Kewajiban Sholat, Jangan Diabaikan

Bismillah.
Kewajiban Sholat, Jangan Diabaikan

Bagi yang belum subscribe, silahkan disubscribe, like, komen positif dan share.
Semoga bermanfaat untuk kita semuanya.
Jazaakumullahu khairan wa baarokallahu fiikum.

By Abu Ubaidullah Alfaruq Dikirimkan di HUKUM, SHALAT

SAUDARAKU, MARI KITA BERQURBAN….

FIQIH QURBAN

Oleh Ammi Nur Baits S.T., B.A

kurban_sapi

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied”. Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)

Pengertian Udh-hiyah

Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban

Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)

Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521).

Hukum Qurban

Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)

Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)

Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).

Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban

Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)

Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.

Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?

Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.

Ketentuan Untuk Sapi & Onta

Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)

Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.

Arisan Qurban Kambing?

Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.

(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).

Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.

Qurban Kerbau?

Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.

Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.

Pertanyaan:

“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”

Beliau menjawab:

“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)

Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.

Urunan Qurban Satu Sekolahan

Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?

Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.

Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:

  • Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
  • Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.

Umur Hewan Qurban

Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)

Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:

No.

Hewan

Umur minimal

1.

Onta

5 tahun

2.

Sapi

2 tahun

3.

Kambing jawa

1 tahun

4.

Domba/ kambing gembel

6 bulan
(domba Jadza’ah)

(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)

Cacat Hewan Qurban

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):

  • Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
  • Sakit dan tampak sekali sakitnya.
  • Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
  • Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.

Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).

Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):

  • Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
  • Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam

(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)

(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)

Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan

Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)

Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)

Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?

Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:

  • Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
  • Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
  • Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.

Apakah Harus Jantan?

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)

Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.

Larangan Bagi yang Hendak Berqurban

Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).

Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?

Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:

  • Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)

Waktu Penyembelihan

Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)

Tempat Penyembelihan

Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).

Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)

Penyembelih Qurban

Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)

Tata Cara Penyembelihan

  • Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
  • Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
  • Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
  • Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
  • Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
    • hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
    • hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
    • Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.

Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?

Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:

  • Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
  • Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)

Pemanfaatan Hasil Sembelihan

Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:

  • Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
  • Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
  • Dihadiahkan kepada orang yang kaya
  • Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.

Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378). Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)

Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?

Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)

Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.

Jawaban Lajnah:

“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)

Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).

Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.

(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.

Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan

Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:

من باع جلد أضحيته فلا أضحية له

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)

Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.

Catatan:

  • Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
  • Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
  • Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.

Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)

Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).

Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)

Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?

Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:

Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”

Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.

(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit

Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.

Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:

  • Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
  • Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).

Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?

Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380

Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:

  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
  • Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
  • Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.

Wallaahu waliyut taufiq.

Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit Media Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.

Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428

Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah

Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا : يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟ قال : ولا الجهاد في سبيل اللّه ، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك بشيء.

Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)

Berdasarkan hadis tersebut, ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)

Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.

Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?

Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).

Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
Artikel ini merupakan tulisan yang melengkapi artikel tentang Fiqh Qurban yang ditulis Al Akh Al Fadhil Abu Mushlih Ari Wahyudi

SAUDARAKU, BEGINILAH HUKUM ASURANSI….

HUKUM ASURANSI

asuransi

Seakan-akan masa depan seseorang selalu suram. Akan terjadi kecelakaan, rumah tidak aman dan bisa saja terbakar atau terjadi pencurian, perusahaan pun tidak bisa dijamin berjalan terus, pendidikan anak bisa jadi tiba-tiba membutuhkan biaya besar di tahun-tahun mendatang. Itulah gambaran yang digembosi pihak asuransi. Yang digambarkan adalah masa depan yang selalu suram. Tidak ada rasa tawakkal dan tidak percaya akan janji Allah yang akan selalu memberi pertolongan dan kemudahan. Kenapa asuransi yang selalu dijadikan solusi untuk masa depan? Ulasan sederhana kali ini akan mengulas mengenai asuransi dan bagaimanakah seharusnya kita bersikap.

Mengenal Asuransi

Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, di mana melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan tersebut. (Wikipedia)

Berbagai Alasan Terlarangnya Asuransi

Berbagai jenis asuransi asalnya haram baik asuransi jiwa, asuransi barang, asuransi dagang, asuransi mobil, dan asuransi kecelakaan. Secara ringkas, asuransi menjadi bermasalah karena di dalamnya terdapat riba, qimar (unsur judi), dan ghoror (ketidak jelasan atau spekulasi tinggi).

Berikut adalah rincian mengapa asuransi menjadi terlarang:

1. Akad yang terjadi dalam asuransi adalah akad untuk mencari keuntungan (mu’awadhot). Jika kita tinjau lebih mendalam, akad asuransi sendiri mengandung ghoror (unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan pertama dari kapan waktu nasahab akan menerima timbal balik berupa klaim. Tidak setiap orang yang menjadi nasabah bisa mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan accident atau resiko, baru ia bisa meminta klaim. Padahal accident di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Boleh jadi seseorang mendapatkan accident setiap tahunnya, boleh jadi selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan accident. Ini sisi ghoror pada waktu.

Sisi ghoror lainnya adalah dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang akan diperoleh. Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi tinggi sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

2. Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur judi. Bisa saja nasabah tidak mendapatkan accident atau bisa pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi bisa jadi untung karena tidak mengeluarkan ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena banyak yang mendapatkan musibah atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa jadi tidak mendapatkan klaim apa-apa karena tidak pernah sekali pun mengalami accident atau mendapatkan resiko. Bahkan ada nasabah yang baru membayar premi beberapa kali, namun ia berhak mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya. Inilah judi yang mengandung spekulasi tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang judi berdasarkan keumuman ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90). Di antara bentuk maysir adalah judi.

3. Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba perniagaan karena adanya sesuatu yang berlebih) dan riba nasi’ah (riba karena penundaan) secara bersamaan. Bila perusahaan asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang disepakati, dalam jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu adalah riba fadhel. Adapun bila perusahaan membayar klaim sebesar premi  yang ia terima namun ada penundaan, maka itu adalah riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini nasabah seolah-olah memberi pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua riba tersebut haram menurut dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).

4. Asuransi termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita ketahui terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi di sini sama dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim atau timbal balik tidak setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak sama sekali. Bentuk seperti ini diharamkan karena bentuk judi yang terdapat taruhan hanya dibolehkan pada tiga permainan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ

Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam perjuangan Islam, seperti lomba untuk menghafal Al Qur’an dan lomba menghafal hadits. Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam hal ini.

5. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan timbal  balik. Padahal dalam akad mu’awadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus ada timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29). Tentu setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, namun tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan.

6. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syar’i. Seakan-akan nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim pada pihak asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal penyebab accident bukan dari mereka. Pemaksaan seperti ini jelas haramnya.

[Dikembangkan dari penjelasan Majlis Majma Fikhi di Makkah Al Mukarromah, KSA]

Masa Depan Selalu Suram” Ganti dengan “Tawakkal

Dalam rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi adalah masa depan yang selalu suram. “Engkau bisa saja mendapatkan kecelakaan”, “Pendidikan anak bisa saja membengkak dan kita tidak ada persiapan”, “Kita bisa saja butuh pengobatan yang tiba-tiba dengan biaya yang besar”. Itu slogan-slogan demi menarik kita untuk menjadi nasabah di perusahaan asuransi. Tidak ada ajaran bertawakkal dengan benar. Padahal tawakkal adalah jalan keluar sebenarnya dari segala kesulitan dan kekhawatiran masa depan yang suram. Karena Allah Ta’ala sendiri yang menjanjikan,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. Ath Tholaq: 2-3).

Tawakkal adalah dengan menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Namun bukan cukup itu saja, dalam tawakkal juga seseorang mengambil sebab atau melakukan usaha. Tentu saja, sebab yang diambil adalah usaha yang disetujui oleh syari’at. Dan asuransi sudah diterangkan adalah sebab yang haram, tidak boleh seorang muslim menempuh jalan tersebut. Untuk membiayai anak sekolah, bisa dengan menabung. Untuk pengobatan yang mendadak tidak selamanya dengan solusi asuransi kesehatan. Dengan menjaga diri agar selalu fit, juga persiapan keuangan untuk menjaga kondisi kecelakaan tak tentu, itu bisa sebagai solusi dan preventif yang halal. Begitu pula dalam hal kecelakaan pada kendaraan, kita mesti berhati-hati dalam mengemudi dan hindari kebut-kebutan, itu kuncinya.

Yang kami saksikan sendiri betapa banyak kecelakaan terjadi di Saudi Arabia dikarenakan banyak yang sudah mengansuransikan kendaraannya. Jadi, dengan alasan “kan, ada asuransi”, itu jadi di antara sebab di mana mereka asal-asalan dalam berkendaraan. Jika mobil rusak, sudah ada ganti ruginya. Oleh karenanya, sebab kecelakaan meningkat bisa jadi pula karena janji manis dari asuransi.

Ingatlah setiap rizki tidak mungkin akan luput dari kita jika memang itu sudah Allah takdirkan. Kenapa selalu terbenak dalam pikiran dengan masa depan yang suram? Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).

Penutup

Dari penjelasan di atas tentu saja kita dapat menyimpulkan haramnya asuransi, apa pun jenisnya jika terdapat penyimpangan-penyimpangan di atas meskipun mengatasnamakan “asuransi syari’ah” sekali pun. Yang kita lihat adalah hakekatnya dan bukan sekedar nama dan slogan. Seorang muslim jangan tertipu dengan embel syar’i belaka. Betapa banyak orang memakai slogan “syar’i”, namun nyatanya hanya sekedar bualan.

Nasehat kami, seorang muslim tidak perlu mengajukan premi untuk tujuan asuransi tersebut. Klaim yang diperoleh pun jelas tidak halal dan tidak boleh dimanfaatkan. Kecuali jika dalam keadaan terpaksa mendapatkannya dan sudah terikat dalam kontrak kerja, maka hanya boleh memanfaatkan sebesar premi yang disetorkan semacam dalam asuransi kesehatan dan tidak boleh lebih dari itu. Jika seorang muslim sudah terlanjur terjerumus, berusahalah meninggalkannya, perbanyaklah istighfar dan taubat serta perbanyak amalan kebaikan. Jika uang yang ditanam bisa ditarik, itu pun lebih ahsan (baik).

Catatan: Asuransi yang kami bahas di atas adalah asuransi yang bermasalah karena terdapat pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah disebutkan. Ada asuransi yang disebut dengan asuransi ta’awuni yang di dalamnya hanyalah tabarru’at (akad tolong menolong) dan asuransi seperti ini tidaklah bermasalah. Barangkali perlu ada bahasan khusus untuk mengulas lebih jauh mengenai asuransi tersebut. Semoga Allah mudahkan dan memberikan kelonggaran waktu untuk membahasnya.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

 

Referensi: Akhthou Sya-i’ah fil Buyu’, Sa’id ‘Abdul ‘Azhim, terbitan Darul Iman.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 21 Rabi’uts Tsani 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

SAUDARAKU, PUASA ITU HUKUMNYA WAJIB…

HUKUM PUASA RAMADLAN

بسم الله الرحمن الرحيم

PUASA6Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan “shaum”. Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara, nikah dan berjalan. Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus. [1]

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Shaum secara bahasa bermakna menahan diri (imsak). Sedangkan secara syar’iy (istilah) adalah menahan sesuatu yang dikhususkan pada masa yang dikhususkan dengan syarat yang khusus. Diwajibkannya puasa bulan Ramadlan itu pada tahun kedua hijriyah”. [2]

Berkata asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Alu asy-Syaikh hafizhahullah, “Shaum menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan menurut syar’iy adalah menahan diri dari makan, minum dan semua perkara yang membatalkan (puasa) yang disertai dengan niat dari sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya matahari”. [3]

Puasa Ramadlan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa) [4], berakal [5], dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak bersafar) [6] serta tidak dalam keadaan haidl dan nifas bagi wanita. [7]

Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadlan itu wajib adalah dalil Aqur’an, Sunnah bahkan kesepakatan para ulama (ijmak ulama) [8].

Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadlan dan telah menjadikannya sebagai salah satu dari 5 rukun Islam. Di antara dalil dari Alqur’an adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. [QS. Al Baqarah : 183].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhahullah, “ Diwajibkannya puasa pada bulan Ramadlan. Puasa itu akan mendidik mukmin untuk menguasai ketakwaan. Puasa itu dapat menghapus dosa-dosa sebagaimana di dalam hadits, ‘Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan dengan penuh keimanan dan semata-mata mencari pahala maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu’”. [9]

Dalil dari As Sunnah, dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله وَ إِقَامِ الصَّلاَةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ وَ حَجِّ الْبَيْتِ

“Islam dibangun di atas lima (rukun); Syahadat Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur-Rosulullah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, shaum Ramadlan dan berhaji ke Baitullah (Makkah)”. [HR al-Bukhoriy: 8, 4515, Muslim: 16, an-Nasa’iy: II/ 268, at-Turmudziy: 2609, Ahmad: II/ 143 dan Ibnu Khuzaimah: 1880. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Berkata asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, “Perkara yang paling penting sesudah sholat dan zakat adalah berpuasa Ramadlan. Dia adalah salah satu dari rukun Islam yang lima yang telah disebutkan di dalam sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ‘Islam dibangun di atas lima (rukun); Syahadat Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur-Rosulullah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, shaum Ramadlan dan berhaji ke Baitullah (Makkah)’. Maka wajib bagi seorang muslim untuk menjaga puasa dan qiyamnya dari apa yang telah diharamkan Allah atasnya dari bentuk perkataan ataupun perbuatan. Sebab maksud tujuan dari berpuasa itu adalah mentaati Allah Subhanahu, mengagungkan kehormatan-Nya, memperjuangkan jiwanya untuk menyelisihi hawa nafsunya di dalam mentaati maulanya (Allah), membiasakannya untuk bersabar dari apa yang diharamkan Allah. Maka maksud tujuan puasa itu tidak hanya semata-mata meninggalkan makan, minum dan semua pembatal-pembatalnya”. [11]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

            أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ اْلمـُحَرَّمِ وَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Seutama-utama puasa setelah puasa Ramadlan adalah puasa di bulan Allah yaitu Muharram. Seutama-utama sholat setelah sholat wajib adalah sholat malam”. [HR. Muslim: 1163, Abu Dawud: 2429, at-Turmudziy: 438, 740, Ibnu Majah: 1742, ad-Darimiy: II/ 21, Ahmad: II/ 303, 309, 342, 344, 535, Ibnu Khuzaimah: 2076 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Maka puasa yang paling utama dan paling penting adalah puasa Ramadlan lalu setelah itu puasa Muharram sebagaimana sholat wajib adalah yang paling utama dan paling penting lalu setelah itu sholat malam.

Hal ini juga dapat dilihat pula pada pertanyaan seorang Arab Badui kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Orang Badui ini datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan berambut kusut, kemudian dia berkata kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam, “Beritahukan aku mengenai puasa yang Allah wajibkan padaku”. Kemudian Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا

“(Puasa yang wajib bagimu adalah) puasa pada bulan Ramadlan, Kecuali jika engkau menghendaki untuk melakukan puasa sunnah”. [HR al-Bukhoriy: 46 dan Muslim: 11 dari Thalhal bin Ubaidullah radliyallahu anhu].

Berkata DR Abdul Azhim bin Badawiy hafizhahullah, “Ummat ini telah bersepakat akan wajibnya berpuasa Ramadlan. Bahwa puasa ini merupakan salah satu dari rukun Islam yang telah diketahui urgensinya di dalam agama. Maka orang yang mengingkari kewajibannya itu hukumnya adalah kafir murtad dari agama Islam. Maka telah tsabit/ tetap dengan hal tersebut akan kewajiban puasa dengan dasar Alqur’an, sunnah dan ijmak. Kaum muslimin telah berijmak/ bersepakat atas kufurnya orang yang mengingkari puasa”. [13]

Wajibnya puasa ini juga sudah ma’lum minad dini bi dloruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena puasa adalah bagian dari rukun Islam. [14] Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya hal ini. [15]

Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa

Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, ”Naiklah”. Lalu kukatakan, ”Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata, ”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu  aku bertanya,”Suara apa itu?” Mereka menjawab, ”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”

Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, ”Siapakah mereka itu?” Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya”. [HR an-Nasa’iy di dalam as-Sunan al-Kubra: 3286, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya: 1986, al-Hakim: I/ 430, II/ 209 dalam mustadroknya, Ibnu Hibban, al-Baihaqiy dan ath-Thabraniy. Al-Imam al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim namun tidak dikeluarkan olehnya, dan ini disepakati oleh al-Imam adz-Dzahabiy]. [16]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Aku berkata, ini adalah hukuman/ siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja sebelum tiba waktunya dalam hadits ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang tidak berpuasa sejak awal Ramadlan dan tidak pernah berpuasa sama sekali. Kita memohon keselamatan dan afiat di dunia dan akhirat kepada Allah ta’ala”.

Al-Imam adz-Dzahabiy rahimahullah sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadlan, bukan karena sakit atau udzur lainnya, maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, penarik upeti (dengan paksa), pecandu miras (minuman keras), bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang yang terjangkiti penyakit zindiq (kemunafikan) dan penyimpangan”. [17]

Demikian penjelasan akan kewajiban berpuasa Ramadlan sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam kitab-Nya dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam sunnahnya. Begitupun para ulama sunnah dan kaum muslimin telah berijmak/ bersepakat akan wajibnya puasa Ramadlan.

Maka siapapun diantara kaum muslimin ada yang meninggalkan puasa Ramadlan dengan sengaja sedangkan ia telah mengetahui kewajibannya maka ia telah kufur dan murtad dari agama. Orang tersebut berhak mendapatkan adzab Allah kelak di hari kiamat dengan cara digantung pada urat tumit mereka dan mulut mereka akan dirobek sehingga mengucurkan darah. Al-Iyaadzu billah.

Oleh sebab itu, sebagai muslim kita wajib menjaga kewajiban berpuasa dengan sebaik-baiknya dan melatih anak-anak kita sejak usia dini untuk membiasakannya agar mereka menjadi terbiasa dalam mengerjakannya ketika mereka telah mencapai usia baligh.

Mudah-mudahan pembahasan singkat ini memberi faidah untukku, keluarga, kerabat dan shahabatku serta kaum muslimin seluruhnya.

Wallahu a’lam bish showab.

 [1] Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah: XXVIII/ 7.

[2] Nail al-Awthar: IV/ 221

[3] Kitab al-Fiqh al-Muyassar fi dlow’i al-Kitab waas-Sunnah taqdim Ma’aliy asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh halaman 151, cetakan Dar A’lam as-Sunnah, Cetakan Pertama, tahun 2009M/ 1430H.

[4] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 8: 188-190).

Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah: XXVIII/ 20)

Al-Imam al-Bukhoriy membawakan pula dalam kitab Shahihnya Bab “Puasanya anak kecil“. Lantas beliau membawakan hadits dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz. Ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus seseorang pada pagi hari di hari Asyura (10 Muharram) ke salah satu perkampungan Anshor, lantas beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak berpuasa di pagi hari, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa hari ini dengan berpuasa. Barangsiapa yang berpuasa di pagi harinya, hendaklah ia tetap berpuasa”. Ar-Rubayyi’ berkata, “Kami berpuasa setelah itu. Dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan pada mereka mainan dari bulu. Jika saat puasa mereka ingin makan, maka kami berikan pada mereka mainan tersebut. Akhirnya mereka terus terhibur sehingga mereka menjalankan puasa hingga waktu berbuka”. [HR al-Bukhoriy: 1960 dan Muslim: 1136. Lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 615]. Hadits ini menunjukkan bahwa hendaklah anak-anak dididik puasa sejak mereka kuat. Jika mereka ‘merengek’ ingin berbuka padahal belum waktunya, maka hiburlah mereka dengan mainan sehingga mereka terbuai. Akhirnya mereka nantinya bisa menjalankan puasa hingga waktu Maghrib.

[5] Bagaimana dengan orang yang pingsan?

Dijelaskan oleh Muhammad al-Hishni bahwa jika hilang kesadaran dalam keseluruhan hari (dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelam matahari, -pen), maka tidak sah puasanya. Jika tidak, yaitu masih sadar di sebagian waktu siang, puasanya sah. Demikian menurut pendapat terkuat dari perselisihan kuat yang terdapat pada perkataan Imam Syafi’i. Lihat pembahasannya di Kifayah al-Akhyar, halaman 251 dan Hasyiyah al-Baijuriy: I/ 561.

Bagaimana dengan orang yang tidur seharian, apakah puasanya sah?

Ada ulama yang mengatakan tidak sah sebagaimana perihal pingsan di atas. Namun yang shahih dari pendapat madzhab Syafi’iy, tidur seharian tersebut tidak merusak puasa karena orang yang tidur masih termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah. Lihat pembahasan Kifayah al-Akhyar, halaman 251.

[6] Lihat al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah: XXVIII/ 20 dan Shahih Fiqh Sunnah: II/ 88. Ada ulama menambahkan syarat wujub shoum (syarat wajib puasa) yaitu mengetahui akan wajibnya puasa.

[7] al-Fiqh al-Muyassar fi dlow’i al-Kitab wa as-Sunnah taqdim Ma’aliy asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh halaman 153.

 [8] Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah: XXVIII/ 7.

[9] Aysar at-Tafasir: I/ 161 susunan asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam cetakan pertama tahun 1994M/ 1415H.

[10] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 5, Mukhtashor Shahih Muslim: 62, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4628, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2104, Irwa’ al-Ghalil: 781, Shahih at-Targhib waat-Tarhib: 347 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2840.

[11] Arkan al-Islam halaman 237-238 oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Dar ad-Da’iy, Cetakan Pertama tahun 1420H.

[12] Shahih Sunan at-Turmudziy: 360, 591, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1416, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1121, Irwa’ al-Ghalil: 951 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 611, 1005, 1006.

[13] Al-Wajiz fi fiqh as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz halaman 231, susunan DR Abdul Azhim bin Badawiy, Penerbit Dar Ibnu Rajab tahun 2009M/ 1430H dan juga kitab al-Fiqh al-Muyassar fi dlow’i al-Kitab waas-Sunnah taqdim Ma’aliy asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh halaman 152.

[14] Ad-Dlaror al-Mudliyyah, halaman 263.

[15] Shahih Fiqh Sunnah: II/  89, 118-127.

[16] Penulis kitab Shifat Shaum Nabi (halaman 25) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat juga Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3951 (VIII/III/1669) dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 2393.

[17] Kitab al-Kaba’ir,di dalam dosa besar kesepuluh halaman 53, susunan al-Imam adz-Dzahabiy, cetakan Dar al-Hadits Cetakan pertama tahun1992M/ 1414H.

SAUDARAKU, MARILAH KITA BERPUASA 3 HARI SETIAP BULAN…

PUASA TIGA HARI SETIAP BULAN DAN PUASA AYYAMUL BIDL

بسم الله الرحمن الرحيم

AYYAMUL BIDL3

Sebagai umat Islam, kita disunnahkan untuk berpuasa dalam sebulan minimal tiga kali. Dan yang lebih utama adalah melakukan puasa pada Ayyamul Bidl, yaitu pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan-bulan Qomariyah (Hijriyah).

Puasa tersebut disebut ayyamul bidl (hari putih) karena pada malam-malam tersebut bersinar bulan purnama dengan sinar rembulannya yang putih. Maka dia putih bersinar di siang hari dengan cahaya mentari dan di malam hari dengan sinar rembulan. Yakni tanggal 13, 14 dan 15 (di bulan-bulan qomariyah/ hijriyah) menurut para pentahqiq. [1]

Dalil-dalil haditsnya

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

“Kekasihku (yaitu Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasihat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati, 1). Berpuasa tiga hari setiap bulannya, 2). Mengerjakan sholat Dluha dan 3). Tidur setelah sholat witir”. [HR al-Bukhoriy: 1178, Muslim: 721, Abu Dawud: 1432, at-Turmudziy: 760, an-Nasa’iy: III/ 229, IV/ 218, Ahmad: II/ 459 dan ad-Darimiy: II/ 19. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

Dari Abu ad-Darda’ radliyallahu anhu berkata,

أَوْصَانِى حَبِيْبِى بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ صَلَاةِ الضُّحَى وَ بِأَنْ لَا أَنَامَ حَتَّى أُوْتِرَ

“Kekasihku mewasiatkan tiga hal kepadaku yang aku tidak akan meninggalkannya selama aku masih hidup, 1). Berpuasa selama tiga hari setiap bulannya, 2). Mengerjakan sholat Dluha dan 3). Aku tidak akan tidur sehingga aku melakukan sholat witir”. [HR Muslim: 722 dan Abu Dawud: 1433. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun”. [HR al-Bukhoriy: 1979 dan Muslim: 1159].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhahullah, “Berpuasa sepanjang masa itu hukumnya haram. Disukai untuk berpuasa selama tiga hari setiap bulan. Berpuasa tiga hari setiap bulan itu seperti berpuasa sepanjang masa, hal tersebut karena adanya pelipat gandaan. Sebab satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali sebagaimana telah berlalu (penjelasannya)”. [4]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “(Nabi shallallahu alaihi wa sallam) mewasiatkan mereka dengan puasa selama tiga hari setiap bulan. Beliau bersabda kepada Abdullah bin Amr bin al-Ash, ‘Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun’. Yaitu tiga hari dan satu kebaikan dibalas dengan sepuluh yang semisalnya, yang menjadi 30 hari maka hal itu menjadi berpuasa sepanjang masa”. [5]

Dari Abu Qotadah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

ثَلاَثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ رَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلُّهُ

“Puasa tiga hari setiap bulan dan berpuasa Ramadlan sampai Ramadlan berikutnya itu sama seperti berpuasa sepanjang masa”. [HR Muslim: 1162, Abu Dawud: 2425 dan an-Nasa’iy: IV/ 208-209. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Dari Qurrah bin Iyas radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلُّهُ وَ إِفْطَارُهُ

“Puasa selama tiga hari di setiap bulan sama seperti berpuasa sepanjang masa dan berbukanya”. [HR Ahmad: III/ 435, 436, V/ 34, al-Bazzar dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

صَوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ وَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ يُذْهِبَنَّ وَحَرَ الصُّدُوْرِ

“Puasa pada bulan kesabaran (yaitu Ramadlan) dan puasa selama tiga hari setiap bulan itu dapat menghilangkan kotoran (kedengkian atau waswasnya) hati”. [HR al-Bazzar dan Ahmad: V/ 78. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Dari Abu Dzarr radliyallah anhu berkata, telah bersabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ فَأَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيْقَ ذَلِكَ فِى كِتَابِهِ ((مَنْ جَاءَ بِاْلحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Barangsiapa yang berpuasa selama tiga hari maka berarti telah berpuasa sepanjang masa. Lalu Allah ta’ala menurunkan (ayat) untuk membenarkan hal tersebut di dalam kitab-Nya ((Barangsiapa yang datang membawa satu kebaikan maka ia akan mendapat sepuluh kali lipat. QS al-An’am/ 6: 160))”. [HR Ahmad: V/ 145, an-Nasa’iy: IV/ 219, at-Turmudziy: 762 dan Ibnu Majah: 1708. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Dari Abu Dzarr, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah)”. [HR at-Turmudziy: 761, an-Nasa’iy: IV/ 222-223, Ahmad: V/ 162, 177, Ibnu Hibban, al-Baihaqiy dan ath-Thayalisiy. Abu Isa at-Turmudziy mengatakan bahwa haditsnya hasan. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Dari Qotadah bin Milhan al-Qo’isiy radliyallahu anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ أَيَّامِ اْلبِيْضِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ

“Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidl yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah)”. Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidl itu seperti puasa setahun”. [HR Abu Dawud: 2449 dan an-Nasa’iy: IV/ 224-225. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [11]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhahullah,

“Telah berlalu penjelasan tentang bolehnya berpuasa tiga hari setiap bulan tanpa pengkhususan. Dan hadits-hadits ini menjelaskan bahwa puasa (ayyamul) bidl sebaik-baik hari dalam bulan dan disunnahkan untuk berpuasa padanya.

Ayyamul bidl adalah hari-hari pada malam yang terang putih bersinar karena keberadaannya rembulan sepanjang malam.

Ayyamul bidl itu adalah tanggal 13, 14 dan 15 (setiap bulan qomariyah/ hijriyah).

Terdapat penjelasan akan kelemah lembutan Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya, rasa kasih sayangnya kepada mereka, membimbing mereka kepada sesuatu yang membawa kepada kemashlahatan dan memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu yang mereka sanggupi secara kontinyu”. [12]

Demikian beberapa dalil hadits yang menganjurkan umat Islam untuk berpuasa tiga hari setiap bula-bulan hijriyah, dan khususnya pada ayyamul bidl yaitu pertengahan bulan ketika rembulan bersinar putih cemerlang karena malam purnama, yaitu tanggal 13, 14 dan 15.

Namun puasa ayyamul bidl itu dikecualikan untuk dikerjakan pada tanggal 13 Dzul hijjah sebab tanggal tersebut merupakan bagian dari hari tasyriq. Berpuasa pada hari tersebut diharamkan.

Sebagaimana telah diketahui bahwa di antara hari yang terlarang untuk puasa adalah hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah).

Dalam hadits disebutkan, dari Nubaisyah al-Hudzaliy berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum”. [HR. Muslim: 1141 dan Ahmad: V/ 75].

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ

“Hari-hari Mina adalah hari-hari makan dan minum”. [HR Ibnu Majah: 1719. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [13]

Dari Bisyr bin Syuhaim, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah berkhuthbah pada hari-hari tasyriq lalu bersabda,

لَا يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ وَ إِنَّ هَذِهِ اْلأَيَّامُ أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ

“Bahwasanya tidak ada yang masuk ke dalam surga kecuali jiwa yang muslimah dan sesungguhnya hari-hari ini adalah hari makan dan minum”. [HR Ibnu Majah: 1720. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

Dari Ka’b bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya ia menceritakan bahwa Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengutusnya dan juga Aus bin al-Hadatsan pada hari-hari tasyriq. Lalu beliau menyeru,

أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَ أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ

“Bahwasanya tidak ada yang masuk ke dalam surga kecuali orang mukmin dan hari-hari Mina itu adalah hari-hari makan dan minum”. [HR Muslim: 1142, Ahmad: III/ 460 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil tidak boleh sama sekali berpuasa pada hari tasyriq”. [16]

Beliau juga menjelaskan, “Hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Iedul Adl-ha. Hari tasyriq disebut demikian karena pada hari itu kaum muslimin menyajikan kurbannya dan ada yang menjemurnya di terik matahari. Dalam hadits disebutkan dianjurkannya memperbanyak dzikir di antaranya takbir pada hari-hari tasyriq”. [17]

Iedul adl-ha adalah tanggal 10 Dzul hijjah jadi 3 hari tasyriqnya adalah tanggal 11, 12 dan 13 Dzul hijjah. Maka tanggal 13 Dzul hijjah meskipun termasuk ayyamul bidl maka diharamkan berpuasa padanya karena termasuk hari tasyriq.

            Wallahu a’lam bish showab. Semoga bermanfaat untukku, keluarga dan kerabatku serta shahabatku dan semua kaum muslimin.

[1] Bahjah an-Nazhirin: II/ 389.

[2] Shahih Sunan Abu Dawud: 1269, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2267, Shahih Sunan at-Turmudziy: 607, Irwa’ al-Ghalil: 946 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1017.

[3] Shahih Sunan Abu Dawud: 1270 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1018.

[4] Bahjah an-Nazhirin: II/ 390.

[5] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 510.

[6] Mukhtashor Shahih Muslim: 620, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2250, Shahih Sunan Abu Dawud: 2119, Irwa’ al-Ghalil: 946, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3042 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1020.

[7] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3848 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1021.

[8] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6324, Irwa’ al-Ghalil: 947 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1022.

[9] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2267, Shahih Sunan at-Turmudziy: 608, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1386 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1025.

[10] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2279, Shahih Sunan at-Turmudziy: 609, Irwa’ al-Ghalil: 947, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7817, Misykah al-Mashabih: 2057 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1028.

[11] Shahih Sunan Abu Dawud: 2139 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1029.

[12] Bahjah an-Nazhirin: II/ 391.

[13] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1396, Irwa al-Ghalil: IV/ 129 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1282.

[14] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1397 dan Irwa’ al-Ghalil: IV/ 128-129.

[15] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2424 dan Irwa’ al-Ghalil: 963.

[16] Syar-h Shahih Muslim: VIII/ 18.

[17] Syar-h Shahih Muslim:VIII/ 18.

By Abu Ubaidullah Alfaruq Dikirimkan di SHAUM, SUNNAH

SAUDARAKU, MARI KITA PUASA 6 HARI DI BULAN SYAWWAL..!!!

KEUTAMAAN PUASA SUNNAH 6 HARI DI BULAN SYAWWAL

بسم الله الرحمن الرحيم

SYAWAL1Dari Abu Ayyub al-Anshariy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadlan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh”. [HR Muslim: 1164, Abu Dawud: 2433, at-Turmudziy: 759, Ibnu Majah: 1716, Ahmad: V/ 417, 419, ath-Thayalisiy, Ibnu Abi Syaibah dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

Dari Tsauban maulanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ اْلفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِاْلحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Barangsiapa yang berpuasa 6 hari setelah iedul fithri maka sempurnalah setahun. (Barangsiapa yang datang membawa satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala 10 kalinya)”. [HR Ibnu Majah: 1715. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

Dan juga an-Nasa’iy dengan lafazh,

جَعَلَ اللهُ اْلحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَشَهْرٌ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَ صِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ اْلفِطْرِ تَمَامُ السَّنَةِ

“Allah telah menjadikan satu kebaikan itu sepuluh kalinya. Maka sebulan itu menjadi sepuluh bulan dan puasa enam haru setelah iedul fithri itu menjadi genap setahun”. [Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Ibnu Khuzaimah: 2114 dengan lafazh,

صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَ صِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ

“Puasa bulan Ramadlan itu sebanding dengan puasa 10 bulan sedangkan puasa enam hari itu sebanding dengan puasa 2 bulan. Maka itulah puasa setahun”. [Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Dan Ibnu Hibban dengan lafazhnya,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَقَدْ صَامَ السَّنَةَ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan dan 6 hari di bulan Syawwal maka sungguh-sungguh ia telah berpuasa selama setahun”.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan dan diiringi puasa 6 hari di bulan Syawwal maka seolah-olah ia berpuasa selama setahun”. [HR al-Bazzar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

Hadits-hadits yang agung ini menunjukkan akan keutamaan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, yang ini termasuk karunia agung dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, dengan kemudahan mendapatkan pahala puasa setahun penuh tanpa adanya kesulitan yang berarti.[6]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhahullah,

Pahala perbuatan baik itu akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali, karena puasa Ramadlan ditambah puasa enam hari di bulan Syawwal menjadi tiga puluh enam hari, pahalanya dilipat gandakan sepuluh kali menjadi tiga ratus enam puluh hari, yaitu sama dengan satu tahun penuh (tahun Hijriyah), bagi yang melaksanakannya.

Disunnahkannya puasa Syawwal selama enam hari.

Diperbolehkan puasa pada hari-hari tersebut secara berturut-turut atau terpisah.

Sebahagian ulama salaf tidak menyukai disambungnya puasa Syawwal dengan Ramadlan agar orang-orang jahil tidak menyangka bahwa puasa Syawwal itu penyempurna puasa Ramadlan. Sungguh-sungguh telah terjadi apa yang dikhawatirkan disebagian negeri non Arab ketika mereka menunda iedul fithri sampai setelah 6 hari di bulan Syawwal. Na’udzu billah dari perilaku bid’ah tersebut. [7]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Para ulama menafsirkannya bahwa satu kebaikan itu akan dibalas 10 kalinya dan Ramadlan itu dikerjakan selama sebulan maka menjadi 10 bulan. Sedangkan Puasa Syawwal itu 6 hari menjadi 60 hari yakni 2 bulan. Berdasarkan hal ini manusia dianjurkan untuk menyempurnakan puasa Ramadlan dengan puasa 6 hari di bulan Syawwal.

Namun hendaknya diketahui, bahwa tidak ada puasa (Syawwal) sebelum qodlo (membayar hutang puasa Ramadlan). Yaitu seandainya ada seseorang memiliki hutang sehari puasa Ramadlan lalu ia berpuasa 6 hari (Syawwal) maka ia tidak akan memperoleh pahala tersebut. Sebab Rosul shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadlan…”. Barangsiapa yang masih memiliki hutang sehari dari Ramadlan maka belumlah ia berpuasa padanya tapi hanya berpuasa beberapa hari saja padanya. Jika ia tidak berpuasa sehari maka ia berarti berpuasa selama 29 hari. Jika ia tidak berpuasa 2 hari maka ia hanya berpuasa 28 hari, ia tidak berpuasa selama sebulan. Rosul shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan,…”. Maka jika engkau berpuasa Ramadlan dan juga berpuasa selama 6 hari di bulan Syawwal maka seolah-olah engkau berpuasa selama setahun penuh.

Sama saja engkau berpuasanya pada hari kedua dari hari raya Iedul fithri, sebagiannya mengikuti yang lainnya. Atau engkau berpuasa sesudah dua atau tiga hari, atau engkau berpuasa secara berturut-turut atau terpisah. Perkara dalam masalah ini sangat luas. Tetapi jika engkau memudah-mudahkan sehingga keluar dari bulan Syawwal lalu engkau berpuasa maka perbuatan ini tidak akan mendapatkan ganjaran. Ya Allah, kecuali orang yang memiliki udzur seperti orang yang sedang sakit, perempuan yang nifas/ haidl atau orang yang sedang safar yang ia tidak dapat berpuasa di bulan Syawwal dan mengqodlonya di bulan Dzulqoidah, maka hal tersebut tidaklah mengapa”. [8]

Jadi keutamaan ini adalah bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadlan sebulan penuh dan telah mengqadla/membayar (utang puasa ramadlan) jika ada, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Barangsiapa yang (telah) berpuasa (di bulan) Ramadlan…”, maka bagi yang mempunyai utang puasa Ramadlan diharuskan menunaikan/membayar utang puasanya dulu, kemudian baru berpuasa Syawwal. [9]

Meskipun demikian, barangsiapa yang berpuasa Syawwal sebelum membayar utang puasa Ramadlan, maka puasanya sah, tinggal kewajibannya membayar utang puasa Ramadlan. [10]

Lebih utama jika puasa enam hari ini dilakukan berturut-turut, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, meskipun dibolehkan juga tidak berturut-turut.

Lebih utama jika puasa ini dilakukan segera setelah hari raya Iedlul Fithri, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, menunjukkan kecintaan kepada ibadah puasa serta tidak bosan mengerjakannya, dan supaya nantinya tidak timbul halangan untuk mengerjakannya jika ditunda. [11]

Melakukan puasa Syawwal menunjukkan kecintaan seorang muslim kepada ibadah puasa dan bahwa ibadah ini tidak memberatkan dan membosankan, dan ini merupakan pertanda kesempurnaan imannya. [12]

Ibadah-ibadah sunnah merupakan penyempurna kekurangan ibadah-ibadah yang wajib, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih. [13]

Tanda diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah, adalah dengan giat melakukan amal ibadah lain setelahnya. [14]

Demikian beberapa dalil hadits dan penjelasannya tentang keutamaan shaum atau puasa sunnah 6 hari di bulan Syawwal, yang dikerjakan setelah menunaikan puasa Ramadlan secara berturut-turut atau terpisah. Mudah-mudahan bermanfaat untukku, keluarga dan kerabatku serta kaum muslimin seluruhnya.

Wallahu a’alam bish showab.

[1] Shahih Sunan Abu Dawud: 2125, Shahih Sunan at-Turmudziy: 606, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1393, Irwa’ al-Ghalil: 950, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6327 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 996.

[2] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1392, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6328 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 997.

[3] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3094.

[4] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3851.

[5] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 999.

[6] Ahadits Ash-Shiyam, Ahkam wa Adab halaman 157.

[7] Bahjah an-Nazhirin: II/385 oleh asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhahullah, Dar Ibnu al-Jauziy.

[8] Syarh Riyadl ash-Shalihin: III/ 506-507 oleh asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah, Dar al-Aqiidah.

[9] Pendapat ini dikuatkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam asy-Syarhu al-Mumti’ (III/100), dan juga asy-Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili dan para ulama lainnya.

[10] Lihat keterangan asy-Syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitab Ahadits ash-Shiyam halaman 159.

[11] Kitab Ahadits ash-Shiyam, Ahkam wa Adab halaman 158.

[12] Kitab Ahadits ash-Shiyam, Ahkam wa Adab halaman 157.

[13] Kitab Ahadits ash-Shiyam, Ahkam wa Adab halaman 158.

[14] Kitab Ahadits ash-Shiyam, Ahkam wa Adab halaman 157.

By Abu Ubaidullah Alfaruq Dikirimkan di SHAUM, SUNNAH

SAUDARAKU, BATALKAH WUDLU TATKALA THOWAF MENYENTUH WANITA?

بسم الله الرحمن الرحيم

          Merupakan perkara yang sangat sulit untuk dihindari adalah bersentuhan dengan wanita tatkala sedang thowaf. Padahal diantara syarat thowaf adalah dikerjakan dalam kondisi suci. Tentunya kondisi ini sangat menyulitkan jama’ah haji Indonesia, yang rata-rata berpendapat bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu -sebagaiamana madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah-. Lantas apa yang harus mereka lakukan sebagai solusi?

1) Sebagian mereka ada yang berfatwa untuk berniat merubah madzhab dari madzhab syafi’i ke madzhab hambali tapi hanya untuk sementara. Karena menurut madzhab hanbali menyentuh wanita hanya membatalkan wudlu jika desertai syahwat, dan jika tidak diserai syahwat maka tidak membatalkan. Mereka berfatwa demikian karena kondisi darurat, padahal mereka lebih memandang benarnya madzhab syafi’i dalam hal ini.

Bahkan sebagian mereka juga berfatwa agar merubah madzhab bukan hanya tatkala thowaf saja, tetapi perubahan tersebut dimulai sejak melakukan tata cara wudlu. Yaitu wudlu harus dikerjakan dengan cara madzhab hanbali, agar tidak batal tatkala bersentuhan dengan wanita ketika thowaf.

2) Sebagian mereka tetap bertahan dengan madzhab syafi’i dan tidak mau berpindah kepada madzhab Hanbali, namun dengan mengikuti fatwa bolehnya bertayammum tatkala bersentuhan dengan wanita ketika thowaf.

Kedua solusi ini adalah solusi yang cukup aneh, karena saya tidak tahu, apakah ada ulama syafi’iyah yang membolehkan untuk merubah madzhab yang lain -padahal diyakini madzhab syafi’i lah yang benar-?, atau membolehkan bertayammum sementara air ada dan mudah untuk didapatkan?!

Membatalkan wudlu karena menyentuh wanita adalah permasalahan khilafiyah yang masyhur di kalangan para ulama, bahkan telah timbul khilaf di kalangan para sahabat.

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

“Adapun Ibnu Umar maka Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i meriwayatkan dari beliau dengan lafal مَنْ قَبَّلَ امْرَأَةً أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوْءُ “Barangsiapa yang mencium seorang wanita atau merabanya dengan tangannya maka wajib baginya untuk berwudlu”. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dengan lafal الْقُبْلَةُ مِنَ اللَّمْسِ وَفِيْهَا الْوُضُوْءُ وَاللَّمْسُ مَا دُوْنَ الْجِمَاعِ  “Mencium termasuk menyentuh, dan ada wudlu, dan menyentuh adalah dibawah/sebelum jimak”. Dan dalam riwayat yang lain dari Ibnu Mas’ud tentang firman Allah أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ (atau menyentuh wanita) : مَعْنَاهُ ماَ دُوْنَ الْجِمَاعِ “Maknanya adalah dibawah/selain jimak”…

Adapun Ibnu Abbas maka beliau membawa makna ayat ini kepada makna jimak” (Talkhiish Al-Habiir 1/353)

Dalam permasalahan ini secara umum ada tiga pendapat :

PENDAPAT PERTAMA

Pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud diikuti oleh ulama Madzhab Syafi’i, yaitu menyentuh istri dan juga wanita yang lain yang bukan mahram (yaitu wanita yang mungkin untuk dinikahi) maka membatalkan wudlu, meskipun menyentuhnya tanpa disertai syahwat. Adapun argumen mereka adalah firman Allah,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“Dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh wanita, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)” (QS Al-Maidah : 7)

Firman Allah أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ (atau menyentuh wanita) ditafsirkan dengan التقاء البشرة البشرة (persentuhan kulit lelaki dengan kulit wanita) meskipun tanpa disertai jimak/bersenggama. (Lihat al-Umm 1:30 oleh Imam Syafi’i dan al-Majmu’ 2:35 oleh Imam Nawawi). Tafsiran seperti ini karena beberapa sebab :

Pertama : Allah menyebutkan janabah di awal ayat, lalu menggandengkan (meng’athofkan) menyentuh wanita dengan buang air besar setelah itu. Hal ini menunjukan bahwa menyentuh wanita termasuk jenis hadats kecil seperti buang air besar, dan ini bukanlah janabah. (lihat Kifaayatul Akhyaar hal 34). Maka dengan demikian bahwa yang dimaksud dengan menyentuh adalah menyentuh dengan tangan dan bukan jimak/bersenggama.

Kedua : Dzohir dari bahasa arab bahwasanya (لاَمَسَ) maknanya sama dengan (لَمَسَ), sebagaimana dalam qiroah lain (أَوْ لمَسْتُمُ النِّسَاءَ). Qiroah yang satu menafsirkan qiroah yang lain. Atau masing-masing qiroah dibawakan kepada maknanya yang sesuai, maka qiroaah (أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ) dibawakan kepada makna jimak, dan qirooah (أَوْ لمَسْتُمُ النِّسَاءَ) dibawakan kepada makna menyentuh.

Ketiga : Lafal (لمس) dalam al-Qur’an maknanya adalah menyentuh, seperti firman Allah

وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ لَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا سِحْرٌ مُبِينٌ (٧)

Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS Al-An’aam : 7) (Lihat Al-iqnaa’ li Asy-Syirbini 1/62)

Keempat : Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits menyatakan bahwa menyentuh kemaluan sendiri dengan telapak tangan maka membatalkan wudlu.

وَعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ قَالَ: “مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ”

Dari Busroh binti Shofwan radhiallahu ‘anhaa bahwasanya Rosulullah berkata, “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaknya ia berwudlu” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah 3/237 no 1235)

Sebabnya karena hal ini bisa menimbulkan syahwat, terlebih lagi menyentuh wanita.

Karenanya menurut madzhab Syafi’iyyah ‘illah menyentuh wanita membatalkan wudlu adalah karena bisa menimbulkan syahwat. Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori rahimahullah berkata :

وَالْمَعْنَى في النَّقْضِ بِهِ أَنَّهُ مَظِنَّةُ التَّلَذُّذِ الْمُثِيرِ لِلشَّهْوَةِ

“Dan makna dari membatalkan wudlu karena menyentuh wanita, sebab hal itu merupakan dugaan timbulnya berledzat-ledzat yang bisa menggerakkan syahwat” (Asna Al-Mathoolib 1/56)

Dari sini para ulama syafi’iyah menyatakan bahwa menyentuh wanita yang merupakan mahrom tidak membatalkan wudlu, karena tidak menimbulkan syahwat.

PENDAPAT KEDUA

Adapun Ibnu Abbas berpendapat bahwa yang membatalkan wudlu adalah berjimak dan bukan hanya sekedar menyentuh. Pendapat ini diikuti oleh ulama Hanafiyah.

As-Sarokhsi berkata :

لا يجب الوضوء من القبلة ومس المرأة، بشهوة أو غير شهوة

“Tidak wajib berwudhu karena mencium dan menyentuh wanita, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat” (Al-Mabshuuth 1/121)

Adapun argumen pendapat ini maka banyak, diantaranya :

Pertama : Asalnya adalah tetapnya thoharoh seseorang dengan keyakinan, dan tidak dibatalkan kecuali dengan dalil yang yakin pula. Ketika seseorang berwudlu, maka hukum wudlunya itu hukum asalnya suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya. Dalam hal ini, pembatal itu tidak ada.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وَأَيْضًا فَمِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّ مَسَّ النَّاسِ نِسَاءَهُمْ مِمَّا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَمَسُّ امْرَأَتَهُ ؛ فَلَوْ كَانَ هَذَا مِمَّا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ لَكَانَ النَّبِيُّ بَيَّنَهُ لِأُمَّتِهِ ؛ وَلَكَانَ مَشْهُورًا بَيْنَ الصَّحَابَةِ وَلَمْ يَنْقُلْ أَحَدٌ أَنَّ أَحَدًا مِنْ الصَّحَابَةِ كَانَ يَتَوَضَّأُ بِمُجَرَّدِ مُلَاقَاةِ يَدِهِ لِامْرَأَتِهِ أَوْ غَيْرِهَا وَلَا نَقَلَ أَحَدٌ فِي ذَلِكَ حَدِيثًا عَنْ النَّبِيِّ : فَعُلِمَ أَنَّ ذَلِكَ قَوْلٌ بَاطِلٌ

padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudlu, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berwudlu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/235)

Kedua : Telah datang hadits-hadits yang shahih yang menunjukan bahwa Nabi menyentuh istri beliau dan tidak batal wudlu beliau. Hadits-hadits tersebut diantaranya :

Pertama :

عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ ” قَالَ عُرْوَةُ: قُلْتُ لَهَا: مَنْ هِيَ إِلَّا أَنْتِ ؟ قَالَ: فَضَحِكَتْ

Dari Urwah bin Az-Zubair (dan beliau adalah keponakan Aisyah) dari Aisyah -semoga Allah meridloinya- “Bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium seorang istrinya kemudian keluar menuju sholat dan tidak berwudlu lagi”.

Saya (Urwah) berkata kepada AIsyah: Tidaklah istri Nabi tersebut kecuali Anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Ahmad : 25766 Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 179, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah: 323, demikian juga para pentahqiq Musnad Al-Imam Ahmad. Hadits ini diperselishkan oleh para ulama pada dua perkara (1) Apakah Urwah dalam sanad adalah Urwah bin Az-Zubair ataukah Urwah Al-Muzani yang majhul?, (2) Jika Urwah bin Az-Zubair maka apakah riwayat Habib bin Abi Tsabit dari Urwah bersambung atau terputus? silahkan lihat penjelasan Ibnu Hajar di At-Talkhis Al-Habiir 2/460, dan Al-Baihaqi di As-Sunan Al-Kubro 1/125, lihat juga  http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=17255).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudlu sekalipun dengan syahwat.

Kedua : Dari Aisyah radliyallahu ‘anha berkata:

كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ

Saya pernah tidur di depan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, maka beliau menyentuhku lalu saya pun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku membentangkan kedua kakiku seperti semula. (Aisyah) berkata: “Rumah-rumah saat itu masih belum punya lampu”. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).

Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudlu.

Ketiga : Dari Aisyah radliyallahu ‘anha berkata:

فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ : اللهم أعوذ برضاك من سخطك وبمعافاتك من عقوبتك وأعوذ بك منك لا أحصى ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك

“Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur maka saya mencarinya lalu tanganku mengenai pada kedua telapak kakinya yang tegak, beliau sedang sujud seraya berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR. Muslim: 486).

Hadits ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudlu. Dan zhohir hadits ini Aisyah menyentuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada pembatas kain, karena kondisinya Aisyah terjaga dan terbangun di malam hari, lalu mencari suaminya, dan ia tidak mengetahui kalau suaminya sedang sujud dalam sholat. Kondisi seperti ini sulit untuk dibayangkan bahwa Aisyah langsung mencari kain untuk diletakan di tangannya terlebih dahulu lalu baru mencari-cari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka penjelasan sebagian ulama bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya telah menyelisihi zhahir hadits. (Lihat at-Tamhid 21/171 Ibnu Abdil Barr).

Ketiga : lafal-lafal “menyentuh” dalam Al-Qur’an sering digunakan sebagai kinayah untuk jimak. Contohnya firman Allah

قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ

Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, Padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.” (QS Ali ‘Imron : 47)

قَالَتْ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا

Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!” (QS Maryam : 20)

لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu menyentuh (yaitu bercampur-pen) dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. (QS Al-Baqoroh : 236)

Ibnu Abdil Barr berkata :

وقد أجمعوا على أن رجلا لو تزوج امرأة فمسها بيده أو قبلها في فمها أو جسدها ولم يخل بها ولم يجامعها أنه لا يجب عليه إلا نصف الصداق كمن لم يصنع شيئا من ذلك وأن المس والمسيس عني به ههنا الجماع

“Para ulama telah ijmak jika ada seseorang menikah dengan seorang wanita lalu lelaki tersebut menyentuh wanita tersebut dengan tangannya atau mencium mulutnya atau mencium tubuhnya dan tidak berduaan dengannya dan tidak bersenggama dengannya maka tidak wajib bagi dia kecuali hanya membayar setengah nilai mahar, sebagaimana seperti seseorang yang belum melakukan apa-apa, dan bahwasanya yang dimaksud dengan al-mass “sentuhan” dalam ayat ini adalah jimak/senggama” (At-Tamhiid 21/173)

Keempat : Firman Allah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kalian junub Maka mandilah, dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.. (QS Al-Maidah : 6)

Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata :

فقول الله عز و جل يا ايها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة يريد وقد أحدثتم قبل ذلك فاغسلوا وجوهكم الآية فأوجب غسل الأعضاء التي ذكرها بالماء ثم قال وإن كنتم جنبا فاطهروا يريد الاغتسال بالماء ثم قال وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء يريد الجماع الذي يوجب الجنابة ولم تجدوا ماء تتوضأون به من الغائط أو تغتسلون به من الجنابة كما أمرتكم في أول الآية فتيمموا صعيدا طيبا… فإنما أوجب في آخر الآية التيمم على من كان أوجب عليه الوضوء والاغتسال بالماء في أولها

“Maksud Allah yaitu jika kalian hendak mengerjakan sholat sementara kalian telah berhadats sebelumnya maka basuhlah wajah-wajah kalian…

Maka Allah mewajibkan untuk mencuci anggota-anggota tubuh -yang disebutkan dalam ayat- dengan air, kemudian Allah berfirman ((Dan jika kalian junub maka bersucilah)) yaitu mandi dengan air, kemudian Alah berfirman ((Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan)), maksud Allah adalah “kalian berjimak” yang menyebabkan janabah ((lalu kalian tidak memperoleh air)) untuk berwudhu karena buang air dan untuk mandi karena janabah sebagaimana Aku perintahkan kalian di permulaan ayat ((Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)))
Allah di akhir ayat mewajibkan tayammum kepada orang yang Allah wajibkan wudlu dan mandi kepadanya di awal ayat” (Lihat penjelasan Ibnu AbdilBarr 21/175-176)

Maksud Ibnu Abdil Bar tentang pendalilan di atas, yaitu bahwasanya di awal ayat Allah menyebutkan tentang kwajiban bersuci (berwudu) dari hadats kecil dan kewajiban mandi dari hadats besar (junub). Lalu di akhir ayat Allah menyebutkan tentang tayammum karena tidak ada air, tentunya juga tayammum sebagai pengganti wudlu dan mandi. Jika ternyata maksud dari “menyentuh wanita” adalah hanya menyebabkan hadats kecil maka tayammum di sini hanya fungsinya sebagai pengganti wudlu yang menghilangkan hadats kecil. Maka ini tentunya tidak serasi dengan awal ayat yang menyebutkan tentang hadats kecil dan hadats besar. Karenanya pendapat yang benar “menyentuh wanita” maksudnya adalah berjimak yang menyebabkan hadats besar yaitu junub. Maka tayammum juga fungsinya sebagai pengganti mandi untuk menghilangkan hadats besar.

PENDAPAT KETIGA

Menyentuh wanita adalah membatalkan wudlu jika disertai dengan syahwat. Dan ini adalah pendapat yang mencoba untuk mengkompromikan kedua pendapat di atas. Pendapat ini dipilih oleh madzhab Hanbali dan madzhab Maliki. (Silahkan lihat Hasyiah Ad-Dusuuqi 1/114, Syarh Muntaha Al-Irodaat 1/73, dan Al-Mugni li Ibni Qudaamah 1/142)

Jika perhatikan argumen yang dikemukakan oleh madzhab Syafi’iyah maka merupakan argumen yang sangat kuat terlebih lagi dari sisi bahasa dan qiro’ah, dan juga ini adalah pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud.

Akan tetapi pendapat ini kalah kuat dengan hadits-hadits yang tegas menunjukan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh bahkan mencium istrinya dan wudlu beliau tidaklah batal, beliau terus melanjutkan sholatnya.

Adapun mentakwil sentuhan Nabi kepada Aisyah atau sebaliknya sentuhan Aisyah kepada Nabi adalah sentuhan yang terhalangi dengan kain maka ini keluar dari zhohir hadits. Kalaupun takwil ini bisa kita terima maka tidak mungkin diterapkan tentang hadits dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Aisyah lalu sholat tanpa berwudlu kembali. Karena tidak mungkin mencium dengan panghalang kain, dan tentunya jika ada penghalang kainnya maka sang perawi (Aisyah) akan menyebutkannya.

Karenanya pendapat Hanafiyahlah yang merupakan pendapat yang terkuat -Wallahu A’lam-  yaitu menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudlu baik tanpa syahwat maupun dengan syahwat.

Kesimpulan : Jika thowaf maka seseorang berusaha untuk tidak menyentuh wanita yang tidak halal baginya, adapun menyentuh istrinya -terlebih lagi untuk menjaganya- maka tidak mengapa. Dan jika toh tersentuh wanita lain maka wudlunya tidak batal dan ia tetap melanjutkan thowafnya.

Kalaupun ia berpendapat sebagaimana pendapat madzhab Syafi’i maka batallah thowafnya dan wajib bagi dia untuk berwudlu lalu melanjutkan towafnya, wallahu A’lam.

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 19-01-1436 H / 12 November 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
http://www.firanda.com

By Abu Ubaidullah Alfaruq Dikirimkan di FIQIH, HAJJI

SAUDARAKU, ADAKAH SHOLAT TASBIH ITU?

pnd40SHOLAT TASBIH

بسم الله الرحمن الرحيم

 عن ابن عباس رضي الله عنهما أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ اْلمـُطَّلِبِ: يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيْكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوْكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَ آخِرَهُ قَدِيْمَهُ وَ حَدِيْثَهُ خَطَأَهُ وَ عَمَدَهُ صَغِيْرَهُ وَ كَبِيْرَهُ سِرَّهُ وَ عَلاَنِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فىِ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاِتحَةَ اْلكِتَابِ وَ سُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ اْلقِرَاءَةِ فىِ أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَ أَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ: سُبْحَانَ اللهِ وَ اْلحَمْدُ ِللهِ وَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ُثمَّ تَرْكَعُ فَتُقُوْلُهَا وَ اَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ُثمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ُثمَّ تَهْوِى سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا وَ اَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ُثمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ُثمَّ تَسْجُدُ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ُثمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَ سَبْعُوْنَ فىِ كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فىِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَ فىِ كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ َلمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ َلمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ َلمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ َلمْ تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً

 Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abbas bin Abdil Muththalib radliyallahu anhu: Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah engkau jika aku memberimu? Maukah engkau jika aku menyantunimu? Maukah engkau jika aku menghadiahimu? Maukah engkau jika aku berbuat sesuatu kepadamu? Ada sepuluh perkara, jika engkau mengerjakan hal tersebut, maka Allah akan memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosamu, yang pertama dan yang terakhir, yang lama dan yang baru, yang tidak sengaja dan yang sengaja, yang kecil dan yang besar dan yang tersembunyi dan yang terang-terangan. Sepuluh perkara itu adalah: hendaklah engkau mengerjakan sholat empat rakaat, yang pada setiap rakaat itu engkau membaca surat alfatihah dan datu surat lainnya. Jika engkau sudah selesai membacanya di rakaat pertama sedangkan engkau masih dalam keadaan berdiri, hendaklah engkau mengucapkan: سُبْحَانَ اللهِ وَ اْلحَمْدُ لِلَّهِ وَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ (Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Allah Maha besar), sebanyak lima belas kali. Kemudia ruku’, lalu engkau mengucapkannya sebanyak sepuluh kali sedangkan engkau dalam keadaan ruku’. Lalu engkau mengangkat kepalamu dari ruku’ lalu engkau mengucapkannya sebanyak sepuluh kali. Selanjutnya, engkau turun bersujud, lalu engkau mengucapkannya sebanyak sepuluh kali sedangkan engkau dalam keadaan sujud. Lalu engkau mengangkat kepalamu dari sujud lalu engkau mengucapkannya sebanyak sepuluh kali. Kemudian bersujud lagi lalu engkau mengucapkannya sebanyak sepuluh kali. Selanjutnya, engkau mengangkat kepalamu lalu engkau mengucapkannya sebanyak sepuluh kali. Demikian itulah tujuh puluh lima kali setiap rakaat. Dan engkau melakukan hal tersebut pada empat rakaat. Jika engkau mampu mengerjakan setiap hari satu kali maka kerjakanlah. Tetapi jika engkau tidak dapat mengerjakannya setiap hari, maka hendaklah setiap jum’at (pekan) sekali. Namun jika tidak bisa, maka kerjakan setiap bulan sekali. Dan jika engkat tidak mampu, maka kerjakan setiap tahun sekali. Dan jika tidak bisa juga, maka kerjakanlah satu kali selama hidupmu. [HR Abu Dawud: 1297 dan Ibnu Majah: 1386. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih sebagaimana di dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 1152, Shahiih Sunan Ibni Majah: 1138, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 678 dan Misykah al-Mashobih: 1328, 1329].

 KETERANGAN:

A). CARA MENGERJAKANNYA;

  1. Menghadap kiblat, niat kemudian takbir. Lalu membaca doa iftitah, baca surat al-Fatihah dan satu surat lainnya, kemudian membaca:

سُبْحَانَ اللهِ وَ اْلحَمْدُ لِلَّهِ وَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ

Doa tersebut dibaca sebanyak lima belas kali.(15)

  1. Ruku’ dan membaca doa ruku’ sebagaimana biasa lalu membaca doa di atas sebanyak sepuluh kali. (25)
  2. Bangkit dari ruku’ (I’tidal) dan membaca doa I’tidal seperti biasa, lalu membaca doa di atas sebanyak sepuluh kali. (35)
  3. Lalu menyungkur sujud dan membaca sujud sebagaimana biasa, lalu membaca doa di atas sebanyak sepuluh kali.(45)
  4. Lalu bangkit dari sujud untuk duduk di antara dua sujud dan membaca seperti biasa, lali membaca doa di atas sebanyak sepuluh kali. (55)
  5. Lalu sujud kembali dan membaca doa sujud seperti biasa lalu membaca doa di atas sebanyak sepuluh kali.(65)
  6. Lalu engkau bangkit dari sujud seraya membacanya sebanyak sepuluh kali. (75)
  7. Lalu mengerjakan sholat itu sebanyak empat rakaat, dan melakukannya seperti pada rakaat yang pertama, dan mengucapkan salam pada rakaat yang keempat. (Jumlah dzikirnya tersebut menjadi 300. Yaitu 4 x 75= 300).

B). Di dalam sholat Tasbih ini tidak ditetapkan bacaannya pada setiap rakaat dan tidak juga ditetapkan waktu pelaksanaannya.

C). Jika mampu kerjakan tiap hari, jika tidak boleh setiap pekan, lalu jika tidak setiap bulan, atau setiap tahun atau seumur hidup sekali.

D). Faidah dan keutamaannya adalah Allah akan memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosamu, yang pertama dan yang terakhir, yang lama dan yang baru, yang tidak sengaja dan yang sengaja, yang kecil dan yang besar dan yang tersembunyi dan yang terang-terangan dan ini ada 10 kriteria.

Wallahu a’lam.

SAUDARAKU, JANGANLAH ENGKAU MEMBUANG BANGKAI TIKUS DI JALAN

Hukum Membuang Bangkai Tikus di Jalan

بسم الله الرحمن الرحيم

bangkai tikus

Apa hukumnya membuang bangkai tikus di jalan? Krn seperti ini banyak dilakukan masyarakat.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rosulillah, amma ba’du,

Ada banyak hal yang membahayakan ketika seseorang membuang bangkai tikus di sembarang tempat, terlebih di jalanan. Baik bahaya dari sisi syariah maupun medis.

Kita bisa menyebutkan beberapa ancaman bahaya itu, diantaranya,

  1. Bangkai tikus adalah benda najis dengan sepakat ulama
  2. Bangkai tikus termasuk benda menjijikkan, sehingga mengganggu orang lain
  3. Menimbulkan bau yang tidak sedap
  4. Sumber berbagai bakteri dan kuman penyakit, seperti Leptospira atau Y. Pestis, yang semuanya sangat mengancam kesehatan manusia.

Karena itu, kita bisa memastikan bahwa membuang bangkai tikus di jalan atau tempat umum, hukumnya sangat terlarang, bahkan bisa jadi termasuk perbuatan dosa. Ada beberapa alasan untuk itu,

Pertama, kita dilarang secara sengaja meletakkan benda najis di tempat umum

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ، الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ

Takutlah kalian kepada dua sumber laknat. Yaitu orang yang buang hajat di jalan yang dilewati banyak orang atau di tempat yang biasa digunakan untuk berteduh. (HR. Muslim 641, Abu Daud 25 dan yang lainnya).

An-Nawawi menjelaskan hikmah, mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras buang hajat di jalan, hingga beliau menyebutnya sebagai sumber laknat.

وما نهى عنه في الظل والطريق لما فيه من إيذاء المسلمين بتنجيس من يمر به ونتنه واستقذاره والله أعلم

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang buang hajat di tempat umumnnya orang berteduh atau di jalan, karena perbuatan semacam ini akan mengganggu kaum muslimin, dengan menyebarkan najis kepada orang yang lewat, menyebarkan bau busuk, dan menyebarkan kotoran kepada mereka. Allahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim an-Nawawi, 3/162).

Dan membuang bangkai tikus di jalan, tidak berbeda dengan itu.

Kedua, islam menganjurkan agar kita menghilangkan hal yang mengganggu orang lain di jalan atau di tempat umum.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan cabang iman,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ

Iman memiliki 60 atau 70 lebih cabang. Yang paling tinggi, syahadat ‘Laa ilaaha illallaah’ dan yang paling rendah, menyingkirkan gangguan dari jalan. (HR. Muslim 162, Ahmad 9161, Turmudzi 2822 dan yang lainnya).

Berikan garis tebal untuk pernyataan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah cabang iman yang paling rendah. Jika kita menggunakan prinsip mafhum mukhalafah (mengambil kesimpulan kebalikannya), berarti tindakan menyebarkan gangguan di jalan, bertentangan dengan cabang iman yang paling rendah.

Islam juga menggolongkan kegiatan menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk sedekah. Dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa bentuk perbuatan yang bernilai sedekah, diantaranya,

وَيُمِيطُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ

Menghilangkan gangguan dari jalan termasuk sedekah. (HR. al-Bukhariy 2989, Ahmad 8840 dan yang lainnya).

Jika kita mengambil kesimpulan sebaliknya, berarti membuang bangkai tikus di jalan termasuk sikap ‘anti-sedekah’.

Islam juga menyebut kegiatan menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk khusnul khuluk (amal baik). Dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عُرِضَتْ عَلَىَّ أَعْمَالُ أُمَّتِى حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا فَوَجَدْتُ فِى مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا الأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيقِ

Ditampakkan kepadaku amalan seluruh umatku. Yang baik maupun yang buruk. aku melihat diantara amal baik mereka: menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan. (HR. Ahmad 22170 dan Muslim 1261).

Dengan prinsip yang sama, mengambil kesimpulan sebaliknya, berarti membuang bangkai tikus di jalan termasuk amal kejahatan.

Masih terdapat sisi buruk lainnya, semoga keterangan di atas sudah mencukupi. Yang jelas, membuang bangkai tidus di jalan adalah kesalahan besar yang tidak selayaknya dilakukan seorang muslim.

Seharusnya bangkai semacam ini ditanam, bisa juga dijadikan pupuk tanaman. Jelas bermanfaat dan tidak membahayakan.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Sumber; http://www.konsultasisyariah.com/hukum-membuang-bangkai-tikus-di-jalan/#