SAUDARAKU, AYO CARI BANYAK KEBAIKAN DENGAN MENGURUS JENAZAH !!

APA YANG DILAKUKAN TERHADAP ORANG YANG TELAH MATI???

 بسم الله الرحمن الرحيمKUBUR4

Adanya pensyariatan penguburan jenazah meskipun jenazah orang kafir

Begitu pula, faidah penting yang dapat dipetik dari hadits al-Barra’ bin ‘Azib radliyallahu anhu [1] di atas adalah tentang perilaku dan pensyariatan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum di dalam menguburkan jenazah orang yang telah dipastikan kematian atasnya. Ajaran Islam dengan gamblang telah mensyariatkan penguburan mayit setelah memandikan, mengkafani dan menyolatkannya, jika si mayit itu seorang muslim yang baik keislamannya. Namun jika si mayit itu orang kafir maka cukup dengan dikuburkan saja, tidak perlu dimandikan, dikafani apalagi disholatkan. Tiada keraguan sedikitpun terhadap aturan semuanya itu. Apalagi Allah Subhanahu wa ta’ala juga telah menyebutkan penguburan bagi mayit di dalam beberapa ayat-Nya, di antaranya adalah,

مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ

Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. [QS. Abasa/ 90: 19-21].

Hal ini juga telah disebutkan dan diperintahkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang telah tsabit lagi shahih darinya, sebagaimana di dalam banyak dalil hadits, di antaranya adalah,

Dari Hisyam bin Amir radliyallahu anhu berkata, Ketika selesai perang Uhud, ada beberapa kaum muslimin yang terbunuh dan ada beberapa lainnya yang terluka. Kami berkata, “Wahai Rosulullah! berat rasanya bagi kami, jika kami membuat liang lahad untuk setiap jenazah. Maka apa yang hendak engkau titahkan kepada kami. Maka Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 احْفِرُوْا وَ أَوْسِعُوْا وَ أَعْمِقُوْا وَ أَحْسِنُوْا وَ ادْفِنُوْا اْلاثْنَيْنِ وَ الثَّلاَثَةَ فىِ اْلقَبْرِ وَ قَدِّمُوْا أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا قَالَ: فَكَانَ أَبىِ ثَالِثَ ثَلاَثَةٍ وَ كَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا فَقُدِّمَ

 “Galilah lubang, luaskan, perdalam dan baguskan. Lalu kuburkan dua atau tiga orang di dalam satu lubang kubur. Selanjutnya dahulukan orang yang paling banyak (hafalan) alqur’annya”. Berkata (Hisyam), “Ayahkupun dikuburkan bertiga dalam satu liang, namun ia adalah orang yang paling banyak (hafalan) alqur’annya maka ia didahulukan”. [HR Abu Dawud: 3215, an-Nasa’iy: IV/ 81, at-Turmudziy: 1713, Ahmad: IV/ 19, 20, Ibnu Majah: 1560 dan al-Baihaqiy]. [2]

Demikian perintah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada para shahabat radliyallahu anhum untuk menguburkan para syuhada Uhud ke dalam liang lahad, dengan memasukkan ke dalamnya satu, dua atau tiga jenazah yang didahulukan penguburannya orang yang lebih banyak hafalan alqur’annya. Hal ini biasanya dilakukan kepada muslim yang telah mati itu setelah dimandikan, dikafani dan disholatkan. Namun lantaran mereka yang dikuburkan tersebut matinya adalah mati syahid karena terbunuh dalam peperangan maka cukup mereka dikuburkan dengan pakaian yang mereka kenakan meskipun dalam keadaan berlumuran darah, tanpa dimandikan, dikafani dan disholatkan, sebagai bentuk kehormatan dan kemuliaan bagi mereka. Hal ini telah dijelaskan di dalam dalil berikut ini,

 عن أنس بن مالك رضي الله عنه  أَنَّ شُهَدَاءَ أُحُدٍ لَمْ يُغَسَّلُوْا وَ دُفِنُوْا بِدِمَائِهِمْ وَ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ [غَيْرُ حَمْزَةَ]

Dari Anas radliyallahu anhu, bahwasanya para syuhada perang Uhud, (jenazah) mereka tidak dimandikan, mereka dikuburkan dengan darah-darah mereka dan mereka tidak disholatkan (kecuali Hamzah). [HR Abu Dawud:  3135, Ahmad: III/ 128, al-Hakim, Ibnu Sa’d, at-Turmudziy: 1036 dan Ibnu Majah: 1514 dari Jabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[3]

Begitu pula jika ada orang kafir, musyrik atau sejenisnya dari kalangan non muslim yang mati maka merekapun dikuburkan, tetapi tanpa dimandikan, dikafani dan disholatkan, sebagai bentuk kehinaan bagi mereka.

 عن علي  قال: َلمـَّا تُوُفِّيَ أَبُوْ طَالِبٍ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم  فَقُلْتُ: إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ فَمَنْ يُوَارِيْهِ قَالَ: اذْهَبْ فَوَارِهِ ثُمَّ لاَ تُحْدِثْ شَيْئًا حَتىَّ تَأْتِيَنىِ فَقاَلَ: إِنَّهُ مَاتَ مُشْرِكًا فَقَالَ: اذْهَبْ فَوَارِهِ قَالَ: فَوَارَيْتُهُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ قَالَ: اذْهَبْ فَاْغتَسِلْ ثُمَّ لاَ تُحْدِثْ شَيْئًا حَتىَّ تَأْتِيَنىِ قَالَ: فَاْغَتَسَلْتُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ قَالَ: فَدَعَا لىِ بِدَعَوَاتٍ مَا يَسُرُّنىِ أَنَّ لىِ بِهَا حُمُرَ النَّعَمِ وَ سُوْدَهَا قَالَ: وَ كَانَ عَلِيٌّ إِذَا غَسَلَ اْلمـَيِّتَ اغْتَسَلَ

Dari Ali radliyallahu anhu bercerita, ketika Abu Thalib mati, aku mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu aku berkata, “Sesungguhnya pamanmu yang tua renta lagi sesat itu telah mati, maka siapakah yang akan menguburkannya?”. Beliau bersabda, “Pergi dan kuburkanlah!, lalu janganlah engkau mengerjakan apapun sampai engkau mendatangiku”. Dia (yaitu Ali) berkata, “Sesungguhnya ia meninggal dunia masih dalam keadaan musyrik”. Beliau bersabda, “Pergi dan kuburkanlah!”. Lalu ia berkata, maka akupun menguburkannya lalu mendatangi Beliau. Beliau bersabda, “Pergi dan mandilah!, lalu janganlah engkau melakukan apapun sehingga engkau mendatangiku”. Ia berkata, maka akupun mandi lalu mendatangi Beliau. Ia berkata, “Lalu Beliau mendoakanku dengan beberapa doa yang menyenangkanku bahwa seakan aku memiliki unta yang paling bagus”. Berkata (perawi hadits), Ali adliyallahu anhu  biasanya setelah memandikan jenazah beliau segera mandi.  [HR Ahmad: I/ 97, 103, 130, Abu Dawud: 3214, an-Nasa’iy: IV/ 79-80 dan al-Baihaqiy]. [4]

Dan masih banyak lagi dalil-dalil hadits lainnya. Bahkan dalam pembuatan lubang kubur tersebut disyariatkan untuk membuat liang lahad, untuk menempatkan jenazah di dalamnya.

 عن ابن عباس أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم  قَالَ: اللَّحْدُ لَنَا وَ الشَّقُّ لِغَيْرِنَا

 Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Liang lahad adalah cara kita adapun pembelahan tanah adalah cara selain kita”. [HR Abu Dawud: 3208, an-Nasa’iy: IV/ 80, at-Turmudziy: 1045, Ibnu Majah: 1554, 1555, ath-Thahawiy dan al-Baihaqiy]. [5]

 عن أنس بن مالك قال: لَمـَّا النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم  كَانَ بِاْلمـَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَلْحَدُ وَ آخَرُ يَضْرَحُ فَقَالُوْا: نَسْتَخِيْرُ وَ نَبْعَثُ إِلَيْهِمَا فَسَبَقَ صَاحِبُ اللَّحْدِ فَلَحَدُوْا للِنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم

 Dari Anas bin Malik radliyallahu anhuma berkata, ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wafat, di kota Madinah ada seseorang yang biasa menggali liang  lahad dan ada yang lainnya yang biasa menggali liang secara membelah. Mereka berkata, “Kita akan beristikhoroh (kepada Allah) dan kami utus kepada keduanya (untuk menggali liang kubur)”. Lalu orang yang menggali liang lahad datang terlebih dahulu, maka merekapun membuat liang lahad untuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. [HR Ibnu Majah: 1557, Ahmad: III/ 99 dan ath-Thahawiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [6]

 عن عامر بن سعد بن أبى وقاص أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِى وَقَّاصٍ قَالَ فىِ مَرَضِهِ الَّذِى هَلَكَ فِيْهِ : اِلْحَدُوْا لىِ َلحْدًا وَ انْصِبُوْا عَلَيَّ اللَّبِنَ نَصْبًا كَمَا صُنِعَ بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم

Dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqosh, bahwasanya Sa’d bin Abi Waqqosh berkata pada waktu sakitnya yang ia meninggal pada waktu itu, “Buatkan liang lahad untukku dan tancapkan sebuah batu di atas (kubur)ku sebagaimana telah dilakukan terhadap (kubur) Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR Muslim: 966, an-Nasa’iy: IV/ 80, Ibnu Majah: 1556, Ahmad: I/ 169, 173, 184, al-Baihaqiy dan ath-Thohawiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[7]

Demikian pula disyariatkan untuk menyegerakan penguburan jenazah, jika memungkinkan. Tidak dibenarkan jika ada seorang muslim yang telah diketahui akan kematiannya lalu keluarganya menunda-nunda penguburannya hanya dengan alasan untuk menunggu keluarga atau kerabatnya yang belum datang, masih menunggu diotopsi, masih menantikan persiapan upacara adat atau tradisi dan lain sebagainya.  Hal tersebut sebagaimana tertera di dalam dalil berikut ini,

 عن أبى هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم  قَالَ: أَسْرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا إِلَيْهِ وَ إِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah di dalam (mengurus) jenazah. Jika ia orang shalih maka kebaikanlah yang kalian persembahkan kepadanya, tetapi jika ia tidak seperti itu maka keburukanlah yang kalian letakkan dari atas pundak-pundak kalian”. [HR al-Bukhoriy: 1315, Muslim: 944, an-Nasa’iy: II: 42, Abu Dawud: 3181, Ibnu Majah: 1477 dan Ahmad: II/ 240, 280, 488. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [8]

 عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  : إِذَا وُضِعَ اْلجِنَازَةُ وَ احْتَمَلَهَا الرِّجَالُ عَلىَ أَعْنَاقِهِمْ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَالَتْ: قَدِّمُوْنىِ قَدِّمُوْنىِ وَ إِنْ كَانَتْ غَيْرَ صَالِحَةً قَالَتْ لِأَهْلِهَا: يَا وَيْلَهَا أَيْنَ تَذْهَبُوْنَ بِهَا؟ يَسْمَعُ صَوْتَهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلاَّ اْلإِنْسَانَ وَ لَوْ سَمِعَهَا اْلإِنْسَانُ لَصَعِقَ

 Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila jenazah diletakkan dan digotong oleh kaum pria di atas pundak-pundak mereka. Jika ia (yakni jenazah itu) orang shalih, maka ia berkata, segerakan aku!, segerakan aku!”. Jika ia tidak shalih, maka ia berkata, “Duhai celakalah aku, kemanakah gerangan kalian hendak membawaku?”. Segala sesuatu dapat mendengar perkataannya kecuali manusia, seandainya ia dapat mendengarnya niscaya ia akan pingsan. [HR an-Nasa’iy: IV/ 41, al-Bukhoriy: 1314, 1316, 1380 dan Ahmad: III/ 41, 58. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Disunnahkan menyegerakan di dalam menguburkan jenazah. Disunnahkan berjalan dengan cepat ketika menggotongnya dan tidak lambat di dalam berjalan (membawanya). Namun dimakruhkan berjalan dengan sangat cepat karena akan berakibat menimbulkan beberapa kerusakan. [10]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ‘Bersegeralah di dalam (mengurus) jenazah’, yaitu bersegeralah di dalam menyelenggarakannya, mengantarkannya dan menguburkannya dan janganlah kalian menunda-nundanya, karena jika ia orang shalih maka kebaikanlah yang kalian persembahkan kepadanya”. [11]

Disyariatkan kepada kaum muslimin untuk menyegerakan penguburan jenazah seorang  muslim yang telah diketahui dengan pasti kematiannya. Sebab jika muslim itu orang yang shalih maka ia akan segera mendapat kebaikan dari hasil usaha yang ia telah kerjakan di dunia, berupa berbagai kenikmatan dan kelapangan di dalam kuburnya. Dan merekapun telah menunaikan kewajiban mereka di dalam menyelenggarakan penguburan dengan mendapatkan balasan kebaikan berupa pahala sebesar satu atau dua qirath atau yang lainnya. Namun jika yang mati itu orang kafir atau muslim yang tidak baik keislamannya, maka iapun akan segera balasan keburukan dari sebab apa yang ia kerjakan berupa aneka siksaan dan himpitan di dalam kuburnya. Dan merekapun dengan menguburkannya berarti telah menghilangkan keburukan dari pundak-pundak mereka.

Terdapat keutamaan ikut di dalam mengantarkan dan menguburkan jenazah.

Ketika seorang muslim mendengar atau melihat saudaranya yang muslim telah wafat, maka disyariatkan baginya untuk menyelenggarakan penguburannya. Yakni berupa memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkannya di pekuburan kaum muslimin di daerah tempatnya meninggal. Di dalam penyelenggaraan jenazah itu terdapat banyak kebaikan, oleh sebab itu mengantarkan atau mengikutinya itu termasuk dari hak muslim terhadap muslim yang lain.

 عن أبى هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم    قَالَ: حَقُّ اْلمـُسْلِمِ عَلَى اْلمـُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ وَ عِيَادَةُ اْلمـَرِيْضِ وَ اتِّبَاعُ اْلجَنَائِزِ وَ إِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَ تَشْمِيْتُ اْلعَاطِسِ

 Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hak muslim atas muslim yang lain itu ada 5, yaitu menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, menerima undangan dan mendoakan orang yang bersin”. [HR al-Bukhoriy: 1240 dan Muslim: 2162. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy shahih].[12]

Di antara kebaikan mengantarkan jenazah adalah mengingatkan dirinya akan kematian dan datangnya hari akhir, sebagaimana juga terdapat di dalam menziarahi kubur. Maka mengantarkan jenazah dan menziarahi kubur secara syar’iy itu sangat penting sebab mengingat kematian dan kampung akhirat itu merupakan motivasi terbesar di dalam mengerjakan berbagai kebaikan dan meninggalkan berbagai keburukan. [13]

 عن أبي سعيد عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم  قَالَ: عُوْدُوا اْلمـَرِيْضَ وَ اتَّبِعُوْا اْلجَنَائِزَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ

Dari Abu Sa’id dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jenguklah orang yang sakit dan ikutilah jenazah niscaya akan mengingatkan kalian akan kampung akhirat”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 518, Ibnu Abi Syaibah, ath-Thayalisiy, Abu Ya’la dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [14]

Di samping itu, jika seorang muslim ikut memandikan jenazah saudaranya yang muslim lalu mengkafani dan ikut serta menyolatkannya maka ia akan mendapatkan pahala sebesar satu qirath. Dan jika ia ikut serta pula di dalam mengantarkan jenazah tersebut kepekuburan dan apalagi ikut di dalam menguburkannya maka ia mendapatkan pahala sebesar satu qirath lagi. Adapun satu qirath itu sebanding dengan besarnya gunung Uhud.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم  : مَنْ شَهِدَ اْلجِنَازَةَ (مِنْ بَيْتِهَا) (و فى رواية: مَنِ اتَّبَعَ جِنَازَةَ مُسْلِمٍ ِإيمَانًا وَ احْتِسَابًا) حَتىَّ يُصَلِّيَ فَلَهُ قِيْرَاطٌ  وَ مَنْ شَهِدَ حَتىَّ تُدْفَنَ (و فى الرواية الأخرى: يُفْرَغَ مِنْهَا) كَانَ لَهُ قِيْرَاطَانِ (مِنَ اْلأَجْرِ) قِيْلَ: (يَا رَسُوْلَ اللهِ) وَ مَا اْلقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ: مِثْلُ اْلجَبَلَيْنِ اْلعَظِيْمَيْنِ (و فى الرواية الأخرى: كُلُّ قِيْرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ)

 Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa menyaksikan jenazah (dari rumahnya). (Di dalam satu riwayat), “Barangsiapa yang mengiringi jenazah seorang muslim dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala sampai disholatkan maka ia akan mendapatkan pahala satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikuburkan, (di dalam riwayat yang lain, sampai selesai semua kepengurusannya) maka ia mendapatkan pahala dua qirath”. Ditanyakan, “Apakah pahala dua qirath itu?”. Beliau menjawab, “Yaitu sebesar dua gunung yang besar”. (Di dalam riwayat yang lain), “Setiap satu qirath ukurannya itu sebesar gunung Uhud”. [HR al-Bukhoriy: 1325, Muslim: 945 (52), 946, Abu Dawud: 3168, 3169, an-Nasa’iy: IV/ 54-55, 76, 76-77, 77, at-Turmudziy: 1040, Ibnu Majah: 1539, ath-Thayalisiy dan Ahmad]. [15]

Maka Ibnu Umar radliyallahu anhuma sangat menyesal setelah mendengar hadits dari Abu Hurairah radliyallahu anhu tersebut, sebab ia baru tahu akan faidah mengantarkan jenazah dan selama itu mungkin ia jarang mengikuti penguburan jenazah seorang muslim lantaran suatu keperluan yang lainnya.

 عن جرير بن حازم قَالَ: سَمِعتُ نَافِعًا يَقُوْلُ حَدَّثَ ابْنُ عُمَرَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يَقُوْلُ: مَنْ تَبِعَ جَنَازَةً فَلَهُ قِيْرَاطٌ فَقَالَ: أَكْثَرَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ عَلَيْنَا – فَصَدَّقَتْ عَائِشَةُ أَبَا هُرَيْرَةَ وَ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُهُ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رضي الله عنهما: لَقَدْ فَرَّطْنَا فىِ قَرَارِيْطَ كَثِيْرَةٍ

 Dari Jarir bin Hazim berkata, Aku pernah mendengar Nafi berkata, Ibnu Umar radliyallahu anhuma pernah bercerita bahwasanya Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “Barangsiapa mengikuti jenazah maka ia akan mendapat pahala satu qirath”. Ibnu Umar berkata, “Abu Hurairah telah banyak menyampaikan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada kita”. Lalu Aisyah radliyallahu anha membenarkan (ucapan) Abu Hurairah, dan ia berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah mengucapkannya”. Maka Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, “Sungguh-sungguh kami telah mengabaikan banyak qirath”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy: 1323, 1324, Muslim: 945 (56) dan Ahmad: II/ 2-3, 387]. [16]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,

1). “Sepatutnya seorang muslim itu untuk mengikuti jenazah saudaranya yang muslim dan menghadiri pemakamannya dalam keadaan beriman dan mengharapkan balasan (dari Allah ta’ala semata).

2). Mengikuti jenazah itu terbagi dua tingkatan yaitu,

a). Mengikutinya dari sisi keluarganya sampai menyolatkannya.

b). Mengikutinya dari sisi keluarganya sampai selesai menguburkannya.

Kedua kondisi tersebut pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Namun tingkatan yang kedua lebih utama secara zhahir dari beberapa (ungkapan) hadits. Maka siapapun yang melakukannya hal tersebut ia akan mendapatkan pahala sebanya dua qirath”. [17]

Bolehnya tausiyah atau pemberian nasihat ketika selesai menguburkan jenazah

Tausiyah itu bertujuan untuk memberi pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang masih hidup agar mereka dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dan sesudahnya.

Peristiwa kematian dan proses penguburan itu adalah satu dari beberapa waktu dan momen yang tepat untuk menyampaikan nashihat kepada kaum muslimin yang menyaksikan prosesi penguburan dengan nashihat-nashihat tentang kematian dan apa yang terjadi sesudahnya. Sebab di saat itu, perhatian kaum muslimin sedang tertuju kepada satu hal saja yakni mati. Biasanya sesaat di waktu itu mereka melupakan urusan dunia mereka dan muncul rasa kekhawatiran di dalam diri mereka akan kematian yang bisa kapan saja merenggut diri mereka. Lalu timbullah rasa takut kepada mereka akan keadaan mereka jika diletakkan di dalam liang lahad kuburan, sendirian tiada teman, dalam kegelapan, berbungkuskan kain kafan lagi pula akan dimangsa ulat dan cacing tanah secara perlahan. Bahkan bagi yang memiliki keimanan, niscaya ia akan takut terhadap kedatangan Malaikat Munkar dan Nakir alaihima as-Salam yang akan mempertanyakan kepadanya akan perkara-perkara agamanya. Lalu ia takut tidak dapat selamat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dan kemudian ia akan menghadapi siksa kubur yang mengerikan lagi menakutkan. Ma’adzallah.

Mukmin yang paling utama sebagaimana telah disebutkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah yang paling banyak dan sering mengingat kematian lalu mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan keimanan dan berbagai amal shalih, sebagaimana telah termaktub di dalam dalil di bawah ini,

عن ابن عمر أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه و سلم فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ  صلى الله عليه و سلم ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ اْلمـُؤْمِنِيْنَ أَفْضَلُ؟ قَالَ: أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا قَالَ: فَأَيُّ اْلمؤْمِنِيْنَ أَكْيَسُ؟ قَالَ: أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُمْ  ِلمِــَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُوْلَئِكَ اْلأَكْيَاسُ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya ia berkata: aku pernah bersama-sama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu datanglah seorang lelaki dari golongan Anshar, maka ia mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Kemudian ia bertanya, “Wahai Rosulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Orang yang paling baik akhlaknya di antara mereka”. Ia bertanya lagi, “Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?”. Beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian di antara mereka dan yang paling baik persiapannya setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas”. [HR Ibnu Majah: 4259 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [18]

Orang mukmin yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Maka sarana dan hal-hal yang dapat mengingat kematian dan persiapannya itu perlu diwujudkan di dalam kehidupannya seperti menjenguk orang yang sedang sakit, menyaksikan dan menyelenggarakan penguburan jenazah, mengantarkannya ke pekuburan kaum muslimin, menziarahi kubur sesuai syar’iy, mendengar taushiyah dan nashihat di saat yang tepat dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan hal yang sangat dibutuhkan bagi umat manusia, terlebih-lebih kaum muslimin khususnya.

Apalagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam  telah memerintahkan kaum muslimin untuk memperbanyak mengingat kematian sebab mengingat kematian itu merupakan sarana untuk menghancurkan berbagai kelezatan dan kenikmatan dunia. Akankah seseorang itu merasakan lezatnya makanan atau minuman jika dikala itu ia teringat akan kematian yang bisa kapan saja menghampirinya. Bisakah seseorang akan dapat merasakan keasyikan ketika bercanda dan bercengkrama dengan pasangannya jika ia ketika itu teringat akan kematian yang akan datang kepadanya tanpa melihat suasana. Dapatkah seorang muslim menikmati berbagai fasilitas dunia yang menyenangkan jika disaat itu ia teringat akan kematian yang dapat merenggut jiwa siapapun tanpa diduga. Maka diwaktu itulah tumbuh perasaan takut mati yang biasanya dilanjuti dengan melazimkan ibadah yang wajib ataupun yang sunnah, membasahi lidah dan bibir untuk berdzikir, mudah mengulurkan tangan untuk bersedekah, ringan kaki untuk menghadiri kajian-kajian islami, hati lapang dan rindu untuk bertemu dengan kaum shalihin, bergegas meninggalkan berbagai kemaksiatan tanpa hambatan dan lain sebagainya. Terlebih lagi jika baru saja dihadapan matanya, ia melihat seseorang menghembuskan nafas terakhirnya, mendengar suara orang tersebut tatkala sekaratul maut menghimpitnya, merasakan tubuhnya yang kian dingin kaku ketika meregang nyawa, lalu denyut nadi dan detak jantungpun tiada terasa.

 عن أبى هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  : أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ – يعنى اْلمَوْتِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur kelezatan-kelezatan, yaitu kematian”. [HR Ibnu Majah: 4258, at-Turmudziy: 2307, an-Nasa’iy: IV/ 4, Ahmad: II/ 292-293 dan Abu Nu’aim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [19]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,

1). “Disunnahkan bagi setiap muslim yang sehat ataupun yang sedang sakit untuk mengingat kematian dengan hati dan lisannya dan memperbanyak dari (mengingat)nya sehingga kematian (seakan) terbentang di depan kedua matanya. Karena hal tersebut lebih memberi teguran dari mengerjakan kemaksiatan dan lebih membawa kepada ketaatan. Karena kematian itu akan menghalangi kelezatan-kelezatan (dunia). Kita memohon kepada Allah akan keberkahan datangnya (kematian).

2). Orang yang mengingat kematian biasanya ketika di dalam kesempitan maka hal itu akan melapangkannya dan ketika ia di dalam kelapangan maka hal itu juga akan menyempitkannya. Oleh sebab itu mengingat kematian itu senantiasa akan membuatnya bersiap sedia untuk menghadapi perjalanan (menuju akhirat)”. [20]

Adapun contoh pemberian nashihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam Shallallahu alaihi wa sallam ketika selesai menguburkan jenazah adalah sebagaimana di dalam hadits berikut,

 عن علي رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا فىِ جَنَازَةٍ فىِ بَقِيْعِ اْلغَرْقَدِ فَأَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  فَقَعَدَ وَ قَعَدْنَا حَوْلَهُ وَ مَعَهُ مِخْصَرَةٌ فَكَنَسَ وَ جَعَلَ يَنْكُتُ بِمِخْصَرَتِه ثُمَّ قَالَ: مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوْسَةٍ إِلاَّ وَ قَدْ كَتَبَ اللهُ مَكَانَهَا مِنَ اْلجَنَّةِ وَ النَّارِ وَ إِلاَّ وَ قَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيْدَةً قَالَ: فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نَمْكُثُ عَلَى كِتَابِنَا وَ نَدَعُ اْلعَمَلَ؟ فَقَالَ: مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيْرُ إِلىَ عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيْرُ إِلىَ عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ  فَقَالَ: اعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ (لمِــَا خُلِقَ لَهُ) أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَ أَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ ((فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَ اتَّقَى وَ صَدَّقَ بِاْلحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَ أَمَّا مَن بَخِلَ وَ اسْتَغْنَى وَ كَذَّبَ بِاْلحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى))

 Dari Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu berkata, kami pernah (mengurusi) satu jenazah di pekuburan Baqi’ al-Ghorqod. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam datang menemui kami dan duduk, maka kamipun duduk disekitarnya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mempunyai sebatang tongkat (yang melengkung bagian atasnya), lalu menyapukan (tongkat itu ke tanah) dan menggaris-garisnya dengan tongkat itu. Kemudian Beliau bersabda, “Tidaklah seseorang di antara kalian, tidaklah seorang jiwa yang bernafas melainkan telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam surga dan neraka, atau telah ditentukan bahagia atau sengsara”. Berkata Ali, bertanyalah seorang lelaki, “Wahai Rosulullah tidakkah kita nanti akan pasrah kepada kitab catatan kita dan meninggalkan amal?”. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang termasuk golongan bahagia maka ia akan mengarah kepada amalan golongan yang bahagia. Dan barangsiapa yang termasuk golongan sengsara maka ia akan mengarah kepada amalan golongan sengsara”. Beliau bersabda lagi, ”Beramallah kalian, karena semuanya itu dimudahkan (kepada apa yang ditakdirkan untuknya). Adapun golongan bahagia mereka akan dimudahkan untuk beramal golongan bahagia. Dan adapun golongan sengsara mereka akan dimudahkan untuk beramal golongan sengsara. Lalu Beliau membaca ((Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar)). [21] [HR Muslim: 2647 dan al-Bukhoriy: 7552. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [22]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Memberi nashihat di dekat kubur (setelah menguburkan) itu mustahabbah (disunnahkan). Karena hal itu lebih efektif disaat itu. Hal tersebut lantaran melihat orang yang mati dan mengingat kematian itu dapat melembutkan hati dan menghapuskan sifat kerasnya”. [23]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Nashihat adalah mengingatkan manusia dengan sesuatu yang dapat melembutkan hati. Adakalanya dengan memotivasi (targhib) dalam kebaikan atau dengan ancaman (tarhib) dari keburukan, maka itulah nashihat. Seagung-agung, seutama-utama dan sebaik-baik pemberi nashihat untuk hati adalah alqur’an yang mulia, sebagaimana Allah ta’ala berfirman ((Wahai manusia, sungguh-sungguh telah datang kepada kalian nashihat dari Rabb kalian dan sebagai obat bagi apa yang ada di dalam dada, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. QS Yunus/ 10: 57)). Maka alqur’an adalah seagung-agung pemberi nashihat bagi orang yang memiliki hati dan mengarahkan pendengaran lagi menyaksikan (kebenaran). [24]

Demikian penjelasan tentang beberapa amalan yang dapat dilakukan oleh kaum muslimin ketika ada saudaranya sesama muslim yang wafat atau meninggal dunia yaitu berupa memandikan jenazahnya, mengkafani, menyolatkan dan menguburkannya di pemakaman kaum muslimin. Di dalam semua amalan tersebut akan didapati banyak kebaikan dan keutamaan bagi yang melakukannya.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish showab.


[1] https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2013/04/22/ada-apa-setelah-kematian/

[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 2754, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1899, 1900, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1400, Shahih Sunan Ibni Majah: 1266, Misykah al-Mashobih: 1703, Irwa’ al-Ghalil: 743 dan Ahkam al-Jana’iz wa bida’uha halaman 181.

[3] Shahih Sunan Abi Dawud: 2687, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1047, Shahih Sunan Ibni Majah: 1229 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 73-74.

[4] Shahih Sunan Abi Dawud: 2753, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1895 dan Ahkam al-Jana’iz wa bida’uha halaman 169.

[5] Shahih Sunan Abi Dawud: 2747, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1898, Shahih Sunan at-Turmudziy: 835, Shahih Sunan Ibni Majah: 1261, 1262 dan Ahkam al-Jana’iz wa bida’uha halaman 184.

[6] Shahih Sunan Ibni Majah: 1264 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 183.

[7] Mukhtashor Shahih Muslim: 487, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1896, 1897, Shahih Sunan Ibni Majah: 1263 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 183.

[8] Mukhtashor Shahiih al-Imam al-Bukhoriy: 662, Mukhtashor Shahih Muslim: 470, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1802, 1803, Shahih Sunan Abi Dawud: 2724, Shahih Sunan Ibni Majah: 1204, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 964 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 93, 23.

[9] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 661, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1801, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 830 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 93.

[10] Bahjah an-Nazhirin: II/ 188.

[11] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 239.

[12]  Mukhtashor Shahih Muslim: 1417 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3150.

[13] Namun mengantarkan jenazah ke pekuburan kaum muslimin itu hanya diperuntukkan bagi kaum lelaki saja bukan perempuan. Sebagaimana dikatakan oleh  Ummu Athiyah radliyallahu anha,

نُهِيْنَا عَنِ اتِّبَاعِ اْلجَنَائِزِ وَ لَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا

            “Kami dilarang dari mengikuti jenazah namun tidak ditegaskan atas kami”. [Atsar riwayat al-Bukhoriy: 1278, Muslim: 938, Abu Dawud: 3167, Ibnu Majah: 1577 dan Ahmad: VI/ 408, 409. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud: 2711, Shahih Sunan Ibnu Majah dan Ahkam al-Jana’iz halaman 90-91].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Larangan itu pada asalnya adalah berfaidah untuk pengharaman selama tidak datang (dalil) qarinahnya, yang menjadikannya untuk tanzih (untuk membersihkan dari keburukan) sebagaimana di dalam hadits tersebut. Yaitu ucapan Ummu Athiyah radliyallahu anha yaitu, “Tidak ditegaskan atas kami”. [Bahjah an-Nazhirin: II/ 181].

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Yang shahih bahwa wanita mengikuti jenazah hukumnya adalah haram. Bahwa hal tersebut tidak boleh bagi wanita untuk mengikuti jenazah karena apabila ia mengikutinya maka tidak diragukan ia adalah seorang yang lemah, boleh jadi ia akan berteriak, memekik dengan suara yang keras, memukul pipi, mencabut rambut, merobek-robek pakaian, dan juga akan terjadi bercampur baurnya para pria dan wanita di dalam mengantarkan jenazah yang dapat menimbulkan fitnah dan hilangnya hikmah dari mengikuti jenazah jika para pria atau orang-orang yang hina dari kaum pria yang tidak mempunyai keinginan kecuali untuk bertemu dengan para wanita dan bersenang-senang dengan memandangi mereka. Maka yang wajib adalah melarang para wanita dari mengikuti jenazah karena hal tersebut adalah haram dan tidak boleh (dilakukan oleh mereka), sebagaimana ziarah kubur juga diharamkan bagi mereka. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah melaknat para wanita yang menziarahi kuburan dan juga melaknat orang-orang yang telah menjadikan masjid-masjid dan penerangan-penerangan di atasnya. [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 231].

[14] Shahih al-Adab al-Mufrad: 403, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4109, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1981 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 86.

[15] Mukhtashor Shahih Muslim: 481, Shahih Sunan at-Turmudziy: 831, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1832, 1885, 1886, 1887, Shahih Sunan Abi Dawud: 2712, 2713, Shahih Sunan Ibni Majah: 1250, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6134, 6135, 6136, 6137, 6138 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 88.

[16] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 65 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 89.

[17] Bahjah an-Nazhirin: II/ 180 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 87.

[18] Shahih Sunan Ibni Majah: 3435 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1384.

[19] Shahih Sunan Ibni Majah: 3434, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1877, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1720, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1210, 1211, Misykah al-Mashobih: 1607 dan Irwa’ al-Ghalil: 682.

[20] Bahjah an-Nazhirin: I/ 734.

[21]  QS. al-Lail/ 92: 5-10.

[22] Mukhtashor Shahih Muslim: 1844 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5794.

[23] Bahjah an-Nazhirin: II/ 190.

[24] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 243.

SAUDARAKU, MARI KITA BERSIAP UNTUK MENGHADAPI KEMATIAN !!

SEMUA YANG BERNYAWA NISCAYA AKAN MERASAKAN KEMATIAN

MATI1 بسم الله الرحمن الرحيم

Kematian adalah sesuatu yang pasti menimpa siapapun manusia di dunia, yang mukminnya ataupun yang munafik atau yang kafirnya, ulamanya ataupun kaum awamnya, lelaki ataupun perempuannya, yang mudanya ataupun yang tuanya, kaum kayaknya ataupun miskinnya, golongan pejabat ataupun rakyat jelatanya dan selainnya, niscaya mereka semuanya akan mengalami kematian. Hal tersebut sebagaimana yang telah banyak di alami oleh umat-umat terdahulu dan sekang ini, dan juga pernah dialami oleh seorang shahabat dari golongan Anshor yang diselenggarakan penguburannya oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum, sebagaimana persaksian al-Barra’ bin ‘Azib radliyallahu anhu di dalam pembahasan dari hadits terdahulu. [1]

Hal inipun didukung oleh beberapa dalil berikut ini,

تَبَارَكَ الَّذِى بِيَدِهِ اْلمـُلْكُ وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِى خَلَقَ اْلـمَوْتَ وَ اْلحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَ هُوَ اْلعَزِيزُ اْلغَفُورُ

 Maha berkah Allah, yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha perkasa lagi Maha pengampun. [QS. Al-Mulk/ 67: 1-2].

Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan mati dan hidup. Jika Allah Azza wa Jalla telah menciptakan kehidupan bagi seorang manusia, maka Ia juga akan menciptakan kematian baginya. Maka kematian adalah sesuatu yang dipastikan akan dimiliki oleh setiap makhluk hidup sebagaimana Allah Jalla wa Ala pernah memberikan kehidupan kepadanya. Sebab setiap yang memiliki jiwa niscaya akan merasakan kematian, meskipun ia berusaha dengan maksimal dan optimal untuk selalu menjauhi dan menghindarinya. Kendatipun ia berada di dalam benteng kuat yang tak mudah dihancurkan senjata canggih apapun yang dijumpai di muka bumi, bungker kokoh yang keberadaannya sangat tersembunyi, istana megah yang diawasi oleh ribuan penjaga perkasa tak tertandingi namun tetap kematian itu akan datang menemui dan menghampirinya tiada peduli. Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut ini,

وَ مَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ اْلخُلْدَ أَفَإِين مِّتَّ فَهُمُ اْلخَالِدُونَ

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?. [QS al-Anbiya’/21: 34].

 كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ اْلمـَوْتِ

 Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. [QS. Ali Imran/3: 185, al-Anbiya’/21: 35 dan al-Ankabut/29: 57].

مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَ مَا يَسْتَئْخِرُونَ

 Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan(nya). [QS al-Hijr/ 15: 5].

 قُلْ إِنَّ اْلمـَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ اْلغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكَمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Katakanlah, Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, kemudian kalian akan dikembalikan kepada Allah, Yang mengetahui keghaiban dan yang nyata. Lalu Ia akan beritakan kepada kalian apa yang kalian telah kerjakan. [QS. Al-Jumu’ah/62: 8].

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ اْلمـَوْتُ وَ لَوْ كُنتُمْ فِى بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ

 Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [QS. An-Nisa’/ 4: 78].

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna di dalam alqur’an bahwasanya setiap yang berjiwa akan merasakan kematian dan ketidak-abadian. Karena keabadian itu hanya ada di hari kiamat kelak, di dalam surga dengan segala kenikmatannya atau di dalam neraka dengan segala kesengsaraanya. Apakah kematian yang merenggut nyawanya itu karena penyakit yang menimpanya, kecelakaan kendaraan atau pesawat yang ditumpanginya, terbenam dalam kubangan air yang menenggelamkannya, teruruk dalam bongkahan-bongkahan tanah yang menguburnya, terbakar oleh api yang mengepungnya, terbunuh oleh lawan yang berseteru dengannya ataupun dengan sebab-sebab lainnya.

Setiap manusia meskipun ia takut mati sehingga ia hanya berdiam diri di rumahnya dalam rangka menghindar dari kematian maka jikalau telah ditentukan kematian kepadanya niscaya ia akan mendatangi tempat dimana ia akan mati di tempat tersebut dan akan tertimpa sesuatu peristiwa yang menyebabkan kematian yang telah ditentukan baginya. Hal ini sebagaimana telah diungkapkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalam ayat berikut,

قُلْ لَّوْ كُنتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ اْلقَتْلُ إِلَى مَضَاجَعِهِمْ

Katakanlah, “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. [QS Alu Imran/ 3: 154].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penetapan akan dasar qodlo dan qodar Allah. Bahwa orang yang telah ditetapkan kematian baginya di suatu tempat maka ia pasti akan mati di tempat tersebut”. [2]

Maka kematian itu niscaya akan menghampiri setiap jiwa dalam berbagai keadaan, apakah matinya itu lantaran memperjuangkan agama Allah dengan bentuk berjihad dengan harta, lisan dan jiwa, kelelahan tatkala mengerjakan beberapa ibadah dari ibadah-ibadah yang disyariatkan oleh agama, membantu dan mengajak orang lain untuk ikut berpartisipasi di dalam menegakkan Islam sebagai agama yang paling bersahaja dan lain sebagainya. Ini adalah kematian yang mengandung kemuliaan. Ataukah matinya itu ketika sedang membela kebatilan yang selama ini ia yakini, melakukan berbagai kemaksiatan yang selama ini ia sukai, membantu dan mengajak orang lain untuk menentang dan melawan kebenaran yang selama ini ia benci dan jauhi dan lain sebagainya. Ini adalah kematian yang mengundang kenistaan. Mati berbalutkan kemuliaan ataukah mati berselimutkan kenistaan, itulah dua pilihan yang mesti diambil oleh setiap manusia yang niscaya akan melampaui dan memilih salah satu di antara keduanya.

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَ إِمَّا كَفُورًا

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur. [QS. Al-Insan/ 76: 3].

Bahkan di dalam setiap kematian itu terdapat sekarat, yang mesti di alami oleh setiap manusia baik yang mukmin, munafik ataupun kafirnya.

وَ جَآءَتْ سَكْرَةُ اْلـمَوْتِ بِاْلحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ

Dan datanglah sekaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. [QS. Qof/ 50: 19].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat secara pasti. Ya Allah mudahkanlah sekaratul maut atas kami”. [3]

وَ لَوْ تَرَى إِذِ اْلظَّالِمـُونَ فِى غَمَرَاتِ اْلمـَوْتِ وَ اْلمـَلَائِكَةُ بَاسِطُوا أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنفُسَكُمْ

 Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim berada dalam tekanan sekaratul maut, sedangkan para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu”. [QS. Al-An’am/ 6: 93].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penetapan adanya adzab kubur dan sekaratul maut”. Di dalam hadits, “Bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat”. [4]

 عن عائشة كَانَتْ تَقُوْلُ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ –  عُلْبَةٌ فِيْهَا مَاءٌ – يَشُكُّ عُمَرُ – فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَهُ فىِ اْلمـَاءِ فَيَمْسَحُ بِهَا وَجْهَهُ وَ يَقُوْلُ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُوْلُ: فىِ الرَّفِيْقِ اْلأَعْلىَ حَتىَّ قُبِضَ وَ مَالَتْ يَدُهُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sesungguhnya di hadapan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ada sebuah bejana (yang terbuat dari kulit atau mangkuk) –Umar ragu-ragu- yang berisi air. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam air itu dan membasuh wajahnya dengannya. Beliau bersabda, “Laa ilaaha illallah (tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah), sesungguhnya kematian itu memiliki sekarat”. Kemudian beliau mengangkat tangannya seraya bersabda, “Berada di tempat yang tinggi”. Sehingga beliau wafat sedangkan tangannya mengendur/ terkulai. [HR al-Bukhoriy: 6510. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [5]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat dan kesulitan sehingga para Nabi Alaihim as-Salam pun meminta diringankan dari sekarat ini”. [6]

Berdasarkan ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwasanya setiap kematian yang menimpa seseorang itu niscaya terdapat sekarat, yaitu suatu tekanan yang amat berat lagi menyulitkan ketika menjelang kematiannya sehingga orang tersebut seperti orang yang kehilangan akal dan kesadarannya sebagaimana keadaan orang yang sedang mabuk. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala meringankan kita dari sekaratul maut ini seringan-ringannya.

Hadits dari Aisyah radliyallahu anha di atas menjadi dalil akan bolehnya bagi orang yang sakit untuk mempergunakan air pada bagian kepalanya (ngompres) untuk meringankan sakit panas yang menimpanya dan juga disunnahkan baginya untuk selalu memohon ampunan dan rahmat dari-Nya. Hal ini juga didukung oleh dalil berikut ini,

 عن عائشة قَالَتْ: سَمِعْتُ النَّبِيِّ وَ هُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَيَّ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لىِ وَ ارْحَمْنىِ وَ أَلْحِقْنىِ بِالرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata sedangkan beliau sedang bersandar kepadaku, “Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan himpunkan aku di tempat yang tinggi”. [HR al-Bukhoriy: 5674 dan Muslim: 2444. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].  [7]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Sepatutnya bagi orang yang sakit itu untuk meminta ampunan dan rahmat. Ia tidak boleh berputus asa dari pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala dan tidak boleh berputus harapan dari rahmat-Nya”. [8]

Maka dianjurkan bagi setiap muslim, ketika tertimpa sakit apalagi sakitnya itu mendekati tanda-tanda kematian untuk memperbanyak meminta ampun dan rahmat kepada Allah Jalla dzikruhu, selalu memuji-Nya, menghiasi diri dengan berbaik sangka kepada-Nya dan senantiasa berharap berjumpa dengan-Nya dan takut terhadap akibat dari dosa-dosa yang telah dikerjakannya. Hal ini sebagaimana telah disinyalir di dalam dalil-dalil hadits berikut ini,

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengambil seorang anak perempuan asuh yang hampir meninggal dunia. Beliau meletakkannya di atas dadanya (memeluknya), lalu ia meninggal dunia di dalam pelukannya. Maka Ummu Ayman radliyallahu anha pun berteriak menangis. Dikatakan kepadanya, “Mengapa kamu menangis di sisi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?”. Iapun berkata, “Bukankah aku juga  melihatmu  menangis wahai Rosulullah?”. Beliau Shallallahu alaihi wa sallampun bersabda, “Aku tidaklah menangis, ini hanyalah rahmat (rasa kasih sayang)”.

إِنَّ اْلمـُؤْمِنَ بِكُلِّ خَيْرٍ عَلَى كُلِّ حَالٍ إِنَّ نَفْسَهُ تَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ جَنْبَيْهِ وَ هُوَ يَحْمَدُ اللهَ عز و جل

 “Sesungguhnya orang mukmin itu selalu di dalam kebaikan di atas setiap keadaan, sesungguhnya jiwanya keluar dari jasadnya sedangkan ia dalam keadaan memuji Allah Azza wa Jalla”. [HR Ahmad: I/ 273-274. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy shahih]. [9]

 عن جابر رضي الله عنه قَالَ: َسمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِثَلاَثٍ قَالَ: لاَ يَمُوْتُ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَ هُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan tiga hal sebelum wafatnya. Beliau bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian mati melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah”. [HR Abu Dawud: 3113, Muslim, Ibnu Majah: 4167 dan Ahmad: III/ 293, 325, 330, 334, 390. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [10]

Dari Anas radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk menemui seorang pemuda yang sedang mendekati kematian. Beliau bersabda, “Apa yang kamu rasakan?”. Ia menjawab, “Demi Allah, wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mengharapkan Allah dan aku takut terhadap dosa-dosaku”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 لاَ يَجْتَمِعَانِ فىِ قَلْبِ عَبْدٍ فىِ مِثْلِ هَذَا اْلمـَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ مَا يَرْجُوْ وَ آمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ

“Tidaklah keduanya terhimpun di dalam hati seorang hamba di semisal tempat ini melainkan Allah akan memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan mengamankannya dari apa yang ia takuti”. [HR at-Turmudziy: 983, Ibnu Majah: 4261 dan Ibnu Abi ad-Dunya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [11]

Begitu pula disyariatkan bagi setiap muslim yang sedang menemani atau menjaga keluarganya yang sedang sakit untuk selalu mentalkinkan kalimat syahadat baginya itu dengan ucapan “laa ilaaha illallah”. [12] Yakni muslim tersebut membimbing orang yang sakit itu untuk dapat melafazhkan atau mengucapkan kalimat syahadat itu dengan fasih dan benar, sebab jika akhir hidup saudaranya itu ditutup dengan ucapan tersebut maka ia akan masuk ke dalam surga, meskipun ia diadzab terlebih dahulu  di dalam neraka sesuai dengan perbuatan-dosa-dosa yang telah ia kerjakan.  Hal  ini pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika membesuk pamannya yaitu Abu Thalib dan seorang anak Yahudi yang sedang sakit. Beliau menawarkan Islam kepada keduanya dengan cara mengucapkan kalimat syahadat, tetapi Abu Thalib menolak ajakan beliau dan anak Yahudi itu menerima ajakannya. [13]

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ قَوْلَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Talkinkan orang yang hendak mati di antara kalian dengan mengucapkan “laa ilaaha illallah”. [HR Abu Dawud: 3117, Muslim: 916, 917, at-Turmudziy: 976, an-Nasa’iy: IV/ 5, Ibnu Majah: 1444, 1445 dan Ahmad: III/ 3. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

عن معاذ بن جبل قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ اْلجَنَّةَ

 Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu  berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang akhir ucapannya “laa ilaaha illallah” maka dia akan masuk surga”. [HR Abu Dawud: 3116 dan Ahmad: V/ 233 dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

Hal ini mesti dijaga oleh setiap muslim sebab setan tidak pernah lalai di dalam menyesatkan dan menggelincirkan manusia di setiap keadaannya, sehingga ia berusaha menutupi akhir kehidupannya dengan kesudahan yang buruk (su’ul khatimah). Ma’adzallah.

 عن جابر رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ حَتىَّ  يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ فَإِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمْطِ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَ لاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ فَإِذَا فَرَغَ فَلْيَلْعَقْ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فىِ أَيِّ طَعَامِهِ تَكُوْنُ اْلبَرَكَةُ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang dari kalian pada setiap keadaannya, hingga akan mendatanginya disaat makan. Sebab itu apabila jatuh sepotong makanan, maka hendaklah ia membuang (membersihkan) kotorannya lalu memakannya. Dan hendaklah ia tidak membiarkannya dimakan oleh setan Dan jika telah selesai makan, hendaklah ia menjilati jari jemarinya, karena ia tidak tahu pada bahagian makanan yang manakah adanya berkah”. [HR Muslim: 2033. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Setan selalu mengamati hamba di segala gerak geriknya. Apabila seseorang lalai dari manhaj Allah maka setan akan dapat menguasainya”. [17]

Jika setan senantiasa berusaha menggelincirkan setiap hamba di segala keadaannya, bahkan tatkala sedang makan yang ia berusaha menghilangkan atau melenyapkan berkah dari orang tersebut. Maka kesungguhannya untuk memalingkan mereka dari Allah Subhanahu wa ta’ala, tentu akan lebih tatkala ada di antara mereka yang sedang meregang nyawa hendak meninggalkan dunia yang fana ini.

Dari sebab itu, hendaknya setiap hamba selalu ingat kepada Allah Azza wa Jalla  dengan selalu memuji-Nya, memohon rahmat dan ampunan-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, meminta kepada-Nya agar diwafatkan dalam keadaan Islam dan Iman, dimudahkan dari sekaratul maut dan melazimkan lisan untuk berdzikir kepada-Nya. Begitupun keluarga yang mendampinginya ketika sakitnya, hendaknya membimbingnya dengan mentalkinkan kalimat “laa ilaaha illallah” kepadanya, menashihati dan menyuruhnya agar selalu sabar dan ridlo terhadap ketetapan-Nya. Janganlah mereka membiarkan celah sedikitpun bagi setan untuk dapat memalingkannya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Malaikat maut alaihi as-Salam adalah malaikat yang diserahi tugas untuk mencabut nyawa.

Hadits dari al-Barra’ bin Azib radliyallahu anhu di atas juga menerangkan tentang nama Malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawa setiap orang yang telah ditentukan kematian atasnya dengan nama Malaikat maut Alaihim as-Salam. Hal inipun sebagaimana telah disebutkan di dalam ayat berikut ini,

قُلْ يَتَوَفَّاكُم مَّلَكُ اْلمـَوْتِ الَّذِى وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ

Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi tugas untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu. Kemudian hanya kepada Rabbmulah, kamu akan dikembalikan.” [QS. As-Sajadah/ 32: 11].

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Ini (yaitu Malaikat maut) adalah merupakan namanya di dalam alqur’an dan sunnah. Adapun penamaan malaikat Izrail itu tidak ada asalnya, (hal ini jelas) berbeda dengan apa yang telah mahsyur (terkenal) di sisi manusia. Barangkali nama tersebut adalah termasuk dari cerita israilliyat”. [18]

Kedatangan Malaikat maut ini diawali dengan datangnya beberapa malaikat yang menyertainya, apakah para malaikat yang berwajah putih bersinar laksana mentari, yang pada tangan mereka ada kain kafan dari kain kafan surga dan balsem dari balsem surga. Ataukah para malaikat yang berwajah hitam kelam, yang keras lagi bengis yang pada tangan mereka ada semacam karung goni dari neraka. Manakah di antara dua golongan malaikat itu yang datang?, maka itu menunjukkan keadaan orang yang hendak mati. Jika yang datang itu adalah golongan malaikat yang pertama maka yang hendak meninggal dunia itu adalah termasuk orang mukmin yang gemar beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, yang kelak akan menempati surga dan meraih keridloan-Nya. Namun jika yang datang itu golongan malaikat yang kedua maka niscaya yang akan meninggal dunia itu adalah orang kafir atau munafik yang kerap berbuat dosa, yang kelak akan menempati neraka dan mendapatkan kemurkaan-Nya.

حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَكُمُ اْلمـَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَ هُمْ لَا يُفَرِّطُونَ

Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh para utusan Kami (yaitu para Malaikat), dan utusan-utusan Kami itu tidak pernah melalaikan kewajibannya. [QS. Al-An’am/ 6: 61].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “((ia diwafatkan oleh utusan-utusan Kami))  yaitu Malaikat maut dan kawan-kawannya”. [19]

Demikian sekilas penjelasan tentang kematian yang pasti akan datang menghampiri setiap makhluk hidup, khususnya umat manusia. Kaum pria ataupun para wanita, para penguasa ataupun rakyat jelata, kaum berpendidikan ataupun kaum yang terhimpit kebodohan, para ulama ataupun kaum awamnya, golongan mukminin ataupun kaum munafikin dan kafirin, dan selainnya. Semuanya mereka pasti akan didatangi oleh maut tanpa terkecuali dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita sebagai umat Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam sebagai orang-orang yang siap menghadapi kematian dengan keimanan dan amal-amal shalih dan meninggalkan dunia yang fana ini dengan husnul khatimah.

 


[2] Aysar at-Tafasir: I/ 399.

[3]  Aysar at-Tafasir: V/ 145.

[4]  Aysar at-Tafasir: II/ 93.

[5]  Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 7175.

[6]  Bahjah an-Nazhirin: II/ 168.

[7]  Mukhtashor Shahih Muslim: 1664 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1267.

[8]  Bahjah an-Nazhirin: II/ 167.

[9]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1931 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1632.

[10]  Shahih Sunan Abi Dawud: 2670, Mukhtashor Shahih Muslim: 455, Shahih Sunan Ibni Majah: 3360, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7792 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 11.

[11] Shahih Sunan at-Turmudziy: 785, Shahih Sunan Ibni Majah: 3436, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1051, Misykah al-Mashobih: 1612 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 11.

[12] Talkin itu bukan membacakan surat Yasin atau sejenisnya. Dari sebab itu pembacaan surat Yasin kepada orang yang sedang datang tanda-tanda kematiannya atau sesudahnya itu adalah perkara muhdats (yang baru diada-adakan) atau termasuk perkara bid’ah. (lihat Ahkam al-Jana’iz halaman 20 dan Mu’jam al-Bida’ halaman 533). Apalagi riwayat yang menyuruh membacakan surat Yasin untuk orang yang mendekati ajal adalah hadits dla’if (lemah), sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah: 1488, Ahmad: V/ 26, 27, Abu Dawud: 3121, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Ma’qil bin Yasar. [Lihat Dla’if Sunan Ibni Majah: 308, Dla’if Sunan Abi Dawud: 683, Dla’if al-Jami’ ash-Shaghir: 1071, Misykah al-Mashobih: 1622 dan Irwa’ al-Ghalil: 688].

[13]  Ajakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terhadap pamannya itu dikeluarkan oleh al-Bukhoriy: 1360, 3884, 4675, 4772, 6881, Muslim: 34 dan Ahmad: II/ 343, 441 dari al-Musayyab. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 680 dan Mukhtashor Shahiih Muslim: 3. Adapun ajakan Beliau terhadap anak Yahudi dikeluarkan oleh al-Bukhoriy: 1356, 5657, al-Hakim dan Ahmad: III/ 175, 227, 260, 280 dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 676 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 21.

[14] Mukhtashor Shahih Muslim: 453, Shahih Sunan Abi Dawud: 2674, Shahih Sunan at-Turmudziy: 781, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1722, Shahih Sunan Ibni Majah: 1185, 1186, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5148, Irwa’ al-Ghalil: 686 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 19.

[15] Shahih Sunan Abi Dawud: 2673, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6471, Misykah al-Mashobih: 1621, Ahkam al-Jana’iz halaman 48 dan Irwa’ al-Ghalil: 687.

[16] Mukhtashor Shahih Muslim: 1304 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1659.

[17] Bahjah an-Nazhirin: I/ 246.

[18]  Ahkam al-Jana’iz halaman 199.

[19]  Aysar at-Tafasir: II/ 71.

ADA APA SETELAH KEMATIAN??

PERJALANAN RUH ORANG MUKMIN DAN SELAINNYA SETELAH KEMATIANNYA

بسم الله الرحمن الرحيم

KUBUR2Tak terhitung kita menyaksikan kematian yang menimpa seseorang di antara kita ketika datang ajalnya. Tak berbilang kita mengurus jenazah dari memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkannya. Dan tak terkira pula kita dirundung duka lantaran orang terdekat dan tercinta kita berpulang menghadap Ilahi Rabbi meninggalkan kita yang sedang diterpa duka. Atau tak sedikit di antara kita yang menyaksikan secara langsung seseorang yang sedang meregang nyawa, nafasnya tersengal berat meninggalkan jasad yang mulai mendingin kaku merata, mata nanar memandang ke arah atas kepala, lalu terkulai lemas tak lagi berjiwa.

Seringkali terjadi, di pagi hari kita bersapa dengan seseorang namun di sore harinya kita mendengar kabar kematiannya. Tak jarang kita jumpai, di sore hari kita berjumpa dengan seseorang di tempat kajian atau selainnya tetapi di pagi harinya kita dikabarkan akan berita kematiannya pula. Adakalanya kita baru saja bercanda ria dengan seseorang dan tak lama berselang kematian menjemputnya yang mengakibatkan air mata meneteskan duka. Bahkan ada juga yang baru saja kita bertemu muka dengan seseorang di suatu tempat namun tak beberapa lama kita menyaksikannya terbujur kaku tiada daya.

Namun adakah pelajaran dan hikmah dari berbagai peristiwa tersebut, sadarkah kita bahwa suatu saat kitapun akan menyusul mereka yang telah mendahului kita, apakah kita paham bahwa kematian itu akan datang kapan saja, dimana saja dan ketika sedang berbuat apa saja dan sudahkah pula kita mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan kita yang sebenarnya?.

Dan apakah kita juga telah mengetahui perjalanan kita setelah terenggutnya nyawa dari raga yang fana dan berpisahnya ruh dari jasad yang lusuh?. Kita akan berada di dalam suatu perjalanan berat mencekam lagi menakutkan yang tidak akan mungkin seseorang dapat kembali lagi untuk memperbaiki diri. Perjalanan yang menanggalkan semua pangkat, jabatan ataupun kedudukan, sebab semuanya menghadap kepada Rabbnya sebagai seorang hamba sahaya. Perjalanan yang meninggalkan anak dan istri tercinta, orang tua terkasih, sanak kerabat terdekat atau siapapun orang yang selama ini berada di sisinya, sebab semua orang akan datang kepada-Nya sendirian tanpa seorangpun teman yang menyertainya. Perjalanan yang tiada membawa perbekalan makanan atau harta benda sedikitpun sebab yang dibawa hanyalah amal semata. Perjalanan yang tidak dipedulikan lagi wajah yang tampan rupawan ataupun cantik menawan karena semuanya itu sama di sisi-Nya. Perjalanan yang setiap manusia akan mendapat hasil dari apa yang telah diusahakannya, apakah berupa pedihnya siksaan yang menyengsarakan atau kenikmatan hakiki yang abadi.

Kita akan dikubur di dalam tanah lembab yang gelap berbungkuskan kafan putih ganjil tidak genap, sendirian tiada sanak keluarga, teman penyerta ataupun harta benda yang kita himpun sejak muda. Berkalang tanah, kering ataupun basah, dipojokkan dalam liang lahad dimakan ulat tanah lalu hancur luluh dimakan waktu. Bahkan tak jarang dari kuburan yang tergali dijumpai tulang belulang yang saling berselisih tumpang tindih, tulang yang hancur luluh menjadi debu, hitam pekat laksana terbakar api atau juga tubuh-tubuh yang rusak tergores seperti kena cambuk atau bekas hantaman penumbuk dan sebagainya. Semuanya itu lantaran siksa kubur yang sudah dipastikan adanya. Ma’adzallah.

Atau juga di antara kita banyak terdapat jasad-jasad yang tak diketahui rimbanya, tenggelam di dalam lautan yang luas lantaran kapalnya kandas, terdampar di suatu hutan lebat yang ganas lalu di mangsa binatang buas, teronggok menjadi abu karena terkepung kobaran api yang panas atau hancur menjadi banyak serpihan akibat terkena ledakan dahsyat yang amat keras.

Mata kita hanya tertuju kepada jasad yang telah kaku, dingin dan memucat, namun sebenarnya ruh dari jasad itu sedang mengadakan suatu perjalanan yang tidak pernah diimpikan sebelumnya. Suatu perjalanan yang menembus langit demi langit untuk bertemu dengan Pemilik dan Penciptanya, jika ruh itu milik seorang mukmin. Namun jika ruh itu milik selainnya, maka perjalanan itu bahkan tidak akan menembus langit pertama. Perjalanan itu sudah tentu akan dilakoni oleh semua anak Adam, baik kaum pria ataupun wanitanya, kaum kaya ataupun yang miskinnya, kelompok pemilik kekuasaan ataupun rakyatnya, golongan terpelajar ataupun awamnya atau kaum mukminin ataupun kafir dan munafiknya. Lalu setiap ruh akan kembali kepada jasadnya di dalam kubur untuk  bersiap-siap mendapatkan ujian atau pertanyaan dari dua malaikat penguji yaitu Munkar dan Nakir alaihima as-Salam tentang perkara-perkara agama.

Pandangan kitapun hanya melihat onggokan-onggokan tanah yang berbentuk punuk atau rata dengan tanah di daerah pekuburan yang setiap kuburnya itu luasnya hanya seukuran tubuh penghuninya. Tetapi di dalamnya terdapat tempat yang amat luas, tercium wewangian yang sangat harum semerbak dan bertiup angin yang amat sejuk merona. Ini adalah tempat istirahat yang paling ideal dan menyenangkan disaat menantikan datangnya hari akhir. Yang semuanya itu diperuntukkan untuk penghuninya yang komit dalam keimanan dan gemar mengerjakan amal-amal shalih. Dan di dalamnya juga terdapat tempat yang sempit menghimpit tubuh yang dapat membuat tulang saling berselisih, hembusan angin panas, kobaran api menggelegak, sungai merah darah tempat berenang para pemakan riba, gada besar yang dapat merontokkan gunung menjulang, cemeti besi yang dapat mengoyak tubuh-tubuh kekar atau indah padat berisi, tombak berkail yang dapat merobek mulut-mulut mungil namun suka berkata dusta, gunjing lagi usil dan lain sebagainya. Yang semuanya itu diperuntukkan untuk penghuninya yang kerap terkukung keraguan dalam beragama dan gemar melakukan kemaksiatan tanpa pernah berpikir panjang akan akibatnya.

Tak ada bedanya suasana pekuburan itu apakah terpencil jauh dari pemukiman ataupun padat berdesakan dengan penduduk sekitarnya. Sama saja apakah pekuburan itu nampak indah lagi asri pemandangannya ataukah nampak kumuh berlumut, semrawut tiada tertata. Atau juga tiada beda, apakah di dalam satu kubur itu tertanam satu, dua atau banyak jasad bertumpuk menjadi satu yang tercampur antara orang shalih dan yang tidaknya. Atau bahkan kondisi jasad-jasad yang tak tertanam di dalam kubur-kubur yang semestinya, lantaran tidak diketahui dimanakah jasadnya berada. Maka keadaan nikmat dan adzab kubur itu sudah tentu dan pasti akan didapat dan dialami oleh para pelakon di dunia ini. Apakah kenikmatan dan penyiksaan itu akan dirasakan oleh ruhnya saja atau dapat dirasakan oleh jasad dan ruhnya sekaligus, sebagaimana akan datang penjelasannya, in syaa Allah.

Mata dan telinga kita tertipu oleh bentuk lahiriah sebuah tempat yang bernama kuburan, sebuah tempat yang sedikit sekali orang yang berminat untuk tinggal di dalamnya. Padahal suka ataupun tidak, setiap manusia tentu akan menempatinya suatu saat kelak. Apakah mereka akan tinggal di dalamnya dengan bergelimang kenikmatan ataukah berkubang kesengsaraan sampai suatu waktu, mereka akan dibangkitkan dari dalamnya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Yang pada waktu itu mereka akan diminta pertanggungjawaban terhadap apa yang telah mereka perbuat sepanjang hidupnya di dunia. Sebab kuburan itu hanyalah suatu tempat persinggahan untuk menuju kehidupan akhirat yang kekal abadi.

Menceritakan perjalanan ruh manusia itu bukanlah perkara mudah sebab hal ini termasuk dalam perkara-perkara ghaib yang tiada seseorangpun yang mengetahui dan dapat menjelaskannya kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Dari sebab itu, setiap orang yang berusaha keras menceritakan berbagai perkara ghaib padahal tidak ada pengetahuan itu baginya, maka hal itu merupakan kedustaan dan khayalan dari si pencerita semata dan bagaikan pepesan kosong belaka. Bahkan boleh jadi perbuatannya tersebut merupakan kesesatan dan penyesatan bagi umat manusia. Maka setiap muslim mesti jeli dan waspada terhadap rangkaian celotehan dan tulisan dari orang tersebut sebagaimana waspadanya mereka terhadap uraian penjelasan suatu perkara yang keluar dari ucapan atau pikiran orang yang telah diketahui sebagai orang yang bukan ahlinya. Misalnya: akankah seseorang diantara kita mendatangi seseorang yang tidak mengerti sedikitpun tentang kedokteran ketika hendak mengkonsultasikan penyakit yang dideritanya, atau mendatangi seseorang yang tidak mengetahui sedikitpun tentang ilmu bangunan tatkala hendak membangun atau merehab rumahnya, atau mendatangi seseorang yang tidak memahami sedikitpun tentang mesin kendaraan dikala hendak memperbaiki mobil atau motornya yang sedang rusak dan seterusnya. Tentu kita tidak akan mau apalagi berminat untuk mendatangi mereka bahkan untuk hanya sekedar mendengarkan teori-teori mereka tentang sesuatu yang mereka tidak ketahui dan kuasai, kita akan berusaha menutup telinga kita, menghindar dari mereka semampu yang kita bisa dan bahkan menyuruh mereka diam tidak berkata apalagi nyerocos tiada jeda.

Pun demikian, maukah kita membaca teori atau mendengar celotehan orang yang telah terpedaya setan itu ketika menjelaskan berbagai perkara ghaib yang jelas ia tidak ketahui. Semua yang diucapkan dan diceritakannya itu jelas hanyalah rekayasa semata yang keluar dari dugaan dan khayalannya yang tidak memiliki landasan kokoh lagi kuat.

Maka dari sebab itu, jika kita ingin mengetahui berbagai perkara ghaib, khususnya tentang masalah perjalanan ruh setelah berpisah dengan jasad dan kondisinya di dalam kubur, kita wajib mengembalikan penjelasan tersebut kepada yang berhak untuk menerangkannya yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam yang memang telah diridloi oleh Allah Jalla wa Ala untuk menjelaskannya. Penjelasan Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tersebut telah tertuang di dalam alqur’an yang mulia dan hadits-hadits shahih yang telah tsabit dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam lalu dipaparkan oleh para ulama shalih terdahulu yang mengikuti jejak nabi mereka Shallallahu alaihi wa sallam. Sebab mereka adalah orang-orang yang paling ambisi mencari dan tunduk kepada kebenaran serta membelanya, yang paling giat mengerjakan amal-amal shalih dan melanggengkannya, yang paling mencocoki akhlak dan perilaku Nabi Shallallahu alaihi wa sallam daripada selainnya, yang paling mendahului iman daripada akal logika semata dan yang paling mengedepankan amal daripada berteori belaka.

Berangkat dari inilah maka kami, mengangkat sebuah hadits yang cukup panjang yang diceritakan oleh seorang shahabat mulia yang bernama al-Barra’ bin Azib radliyallahu anhu, yang in syaa Allah banyak terdapat pelajaran dan faidah di dalamnya, bagi orang yang mempunyai hati nan suci, serta selalu mengarahkan pandangan dan pendengarannya kepada kebenaran.

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رضي الله عنه قَالَ: خَرَجِنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فِى جَنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَ لَمَّا يُلْحَدُ فَجَلَسَ رَسُوْلٌ اللهِ صلى الله عليه و سلم مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَ جَلَسْنَا حَوْلَهُ وَ كَأَنَّ عَلَى رُؤُوْسِنَا الطَّيْرَ وَ فِى يَدِهِ عَوْدٌ يَنْكُتُ فِى اْلأَرْضِ وَ جَعَلَ يَرْفَعُ بَصَرَهُ وَ يُخْفِضُهُ ثَلاَثًا فَقَالَ: اسْتَعِيْذُوْا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ:

إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِى انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَ إِقْبَالٍ مِنَ اْلآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلاَئِكَةٌ مِنَ السَّمَاءِ بِيْضُ الْوُجُوْهِ كَأَنَّ وُجُوْهَهُمُ الشَّمْسَ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَ حَنُوْطٌ مِنْ حَنُوْطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوْا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِىءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عليه السلام حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُوْلُ: أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ [و فى رواية: الْمُطْمَئِنَّةُ]  اخْرُجِى إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللهِ وَ رِضْوَانٍ قَالَ: فَتَخْرُجُ تَسِيْلُ كَمَا تَسِيْلُ الْقَطِرَةُ مِنْ فِى السَّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا [و فى رواية: حَتَّى إِذَا خَرَجَتْ رُوْحُهُ صَلَّى عَلَيْهِ كُلُّ مَلَكٍ بَيْنَ السَّمَاءِ وَ اْلأَرْضِ وَ كُلُّ مَلَكٍ فِى السَّمَاءِ وَفُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ بَابٍ إِلاَّ وَ هُمْ يَدْعُوْنَ اللهَ أَنْ يُعْرَجَ بِرُوْحِهِ مِنْ قِبَلِهِمْ] فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوْهَا فِى يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوْهَا فَيَجْعَلُوْهَا فِى ذَلِكَ الْكَفَنِ وَ فِى ذَلِكَ الْحَنُوْطِ فَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى(( تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَ هُمْ لَا يُفَرِّطُونَ- الأنعام: 61)) وَ يَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ قَالَ: فَيَصْعَدُوْنَ بِهَا فَلاَ يَمُرُّوْنَ بِهَا عَلَى مَلإٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ قَالُوْا: مَا هَذَا الرُّوْحُ الطَّيِّبُ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: فَلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ بِأَحْسَنِ أَسْمَائِهِ الَّتِى يُسَمُّوْنَهُ بِهَا فِى الدُّنْيَاحَتَّى يَنْتَهُوْا بِهَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَسْتَفْتِحُوْنَ لَهُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ فَيُشَيِّعُهُ مِنْ كُلِّ سَمَاءٍ مُقَرِّبُوْهَا إِلَى السَّمَاءِ الَّتِي تَلِيْهَا حَتَّى يَنْتَهِيَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَيَقُوْلُ اللهُ عز و جل: اكْتُبُوْا كِتَابَ عَبْدِي فِى عِلَّيَّيْنَ ((كَلَّآ إِنَّ كِتَابَ اْلأَبْرَارِ لَفِى عِلِّيِّينَ وَ مَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيِّونَ كِتَابٌ مَّرْقُومٌ يَشْهَدُهُ اْلمـُقَرَّبُونَ- المطففين: 18-21)) فَيُكْتَبُ كِتَابُهُ فِى عِلِّيِّيْنَ ثُمَّ يُقَالُ: أَعِيْدُوْهُ إِلَى اْلأَرْضِ فَإِنِّى وَعَدْتُهُمْ أَنِّى مِنْهَا خَلَقْتُهُمْ وَ فِيْهَا أُعِيْدُهُمْ وَ مِنْهَا أُخْرِجُهُمْ تَارَةً أُخْرَى قَالَ: فَيُرَدُّ إِلَى اْلأَرْضِ وَ تُعَادُ رُوْحُهُ فِى جَسَدِهِ قَالَ: فَإِنَّهُ يَسْمَعُ خَفْقَ نِعَالِ أَصْحَابِهِ إِذَا وَلَّوْا عَنْهَ مَدْبِرِيْنَ فَيَأْتِيْهِ مَلَكَانِ شَدِيِدَا اْلانْتِهَارِ فَيَنْتَهِرَانِهِ وَ يُجْلِسَانِهِ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُوْلُ: رَبِّيَ اللهُ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ: مَا دِيْنُكَ؟ فَيَقُوْلُ: دِيْنِيَ اْلإِسْلاَمُ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ:  مَا  هَذَا  الرَّجُلُ  الَّذِى  بُعِثَ فِيْكُمْ؟ فَيَقُوْلُ: هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم فَيَقُوْلاَنِ لَهُ: وَ مَا عَمَلُكَ؟ فَيَقُوْلُ: قَرَأْتُ كِتَابَ اللهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَ صَدَّقْتُ فَيَنْتَهِرُهُ فَيَقُوْلُ: مَنْ رَبُّكَ؟ مَا دِيْنُكَ؟ مَنْ نَبِيُّكَ؟ وَهِيَ آخِرُ فِتْنَةٍ تُعْرَضُ عَلَى الْمُؤْمِنِ فَذَلِكَ حِيْنَ يَقُوْلُ اللهُ عز و جل  ((يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاْلقَوْلِ الثَّابِتِ فِى اْلحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ فِى اْلأَخِرَةِ- إبراهيم: 27)) فَيَقُوْلُ: رَبَّيَ اللهُ وَ دِيْنِيَ اْلإِسْلاَمُ وَ نَبِيِّ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه و سلم فَيُنَادِى مُنَادٍ فِى السَّمَاءِ : أَنْ صَدَقَ عَبْدِى  فَأَفْرِشُوْهُ  مِنَ  الْجَنَّةِ  وَأَلْبِسُوْهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَافْتَحُوْا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ: فَيَأْتِيْهِ مِنْ رُوْحِهَا وَ طِيْبِهَا وَ يُفْسَحُ لَهُ فِى قَبْرِهِ مَدَّ بَصَرِهِ قَالَ: وَيَأْتِيْهِ [و فى رواية: يُمَثَّلُ لَهُ] رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ  طَيِّبُ الرِّيْحِ فَيَقُوْلُ: أَبْشِرْ بِالَّذِى يَسُرُّكَ أَبْشِرْ بِرِضْوَانٍ مِنَ اللهِ وَ جَنَّاتٍ فِيْهَا نَعِيْمٌ مُقِيْمٌ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِى كُنْتَ تُوْعَدُ فَيَقُوْلُ لَهُ: وَ أَنْتَ فَبَشَّرَكَ اللهُ بِخَيْرٍ مَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالْخَيْرِ فَيَقُوْلُ: أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُكَ إِلاَّ كُنْتَ سَرِيْعًا فِى طَاعَةِ اللهِ بَطِيْئًا فِى مَعْصِيَةِ اللهِ فَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا ثُمَّ يُفْتَحُ لَهُ بَابٌ مِنَ الْجَنَّةِ وَ بَابٌ مِنَ النَّارِ فَيُقَالُ: هَذَا مَنْزِلُكَ لَوْ  عَصَيْتَ  اللهَ  أَبْدَلَكَ اللهُ بِهِ هَذَا فَإِذَا رَأَى مَا فِى  الْجَنَّةِ قَالَ: رَبِّ عَجِّلْ قِيَامَ السَّاعَةِ كَيْمَا أَرْجِعُ إِلَى أَهْلِى وَ مَالِى فَيُقَالُ لَهُ: اسْكُنْ قَالَ:

وَ إِنَّ الْعَبْدَ الْكَافِرَ [و فى رواية: الْفَاجِرَ] إِذَا كَانَ فِى انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَ إِقْبَالٍ مِنَ اْلآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مِنَ السَّمَاءِ مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ سُوْدُ الْوُجُوْهِ مَعَهُمُ الْمُسُوْحُ مِنَ النَّارِ فَيَجْلِسُوْنَ مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُوْلُ: أَيَّتُهَا النَّفِسُ الْخَبِيْثَةُ اخْرُجِى إِلَى سَخَطٍ مِنَ اللهِ وَ غَضَبٍ قَالَ: فَتَفَرَّقُ فِى جَسَدِهِ فَيَنْتَزِعُهُ كَمَا يُنْتَزَعُ السُّفُوْدُ   الْكَثِيْرُ  الشُّعَبُ  مِنَ الصُّوْفِ الْمَبْلُوْلِ فَتُقَطَّعُ مَعَهَا الْعُرُوْقُ وَ الْعَصَبُ فَيَلْعَنَهُ كُلُّ مَلَكٍ بَيْنَ السَّمَاءِ وَ اْلأَرْضِ وَ كُلُّ مَلَكٍ فِى السَّمَاءِ وَ تُغْلَقُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ بَابٍ إِلاَّ وَ هُمْ يَدْعُوْنَ اللهَ أَلاَّ تَعْرُجَ رُوْحُهُ مِنْ قِبَلِهِمْ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوْهَا فِى يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَجْعَلُوْهَا فِى تِلْكَ الْمُسُوْحُ وَ يَخْرُجُ مِنْهَا كَأَنْتَنِ رِيْحِ جِيْفَةٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ فَيَصْعَدُوْنَ بِهَا فَلاَ يَمُرُّوْنَ بِهَا عَلَى مَلإٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ قَالُوْا: مَا هَذَا الرُّوْحُ الْخَبِيْثُ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ بِأَقْبَحِ أَسْمَائِهِ الَّتِى كَانَ يُسَمَّى بِهَا فِى الدُّنْيَا حَتَّى يَنْتَهِيَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيُسْتَفْتَحُ لَهُ فَلاَ يُفْتَحُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم ((لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَآءِ وَ لَا يَدْخُلُونَ اْلجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ اْلجَمَلُ فِى سَمِّ اْلخِيَاطِ- الأعراف: 40)) فَيَقُوْلُ اللهُ عزّ و جلّ: اكْتُبُوْا كِتَابَهُ فِى سِجِّيْنٍ فِى اْلأَرْضِ السُّفْلَى ثُمَّ يُقَالُ: أَعِيْدُوْا عَبْدِى إِلَى اْلأَرْضِ فَإِنِّى وَعَدْتُهُمْ أَنِّى مِنْهَا خَلَقْتُهُمْ وَ فِيْهَا أُعِيْدُهُمْ وَمِنْهَا أُخْرِجُهُمْ تَارَةً أُخْرَى فَتُطْرَحُ رُوْحُهُ مِنَ السَّمَاءِ طَرْحًا حَتَّى تَقَعَ فِى جَسَدِهِ ثُمَّ قَرَأَ ((وَ مَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَآءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِى بِهِ الرِّيحُ فِى مَكَانٍ سَحِيقٍ- الحج: 31)) فَتُعَادُ رُوْحُهُ فِى جَسَدِهِ قَالَ: فَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ خَفَقَ نِعَالِ أَصْحَابِهِ إِذَا وَلَّوْا عَنْهُ وَيَأْتِيْهِ مَلَكَانِ شَدِيْدَا اْلانْتِهَارِ فَيَنْتَهِرانِهِ وَ يُجْلِسَانِهِ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُوْلُ: هَاهٍ هَاهٍ لاَ أَدْرِى فَيَقُوْلاَنِ لَهُ: مَا دِيْنُكَ؟ فَيَقُوْلُ: هَاهٍ هَاهٍ لاَ أَدْرِى فَيَقُوْلاَنِ لَهُ: فَمَا تَقُوْلُ فِى هَذَا الرَّجُلِ الَّذِى بُعِثَ فِيْكُمْ؟ فَلاَ يَهْتَدِى لاِسْمِهِ فَيُقَالُ: مُحَمَّدٌ! فَيَقُوْلُ: هَاهٍ هَاهٍ لاَ أَدْرِى سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُوْلُوْنَ ذَاكَ قَالَ: فَيُقَالُ: لاَ دَرَيْتَ وَ لاَ تَلَوْتَ فَيُنَادِى مَنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ كَذَبَ فَأَفْرِشُوْا لَهُ مِنَ النَّارِ وَ افْتَحُوْا بَابًا إِلَى النَّارِ فَيَأْتِيْهِ مِنْ حَرِّهَا وَ سَمُوْمِهَا وَيُضَيَّقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيْهِ أَضْلاَعُهُ وَ يَأْتِيْهِ [و فى رواية: وَ يُمَثَّلُ لَهُ] رَجُلٌ قَبِيْحُ الْوَجْهِ قَبِيْحُ الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيْحِ فَيَقُوْلُ: أَبْشِرْ بِالَّذِى يَسُوْؤُكَ هَذَا يَوْمُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِى كُنْتَ تُوْعَدُ فَيَقُوْلُ: وَ أَنْتَ فَبَشَّرَكَ اللهُ بِالشَّرِّ مَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ بِالشَّرِّ فَيَقُوْلُ: أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيْثُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ إِلاَّ كُنْتَ بَطِيْئًا عَنْ طَاعَةِ اللهِ سَرِيْعًا إِلَى مَعْصِيَةِ اللهِ فَجَزَاكَ اللهُ شَرًّا ثُمَّ يُقَيَّضُ لَهُ أَعْمَى أَصَمُّ أَبْكَمُ فِى يَدِهِ مِرْزَبَةٌ لَوْ ضُرِبَ بِهَا جَبَلٌ كَانَ تُرَابًا فَيَضْرِبُهُ ضَرْبَةً حَتَّى يَصِيْرَ بِهَا تُرَابًا ثُمَّ يُعِيْدُهُ اللهُ كَمَا كَانَ فَيَضْرِبُهُ ضَرْبَةً أُخْرَى فَيَصِيْحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهُ كُلُّ شَيْءٍ إِلاَّ الثَّقَلَيْنِ ثُمَّ يُفْتَحُ لَهُ بَابٌ مِنَ النَّارِ وَ يُمَهَّدُ مِنْ فُرُشِ النَّارِ فَيَقُوْلُ: رَبَّ لاَ تُقِمِ السَّاعَةِ

Dari al-Barra’ bin ‘Azib radliyallahu anhu berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengantarkan jenazah seorang lelaki dari golongan  Anshor.  Maka  sampailah  kami   ke   pekuburan   dan ketika dimasukkan ke dalam liang lahad, duduklah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghadap kiblat dan kamipun duduk disekitarnya, Seolah-olah di atas kepala kami ada burung. Pada tangan beliau ada sepotong kayu yang beliau menggaris-garis tanah dengannya. Lalu beliau memandang ke atas langit dan ke tanah. Beliau menengadahkan kepala dan menundukkannya sebanyak tiga kali. Lalu beliau bersabda, “Hendaklah kalian meminta perlindungan kepada Allah dari adzab kubur”. Beliau mengatakannya sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau Shallallahu alaihi wa sallam berdoa,  اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ  (artinya, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur”). Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Lalu beliau bercerita,

“Sesungguhnya seorang hamba mukmin itu apabila hendak putus hubungannya dari dunia dan menghadap ke akhirat  (maksudnya; menjelang kematian), turunlah kepadanya beberapa malaikat dari langit yang putih berseri wajah mereka, seolah-olah wajah mereka itu laksana matahari. Bersama mereka ada kain kafan dari kain kafan surga dan balsem dari balsem surga, sehingga mereka duduk darinya sejauh pandangan. Kemudian datanglah malaikat Maut alaihim as-Salam hingga duduk di sisi kepalanya, lalu berkata, “Wahai jiwa yang baik [di dalam satu riwayat; yang tenang], keluarlah engkau menuju kepada ampunan dan keridloan Allah”. Beliau (yaitu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam) berkata, “Lalu keluarlah ruh orang mukmin tersebut mengalir seperti mengalirnya tetesan air dari mulut girbah (yaitu wadah tempat air dari kulit)”. Lalu ia mengambilnya [di dalam satu riwayat; sehingga apabila telah keluar ruhnya, mengucapkan sholawat atasnya seluruh malaikat yang ada di antara langit dan bumi dan juga seluruh malaikat yang ada di langit. Dibukalah untuknya pintu-pintu langit, tidak ada dari malaikat penjaga pintu langit melainkan mereka memohon kepada Allah agar ruh itu dinaikkan melalui arah mereka]. Maka apabila ia (yaitu; malaikat Maut) telah mengambilnya maka mereka (yaitu para malaikat yang menyertainya) tidaklah membiarkannya di tangannya sekejap matapun sehingga mereka mengambilnya dan meletakkannya di kain kafan dan balsem tersebut. Maka demikianlah firman-Nya Ta’ala, “((para malaikat utusan Kami mewafatkannya dan mereka tidak melalaikan kewajiban mereka. QS. Al-An’am/6: 61))”. Dan keluarlah darinya seperti seharum-harumnya wewangian minyak kesturi yang dijumpai di atas punggung bumi. Beliau (yaitu; Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam) berkata, “Lalu merekapun naik membawanya. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat melainkan mereka bertanya, “Ruh siapakah yang baik ini?”. Lalu mereka menjawab, “Dia adalah Fulan bin Fulan” –dengan sebaik-baik nama yang mereka menamakannya di dunia-. Sehingga sampailah mereka dengannya ke langit dunia. Mereka minta di bukakan (pintu langit) untuknya, lalu dibukakan untuk mereka. Maka para malaikat yang dekat dari tiap-tiap langit mengantarkannya ke langit yang berikutnya sehingga sampailah ke langit yang ke tujuh. Maka Allah Azza wa Jalla berfirman, “Catatlah catatan hamba-Ku di dalam “illiyyin”!. ((Apakah engkau tahu apakah ‘illiyyin itu? Yaitu kitab yang di tulis, yang disaksikan oleh para malaikat yang didekatkan kepada Allah. QS. Al-Muthaffifin/83:19-21)).  Maka dicatatlah catatannya itu di dalam ‘illiyyin. Kemudian dikatakan, “Kembalikan ia ke bumi, karena sesungguhnya Aku pernah menjanjikan mereka, bahwasanya Aku ciptakan mereka dari tanah, kepadanya Aku kembalikan mereka dan darinya pulalah Aku akan bangkitkan mereka pada kali yang lain”.

Beliau (yaitu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam) bersabda, “Maka iapun dikembalikan ke bumi dan dikembalikan pula ruhnya ke dalam jasadnya”. Beliau berkata, “Maka sesungguhnya ia mendengar bunyi derap sendal kawan-kawannya apabila mereka berpaling membelakang”. Datanglah kepadanya dua orang Malaikat yang sangat keras bentakannya, lalu keduanya membentaknya dan mendudukkannya, Lalu keduanya berkata kepadanya, “Siapakah Rabbmu?”. Ia menjawab, “Rabbku adalah Allah”. Keduanya berkata kepadanya, “Apakah agamamu?”. Ia menjawab, “Agamaku adalah Islam”. Keduanya berkata kepadanya, “Siapakah pria yang pernah diutus kepada kalian?”. Ia menjawab, “Dia adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ”. Keduanya berkata kepadanya, “Apakah amalmu?”. Ia menjawab, “Membaca kitabullah (yaitu; alqur’an), lalu aku mengimaninya dan membenarkannya”. Keduanya membentaknya lalu berkata, “Siapakah Rabb-mu?, apakah agamamu? dan siapakah Nabimu?”. Dan ini adalah akhir fitnah (atau ujian) yang disodorkan kepada orang mukmin. Maka ini adalah ketika Allah Azza wa Jalla berfirman ((Allah telah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan perkataan yang teguh di dalam kehidupan dunia dan akhirat. QS. Ibrahim/14: 27)). Lalu ia menjawab, “Rabb-ku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan nabiku adalah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam”. Maka menyerulah Malaikat yang menyeru di langit, “Bahwasanya hamba-Ku benar, maka hamparkan suatu hamparan dari surga untuknya, pakaikanlah pakaian dari surga untuknya dan bukakanlah untuknya satu pintu ke arah surga”.

Beliau berkata, “Maka datanglah kepadanya sebahagian dari wewangian dan harum-haruman surga dan dilapangkan untuknya di dalam kuburnya sejauh pandangannya”. Beliau berkata, “Datanglah kepadanya [di dalam satu riwayat; diserupakan baginya] seorang pria yang elok wajahnya, bagus pakaiannya lagi pula harum baunya”. Ia berkata, “Bergembiralah engkau dengan yang menyenangkanmu, bergembiralah engkau dengan memperoleh keridloan Allah dan surga yang  di dalamnya terdapat kenikmatan abadi, ini adalah hari yang telah dijanjikan kepadamu”. Lalu ia berkata kepadanya, “Dan engkau, maka mudah-mudahan Allah menggembirakanmu dengan kebaikan, siapakah engkau? wajahmu adalah wajah yang datang membawa kebaikan”. Ia berkata, “Aku adalah amalmu yang shalih. Maka demi Allah, aku tidaklah mengenalmu melainkan engkau bersegera di dalam mentaati Allah lagi pula lambat di dalam mendurhakai Allah, mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu”. Kemudian dibukalah untuknya satu pintu dari arah surga dan satu pintu dari arah neraka. Lalu dikatakan, “Ini adalah tempatmu jikalau engkau dahulu mendurhakai Allah, maka Allah menggantikanmu ini dengannya”. Maka ketika ia melihat apa yang ada di dalam surga ia berkata, “Wahai Rabb-ku segerakanlah tegaknya hari kiamat agar aku kembali kepada keluarga dan harta bendaku”. Dikatakan kepadanya, “Tinggallah engkau !”.

Beliau berkata, “Sesungguhnya hamba yang kafir (di dalam satu riwayat; yang berbuat dosa) apabila terputus dari dunia dan menghadap kepada akhirat (maksudnya hendak meninggal), turunlah kepadanya beberapa malaikat dari langit yang keras lagi bengis. Wajah mereka hitam kelam, bersama mereka ada semacam karung goni dari neraka. Lalu merekapun duduk sejauh pandangan darinya, kemudian datanglah malaikat Maut hingga duduk di sisi kepalanya. Lalu berkata, “Wahai jiwa yang busuk keluarlah engkau menuju kepada kemurkaan dan kemarahan dari Allah. Beliau berkata, “Lalu ruh tersebut tercerai berai di dalam jasadnya, lalu malaikat tersebut mencabutnya seperti dicabutnya besi pembakar daging yang banyak cabangnya dari bulu yang basah, maka terputuslah urat dan nadi bersamanya. Lalu semua malaikat yang ada di antara langit dan bumi mengutuknya dan begitu pula semua malaikat yang ada di langit. Ditutuplah pintu-pintu langit dan tiada penjaga pintu (langit tersebut) melainkan mereka memohon kepada Allah agar ruh tersebut tidak lewat di hadapan mereka. Lalu Malaikat Maut mengambilnya, ketika ia telah mengambilnya maka para malaikat yang bersamanya tidak membiarkannya di tangannya sekejap matapun sehingga mereka meletakkannya di semacam karung goni tersebut. Keluarlah dari ruh tersebut seperti sebusuk-busuk bau bangkai yang terdapat di muka bumi. Lalu merekapun naik membawa ruh tersebut. Tidaklah mereka melewati sekelompok dari malaikat melainkan mereka bertanya, “Ruh siapakah yang busuk ini”?. Mereka menjawab, “Ini adalah Fulan bin fulan” -dengan sejelek-jelek nama yang mereka menamakannya di dunia-. Hingga sampailah mereka ke langit dunia, lalu mereka minta dibukakan (pintu langit), tetapi tidak dibukakan untuknya. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam membaca, ((Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak pula mereka masuk surga sehingga unta masuk ke lobang jarum. QS. Al-A’raf/7: 40)). Allah Azza wa Jalla berfirman, “Catatlah catatan hamba-Ku di dalam Sijjin di bumi yang paling bawah. Kemudian dikatakan  “Kembalikan hamba-Ku ke bumi karena sesungguhnya Aku telah menjanjikan mereka bahwasanya dari tanah Aku ciptakan mereka, kepadanya Aku kembalikan mereka dan darinya pulalah Aku akan bangkitkan mereka pada kali yang lain”. Lalu ruh itu dilempar dari langit sekali lempar hingga jatuh kepada jasadnya. Kemudian Beliau membaca, ((Dan barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. QS. Al-Hajj/22: 31)). Maka dikembalikan ruhnya ke dalam jasadnya.

Beliau berkata, “Maka sesungguhnya ia mendengar bunyi derap sendal kawan-kawannya apabila mereka telah berpaling darinya”. Dan datanglah kepadanya dua malaikat yang sangat keras bentakannya. Lalu keduanya membentaknya dan mendudukkannya kemudian berkata kepadanya, “Siapakah Rabb-mu?”. Ia berkata, “Ah, ah aku tidak tahu”. Keduanya berkata kepadanya, “Apakah agamamu?”. Ia berkata, “Ah, ah aku tidak tahu”. Keduanya berkata, “Apa yang engkau katakan tentang pria yang diutus kepada kalian?”. Maka ia tidak memperoleh petunjuk bagi namanya, lalu dikatakan kepadanya, “Dia adalah Muhammad”. Ia berkata, “Ah, ah aku tidak tahu. Aku mendengar orang-orang mengatakan itu”. Beliau berkata, “Maka dikatakan kepadanya, “Engkau tidak tahu dan engkau tidak membaca”. Maka menyerulah malaikat yang menyeru dari langit, “bahwasanya ia berdusta. Maka hamparkanlah satu hamparan dari neraka dan bukakanlah untuknya satu pintu menuju neraka!”. Maka datanglah kepadanya sebahagian dari panas dan anginnya api neraka dan dipersempitlah kuburnya atasnya sehingga tulang belulangnya berselisih. Kemudian datanglah kepadanya (di dalam satu riwayat; diserupakan baginya) seseorang yang buruk wajahnya, jelek pakaiannya dan busuk baunya. Ia berkata, “Bergembiralah engkau dengan yang menyusahkanmu. Ini adalah harimu yang telah dijanjikan kepadamu”. Ia (yaitu orang kafir itu) berkata, “Dan engkau, mudah-mudahan Allahpun menggembirakanmu dengan keburukan, siapakah engkau?, maka wajahmu adalah wajah yang datang membawa keburukan”. Ia menjawab, “Aku adalah amalmu yang buruk, maka demi Allah tidaklah aku mengenalmu melainkan engkau lambat di dalam mentaati Allah dan bersegera di dalam mendurhakai Allah. Maka mudah-mudahan Allah memberikan balasan keburukan kepadamu”. Lalu didatangkan baginya seorang malaikat yang buta, tuli lagi bisu yang pada tangannya ada gada. Andaikan sebuah gunung dipukul dengannya niscaya gunung itu hancur menjadi debu. Lalu malaikat itu memukulnya dengan sekali pukul sehingga orang kafir itu menjadi debu, kemudian Allah mengembalikannya sebagaimana sediakala. Lalu malaikat  itu kembali memukulnya dengan pukulan yang lain, lalu orang kafir itu berteriak dengan suatu teriakan yang didengar oleh segala sesuatu kecuali dua makhluk yaitu jin dan manusia. Kemudian dibukalah untuknya satu pintu ke arah neraka dan dibentangkan untuknya sebahagian dari permadani neraka. Lalu ia berkata, “Wahai Rabb-ku janganlah Engkau tegakkan hari kiamat”.

[HR Abu Dawud: 4753, Ahmad: IV/ 287-288, 295-296 dan siyak hadits ini baginya, al-Hakim, ath-Thoyalisiy dan al-Ajuriy di dalam kitab asy-Syari’ah halaman 327-328. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

Semoga cerita shahih di dalam hadits di atas dapat memberi manfaat dan menambah wawasan pengetahuanku, keluargaku dan seluruh kaum muslimin, tentang perjalanan ruh seseorang di alam barzakh sesudah matinya sebelum dihisab amal-amalnya pada hari kiamat. Sehingga kita semua selalu dapat mempersiapkan diri di dalam menghadapinya dengan menguatkan dan mempertebal keimanan kita dan dapat menambah amal-amal shalih kita sebanyak mungkin.

Wallahu a’lam bish showab.


[1] Shahih Sunan Abi Dawud: 3979, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1676, Ahkam al-Jana’iz halaman 198-202, Syar-h al-Aqidah ath-Thohawiyah halaman 396-398, al-Qobru adzabuhu wa na’imuhu halaman 11-14 oleh Husain al Awayisyah dan Adzab al-Qobri wa Su’al al-Malakain hadits nomor 28 oleh al-Imam al-Baihaqiy.