SUDAH BENARKAH MANDI HAIDL ATAU NIFASMU, WAHAI SAUDARIKU???

SHIFAT MANDI JANABAT DAN HAIDL (2)

بسم الله الرحمن الرحيم

Bagaimana caranya mandi haidl/ nifas?

BAK MANDI5Berikut ini akan dijelaskan akan tata cara mandi haidl yang telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada kaum perempuan dari kalangan shahabat. Penjelasan tentang kaifiyat mandi haidl ini juga merupakan penjelasan tentang kaifiyat mandi nifas bagi wanita yang melahirkan. Sebab terkadang kata-kata nifas mempunyai makna haidl, sebagaimana Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menanyakan kepada istrinya Aisyah radliyallahu anha, أَ نَفِسْتِ ؟ (Apakah engkau nifas yaitu haidl?), [1] ketika bersedih lantaran tidak dapat melakukan thawaf sebagaimana wanita lain dapat melakukakannya. [2]

عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ أَسمْاَءَ سَأَلَتِ النَّبِيَّ  صلى الله عليه و سلم عَنْ غَسْلِ اْلمـَحِيْضِ ؟ فَقَالَ: تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَ هَا وَ سِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا حَتىَّ تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَتْ أَسمْاَءُ: وَ كَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ تَطَهَّرِيْنَ بِهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ (كَأَنهَّاَ تُخْفِى ذَلِكَ): تَتَّبَعِيْنَ أَثَرَ الدَّمَ وَ سَأَلْتُهُ عَنْ غُسْلِ اْلجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطَّهُوْرَ أَوْ تُبْلِغُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتىَّ تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيْضُ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ اْلحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فىِ الدِّيْنِ

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Asma’ pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang mandi haidl. Beliau menjawab, ”Hendaklah seseorang di antara kalian mengambil air dan daun sidrahnya (sekarang ini misalnya sabun). Lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia menuangkan (air) di atas kepalanya lalu menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga mencapai ujung kepala. Selanjutnya ia menuangkan air (ke seluruh tubuhnya), kemudian mengambil kain yang diberi wewangian lalu ia membersihkan dengannya”. Asma berkata, ”Bagaimana cara membersihkan dengannya?”. Beliau bersabda, ”Subhanallah, engkau bersihkan dengannya”. Aisyah berkata (seolah-olah ia merahasiakan hal itu), ”Ikutilah sisa-sisa darah”. Asma juga bertanya tentang mandi janabat. Beliau menjawab, ”Hendaklah ia mengambil air lalu ia bersuci dan membaguskan atau menyempurnakan bersucinya. Kemudian menuangkan air di atas kepalanya dan menggosok-gosoknya sehingga sampai keujung kepala lalu mengguyurkan air atasnya”. Aisyah berkata, ”Sebaik-baik perempuan adalah perempuan anshor karena rasa malu tidak mencegah mereka untuk memahami agama”. [HR Muslim: 332, al-Bukhoriy: 314, 315, 7357, an-Nasa’iy: I/ 136-137, Abu Dawud: 314, 315, 316, Ibnu Majah: 642, Ahmad: VI/ 122 dan al-Hakim: 248.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Berdasarkan dalil hadits di atas, dipahami cara mandi haidl yang pernah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada Asma’, yaitu;

1). Si wanita mempersiapkan air dan daun sidrah/ bidara (sekarang ini bisa diganti dengan sabun).

Sebelum mandi, hendaknya wanita yang ingin mandi haidl atau nifas itu mempersiapkan diri dengan menyediakan air dan daun sidrah, jika ada. Namun jika tidak ada, hendak menyiapkan sabun untuk membersihkan darah yang barangkali masih melekat pada daerah kemaluannya yang terkena bekas-bekas darah. Dan juga menyiapkan wewangian berupa minyak kesturi atau semisalnya dan juga secarik kain atau kapas untuk mengoleskan wewangian itu pada bagian yang terkena bekas-bekas darah untuk mengihalangkan bebauan yang tidak menyenangkan.

Disunnahkan menggunakan sabun dan alat pembersih lainnya selain air agar hilang bau tidak sedap dari sisa haidl.

2). Niat yang tidak diucapkan lisan.

 3). Mengucapkan tasmiyah (bismillah).

 4). Kemudian bersuci (wudlu) lalu membaguskan berwudlunya.

Yakni wanita yang hendak melakukan mandi haidl atau nifas itu mengawalinya dengan wudlu yang sempurna dengan menyisakan pembasuhan kaki atau boleh juga tidak, sebagaimana dilakukan seperti pada mandi janabat.

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Ketika mengomentari hadits Aisyah radliyallahu anha di atas, “Bahwa yang dimaksud bersuci yang pertama adalah wudlu sebagaimana di dalam sifat mandinya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”.  [4]

     عن عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ أَغْتَسِلُ عِنْدَ الطُّهُوْرِ؟ قَالَ: خُذِي فِرْصًة مُمْسِكَةً فَتَوَضَّئِي بِهَا قَالَتْ: كَيْفَ أَتَوَضَّأُ بِهَا؟ قَالَ: تَوَضَّئِي بِهَا قَالَتْ: كَيْفَ أَتَوَضَّأُ بِهَا؟ قَالَتْ: ثُمَّ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم سَبَّحَ وَ أَعْرَضَ عَنْهَا فَفَطِنَتْ عَائِشَةُ لمِــَا يُرِيْدُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: فَأَخَذْتهُاَ وَ جَبَذْتهُاَ إِلَيَّ فَأَخْبَرْتهُاَ بِمَا يُرِيْدُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم

            Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bagaimana caranya aku mandi ketika bersuci?”. Beliau menjawab, “Ambillah secarik kain (atau kapas) yang diberi wewangian lalu berwudlulah (bersihkan) dengannya”. Ia berkata lagi, “Bagaimanakah caranya aku membersihkan dengannya ?”. Beliau menjawab, “bersihkan dengannya”. Wanita itu berkata lagi, “Bagaimanakah caranya aku membersihkan dengannya?”. Aisyah berkata, ”Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertasbih dan berpaling darinya”. Maka mengertilah Aisyah terhadap apa yang diinginkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Aisyah berkata, ”Lalu aku memegang dan menariknya kepadaku lalu mengkhabarkan kepadanya tentang apa yang diinginkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR an-Nasa’iy: I/ 207-208. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [5]

5). Kemudian menuangkan (air) ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkan dengan keras sehingga mencapai akar-akar rambut.

            Yakni menuangkan air ke atas kepala lalu menggosok-gosokkan jari jemari pada kulit kepala dengan kuat agar air masuk ke pori-pori rambut kepala. Maka pada saat itu, disyariatkan untuk menguraikan atau melepaskan sanggulan atau kepangan rambut kepala yang tidak dilakukan pada waktu mandi janabat.

     عن عائشة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ لَهَا وَ كَانَتْ حَائِضًا: انْقُضِي شَعْرَكِ وَ اغْتَسِلِيْ قَالَ عَلِيٌّ فىِ حَدِيْثِهِ: انْقُضِي رَأْسَكِ

            Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya dan ia sedang haidl, ”Uraikan rambutmu dan mandilah”. Ali berkata di dalam haditsnya, ”Uraikan (rambut) kepalamu”. [HR Ibnu Majah: 641. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Berkata as-Syaikh al-Albaniy rahimahullah , ”Yang kedua; bahwasanya (hadits ini) datang tentang haidl dan yang itu di dalam janabat, sebagaimana zhahirnya. Penghimpunan (hadits) di antara keduanya adalah diwajibkan penguraian (rambut) di dalam mandi haidl dan tidak pada mandi janabat. Dengan ini pulalah berkata al-Imam Ahmad dan selainnya dari ulama salaf”. [7]

Ia berkata lagi, “Kemudian di dalam hadits ini jelas terdapat perbedaan antara mandi haidlnya seorang wanita dan mandi janabatnya ketika Beliau menguatkan atas mandi haidl agar bersungguh-sungguh di dalam menggosok-gosok dengan keras dan bersuci, yang Beliau tidak menguatkan yang semisalnya di dalam mandi janabat. Sebagaimana di dalam hadits Ummu Salamah radliyallahu anha yang telah disebutkan di dalam kitab merupakan dalil atas tidak wajibnya menguraikan (rambut) di dalam mandi janabat. Dan ini jugalah yang diinginkan di dalam hadits Ubaid bin Umair dari Aisyah radliyallahu anha dengan mengkaitkan mandinya Aisyah bersama dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Maka tiada perselisihan diantara hadits-hadits tersebut dengan rincian ini, yaitu wajib penguraian (rambut) di dalam mandi haidl dan tidak wajib di dalam mandi janabat, hal ini berbeda dengan yang dipegang oleh Mushannif (si penyusun kitab) [8]  dan madzhabnya yang menolak hadits Aisyah tanpa hujjah, dan hal ini tidak boleh. Al-Imam Ahmad berpegang kepada rincian tersebut dan dishahihkan oleh Ibnu al-Qoyyim rahimahullah di dalam Tahdzib as-Sunan. Rujuklah (I/ 165-168) dan ini juga madzhabnya Ibnu Hazm (II/ 37-40). [9]

6). Kemudian menuangkan air ke seluruh tubuh.

            Yakni mengguyurkan air ke seluruh tubuh, ia mandi sebagaimana pada umumnya seseorang mandi. Di dalam hal ini, ia boleh menggunakan sabun untuk menggosok-gosok seluruh tubuhnya agar hilang semua bebauan yang tidak menyenangkan. Dan ia juga boleh menggunakan shampo untuk membersihkan, mengharumkan dan menyehatkan rambut dan kepalanya.

 7). Kemudian mengambil secarik kain yang diberi wewangian lalu mengoleskan dengannya yaitu mengikuti bekas-bekas darahnya.

Jika wanita itu telah selesai dari mandi haidl atau nifasnya, hendaknya ia mengambil secarik kain yang diberi wewangian lalu mengoleskannya pada kemaluannya dan pada bagian yang terkena sisa-sisa darah haidl atau nifas.

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, ”(أثر الدم = sisa-sisa/ bekas-bekas darah) yang dimaksud dengannya menurut para ulama adalah farji. Berkata al-Muhamiliy, “Dianjurkan bagi wanita untuk memberi wewangian ke seluruh bagian badan yang terkena darah”. [10]

Katanya lagi, “Dan yang dimaksud dengan menggunakan wewangian adalah untuk mencegah atau menghilangkan bebauan yang tidak disukai (busuk), berdasarkan penjelasan yang shahih”. [11]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, “Yang benar adalah bahwa yang demikian itu dianjurkan bagi setiap wanita yang mandi dari sebab haidl atau nifas. Bagi wanita yang memiliki kesanggupan hukumnya makruh jika meninggalkan perbuatan tersebut.  Jika ia tidak mempunyai minyak kesturi maka boleh ia memakai wewangian (selainnya). Apabila juga tidak ada maka hendaklah ia menghilangkannya dengan menggunakan tanah lumpur, dan jikapun tidak ada maka dengan menggunakan airpun mencukupi”.  [12]

Perbedaan mandi haidl dengan mandi janabat

1). Mengurai rambutnya yang dikepang dan menggosok kulit kepala dengan kuat sehingga air sampai ke kulit kepalanya pada mandi haidl. Sedangkan pada mandi janabat tidak disyariatkannya penguraian rambut tersebut.

2). Mengoleskan sepotong kain atau kapas yang dibubuhi minyak wangi ke kemaluannya dan bagian tubuh yang terkena darah sesudah mandi haidl atau nifas. Sedangkan pada mandi janabat tidak disyariatkannya menggunakan wewangian. Karena pada saat haidl atau nifas keluar darah kewanitaan yang terkadang menimbulkan bau busuk, maka mandi saja kurang mencukupi, jadi hendaknya dengan mengoleskan wewangian pada bahagian bekas-bekas keluarnya darah.

Wallahu a’lam bish showab.


[1]  Nail al-Awthar: V/ 55.

[2]  HR al-Bukhoriy: 294, 305, 5548, 5559, Muslim: 1211 (119), Ibnu Majah: 2963 dan Ahmad: VI/ 273 dari Aisyah radliyallahu anha. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Mukhtashor Shahih al-Imaam al-Bukhoriy: 178, Shahih Sunan Ibni Majah: 2398 dan Irwa’ al-Ghalil: 191.

[3]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 177, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 177,  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 245, Shahih Sunan Abi Dawud: 306, 307, 308 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 525.

[4] Shahih Muslim bi Syar-h al-Imam an-Nawawiy: IV/ 15.

[5] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 414.

[6] Shahih Sunan Ibni Majah: 524, Irwa’ al-Ghalil: 134 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 188.

[7]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 139.

[8]  Maksudnya si peyusun kitab Fiqhus sunnah yaitu as-Sayyid Sabiq. Lalu kitab tersebut dita’liq (dikomentari) oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam kitab Tamam al-Minnah.

[9]  Tamam al-Minnah halaman 125.

[10] Fat-h al-Bariy: I/ 416 dan Shahih Muslim bi Syar-h al-Imam an-Nawawiy: IV/ 15.

[11] Fat-h al-Bariy: I/ 416.

[12] Fat-h al-Bariy: I/ 416.