَسَلْنَهُ) (فَضَفَّرْنَا شَعْرَهَا ثَلاَثَةَ أَثْلاَثٍ قَرْنَيْهَا وَ نَاصِيَتَهَا وَ أَلْقَيْنَاهَا خَلْفَهَا) (قَالَتْ: وَ قَالَ لَنَا: ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَ مَوَاضِعِ اْلوُضُوْءِ مَنْهَا

Dari Ummu Athiyyah al-Anshoriyah radliyallahu anha berkata, ‘Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk kepada kami ketika wafat putrinya”. Beliau bersabda, ”Mandikanlah dia tiga (siraman), lima atau lebih, apabila kalian berpandangan seperti itu dengan air dan daun sidrah (atau sabun) dan jadikanlah diakhir siraman dengan kapur (barus) atau sesuatu dari kapur. Apabila kalian telah selesai khabarkan kepadaku”. Ketika kami telah selesai maka kami mengabarkannya. Lalu beliau memberikan kainnya. Beliau bersabda, ”Pakaikan kain itu kepadanya”. (Berkata Ummu Athiyyah, ”Kami menyisiri (rambut)nya dengan tiga kepangan”). (Di dalam satu riwayat, ”Kami mengurainya lalu mencucinya”). Lalu kami menjalin rambutnya menjadi tiga bagian yaitu dua kepang bagian tanduk dan satu kepang di ubun-ubun. Dan kami meletakkannya ke arah belakang. Berkata (Ummu Athiyyah), ’Beliau bersabda kepada kami, ”Mulailah dari bagian yang kanan-kanan dan anggota-anggota wudlu darinya”. [HR al-Bukhoriy: 1253, 1254, 1257, 1258, 1261, 1263, Muslim: 939, at-Turmudziy: 990, an-Nasa’iy: IV/ 28-29, 30, 31, 32, 33, Abu Dawud: 3142, Ibnu Majah: 1458, 1459 dan Ahmad: V/ 84-85, 407-408. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[24]

عن ابن عباس رضي الله عنهما قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ إِذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ -أَوْ قَالَ: فَأَوْقَصَتْهُ- قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم : اغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَ سِدْرٍ وَ كَفِّنُوْهُ فىِ ثَوْبَيْنِ وَ لاَ تُحَنِّطُوْهُ وَ لاَ تُخَمِّرُوْا رَأْسَهُ فَإِنَّهُ يَبْعَثُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مُلَبِّيًا

     Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, ‘Ketika itu ada sesorang lelaki sedang wukuf di Arafah tiba-tiba ia jatuh dari kendaraannya yang telah melemparkannya”. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mandikanlah dia dengan air dan daun sidrah, kafanilah dia dengan dua kain, janganlah kalian membalseminya dan jangan pula menutupi kepalanya. Karena sesungguhnya ia nanti akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah”. [HR al-Bukhoriy: 1265, 1266, 1267, 1268, 1839, 1849, 1850, 1851, Muslim: 1206, at-Turmudziy: 951, an-Nasa’iy: IV/ 39, V/ 195, 196, 197, Ibnu Majah: 3084, Ahmad: I/ 215, 328, 333 dan ad-Darimiy: II/ 50. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

Dua dalil di atas menerangkan perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada para shahabat untuk memandikan jenazah yaitu jenazah putrinya Zainab radliyallahu anha dan seorang muslim yang terjatuh dari kendaraannya ketika wukuf di Arafah. Dan asal hukum perintah adalah wajib selama tidak ada yang memalingkannya.

 عن عائشة قَالَتْ: َلمــَّا أَرَادُوْا غُسْلَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالُوْا: وَاللهِ مَا نَدْرِي أَنُجَرِّدُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ ثِيَابِهِ كَمَا نُجَرِّدُ مَوْتَانَا أَمْ نَغْسِلُهُ وَ عَلَيْهِ ثِيَابُهُ؟ فَلَمَّا اخْتَلَفُوْا أَلْقَى اللهُ عَلَيْهِمُ النَّوْمَ حَتىَّ مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ إِلاَّ وَ ذَقَنُهُ فىِ صَدْرِهِ ثُمَّ كَلَّمَهُمْ مُكَلِّمٌ مِنْ نَاحِيَةِ اْلبَيْتِ لاَ يَدْرُوْنَ مَنْ هُوَ: أَنِ اغْسِلُوْا النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم  وَ عَلَيْهِ ثِيَابُهُ فَقَامُوْا إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَغَسَلُوْهُ وَ عَلَيْهِ قَمِيْصُهُ يَصُبُّوْنَ اْلمـَاءَ فَوْقَ اْلقَمِيْصِ وَ يَدْلُكُوْنَهُ بِالْقَمِيْصِ دُوْنَ أَيْدِيْهِمْ وَ كَانَتْ عَائِشَةُ تَقُوْلُ: لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِى مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا غَسَلَهُ إِلاَّ نِسَاؤُهُ

            Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ‘Ketika mereka (yakni para shahabat) ingin memandikan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak tahu apakah kami akan melucuti Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari pakaiannya sebagaimana kami melucuti orang yang mati di antara kami ataukah memandikannya dengan memakai pakaiannya?”. Ketika mereka sedang berselisih, Allah menimpakan tidur kepada mereka sehingga tiada seorang lelaki di antara mereka melainkan dagunya bersandar pada dadanya (tertidur). Kemudian berkatalah seseorang yang berkata di pojokan rumah yang mereka tidak mengenal siapa dia, ”Mandikanlah ia dengan mengenakan pakaiannya”. Lalu merekapun berdiri menuju Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kemudian memandikannya dengan tetap mengenakan baju (gamis)nya. Mereka menuangkan air di atas gamis dan menggosok-gosoknya dengan gamis di bawah tangannya. Aisyah berkata, ”Andaikata aku menghadapi urusan maka aku tidak akan membelakanginya (menghindar). Tiada yang memandikannya melainkan istri-istrinya”. [HR Abu Dawud: 3141, Ahmad: VI/ 267, al-Hakim, al-Baihaqiy dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[26]

Apabila seseorang mengalami kematian maka wajiblah bagi segolongan dari kaum muslimin yang masih hidup untuk menyegerakan memandikannya. Yaitu kaum lelaki memandikan mayat lelaki dan kaum perempuan memandikan mayat perempuan, dikecualikan seorang suami memandikan istrinya yang telah wafat dan begitu pula sebaliknya. Diutamakan di dalam memandikan mayat itu orang yang paling mengerti sunnah memandikan, terlebih dari keluarga dan kerabatnya. Di dalam memandikan mayat itu hendaknya seseorang tidak mengharapkan sesuatu imbalan apapun kecuali keridloan Allah semata dan pahala kebaikan dari-Nya. [27]

5). Orang kafir jika masuk Islam

Hidayah untuk menerima dan memeluk agama Islam itu dapat dimiliki oleh siapapun dari manusia yang Allah Azza wa Jalla kehendaki. Sehingga ketika hidayah itu telah menyentuh kalbu, menundukkan hati dan menentramkan jiwanya maka dikala itulah ia mengawalinya dengan mandi, lalu mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda akan keislamannya. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Qois bin Ashim radliyallahu anhu dan yang dilakukan oleh Tsumamah bin Utsal al-Hanafiy radliyallahu anhu di dalam dua hadits berikut ini,

عن قيس بن عاصم قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم أُرِيْدُ اْلإِسْلاَمَ فَأَمَرَنيِ أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَ سِدْرٍ

Dari Qois bin Ashim radliyallahu anhu berkata, ”Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam karena aku ingin (masuk) Islam. Lalu Beliau menyuruhku untuk mandi dengan air dan daun sidrah”.  [HR Abu Dawud: 355, an-Nasa’iy: I/ 109 dan Ahmad: V/ 61. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]

 عن أبي هريرة يَقُوْلُ: إِنَّ ثَمَامَةَ بْنَ أُثَالٍ اْلحَنَفِيَّ انطْلَقَ إِلىَ نَجْلٍ  قَرِيْبٍ مِنَ اْلمـَسْجِدِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ دَخَلَ إِلىَ اْلمـَسْجِدِ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُ رُسُوْلُهُ يَا مُحَمَّدُ ! وَاللهِ مَا كَانَ عَلَى اْلأَرْضِ وَجْهٌ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ وَجْهِكَ فَقَدْ أَصْبَحَ وَجْهُكَ أَحَبَّ اْلوُجُوْهِ كَلِّهَا إِلَيَّ وَ إِنَّ خَيْلَكَ أَخَذَتْنيِ وَ أَنَا أُرِيْدُ اْلعُمْرَةَ فَمَاذَا تَرَى ؟ فَبَشَّرَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  وَ أَمَرَهُ أَنْ يَعْتَمِرَ -مُخْتَصَرًا-

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya Tsumamah bin Utsal al-Hanafiy pergi ke Najal [29] dekat dari masjid. Kemudian ia mandi lalu masuk menuju masjid dan berkata,

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له و أن محمدا عبده و رسوله

“Wahai Muhammad, demi Allah, dahulu tiada wajah di muka bumi yang lebih aku benci selain dari wajahmu. Maka sungguh sekarang wajahmu adalah yang paling aku cintai dari seluruh wajah. Sesungguhnya pasukan kudamu telah menahanku sedangkan aku ingin menunaikan umrah maka bagaimanakah pendapatmu?”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan kabar gembira kepadanya dan menyuruhnya berumrah. -secara ringkas- [HR an-Nasa’iy: I/ 109-110, Muslim: 1764, al-Bukhoriy: 469, 4372, Abu Dawud: 2679, Ibnu Khuzaimah: 252 dan Ahmad: II/ 246, 304, 452, 483. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]

Dalil di atas menunjukan tentang mandinya seseorang apabila hendak masuk Islam. Sebab Islam adalah agama yang bersih dan indah serta mencintai kebersihan dan keindahan.

6). Mandi jum’at

Perkara lain yang mensyariatkan wajibnya mandi adalah tatkala seorang muslim hendak menunaikan sholat jum’at.

Dan untuk pembahasan mandi jum’at telah diuraikan pada beberapa pembahasan yang lalu di dalam blog ini juga, di dalam “Hukum mandi Jum’at, Sempurnakan Jum’at anda dengan mandi Jum’at!!. [31]

Silahkan melihat kepada pembahasan tersebut. Semoga bermanfaat untukku, keluargaku dan seluruh kaum muslimin.

Wallahu a’lam bish Showab.


[1]  Fiq-h as-Sunnah: I/ 48.

[2]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 192.

[3] Shahih Sunan Ibni Majah: 486 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2187.

[4]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 191 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 484.

[5]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 190 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 217.

[6] Shahih Sunan Ibni Majah: 485, Shahiih Sunan an-Nasa’iy: 194, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1342 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5501.

[7] Shahih Sunan Ibni Majah: 407, Shahih Sunan at-Turmudziy: 99, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5910 dan Misykah al-Mashobih: 311.

[8] Shahih Sunan at-Turmudziy: 98, Shahih Sunan Abi Dawud: 216, Shahih Sunan Ibni Majah: 496 dan Misykah al-Mashobih: 441.

[9] Shahih Sunan Abi Dawud: 200, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 165, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 185, 186, Shahih Sunan Ibni Majah: 494, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 736 dan Misykah al-Mashobih: 430.

[10] Mukhtashor Shahih Muslim: 152, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 480 dan Irwa’ al-Ghalil: 80, 127.

[11] Shahih Sunan Ibni Majah: 492, Shahih Sunan at-Turmudziy: 94, Irwa’ al-Ghalil: 80, silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1261 dan Misykah al-Mashobih: 442.

[12] Shahih Sunan at-Turmudziy: 95, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 476 dan Misykah al-Mashobih: 442.

[13] Maksudnya timbul rasa malas sehingga tidak keluarnya air mani.

[14] Hanyalah air maksudnya wajib menggunakan air yakni mandi dari sebab air maksudnya keluarnya air yang memancar yaitu mani. [Catatan kaki pada Misykah al-Mashobih: I/ 135 dan Fat-h al-Bariy: I/ 398].

[15] Shahih Sunan Abi Dawud: 201, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 193, Shahih Sunan at-Turmudziy: 97, Shahih Sunan Ibni Majah: 607, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2329 dan Misykah al-Mashobih: 431.

[16]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 166.

[17]  Shahih Sunan Abi Dawud: 199 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 493.

[18]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 206, 212, 213, Irwa’ al-Ghalil: 195, 203 dan Misykah al-Mashobih: 557.

[19]  Fiq-h as-Sunnah: I/ 50.

[20]  Fat-h al-Bariy: I/ 409-410.

[21]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 198.

[22] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 177, Mukhtashor Shahih Muslim: 172,  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 245, Shahih Sunan Abi Dawud: 306, 307, 308, Shahih Sunan Ibni Majah: 525 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2903.

[23]  Fat-h al-Bariy: I/ 415.

[24]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 789, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1774, 1777, 1778, 1779, 1781, 1782, 1785, 1786, Shahih Sunan Ibni Majah: 1193, 1194, Irwa’ al-Ghalil: 129 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 65.

[25] Shahih Sunan at-Turmudziy: 759, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1796, 2671, 2672, 2673, 2674, 2675, 2676, Shahih sunan Ibni Majah: 2503, Irwa’ al-Ghalil: 130 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 22-23.

[26] Shahih Sunan Abi Dawud: 2693 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 66.

[27] Untuk lebih jelas baca kitab “Ahkam al-Jana’iz wa bida’uha” disusun oleh asy-Syaikh al-Albaniy dari halaman 64-75.

[28] Shahih Sunan Abi Dawud: 342, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 182, Irwa’ al-Ghalil: 128 dan Misykah al-Mashobih: 543.

[29] Kumpulan (kebun) pohon kurma yang ada aliran airnya.

[30] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 183, Shahih Sunan Abi Dawud: 2331 dan Irwa’ al-Ghalil: 1216.

SUDAHKAH ANDA MANDI HARI INI???

DISYARIATKANNYA MANDI

بسم الله الرحمن الرحيم

Mandi yang dimaksud di sini bukan bak mandi3mandi seperti yang dilakukan oleh manusia setiap harinya. Yakni mengguyur seluruh tubuhnya dengan air sepuasnya lalu menggosok-gosok dengan sabun atau sesekali menggunakan shampo atau selainnya. Hal tersebut dilakukan tanpa sengaja berniat untuk mandi janabat, haidl ataupun nifas atau tanpa mengerjakan aturan-aturan mandi sebagaimana telah dipahami dalam kaidah-kaidahnya.

Namun mandi di dalam pembahasan ini adalah mandi yang dikerjakan ketika hendak menunaikan sholat yang dikarenakan adanya alasan sesuatu semisal karena junub lantaran mimpi atau melakukan hubungan suami istri, terhentinya darah haidl atau nifas dan selainnya. Dan mandi itupun dilaksanakan dengan beberapa aturan semisal berniat unruk mandi, mengucapkan tasmiyah, mengerjakan wudlu dan seterusnya.

قال الله سبحانه و تعالى ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَ أَنتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَ لَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا))

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ((Wahai orang-orang beriman janganlah kalian mendekati sholat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan. Dan janganlah pula dalam keadaan junub sampai kalian mandi kecuali hanya sekedar untuk melewati jalan… Q.S. an-Nisa’/4: 43 )).

Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ”Merupakan dalil bagi apa yang dipegang oleh tiga imam yaitu Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i bahwasanya diharamkan bagi orang junub untuk berdiam diri di dalam masjid sampai ia mandi atau tayammum jika tiada air atau ia tidak mampu menggunakannya dengan caranya”.[1]

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, ”Wajibnya mandi atas orang yang junub yaitu orang yang mengalami janabat dengan sebab mimpi lalu ia melihat air (mani) atau menjimak istrinya yakni ia memasukkan kemaluannya ke dalam farji istrinya walaupun tidak mengeluarkan air (mani)”. [2]

قال الله سبحانه و تعالى ((وَ إِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا))

            Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ((maka apabila kalian junub maka bersucilah)). [QS. Al-Ma’idah/ 5: 6].

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Yaitu mandilah dengan air”. [3]

Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah , ”Yaitu mandilah”. [4]

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Apabila kalian junub maka bersucilah)) yaitu jika seseorang di antara kalian mengalami junub dari sebab jimak dan mimpi. Maka barangsiapa yang menjimak istrinya yaitu memasukkan farjinya ke dalam farji istrinya walaupun tidak inzal yakni tidak mengeluarkan air mani maka berarti ia telah junub. Sebagaimana seseorang mimpi lalu keluar air mani darinya maka iapun telah junub. Bahkan semua orang yang keluar mani dari sebab merasakan suatu kenikmatan di dalam tidur ataupun terjaga maka sungguh-sungguh ia telah junub. Dan terhentinya darah haid seorang wanita atau darah nifasnya sama seperti junub yang mewajibkan mandi darinya. Firman-Nya; ((maka bersucilah)) yang diinginkan adalah maka mandilah. Sunguh-sungguh sunnah telah menjelaskan tentang cara mandi yaitu seseorang niat menghilangkan hadats besar dengan hatinya, membasuh kedua telapak tangannya sambil mengucapkan “bismillah” , mencuci farjinya dan (kotoran) yang ada disekitarnya kemudian berwudlu dengan wudlu yang telah dikenal. Kemudian menyela-nyela akar rambutnya dengan basahan kedua tangannya. Kemudian membasuh kepalanya tiga kali. Kemudian menuangkan air ke atas sebelah tubuhnya yang kanan seluruhnya dari atas sampai bawah, lalu yang kiri. Diutamakan menjaga tempat-tempat yang kadang-kadang air tidak mengenainya seperti pusar, bawah ketiak dan juga kedua pangkal paha”. [5]

Ayat dan penafsiran di atas menjelaskan kepada setiap umat Islam bahwasanya orang junub tidak boleh mendekati apalagi menunaikan sholat sehingga ia mandi, yakni mandi janabat.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَ عُدِّلَتِ الصُّفُوْفُ قِيَامًا فَخَرَجَ إِلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَلَمَّا قَامَ فىِ مُصَلاَّهُ ذَكَرَ أَنَّهُ جُنُبٌ فَقَالَ لَنَا: مَكَانَكُمْ ثُمَّ رَجَعَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَيْنَا وَ رَأْسُهُ يَقْطُرُ فَكَبَّرَ فَصَلَّيْنَا مَعَهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “Sholat telah diikomatkan dan shaff telah diluruskan, lalu keluarlah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada kami. Ketika beliau telah berdiri di tempat sholat, beliau teringat masih dalam keadaan junub. Lalu beliau bersabda kepada kami, “Tetaplah di tempat kalian!”. Kemudian beliau kembali dan mandi lalu keluar kepada kami sedangkan kepalanya masih menetes (air). Lalu Beliau bertakbir dan kamipun sholat bersamanya. [HR al-Bukhoriy: 275, 639, 640, Muslim: 605, Abu Dawud: 235, an-Nasa’iy: II/ 81-82, 89 dan Ahmad: II/ 283. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih].[6]

عن أبي بكرة  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم دَخَلَ فىِ صَلاَةِ اْلفَجْرِ فَأَوْمَأَ بِيَدِهِ أَنْ مَكَانَكُمْ ثُمَّ جَاءَ وَ رَأْسُهُ يَقْطُرُ فَصَلَّى بِهِمْ (و فى رواية: وَ قَالَ فىِ آخِرِهِ: فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَ إِنيِّ كُنْتُ جُنُبًا)

            Dari Abi Bakrah radliyallahu anhu bahwasanya  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam masuk untuk sholat fajar. Lalu ia memberi isyarat dengan tangannya, ”Tetaplah di tempat kalian. Kemudian Beliau datang sedangkan kepalanya mengucurkan (air) lalu Beliau sholat dengan mereka”. (Di dalam satu riwayat, dan ia berkata di akhirnya, ”Ketika Beliau selesai dari sholatnya, Beliau bersabda, ”Aku ini hanyalah manusia dan sesungguhnya aku tadi malam keadaan junub”). [HR Abu Dawud: 233, 234 dan Ahmad: V/ 41. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

Dalil-dalil hadits di atas menjelaskan bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menangguhkan sholat fajar dan menyuruh para sahabat radliyallahu anhum untuk tetap di tempat lalu beliau pergi mandi. Padahal waktu itu Beliau sudah berada di hadapan mereka, ikomah sudah didengungkan dan shaffpun sudah diluruskan, karena Beliau teringat masih dalam keadaan junub dan belum mandi janabat. Maka Beliaupun tidak bertakbir untuk memulai sholat. Hal ini menunjukan bahwasanya sholat seseorang itu tidak sah jika dalam keadaan junub sampai ia mandi janabat, sebagaimana tidak sahnya orang sholat dalam keadaan mabuk. Oleh sebab itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menegur Amr bin al-Ash radliyallahu anhu karena Beliau menyangkanya sholat dalam keadaan junub tetapi ketika Amr menerangkan kepada Beliau bahwasanya ia telah bertayammum dan menjelaskan juga akan udzurnya maka Beliaupun tertawa dan tidak menyangkalnya.

            عن عمرو بن العاص قَالَ: احْتَلَمْتُ فىِ لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فىِ غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابىِ الصُّبْحَ فَذَكَرُوْا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا عَمْرُو صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِكَ وَ أَنْتَ جُنُبٌ؟ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي مَنَعَنيِ مِنَ اْلاِغْتِسَالِ وَ قُلْتُ: إِنيِّ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ((وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا)) فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا

Dari Amr bin al-Ash radliyallahu anhu berkata, ”Aku pernah bermimpi di suatu malam yang sangat dingin pada waktu perang Dzat as-Salasil. Aku khawatir jika aku mandi maka aku akan binasa. Lalu aku tayammum kemudian sholat shubuh bersama para shahabatku”. Lalu mereka menceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, ”wahai Amr, engkau sholat bersama para shahabatmu sedangkan engkau dalam keadaan junub?”. Lalu aku khabarkan kepada Beliau penyebab yang mencegahku dari mandi. Dan aku berkata, ”sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman, ((dan janganlah kalian membunuh diri kalian sesungguhnya Allah amat penyayang kepada kalian. QS. An-Nisa’/4: 29))”. Maka tertawalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallamdan tidak berkata sesuatu apapun. [HR Abu Dawud: 334, Ahmad: IV/ 203-204, al-Hakim: 648 dan al-Bukhoriy secara ta’liq di dalam Fat-h al-Bariy: I/ 454. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, ”Di dalam hadits ini diperbolehkan tayammum bagi orang yang khawatir jatuh ke dalam kebinasaan dari sebab menggunakan air (yaitu mandi), sama saja karena cuaca dingin atau selainnya. Diperbolehkan sholat orang yang tayammum bersama orang yang berwudlu dan diperbolehkan berijtihad di masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. [9]

عن عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ حُبَيْشٍ سَأَلَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: إِنيِّ أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ فَقَالَ: لاَ إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ وَ لَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ اْلأَيَّامِ الَّتيِ كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَ صَلِّي

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Fatimah binti Hubaisy pernah bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata, “Sesungguhnya aku sedang istihadlah, maka aku tidak bersih, bolehkah aku meninggalkan sholat?”. Beliau bersabda, “Tidak, sesungguhnya yang demikian itu adalah cairan penyakit, tetapi tinggalkanlah sholat seukuran hari yang biasanya engkau haidl kemudian mandi dan sholatlah”. [HR al-Bukhoriy: 325, 228, 306, 320, 331, Muslim: 333, an-Nasa’iy: I/ 122, 124, Ahmad: VI/ 194 dan ad-Darimiy: I/ 198. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, ”Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa perempuan itu apabila ia dapat membedakan darah haidl dan darah istihadlah maka ia menguji darah haidl dan bertindak atas maju mundurnya. Lalu apabila selesai kadar (waktu)nya ia mandi darinya kemudian jadilah hukum darah istihadlah itu seperti hukum hadats yang ia berwudlu setiap kali sholat. Tetapi ia tidak boleh sholat dengan wudlu tersebut lebih dari satu sholat fardu yang ditunaikan atau dilaksanakan karena zhahirnya sabda Nabi ((kemudian berwudlulah setiap kali sholat))”.[11]

Kalimat, ((Tinggalkanlah sholat seukuran hari yang biasanya engkau haidl kemudian mandi dan sholatlah)), menunjukkan bahwasanya jika seorang perempuan haidl dan telah selesai dari haidlnya maka ia wajib mandi sebelum menunaikan sholat.

Maka dengan beberapa dalil di atas, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk mandi dengan mandi yang sesuai dengan syariat. Oleh sebab itu, wajib bagi kita sebagai umat Islam untuk mempelajari dan memahami kaidah-kaidah agama kita dengan benar dan bersungguh-sungguh agar ibadah kita kepada Allah ta’ala juga benar dan mendapatkan balasan dan ganjaran kebaikan dari-Nya. Termasuk di dalamnya mempelajari dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan wudlu, mandi, sholat dan selainnya.

Semoga bermanfaat  bagi kita semua.

Wallahu a’la bish Showab.


[1]  Tafsir al-Qur’an al-Azhim: I/ 621.

[2] Aysar at-Tafasir: I/ 484.

[3] Fat-h al-Qodir: II/ 23

[4] Tafsir al-Baghowiy: II/ 16.

[5] Aysar at-Tafasir: I/ 599, 484.

[6] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 158, Shahih Sunan Abi Dawud: 215, Shahiih Sunan an-Nasa’iy: 764, 779.

[7] Shahih Sunan Abi Dawud: 213, 214.

[8] Shahih Sunan Abi Dawud: 323, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: I/ 99 (67), dan Irwa’ al-Ghalil: 154.

[9]  Fat-h al-Bariy: I/ 454.

[10]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 206, 212, 213, Irwa’ al-Ghalil: 195, 203 dan Misykah al-Mashobih: 557.

[11]  Fat-h al-Bariy: I/ 409-410.

SEMPURNAKAN JUM’AT ANDA DENGAN MANDI JUM’AT!!

HUKUM MANDI JUM’AT

بسم الله الرحمن الرحيــم

Banyak perbincangan di antara kaum musbak mandi1limin seputar mandi pada hari jum’at yaitu ketika seseorang di antara mereka hendak menunaikan kewajiban sholat jum’at. Apakah mandi itu hukumnya wajib atau hanya dianjurkan atau boleh-boleh saja?. Mereka mempersoalkan karena memiliki latar belakang yang berbeda. Biasanya pengetahuan agama dan kesibukanlah yang sangat menentukan perbedaan tersebut. Jika sudah berbeda maka jika seorang muslim yang memiliki pemahaman agama yang rendah apalagi faktor kesibukan yang menghimpit, maka ia akan memudah-mudahkannya tanpa mau mengetahui dasarnya. Berbeda dengan orang yang mempunyai pemahaman agama yang baik dan benar, meskipun ia memiliki kesibukan yang padat niscaya ia akan berusaha mengamalkan aturan agama yang dipahaminya dengan sungguh-sungguh, karena kepada dalil-dalil yang hak ia selalu berpijak dan berpihak.

Lalu yang jadi persoalan di antara mereka juga adalah mandi yang dimaksud itu apakah mandi biasa seperti mandi sehari-hari berupa mengguyur air ke seluruh tubuh mereka atau mandi khusus yaitu mandi janabat?

Oleh sebab itu, di dalam pembahasan ini, hanya akan disebutkan banyak dalil hadits-hadits shahih yang berkenaan dengan mandi pada hari jum’at, dan mandi yang dimaksud adalah mandi janabat. Asal hukum mandi janabat bagi orang  yang hendak mengerjakan sholat jum’at adalah dianjurkan sebagaimana di dalam hadits-hadits berikut ini,

عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ فَدَنَا وَ اسْتَمَعَ وَ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ وَ زِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَ مَنْ مَسَّ اْلحَصَى فَقَدْ لَغَى

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa berwudlu lalu membaguskan wudlunya kemudian mendatangi jum’at lalu mendekat (kepada imam), menyimak dan diam maka diampunilah (dosa)nya antaranya dan antara jum’at (berikutnya) serta ada tambahan tiga hari. Barangsiapa yang menyentuh (memain-mainkan) kerikil maka sungguh-sungguh telah sia-sia”. [HR at-Turmudziy: 498, Muslim: 857 (27), Abu Dawud: 1050 dan Ibnu Majah: 1090. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 412, Shahih Sunan Abi Dawud: 927, Shahih Sunan Ibni Majah: 894, Shahih al-Jami’ ash-Shagiir: 6179 dan Misykah al-Mashobih: 1383].

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ”Di dalam hadits ini bukan menafikan (meniadakan) mandi karena sungguh-sungguh telah datang dari arah yang lain di dalam dua kitab shahih dengan lafazh, ((”barangsiapa mandi”)) maka hal tersebut mengandung penyebutan wudlu bagi orang yang telah terdahulu mandinya untuk pergi. Maka ia membutuhkan pengulangan wudlu” [Lihat Fat-h al-Bariy: II/ 362].
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, ”Kesimpulannya adalah bahwa hadits-hadits yang menerangkan wajib mandi jum’at, di dalamnya merupakan hukum tambahan atas hadits-hadits yang bersifat penganjuran, dan hal tersebut tidak saling bertentangan. Dan menjadi suatu kewajiban adalah mengambil yang mengandung tambahan darinya” [Yaitu yang menetapkan hukum wajib mandi bagi yang pergi berangkat jum’at. Lihat Tamam al-Minah halaman 120 dan baca juga al-Ajwibah an-Nafi’ah halaman 89-91].

عن سمرة بن جندب قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ اْلجُمُعَةَ فَبِهَا وَ نِعْمَتْ وَ مَنِ اغْتَسَلَ فَاْلغُسْلُ أَفْضَلُ

Dari Samurah bin Jundub berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa berwudlu pada hari jum’at maka ia telah mendapatkan sunnah dan juga kebaikannya. Dan barangsiapa yang mandi maka mandi itu lebih utama”. [HR at-Turmudziy: 497, Abu Dawud: 354, an-Nasa’iy: III/ 94, Ibnu Majah: 1091 dan Ahmad: V/ 8. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 411, Shahih Sunan Abi Dawud: 895, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1307, Shahih Sunan Ibni Majah: 895, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6180 dan Misykah al-Mashobih: 540].

Beberapa dalil di atas menjelaskan tentang sanjungan atas orang yang berwudlu ketika berangkat untuk menunaikan sholat Jum’at. Tetapi orang yang mandi pada hari itu untuk menunaikannya kedudukannya lebih utama dari orang yang hanya sekedar berwudlu. Kemudian datang beberapa dalil hadits lain yang memerintahkan untuk mandi setiap kali hendak melakukan ibadah sholat jum’at dan bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mewajibkannya sebagaimana berikut ini,

عن عائشة قَالَتْ: كَانَ النَّاسُ يَنْتَابُوْنَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ مِنْ مَنَازِلِهِمْ وَ اْلعَوَاليِ فَيَأْتُوْنَ فىِ اْلعَبَاءِ وَ يُصِيْبُهُمُ اْلغُبَارُ فَتَخْرُجُ مِنْهُمُ الرِّيْحُ فَأَتَى رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِنْسَانٌ مِنْهُمْ -وَ هُوَ عِنْدِي- فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : لَوْ أَنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya ia berkata, “Manusia datang menghadiri jum’at dari rumah-rumah mereka yaitu dari al-Awaliy (al-Awaliy adalah nama suatu tempat yang berjarak sekitar empat mill atau lebih dari kota Madinah. [Fat-h al-Bariy: II/ 386]). Mereka datang dengan mengenakan mantel dan debu juga menimpa mereka. Maka keluarlah bebauan dari mereka. Datanglah salah seorang dari mereka kepada Rosulullah saw sedangkan Beliau ada di sisiku. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Andaikan kalian bersuci (mandi) untuk hari kalian ini”. [HR Muslim: 847, al-Bukhoriy: 902, an-Nasa’iy: III/ 93-94 dan Abu Dawud: 352. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 481, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1306 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 339].

عن أبي سعيد الخدري عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اْلغُسْلُ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Mandi pada hari jum’at itu wajib bagi setiap orang yang telah bermimpi (atau baligh)”. [HR al-Bukhoriy: 858, 879, 880, 895, 2665, Muslim: 846, Abu Dawud: 341, 344, an-Nasa’iy: III/ 92, 93, Ibnu Majah: 1089, Ahmad: III/ 6 dan ad-Darimiy: I/ 361. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 470, Mukhtashor Shahih Muslim: 405, Shahih Sunan Abi Dawud: 329, 332, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1302, 1304, Shahih Sunan Ibni Majah: 893, Irwa’ al-Ghalil: 143, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4155, 4177, 4178 dan Misykah al-Mashobih: 538].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Mandi jum’at itu wajib pada hak setiap orang yang telah sampai kewajiban melakukan jum’at baginya”. [Bahjah an-Nazhirin: II/ 315].

عن حفصة عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ رَوَاحُ اْلجُمُعَةِ وَ عَلَى كُلِّ مَنْ رَاحَ إِلىَ اْلجُمُعَةِ اْلغُسْلُ

Dari Hafshah radliyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wajib bagi tiap yang telah bermimpi untuk berangkat jum’at dan wajib bagi yang berangkat jum’at untuk mandi”. [HR Abu Dawud: 342. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 330 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4036].

عن ابن عمر أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ اْلجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “apabila seseorang di antara kalian hendak mendatangi jum’at maka mandilah”. [HR al-Bukhoriy: 877, 893, 919, Muslim: 844, an-Nasa’iy: III/ 93 dan Ibnu Majah: 1088. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 468, Mukhtashor Shahih Muslim: 404, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1303, Shahih Sunan Ibni Majah: 892, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 458, 559, Irwa’ al-Ghalil: 145 dan Misykah al-Mashobih: 537].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajibnya mandi untuk hari jum’at”. [Bahjah an-Nazhirin: II/ 315].

عن ابن عباس قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيْدٍ جَعَلَهُ اللهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ فَمَنْ جَاءَ إِلىَ اْلجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ وَ إِنْ كَانَ طِيْبٌ فَيَمَسَّ مِنْهُ وَ عَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ini adalah hari raya yang telah dijadikan oleh Allah bagi kaum muslimin. Barangsiapa yang datang kepada jum’at maka mandilah, jika ia memiliki harum-haruman maka kenakanlah dan wajib bagi kalian agar bersiwak”. [HR Ibnu Majah: 1098. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 901, Shahih al-Jami’ ash- Shaghir: 2258 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1398].

عن أوس بن أوس الثقفي قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ اغْتَسَلَ وَ بَكَّرَ وَ ابْتَكَرَ وَ مَشَى وَ لَمْ يَرْكَبْ وَ دَنَا مِنَ اْلإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَ لَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَ قِيَامِهَا

Dari Aus bin Aus ats-Tsaqofiy radliyallahu anhu berkata, ”aku pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa menjimak (istrinya) [Perkataan غسّل yaitu menjimak istrinya lalu ia membutuhkan mandi. Yang demikian itu agar lebih menjaga (pandangan) di dalam perjalanannya apabila ia keluar menuju jum’at dan mandi setelah berjimak. Dan بكّر yaitu mendatangi sholat di awal waktunya dan ابتكر (bergegas) untuk mendapatkan awal khutbah. [Catatan kaki dari Misykah al-Mashobih: I: 437 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: I/ 290. Baca pula Bahjah an-Nazhirin: II/ 318] pada hari jum’at dan mandi (dari sebabnya), bersegera datang dan bergegas, berjalan dan tidak berkendaraan, menyimak dan tidak berbicara maka baginya setiap langkahnya sebanding dengan amalan setahun pahala shoum dan menegakkannya”. [HR Ibnu Majah: 1087, Abu Dawud: 345, at-Turmudziy: 496, Ahmad: II/ 209 dan al-Hakim: 1081, 1082. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 891, Shahih Sunan Abi Dawud: 333, Shahih Sunan at-Turmudziy: 410, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6405, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 690 dan Misykah al-Mashobih: 1388].

عن ابن عمر cأَنَّ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ بَيْنَمَا هُوَ قَائِمٌ فىِ اْلخُطْبَةِ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ إِذْ دَخَلَ رَجُلٌ مِنَ اْلمـُهَاجِرِيْنَ اْلأَوَّلِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَنَادَاهُ عُمَرُ: أَيَّةُ سَاعَةٍ هَذِهِ؟ قَالَ: إِنيِّ شُغِلْتُ فَلَمْ أَنْقَلِبْ إِلىَ أَهْلِي حَتىَّ سَمِعْتُ التَّأْذِيْنَ فَلَمْ أَزِدْ أَنْ أَتَوَضَّأَ فَقَالَ: وَ اْلوُضُوْءُ أَيْضًا؟ وَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يَأْمُرُ بِاْلغُسْلِ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu ketika ia sedang berdiri Khutbah pada hari jum’at tiba-tiba masuklah seseorang dari golongan Muhajirin yang pertama-tama dari shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Umar menyerunya, “Waktu apa ini?”. Ia menjawab, “Aku memiliki kesibukan dan tidak sempat kembali kepada keluargaku sampai aku mendengar adzan maka aku tidaklah menambah lebih dari berwudlu”. Umar berkata, “Dan hanya berwudlu pula?, padahal aku telah mengetahui bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk mandi”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy: 878, 882, Muslim: 845 dan Abu Dawud: 340. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy dan Shahih Sunan Abi Daawud: 328].

عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ غُسْلَ اْلجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَدَنَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَقَرَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ دَجَاجَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ اْلخَامِسَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ اْلمـَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mandi hari jum’at seperti mandi janabat kemudian berangkat maka seolah-olah ia berkurban seekor unta. Barangsiapa yang berangkat pada saat yang kedua maka seolah-olah ia berkurban seekor sapi. Barangsiapa berangkat pada saat yang ketiga maka seolah-olah ia berkurban seekor kambing yang dewasa. Barangsiapa yang berangkat pada waktu yang keempat maka seolah-olah ia berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang berangkat pada saat yang kelima maka seolah-olah ia berkurban sebutir telur. Maka apabila imam telah keluar maka para malaikat hadir untuk mendengarkan khutbah”. [HR al-Bukhoriy: 881, Muslim: 850, an-Nasa’iy: III: 99 dan Abu Dawud: 351. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 471, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1315, Shahih Sunan Abi Dawud: 338, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6063 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 710].

عن أبي ذر رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَأَحْسَنَ غُسْلَهُ وَ تَطَهَّرَ فَأَحْسَنَ طَهُوْرَهُ وَ لَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَ مَسَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ مِنْ طِيْبِ أَهْلِهِ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ وَ لَمْ يَلْغُ وَ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ غُفِرَ لَهُ مِنْ بَيْنِهِ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى

Dari Abu Dzarr radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mandi pada hari jum’at lalu ia membaguskan mandinya, bersuci lalu ia membaguskan bersucinya, memakai dari pakaian yang terbagusnya, menggunakan wewangian keluarganya yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya. Kemudian ia mendatangi jum’at, tidak berbicara dan tidak pula memisahkan antara dua orang (yang sedang duduk) maka diampuni baginya (dosa-dosanya) antaranya dan antara jum’at berikutnya”. [HR Ibnu Majah: 1097. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 900 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6064].

عن سلمان الفارسي قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم : لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ يَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَ يَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ طِيْبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يُخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى

Dari Salman al-Farisiy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at, bersuci apa yang ia sanggupi dari bersuci, menyemprotkan wewangian dari wewangiannya atau menggunakan harum-haruman rumahnya kemudian ia keluar serta tidak memisahkan antara dua orang lalu ia sholat apa yang telah ditetapkan untuknya kemudian ia diam ketika imam berbicara melainkan diampuni baginya apa yang di antaranya dan antara jum’at berikutnya”. [HR al-Bukhoriy: 883, 910. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 473, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7736, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 689 dan Misykah al-Mashobih: 1381].

عن طاووس قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: ذَكَرُوْا أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اغْتَسِلُوْا لِيَوْمِ اْلجُمُعَةِ وَ اغْسِلُوْا رُءُوْسَكُمْ وَ إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا جُنُبًا وَ أَصِيْبُوْا مِنَ الطِّيْبِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: اْلغُسْلُ نَعَمْ وَ أَمَّا الطِّيْبُ فَلاَ أَدْرِي

Dari Thowus, aku berkata kepada Ibnu Abbas, “mereka menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mandilah untuk hari jum’at, basuhlah kepala-kepala kalian meskipun kalian tidak junub dan kenakan sebahagian dari harum-haruman”. Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, ”Kalau mandi ya, tetapi adapun harum-haruman aku tidak tahu”. [HR al-Bukhoriy: 884, 885 dan Muslim: 848. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 474, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1076, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3510 dan Shahih at Targhib wa at-Tarhib: 692].

عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: نَحْنُ اْلآخِرُوْنَ السَّابِقُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ أُوْتُوا اْلكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا وَ أُوْتِيْنَاهُ مِنْ بَعْدِهِمْ فَهَذَا اْليَوْمُ الَّذِي اخْتَلَفُوْا فِيْهِ فَهَدَانَا اللهُ فَغَدًا لِلْيَهُوْدِ وَ بَعْدَ غَدٍ لِلنَّصَارَى فَسَكَتَ ثُمَّ قَالَ: حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَغْتَسِلَ فىِ كُلَّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ يَوْمًا يَغْسِلُ فِيْهِ رَأْسَهُ وَ جَسَدَهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ”Kita adalah orang-orang terakhir tetapi orang-orang yang pertama pada hari kiamat. Mereka diberikan kitab sebelum kita sedang kita diberikan sesudah mereka. Hari ini (maksudnya hari Jum’at) yang mereka berselisih padanya, maka Allah menunjukkan kita (untuk memilihnya), esok untuk kaum yahudi dan lusa untuk kaum Nashrani”. Lalu Beliau diam kemudian bersabda, ”Kewajiban atas setiap muslim untuk mandi satu hari di setiap tujuh hari yang ia membasuh kepala dan tubuhnya”. [HR al-Bukhoriy: 896-897, 898, 3487, Muslim: 849, an-Nasa’iy: III/ 93 dan Ahmad: III/ 304. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 467, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1305, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3154, Irwa’ al-Ghalil: I/ 173 dan Misykah al-Mashobih: 539].

Dalil-dalil hadits di atas dengan gamblang menunjukan disyariatkan dan diwajibkannya mandi jum’at bagi orang yang hendak menunaikan sholat jum’at. Dan dianjurkan pula bagi mereka pada hari jum’at untuk menjimak istrinya, bersegera untuk berangkat ke masjid, berjalan ke arah masjid dengan berjalan kaki tidak berkendaraan, memakai pakaian yang terbaik dan terindah, menggunakan harum-haruman, duduk di dekat dan menghadap imam, tidak memisahkan antara dua orang yang duduk, tidak saling berbicara dengan orang lain dan diam mendengarkan khatib yang sedang berkhuthbah. Maka sepatutnya bagi setiap orang yang menganggap dirinya sebagai muslim untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya. Janganlah mereka dilalaikan dengan perkara-perkara dunia sehingga mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka di dalam mengerjakan amalan-amalan akhirat.
Namun jika seorang muslim yang bekerja di kantor atau sejenisnya, sedangkan di tempatnya bekerja itu tidak dijumpai tempat untuk mandi, maka hendaklah ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mandi jum’at, misalnya dengan menumpang mandi di kantor atau masjid. Jika ternyata juga sulit dan tidak menjumpainya, maka hendaklah ia mandi di rumah untuk niat sholat jum’at, lalu berangkat dan bekerja sebagaimana biasa kemudian ketika hendak masuk waktu untuk sholat jum’at hendaklah ia memperbaharui wudlunya. Wallahu a’lam.