SAUDARAKU, HADIRKAN NIAT DI DALAM SHOLATMU !!!…

cinta kajian sunnah

cinta kajian sunnah

NIAT DI DALAM SHOLAT

 بسم الله الرحمن الرحيم

Dalil tentang niat di bawah ini menerangkan tentang disyariatkannya niat ketika hendak mengerjakan suatu amalan dari beberapa amalan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Karena tanpa niat, amalan yang dikerjakan oleh seseorang dari kaum muslimin itu akan sia-sia dan tidak akan mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun untuknya di akhirat kelak. Niat itu berupa tujuan atau maksud hati dari mengerjakan amal tersebut yaitu mengharapkan dan mendambakan keridloan Allah Subhanahu wa ta’ala dan balasan kebaikan semata-mata dari-Nya.

Pun demikian di dalam sholat, setiap muslim wajib menghadirkan niat di dalam hatinya tanpa melafazhkannya dengan lisannya. Tanpa menghadirkan niat di dalam hatinya maka sholat yang dikerjakannya tersebut tidak ada nilainya di sisi Allah Azza wa Jalla.

عن علقمة بن وقاص الليثي يَقُوْلُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ رضي الله عنه (يَخْطُبُ ) عَلَى اْلمـِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا النَّاسُ) إِنمَّاَ اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ (و فى رواية: اْلعَمَلُ بِالنِّيَةِ) وَ إِنمَّاَ لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلىَ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا (و فى رواية: يَتَزَوَّجُهَا) فَهِجْرَتُهُ إِلىَ مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

 Dari Alqomah bin Waqqash al-Laitsiy berkata, aku pernah mendengar Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu berkhutbah di atas mimbar seraya berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niatnya (di dalam satu riwayat, “Amal itu tergantung dengan niat”). Dan tiap-tiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang (niat) hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rosul-Nya, tetapi barangsiapa yang (niat) hijrahnya kepada dunia yang ia peroleh atau seorang wanita yang ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang ia hijrahkan”. [HR al-Bukhoriy: 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953, Muslim: 1907, Abu Dawud: 2201. at-Turmudziy: 1647, an-Nasa’iy: I/ 58-60, Ibnu Majah: 4227, Ahmad: I/ 25, Ibnu Khuzaimah: 142, al-Humaidiy: 28 dan ad-Daruquthniy: 128. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

 Berkata asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ikhlas karena Allah merupakan syarat diterimanya amal. Karena Allah tidak akan menerima suatu amal kecuali yang paling ikhlas dan yang paling benar. Adapun yang paling ikhlas adalah selama karena Allah dan yang paling benar adalah selama menyepakati alqur’an dan sunnah”. [2]

Maka setiap amalan yang dikerjakan oleh seorang muslim itu akan bernilai dan diganjar kebaikan oleh Allah Azza wa Jalla jika diawali dengan menghadirkan niat karena Allah ta’ala. Begitupun dengan sholat, ia wajib menghadirkan niat dalam sholatnya tersebut karena semata-mata Allah ta’ala semata, kemudian ia bertakbir sebagai pertanda memulai sholat. Dan niat itu tidak identik dengan melafalkannya dengan lisan, karena hal tersebut merupakan bid’ah tercela lantaran ketiadaan dalil dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat radliyallahu anhum, para tabi’in dan para imam rahimahumullah ajma’in.

Berkata DR Abdul Azhim bin Badawiy, “Yaitu seseorang berniat sholat yang ia berdiri tegak untuk melakukannya dan menentukannya dengan hatinya. Seperti wajibnya sholat zhuhur atau ashar atau sunnah keduanya misalnya. Namun tidak disyariatkan untuk melafazhkannya karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak melafazhkannya. Hanyalah Beliau apabila telah berdiri tegak untuk sholat, Beliau mengucapkan “Allahu Akbar”, dan tidak mengucapkan sesuatu apapun sebelumnya dan tidak juga melafazhkan niat sedikitpun. Beliau tidak pernah mengucapkan, ‘Usholli lillahi sholata kadza mustaqbilal qiblati arba’a raka’atin imaman aw ma’muman (aku sholat karena Allah untuk menunaikan sholat ini dengan menghadap qiblat empat raka’at sebagai imam atau makmum). Dan tidak berkata, “ada’an” (menunaikan langsung), “qodlo’an” (membayar qodlo) dan tidak pula fardlol waqti. Ini semuanya adalah termasuk sepuluh perkara bid’ah. Karena tidak ada seseorangpun yang menukil dengan sanad yang shahih dan yang dla’if, tidak dalam bentuk yang bersanad atau yang mursal, tidak ada satupun lafazh darinya, tidak juga dari seorangpun shahabatnya, tidak pula dianggap istihsan (dianggap baik) dari seorangpun tabi’in dan tidak juga dari imam yang empat”. [3]

Berkata asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh hafizhohullah, “Niat itu tidak akan gugur oleh suatu keadaan, karena hadits Umar radliyallahu anhu, ‘Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niatnya’. Tempatnya niat itu di hati dan hakikatnya itu adalah bertekad akan (mengerjakan) sesuatu. Dan tidak disyariatkan untuk melafazhkannya karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melafazhkannya dan tidak datang (satu atsarpun) bahwa ada salah seorang shahabat yang melakukan perbuatan itu”. [4]

Jumhur ulama beristidlal atas disyaratkan niat di dalam wudlu dengan dalil-dalil shahih lagi jelas dengan bentuk dijanjikan balasan. Maka sudah semestinya berkehendak membedakannya dengan selainnya agar mendapatkan pahala yang dijanjikan. Dan adapun dalam sholat maka tidak ada perselisihan (khilafiyah) di dalam pensyaratan niat di dalamnya.[5]

Berkata Ibnu Ajalan, “Tidak shalih amal itu kecuali dengan tiga hal, yaitu takwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, niat yang baik dan (amal yang) benar”. [6]

Berkata al-Hafizh Abu al-Hasan Thahir bin Mufawwiz al-Mu’arifiy, [7]

عمدة الدين عندنا كلمات           أربع من كلام خير البرية

اتق الشبهات و ازهد و دع ما       ليس يعنيكـ و اعملن بنية

Tiangnya agama di sisi kami ada empat

kalimat, dari ucapan sebaik-baiknya makhluk

Jagalah dirimu dari syubhat, zuhudlah, tinggalkan apa

yang tidak berguna bagimu dan beramallah dengan niat.

 Sebagaimana telah diterangkan dalam penjelasan-penjelasan bahwasanya niat itu tempatnya di hati bukan dilafazhkan oleh lisan, karena ketiadaan dalil dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, perbuatan para shahabat radliyallahu anhum ataupun dari para imam kaum muslimin.

Berkata Ibnu Rajab rahimahullah, “Niat adalah merupakan kehendak hati dan tidak wajib melafazhkan apa yang ada di hati dan tidak pula di dalam sesuatupun dari ibadah”. [8]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, “Bahwasanya niat itu tempatnya adalah hati. Maka melafazhkannya adalah perbuatan bid’ah”. [9]

Abu Abdillah Muhammad bin al-Qasim at-Tunisi al-Malikiy berkata,

النيّة من أعمال القلوب فالجهر بها بدعة مع ما في ذلك من التشويش على الناس

“Niat itu termasuk amalan hati., mengeraskannya adalah bid’ah. Terlebih lagi jika perbuatan itu membuat berisik orang lain”. [10]

Dan telah shahih dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya ia pernah mendengar seorang lelaki pada waktu ihramnya mengucapkan, “Ya Allah, aku menghendaki haji dan umrah”. Lalu ia berkata kepada lelaki itu, “Apakah kamu hendak memberitahu kepada manusia (akan perbuatanmu)?. Bukankah Allah mengetahui apa yang ada pada hatimu?”. [11]

Berkata al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan di awalnya; nawaytu raf’al hadatsi (artinya, “Aku berniat menghilangkan hadats”) dan tidak pula memperbolehkan sholat (dengannya) dan tidak seorangpun para shahabat radliyallahu anhum (yang mengucapkannya pula). Tidak diriwayatkan satupun huruf tentang hal itu darinya, tidak dengan sanad yang shahih dan tidak pula yang dla’if”. [12]

Maksud dari beberapa penjelasan di atas, bahwa amal agar diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan mendapatkan balasan kebaikan dari-Nya kelak pada hari kiamat itu, mesti berdasarkan atas dua perkara yaitu; ikhlas dan ittiba’.

Ikhlas adalah mengerjakan sesuatu amalan yang diperintahkan semata-mata dengan niat mengharapkan keridloan Allah Subhanahu wa ta’ala dari dalam hatinya. Jadi niat adalah amalan hati bukan lisan.

Adapun ittiba’ adalah mengerjakan satu dari berbagai amal shalih yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Alqur’an dan juga Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang telah tsabit darinya.

Demikian penjelasan singkat tentang disyariatkannya niat dalam sholat yang tidak akan dinilai dan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah Subhanahu wa ta’ala sholatnya seseorang jika tidak dilandasi dengan niat yang benar. Namun niat itu letaknya di dalam hati dan tidak dilafazhkan dengan lisan.

Wallahu a’lam bish showab.

 

[1] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 1, Mukhtashor Shahih Muslim: 1080, Shahiih Sunan Abi Dawud: 1927, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1344, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 73, Shahih Sunan Ibni Majah: 3405, Irwa’ al-Ghalil: 22, Misykah al-Mashobih: 1 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 8.

[2] Bahjah an-Nazhirin: I/ 32.

[3] Al-Wajiz fi Fiq-h as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz halaman 102 susunan DR Abdul Azhim bin Badawiy cetakan keempat tahun 1430H/ 2009M Dar Ibnu Rajab.

[4] Kitab al-Fiqh al-Muyassar fi Dlo’u al-Kitab wa as-Sunah halaman 68, susunan asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh, cetakan pertama tahun 1430/ 2009, Dar A’lam as-Sunnah.

[5] Fat-h al-Bariy: I/ 135.

[6] Jami’ al-Ulu wa al-Hikam: I/ 32.

[7] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam: I/ 26.

[8] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam: I/ 49.

[9] Taysir al-Allam: I/ 25.

[10]al-Qaul al-Mubin Fii Akhta’ al-Mushallin halaman 91, susunan asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman, Cetakan kedua tahun 1413H/ 1996M, Dar Ibnu al-Qayyim.

[11] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam: I/ 49 dan Tazkiyah an-Nufuus halaman 20..

[12] Zad al-Ma’ad: I/ 196.

Tinggalkan komentar