SAUDARIKU, JAUHILAH OLEHMU HAL-HAL YANG TIDAK BERMANFAAT !!

tv1HUKUM MENONTON SINETRON DI TELEVISI

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh asy-Syaikh Salih bin Fauzan al-Fauzan

Soal:
Apakah hukum menonton acara sinetron berseri yang disiarkan di televisi?

Jawab:
Wajib bagi seorang muslim untuk menjaga waktunya dengan menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, karena dia bertanggung jawab dengan waktu yang dia habiskan. Bagaimana dia habiskan waktu tersebut?

Allah ta’ala berfirman,

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ

Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir [QS Faatir/ 35: 37].

Dan di dalam hadits (riwayat at-Turmudziy), seseorang akan ditanya tentang kehidupannya dan waktu yang dia habiskan.

Menonton sinetron menghabiskan waktu, sehingga tidak sepantasnya seorang muslim menyibukkan diri menontonnya.

Apabila di dalam sinetron tersebut terdapat perkara-perkara yang haram, maka menontonnya pun haram seperti: wanita yang berhias dan bertabarruj (tidak berhijab, menampakkan kecantikannya di hadapan selain mahram –pent), musik dan nyanyian, dan juga sinetron yang mengandung ajaran/pemikiran yang rusak, yang jauh dari tuntunan agama dan akhlak yang mulia. Begitu juga sinetron yang menampilkan perilaku yang tidak tahu malu dan merusak akhlak. Sinetron semacam ini tidak boleh ditonton.

(Diterjemahkan dari Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Fauzan, juz 3 nomor 516 untuk blog http://ulamasunnah.wordpress.com)

SAUDARAKU, BIASAKAN MEMUJI NAMA ALLAH TA’ALA KETIKA MELIHAT SUATU KEADAAN

doa melihat yg menyenangkan1UCAPAN KETIKA MELIHAT SESUATU YANG DISUKAI DAN YANG TIDAK DISUKAI
بسم الله الرحمن الرحيم

Dari Aisyah radliyallahu anha, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَات وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

Rosulullah Shallalalhu alaihi wa sallam apabila melihat sesuatu yang disukai, beliau berkata, ” Alhamdulillahilladzii bi ni’matihi tatimmush shaalihaat (Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala amal shalih sempurna)”. Dan apabila melihat sesuatu yang tidak disukai, beliau membaca, “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal (Segala puji bagi Allah, atas segala keadaan)”.

[HR Ibnu Majah: 3803, ath-Thabraniy dalam al-Ausath: 6663, al-Hakim: 1883 dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal-Lailah: 378. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [1]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Hasan dengan syawahidnya”. [2]

Faidah hadits:

1). Di dalam kehidupan dunia ini kita niscaya akan mengalami sesuatu yang kita sukai dan yang tidak kita sukai.

2). Diantara yang kita sukai adalah mendapatkan rizki, sembuh dari penyakit, mendapatkan pekerjaan, menikahi seorang wanita shalihah atau dinikahi seorang pria yang shalih, memiliki anak dan lain sebagainya.

3). Ketika kita mendapatkan dan menemui sesuatu yang menyenangkan dan kita sukai, disunnahkan dan dianjurkan untuk mengucapkan, “Alhamdulillahilladzii bi ni’matihi tatimmush shaalihaat”.

4). Diantara yang tidak kita sukai adalah dihilangkannya sebahagian rizki, ditimpa sakit, terkena berbagai mushibah bencana alam dari banjir, gunung meletus, tanah longsor, naiknya harga BBM (Bahan Bakar Minyak), ditolak ketika mengkhithbah (melamar) seorang gadis, banyaknya aliran dan sekte sesat yang tumbuh subur di tempatnya dan lain sebagainya.

5). Ketika kita ditimpa oleh sesuatu yang tidak kita sukai, disunnahkan dan dianjurkan untuk mengucapkan, “Alhamdulillah alaa kulli haal“.

6). Setiap mukmin hendaknya selalu menisbahkan sesuatu yang diperolehnya baik berupa kebaikan ataupun keburukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga ia senantiasa memuji-Nya dalam keadaan apapun yang dialaminya.

Wallahu a’lam bish showab.

[1] Shahih Sunan Ibnu Majah: 3066, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 265, Shahih al-Kalim ath-Thayyib: 139 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4727.

 

[2] Nail al-Awthar bi Takhrij Ahadits Kitab al-Adzkar: II/ 688-690 hadits nomor 959 oleh asy-Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied bin Muhammad al-Hilaliy as-Salafiy al-Atsariy hafizhohullah, Cetakan kedua tahun 1425H/ 2004M, Dar Ibnu Hazm.

By Abu Ubaidullah Alfaruq Dikirimkan di DOA-DOA

SAUDARAKU HINDARI KERENGGANGAN DIANTARA KITA !!..

KERENGGANGAN ANTAR ULAMA, PENUNTUT ILMU DAN MASYARAKAT

Oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah

fatwa3

Soal Kelima:

Di zaman ini kami mendapatkan adanya kerenggangan yang terjadi di antara para ulama, para penuntut ilmu dan masyarakat umum. Dan kerenggangan ini termasuk sebuah musibah. Menurut Anda, apa jalan keluar untuk permasalahan ini?

Jawaban:
Kerenggangan terjadi karena menyimpangnya seorang penuntut ilmu, atau menyimpangnya seseorang yang dianggap berilmu. Apabila seorang penuntut ilmu bertabiat jelek, menampakkan perbuatan-perbuatan maksiat, gegabah dalam memutuskan permasalahan, dan mempunyai sikap yang keras maka para ulama dan orang-orang yang baik akan membencinya. Sehingga mereka tidak akan merasa senang dengan kegiatan orang itu dalam mencari ilmu.

Begitu juga seorang ulama yang fasiq, berpaling dari kebenaran, maka murid-muridnya yang baik akan membencinya. Begitu pula orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam berdakwah kepada kebaikan dan menginginkan pahala akan membencinya, sehingga terjadilah kerenggangan di antara mereka.

Adapun para ulama dan murid-murid mereka yang shalih, maka tidak akan terjadi kerenggangan di antara mereka selama-lamanya. Bahkan akan terjadi saling tolong-menolong yang benar di antara mereka pada semua perkara yang baik.

Akan tetapi, kerenggangan akan terjadi di antara orang yang berpaling dari ilmu lalu dia mengaku bahwa dirinya berilmu, padahal dia bersama orang-orang yang fasiq, para perokok, peminum khamr dan bersama orang-orang yang berpaling dari kebaikan atau yang semisal dengan mereka… Maka, siapa yang akan menyukai hal ini!? Dan siapa yang akan mau mengambil ilmu darinya sedangkan akhlaknya seperti ini?! Oleh karena itu, dia membutuhkan dakwah, nasehat, perhatian dan kesabaran sehingga dia kembali kepada jalan yang lurus.

Kerenggangan tersebut justru datang dari orang itu, karena perkataan dan perbuatannya yang jauh dari bimbingan para ulama dan jauh dari perjalanan hidup mereka yang terpuji.

Seorang yang berilmu yang tidak menyertakan ilmunya dengan taqwa dan perjalanan hidup yang yang baik, bahkan dia bersama-sama para pembual, penyembah kubur, pecandu khamr dan bersama dengan orang-orang yang semisal mereka, maka dia bukanlah orang yang berilmu. Dia tidak berhak mendapatkan penghormatan, bahkan pantas untuk dijauhi oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat dan para penuntut ilmu yang baik, sampai dia kembali kepada kebenaran.

Tidaklah diragukan lagi bahwa para penuntut ilmu akan membencinya. Sungguh mereka tidak akan merasa gembira ketika dekat dengannya disebabkan perjalanan hidupnya yang buruk.

Bahkan kerenggangan yang terjadi di antara mereka justru akan membuat mereka gembira. Sebab, tidak ada manfaat yang bisa diambil darinya dan karena pengaruh negatifnya terhadap masyarakat serta para penuntut ilmu. Sehingga dia perlu untuk didakwahi kepada jalan Allah subhanahu wata’ala dan dinasehati, agar ilmunya memberi manfaat kepadanya dan kepada manusia.

Oleh karena itu kita semua wajib untuk tolong-menolong dengan jujur dan ikhlas dalam kebaikan dan taqwa, istiqamah di atas perintah Allah, bersemangat terhadap segala sesuatu yang akan menjauhkan dari permusuhan dan segala hal yang akan menyempitkan kerenggangan di antara mereka. Semua itu dapat direalisasikan dengan landasan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, perjalanan hidup yang baik serta bersabar dalam melakukannya.

(Sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com dinukil dari kitab Mas’uuliyati Thaalib al-Ilm karya Syaikh bin Baaz, edisi Indonesia Ada Tanggung Jawab di Pundakmu, penerjemah: Abu Luqman Abdullah, penerbit Al Husna, Jogjakarta)

SAUDARAKU, JANGAN SUNGKAN UNTUK MERUJUK DARI KEKELIRUAN FATWA

RUJUK DARI FATWA YANG KELIRU

Oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baazfatwa2

 Soal Kedelapan:
Apabila seseorang ditanya tentang suatu permasalahan lalu dia berfatwa, dan setelah berlalu beberapa waktu jelas baginya bahwa apa yang telah dia fatwakan adalah salah. Apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:
Dia wajib untuk kembali kepada kebenaran dan berfatwa dengannya kemudian menyatakan bahwa dia telah berbuat kesalahan, sebagaimana ucapan ‘Umar radliyallahu ‘anhu, “Kebenaran adalah sesuatu yang telah terdahulu.”

Sehingga dia wajib untuk kembali dan berfatwa dengan kebenaran, kemudian menyatakan bahwa dirinya telah melakukan kesalahan pada permasalahan yang lalu, “Aku telah berfatwa demikian dan demikian, kemudian jelas bagiku bahwa itu adalah kesalahan, yang benar adalah demikian dan demikian.”

Perbuatan tersebut bukanlah merupakan aib baginya, bahkan ini adalah kewajiban baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –pimpinan para pemberi fatwa– ketika seseorang bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang talqih yaitu penyerbukan pada pohon kurma, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَظُنُّهُ يَضُرُّهُ لَوْ تُرِكَ

”Menurutku hal itu tidak akan memberikan madlarat seandainya ditinggalkan.”

Setelah beberapa waktu lamanya, para shahabat mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa hal tersebut ternyata memberikan madharat. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا أَخْبَرْتُكُمْ عَنْ رَأْيِي والرَأْيُ يُخْطِئُ وَيُصِيْبُ، أَمَّا مَا أُحَدِّثُكُمْ بِهِ عَنِ اللهِ فَإِنِّي لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللهِ

“Apa yang telah aku sampaikan kepada kalian hanyalah berasal dari pendapatku. Dan suatu pendapat terkadang benar dan terkadang salah. Adapun segala sesuatu yang telah aku kabarkan kepada kalian dari Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh aku tidak akan pernah berdusta atas nama Allah subhanahu wa ta’ala.” Lalu beliau memerintahkan agar mereka kembali melakukan talqih.

Begitu juga Umar radliyallahu ‘anhu. Beliau telah berfatwa dengan menggugurkan hak saudara dalam permasalahan musyarakah (permasalahan ilmu waris-mewaris, -pent). Setelah berlalu beberapa waktu, beliau berfatwa dengan yang sebaliknya berdasarkan pendapat yang lebih kuat menurutnya, yaitu tetap berserikatnya hak saudara pada permasalahan tersebut.

Kembalinya seorang ulama kepada pendapat yang diyakini olehnya bahwa hal itu adalah benar adalah sikap yang terpuji. Hal itu merupakan jalan orang-orang yang berilmu dan beriman. Dia tidak mendapatkan dosa karena perbuatannya itu, dan bukan merupakan aib baginya. Bahkan hal itu menunjukkan keutamaan dan imannya yang kuat, yaitu bahwa dia kembali kepada kebenaran dan meninggalkan kesalahan.

Seandainya ada orang bodoh yang berkata bahwa ini adalah aib, maka ucapannya tidak teranggap. Karena sikap ulama tadi adalah sesuatu yang terpuji dan bukan merupakan aib baginya.

(Sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com dinukil dari kitab Mas’uuliyati Thaalib al-Ilm karya Syaikh bin Baaz, edisi Indonesia Ada Tanggung Jawab di Pundakmu, penerjemah: Abu Luqman Abdullah, penerbit Al Husna, Jogjakarta)

SAUDARAKU, JANGANLAH ENGKAU TERGESA-GESA DI DALAM BERFATWA

bin baz6ADAB MEMBERI FATWA

Oleh; asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz

Soal Kesembilan:
Saya adalah seorang penuntut ilmu. Kebanyakan pertanyaan yang ditujukan kepada saya tentang suatu perkara, baik tentang ibadah atau yang lainnya, saya mengetahui jawabannya dengan baik. Terkadang saya mengetahuinya dari mendengarkan salah seorang syaikh, atau dari fatwa-fatwanya. Akan tetapi sulit bagiku untuk mengingat dalilnya yang shahih, sehingga terkadang sulit bagiku untuk melakukan tarjih. Bagaimana anda mengarahkan para penuntut ilmu dalam permasalahan seperti ini?

Jawaban:
Janganlah engkau berfatwa kecuali dengan ilmu. Arahkan mereka kepada orang selain engkau yang lebih baik dan lebih berilmu di daerahmu, serta lebih mengetahui tentang kebenaran. Jika tidak, maka katakanlah: “Berilah aku waktu sehingga aku bisa mengulang kembali dalil-dalilnya dan meneliti permasalahan tersebut.”

Apabila engkau telah merasa mantap di atas kebenaran dengan dalil-dalilnya, berilah mereka fatwa dengan kebenaran yang nampak bagimu.

Dengan sebab pertanyaan ini dan yang lainnya, aku wasiatkan kepada para pengajar agar mendorong murid-muridnya untuk meneliti suatu perkara secara jelas, dan tidak tergesa-gesa dalam berfatwa kecuali berdasarkan ilmu. Dan hendaknya para pengajar menjadi teladan bagi mereka dalam permasalahan tersebut, dengan bersikap diam dari perkara yang masih samar, serta berjanji untuk menelaah selama satu atau dua hari ke depan atau pada pelejaran yang akan datang. Sehingga seorang penuntut ilmu terbiasa dengan sikap tidak tergesa-gesa dalam berfatwa dan memberi hukum, kecuali setelah meneliti dan mendapatkan dalil. Sehingga mereka merasa mantap bahwa apa yang akan dikatakan oleh gurunya adalah kebenaran. Tidaklah mengapa untuk ditunda di lain waktu sehingga dia bisa mengulang kembali dalil para ulama tentang permasalahan tersebut.

Ketika al-Imam Malik ditanya tentang banyak perkara, beliau hanya menjawab sedikit dan mengatakan, “Saya tidak tahu”. Begitu juga ulama yang lain melakukan hal yang sama.

Termasuk sifat seorang penuntut ilmu adalah dia tidak gegabah, dan dia mengatakan, “Saya tidak tahu” pada perkara yang memang dia tidak mengetahuinya. Sedangkan para pengajar mempunyai kewajiban yang besar, yaitu menjadi contoh yang baik bagi para murid dalam hal akhlak dan perbuatan mereka.

Demikian juga, termasuk akhlak yang mulia bagi seorang penuntut ilmu adalah terbiasa dengan ucapan “Saya tidak tahu”, dan menunda (menjawab) pertanyaan-pertanyaan sampai dia memahami dalil serta mengetahui hukumnya. Bersamaan dengan itu, dia memperingatkan bahayanya berfatwa tanpa ilmu.

(Sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com dinukil dari kitab Mas’uuliyaati Thaalib al-Ilm karya Syaikh bin Baaz, edisi Indonesia Ada Tanggung Jawab di Pundakmu, penerjemah: Abu Luqman Abdullah, penerbit Al Husna, Jogjakarta)

HARAMKAH DAGING BABI DAN ANJING LAUT??

HUKUM MEMAKAN BABI LAUT DAN ANJING LAUT

يسم الله الرحمن الرحيم

Hukum Memakan Babi Laut dan Anjing LautSoal:

Semoga Allah memberikan kebaikan-Nya kepada Anda, wahai sesepuh Kami, ada seorang penanya bertanya, “Pada firman Allah ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ

Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut.” [QS al-Ma’idah/ 5: 96]

Apakah ayat ini mencakup juga babi laut dan anjing laut?

Jawab:

Segala yang tidak bisa hidup kecuali hanya di laut, maka itu semua termasuk dalam lafazh, صَيْدُ الْبَحْرِ (binatang buruan laut). Sebab, tidak ada dalil pengecualian.

Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa buaya dan ular (ular laut; -penj.) itu tidak boleh dimakan. Tetapi pendapat ini tidak ada dalilnya.

Allah Jalla Wa ‘Alâ menjelaskan secara umum pada firman-Nya,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ

Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut.” [QS al-Ma’idah/ 5: 96]

Dan dikatakan “hewan buruan laut” adalah hewan yang tidak bisa hidup kecuali di laut.

Terkait dengan buaya, ia hidup di daratan dan di lautan, sehingga didahulukan pelarangannya.

Adapun segala (binatang) yang tidaklah bisa hidup selain hanya di laut saja, maka hukumnya halal tanpa terkecuali.

[Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/2538]

Ini bentuk tanya dan jawab aslinya;

السؤال:

حكم أكل خنزير البحر وكلب البحر؟

 أحسن الله إليكم سماحة الوالد ، يقول السائل : في قوله تعالى : (أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ) [المائدة:96] ، هل يشمل خنزير البحر وكلب البحر ؟

الجواب : كل ما لا يعيش إلا في البحر فهو من صيد البحر لأنه لا دليل على الإستثناءات ، هم قالوا إن التمساح والحية أنها لا تؤكل لكن ما في دليل على هذا ، الله جل وعلا عمم فقال : (أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ) [المائدة:96] ، وصيده ما لا يعيش إلا فيه ، أما التمساح فإنه يعيش في البر والبحر فيغلَّب عليه جانب الحظر ، أما ما لا يعيش إلا في البحر فهذا حلال دون استثناء . نعم .