Saudaraku, Inilah Orang-Orang Yang Tertipu Oleh Hizbut Tahrir,.. Dan Khilafah Khayalan Mereka,..

Mengapa Mereka Lebih Mendahulukan Khilafah Daripada Tauhid ???

بسم الله الرحمن الرحيم

felix siauwpun tertipu khilafah khayalanAbu Salma al-Atsary

Segala puji hanya bagi Allah, Rabb pemelihara alam semesta, satu-satunya Ilah yang Haq untuk disembah, yang tiada sekutu bagi-Nya baik dalam nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum dan ibadah kepada-Nya, yang mengutus para nabi untuk menegakkan haq-Nya, yang menurunkan al-Kitab sebagai bayyinah atas keesaan-Nya, yang menciptakan manusia dan jin hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan menjadikan segala maksud dan tujuan hanyalah untuk-Nya.
Amma Ba’du:

Sesungguhnya, sejak zaman dahulu hingga sekarang, sejak manusia pertama diciptakan hingga manusia terakhir akan binasa, Tauhid merupakan pondasi dasar ubudiyah seorang hamba, haq Rabb yang harus dipenuhi hamba-Nya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dalam keadaan suka maupun duka. Bahkan, tiadalah diutus para anbiya’ dimuka buni ini kecuali mengembalikan fitrah manusia pada kesuciannya, dalam mengabdi dan beribadah kepada penciptanya semata.

Namun, sungguh sayang, ketika kelompok-kelompok islam yang parsial/juz’iyyat dalam gerakannya bermunculan, mereka membangun bangunan yang dimulai dari atapnya, sedangkan pondasinya keropos dan kosong dari pilar-pilar aqidah, maka bagaimana mungkin bangunan tersebut akan berdiri, sedangkan pondasinya tidak ada, dan mereka mencurahkan segala daya dan upaya mencari cara untuk membangun atap bangunan yang tak berpondasi dan berpilar tersebut.

Mereka berfikir, jika mereka membangun pondasi terlebih dahulu, akan memerlukan waktu yang lama, biaya dan tenaga yang besar, sedangkan hujan, badai dan terik telah menyiksa, maka atap untuk berlindung lebih diperlukan, karena mereka tak kuat lagi tertimpa hujan dan panas terik…

Namun sungguh malang, karena upaya mereka itu adalah mustahil dan bodoh, karena biar bagaimanapun, pondasi adalah penting dalam membangun infra-struktur suatu bangunan, tanpa pondasi, maka kita seolah-olah hanya mengharap sesuatu yang tak mungkin tegak, bak hendak meraih bulan dan bintang di tengah malam, padahal tangan tak sampai.

Pun seandainya berdiri atap tersebut, dan mereka beranggapan telah aman dari hujan dan terik yang mendera, namun bangunan itu sangat lemah, hanya dengan tiupan angin sedikit saja, maka akan hancur berkeping-keping bangunan dan usaha mereka yang sia-sia tersebut.

Inilah perumpaan mereka, penyeru-penyeru islam yang senantiasa menggembar-gemborkan khilafah islamiyyah, namun mereka jahil dan acuh terhadap aqidah dan manhaj yang benar di dalam islam.

Inilah fenomena nyata saat ini, dimana banyak sekali kelompok yang mengklaim sebagai kelompok penegak syariat islamiyyah dan pelanggeng hukum-hukum islam, berkoar-koar ke sana kemari, meneriakkan dan memekikkan tathbiqus syarii’ah (penegakkan syariat), namun sekali lagi sungguh sayang, pekikan mereka tampak begitu parsial, seolah-olah syariat islam yang dimaksud hanyalah seputar hukum-hukum siyasiyyah saja, hanya penyelenggaraan hukum had, qishash, dan lain sebagainya.

Mereka melalaikan suatu hal yang lebih penting dari itu semua, yang merupakan dasar dan pijakan dari hukum-hukum lainnya, dan merupakan syariat terbesar di dalam islam, yang seharusnya kita tegakkan dan kita prioitaskan, sebagai pengejawantahan penegakkan syariat secara integral dan kaafah, yakni penegakkan haqqullah (hak Allah) yang wajib dipenuhi hamba-Nya, yaitu mentauhidkan-Nya di dalam uluhiyah/ubudiyyah.

Karena inilah metode rasululullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam dalam da’wahnya, manhajnya seluruh rasul dan nabi, karena Allah Ta’ala’ala telah menandaskannya secara gamblang di dalam firman-Nya surat An-Nahl ayat 36, “Dan sungguh telah kami utus pada tiap-tiap ummat seorang rasul, (yang menyeru) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut.”

Mereka menyatakan bahwa menegakkan daulah merupakan ghoyah (tujuan) da’wah, dan daulah khilafah Islamiyyah adalah suatu hal yang niscaya dan wajib, mereka berdalil dengan qoidah ushul fiqh, Maa Laa Yutimmu waajibun illa bihi fahuwa waajibun, Suatu hal yang jika tanpanya tidak akan sempurna suatu kewajiban, maka hukumnya adalah wajib, karena tidaklah akan tegak syariat Islam kecuali jika ada perangkatnya, sedangkan daulah khilafah adalah perangkat syar’i untuk meng-implementasikannya. Maka daulah khilafah hukumnya wajib, dan tidak menegakannya termasuk dosa.

Mereka juga berdalil dengan hadits baiat, bersabda nabi ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam, “Man maata walaysa fi unuqihi baa’iatan, fa maata miytaatan jaahilayatan” (barangsiapa yang mati sedangkan tidak ada baiat di pundaknya, maka matinya bagaikan bangkai jahiliah).

Anggapan mereka, bahwa baiat wajib atas kholifah/imamul a’dham, namun sekarang saat tak ada imamul a’dham, maka dengan kembali ke qoidah awal tadi, makai baiat adalah wajib, karena jika tak ada baiat maka mati kita adalah mati jahiliah, sehingga wajib atas kita untuk membaiat seorang imamul a’dham, padahal ba’iat takkan bisa ditegakkan jika tak ada daulah, maka menegakkan daulah hukumnya wajib, sehingga menurut anggapan mereka, orang-orang yang menegakkan daulah tidak terkena ancaman hadits tersebut, namun orang islam yang tak ada keinginan untuk menegakkan daulah terkena ancaman matinya dalam keadaan jahiliah.

Maka, kami katakan pada mereka, wahai para pengklaim penegak hukum islam dan perindu daulah khilafah islamiyyah, dengan cara apakah kalian memenuhi harapan antum tersebut?

Dengan metode bagaimanakah antum menegakkannya?

Na’am!!! Tidak dipungkiri bahwa syariat islam takkan bisa tegak secara sempurna jika tidak didukung oleh hukama’ atau daulah islamiyyah.

Sungguh merupakan suatu dambaan bagi kami dan kalian akan tegaknya daulah khilafah Islamiyyah ‘ala manhaj nubuwwah, namun ingatlah, bahwa islam ini adalah agama yang sempurna, yang tak butuh pengurangan terlebih lagi penambahan, telah terang metode da’wah al-haq di al-Qur’an dan as-Sunnah, bahwa tidaklah para nabi dan rasul (QS 16:36, 21:25), baik itu nabi Nuh kepada kaumnya (QS 7:59), Hud kepada kaum ‘Aad (QS. 7:65), Sholih kepada kaum Tsamud (QS. 7:73), Nabi Syuaib kepada Madyan (QS. 7:85), dan seluruh nabi hingga nabi terakhir kita Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam (39:65-66,dan masih banyak ayat pada tempat lain) melainkan adalah mereka semua diutus untuk menegakkan peribadatan hanyalah untuk Allah semata, baik dalam ibadah dan ahkam.

Lantas, mengapa gaung dan gema pekikan tathbiq syariiatil islaamiyyah yang kalian tabuh itu kosong dari syariat islamiyyah yang paling tinggi ini, yakni da’wah kepada tauhidul uluhiyyah/ibaadah?

Kenapa kalian konsentrasikan, fokuskan dan curahkan segala daya dan upaya kalian pada bagian yang parsial/juz’iyyah saja, yakni penegakkan daulah khilafah semata, penegakan syariat had, qishahsh dan yang semisalnya, sedangkan tidak pernah kami lihat kalian mengajak manusia kepada Aqidah yang benar secara tafshil (teperinci), kepada sunnah nabi yang mulia yang shohihah, kepada dien yang murni sebagaimana awalnya.

Maka kami katakan lagi kepada mereka mengenai dalil-dalil parsial mereka tentang ghoyah da’wah mereka yang mereka orientasikan kepada daulah, maka kami jawab :

1. Likulli maqaal maqaam wa likulli maqaam maqaal (tiap-tiap ucapan ada tempatnya dan tiap tempat juga ada ucapannya), kaidah yang kalian gembar-gemborkan, Laa yutimmu waajibun illa bihi fahuwa waajib, tentulah ada konteksnya, dan memang kami membenarkan bahwa daulah adalah suatu hal yang niscaya sebagai perangkat penegakkan syariat islamiyyah, dan ini adalah ideal keinginan tiap muslim, jika ada muslim yang tak menghendaki akan adanya daulah islamiyyah maka patutlah dipertanyakan keimanannya.

Namun satu hal yang harus diingat, metode apakah yang kita tempuh dalam menuju daulah Islamiyyah, inilah yang membedakan antara kami dengan kalian. Kalian lebih fokus kepada upaya parsial dengan pengopinian kepada masyarakat pentingnya daulah islamiyyah dan penegakkan syariat (walau banyak dari kalian jahil terhadap syariat itu sendiri) sedangkan kita mengajak ummat secara integral dari metode yang digariskan Allah dan Rasul-Nya, yang kita berpijak dan berangkat darinya.

Maka wahai kalian yang berjuang dengan orientasi daulah, kita katakan, maa laa yutimmu waajibun illa bihi fahuwa waajib, dengan kaidah ini kita sepakat bahwa menegakkan daulah adalah suatu hal yang niscaya, maka mari kita juga bersepakat, dengan kaidah itu pula, tidak akan bisa tegak daulah jika kita tidak meniti dengan metodenya para anbiya’ dan rusul yang telah ma’tsur di dalam kitabain, yakni memulai dakwah ini dari tauhid dan akidah shahihah.

2. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah” (Al-Hujurat : 1), dari ayat ini maka wajib bagi tiap mu’min untuk mendahulukan al-Qur’an dan as-Sunnah dari lainnya, dan wajib berhujjah dengan keduanya, maka apakah layak bagi kita mendahulukan kaidah ushul fiqh di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal ushul fiqh merupakan istinbath para ulama’ yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah,.

3. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah)” (An-Nisaa’ : 59), dari ayat ini wajib atas mu’min jika berselisih untuk mengembalikan kepada al-Qur’an dan al-Hadits.

Sekarang kita berselisih terhadap orientasi da’wah, antum mengatakan daulah prioritas pertama saat ini sedangkan kami menyatakan tauhid dan akidah islamiyyah yang terpenting, maka merupakan kewajiban atas kita untuk mengembalikan perselisihan kita ini kepada kitabain, maka wahai kalian yang berorientasi kepada daulah dan tathbiqusy syarii’at, tunjukkan dalil-dalil kalian dari al-Qur’an dan as-Sunnah, di ayat mana para anbiya’ dan rusul memulai da’wahnya dan memprioritaskan da’wahnya kepada kekuasaan, di hadits mana??

Apakah qath’i ad-Dilalah (pasti penunjukannya)??,

Maka ketahuilah!!!

Kami dapat menunjukkan berpuluh-puluh ayat dari al-Qur’an dan beratus-ratus hadits tentang manhaj kami yang qath’i ad-Dilalah, bahwa metode haq dari kitabain adalah tauhid, prioritas pertama dan utama!!!

4. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah takkan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka.” (ar-Ra’du : 11), kita beristifaadah dengan ayat ini bahwa keadaan ummat ini takkan berubah hingga ummat ini yang merubah keadaan mereka, tentunya dengan cara/ikhtiyar yang masyru’ (disyariatkan), maka kita sama-sama sepakat dan sering menggunakan ayat ini, namun kita berbeda dalam pemahamannya.

Kalian sering menggunakan ayat ini sebagai hujjah wajibnya menerapkan syariat islamiyyah dan dorongan untuk menegakkannya sebagai solusi dari semua krisis ummat saat ini, namun kalian lupa, bahwa ikhtiyar manusia itu juga tak lepas dari Iradah syar’iyyah Allah, yakni Allah takkan menolong hamba-Nya yang tak menolong agama-Nya, Intanshurullahu yanshurkum wa yutsabbit aqdaamakum, mafhum muwaafaqah (pemahaman tekstual) dari ayat ini adalah, jika kita menolong agama Allah niscaya Allah akan menolong kita.

Kemudian mafhum mukhalafah (pemahaman berkebalikan) dari ayat ini adalah, jika kita tidak menolong agama Allah dengan cara yang digariskan Allah dan rasul-Nya, maka bagaimana mungkin Allah akan menolong kita dan memperteguh kedudukan kita, walaupun kita sudah berusaha untuk merubah keadaan kita, namun jika Allah tak menghendaki, yang disebabkan oleh faktor penghalang turunnya nashrullah, maka keadaan kita akan tetap demikian.

Dan ingatlah bahwa cara perubahan yang paling masyru’ adalah inqilabiyyah yakni dengan tashfiyah (pensucian/pemurnian) dari syirik, bid’ah, maksiat, dan tarbiyah (pembinaan) dengan akidah yang benar, sunnah yang shahihah, dan amal yang shalih. Inilah metode yang haq itu, inilah perubahan yang akan membawa kepada kemenangan, yakni at-Tashfiyah wat-Tarbiyah!!!

5. Allah Ta’ala berfirman, “Dan Allah telah bejanji dengan orang-orang yang beriman diantara kalian dan beramal sholeh, bahwa ia sungguh-sungguh akan menjadikanmu berkuasa di bumi (dengan kekhilafahan), sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang sebelummu berkuasa, dan sungguh ia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka, dan Ia benar-benar merubah keadaan mereka setelah mereka dala keadaan ketakutan menjadi aman sentausa, mereka tetap menyembah-Ku dan tiada mempersekutukan-Ku dengan suatu apapun.” (an-Nur : 55),

Ayat ini bagi orang-orang yang berakal pasti akan menunjukkan banyak faidah, dari tekstual ayat telah nyata bahwa merupakan janji Allah untuk memberikan kekuasaan bagi ummatnya yang beriman dan beramal shalih, iman kepada Allah secara ijmal (global) dan tafshil (terperinci), yang mana keimanan ini hanya dimiliki oleh ahlus sunnah wal jama’ah, dan beramal sholih, yang ikhlash lillahi Ta’ala dan ittiba’ rosul ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam.

Inilah syarat kemenangan itu, bahkan pada akhir ayat Allah menjelaskan syarat yang lain, yakni mentauhidkan-Nya semata dan tak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun. Lantas, bagaimana mungkin Allah Ta’ala akan mmberikan kekuasaan jika ummat ini masih jahil terhadap aqidah yang benar, mereka tak bisa membedakan mana syirik mana tauhid, mana sunnah mana bid’ah.

Mereka masih menyembah kuburan-kuburan, bertawassul dengan wali-wali dan orang shalih yang telah meninggal, menyeru mayat-mayat, membangun kubah di kuburan, ghuluw terhadap nenek moyang mereka, lantas bagaimana mungkin Allah akan memenuhi janji-Nya.

Maka berfikirlah!!!

Inilah yang ditinggalkan oleh hampir kebanyakan kelompok islam, yakni metode dakwah integral/kulliyat yang ittiba’ terhadap metode da’wah anbiya’ dan rusul, yang ma’tsur di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang tidaklah jika ummat ini berpijak dan berangkat dainya kecuali hanyalah kemenangan yang akan didapatnya. Maka berfikirlah sekali lagi wahai kalian yang berjuang menatap ke langit namun kepalamu tak mampu mendongak ke atas apalagi meraihnya.

6. Al-Ghoyah laa tubirrul washilah, Tujuan tak membenarkan segala cara, karena, al-ashlu fil ‘ibaadah al-ittiba’, asal dari ibadah adalah ittiba’ rasul, dan islam itu tauqifiyyah, laa yutsbitu illa bid’dalil, tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, dan da’wah termasuk bagian dari islam, dan ia adalah da’wah, sedangkan da’wah itu adalah tauqifiyyah.

Maka wajib untuk ittiba’ terhadap metode rasul, maka kami tanyakan kepada mereka, ittiba’ terhadap siapakah kalian dalam metode dakwah kalian?

Tidakkah kalian telah melakukan bid’ah fi manhajid da’wah, bid’ah dalam metode da’wah?

Maka dimanakah hujjahmu wahai orang yang berakal???

Sungguh, kami dapat menunjukkan kepada mereka berpuluh hujjah akan lemahnya pemahaman mereka terhadap manhaj dakwah bid’iyyah mereka, banyak kitab yang telah ditulis para ulama’ mengenainya, namun kami cukupkan hanya sampai di sini.

Semoga dapat mengambil pelajaran orang-orang yang berakal, dan semoga impian mereka yang hanya isapan jempol semata itu dapat sirna dan mereka akhirnya tersadarkan bahwa kita takkan dapat meraih kekuasaan dengan pemahaman parsial, dan bersumber dari pemahaman mu’tazilah, khawarij dan kelompok sempalan islam.

sumber : https://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2009/10/27/mengapa-mereka-lebih-mendahulukan-khilafah-daripada-tauhid/

https://aslibumiayu.wordpress.com

Saudaraku, Mau Tahu Hubungan Hizbut Tahrir Dengan Syiah??

Hubungan Gelap Hizbut Tahrir Dengan Agama Syi’ah

بسم الله الرحمن الرحيم

ngawurnya HIZBUT TAHRIR INDONESIASepenggal Kisah Hizbut Tahrir Dan Hubungan Gelap Mereka Dengan Agama Syi’ah

Pendiri Hizbut Tahrir adalah Syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim an-Nabhaani. Lahir di desa Ijzam sebelah selatan kota Heefa pada tahun 1909 M.

Ia sangat terpengaruh dengan kakeknya dari pihak ibu bernama Syaikh Yusuf Ismail an-Nabhaani yang terkenal dengan kesufiannya serta kebenciannya terhadap Salafush Shalih.

Sebagai buktinya adalah beberapa karya yang ditinggalkannya, seperti buku “Syawaahidul Haq fil Istighaatsah bi Sayyidil Khalq.”

Ia sangat terpengaruh dengan keyakinan-keyakinan sufi yang dipelopori oleh Kesultanan Utsmaniyah. Syaikh Mahmud Syukri al-Aluusi telah membantahnya dalam beberapa buku, di antaranya “Ghaayatul Amaani fir Radd ‘ala an-Nabhaani.”

Kemudian Taqiyuddin masuk Universitas al-Azhar. Lalu bekerja di Peradilan Agama dan pada tahun 1950 M ia diangkat menjadi anggota Mahkamah Banding Syariat kemudian ia mengundurkan diri.

Ia mencalonkan diri menjadi anggota Parlemen Yordania sebagai calon dari daerah al-Quds, akan tetapi ia tidak terpilih. Kemudian ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Kuliyah Ilmiah Islamiyah.

Dan pada tahun 1952 M ia mengajukan permohonan resmi ke Departemen Dalam Negeri Yordania agar memberi izin resmi bagi partainya yang bernama Hizbut Tahrir Islami, akan tetapi permohonannya itu ditolak. Setelah itu partai ini melakukan kegiatan partai secara diam-diam.

Syaikh Taqiyudin an-Nabhaani meninggal dunia pada tahun 1977 M di Libanon. Kemudian kepemimpinan partai ini dilanjutkan oleh Abdul Qadim Zalum.1

Pendapat Hizbut Tahrir Tentang Nikah Mut’ah

Mereka berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak haram, seperti yang disebutkan dalam selebaran tanya jawab no. 26 bulan Jumadil Awal 1390 H bertepatan dengan bulan Agustus tahun 1970: “Mut’ah menurut madzhab Ja’fari termasuk nikah.

Madzhab Ja’far dalam pandangan Hizbut Tahrir seperti madzhab Abu Hanifah. Pengadopsian madzhab ini dapat menyeret kepada kontroversi. Dan Hizb memilih untuk tidak mengadopsinya, akan tetapi Hizb mengeluarkan jawaban atas pertanyaan. Syabab Hizbut Tahrir tidak menyelisihi pendapat yang dikeluarkan meski tidak diadopsi”. 2

Hizbut Tahrir dan Revolusi Syi’ah Yang Kelam

Hizbut Tahrir bertepuk tangan menyambut kemenangan Revolusi Syi’ah yang kelam. Mereka berangkat ke Teheran, memberikan dukungan bagi Khomeini untuk mengangkat dirinya sebagai imam kaum muslimin dan pemimpin negara orang-orang yang tertindas. Akan tetapi Khomeini tidak mengacuhkan mereka dan tidak memperhatikan mereka.

Dalam pernyataan Hizbut Tahrir, mereka menyebut Khomeini dengan sebutan “Samaahatul Imam Ayatullah Khomeini al-Muhtaram.”

Mereka memanggil Khomeini dengan sebutan imam dan menunggu seberkas kebaikan darinya dan dari pengikutnya. Mereka menginginkan Khomeini menjadi imam bagi mereka.

Akan tetapi Khomeini bersikeras menyatakan keyakinan (Syi’ah) Rafidlahnya dan tetap mempertahankan aqidah syi’ahnya serta mengumumkannya terang-terangan dalam undang-undang.

Dengan terang-terangan Khomeini mengatakan kepada orang-orang yang tertipu itu, “Sesungguhnya Iran adalah negara syi’ah dan tidak akan berubah menjadi bentuk negara lainnya.”3

Selesai ditulis tanggal 16 Jumadal Akhir 1436 H / 6 April 2015.

Abu Aslam Benny Mahaputra A

Rujukan:

  1. Buku “Jama’ah-Jama’ah Islam (2) Ditimbang Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah” karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Pustaka Imam Bukhari.
  2. Buku “Mulia Dengan Manhaj Salaf” karya al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka at-Taqwa.

Footnote:

  1. Lihat buku Jama’ah-Jama’ah Islam (2) halaman 162. Lihat juga buku Mulia Dengan Manhaj Salaf halaman 545.
  2. Lihat buku Jama’ah-Jama’ah Islam (2) halaman 167.
  3. Lihat buku Jama’ah-Jama’ah Islam (2) halaman 271-272.

sumber : https://muslimminang.wordpress.com/2015/04/14/hubungan-gelap-hizbut-tahrir-dengan-agama-syiah/

https://aslibumiayu.wordpress.com

Untukmu Hizbut Tahrir Indonesia, Kenapa Saudi Yang Dibenci?

Untuk HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)

بسم الله الرحمن الرحيم

Beda HTI dan tentara saudiMemangnya ada yang lebih baik dari Saudi Arabia? Apakah lebih baik Pakistan? Mesir? Maroko? Iran? Kenapa membenci Saudi?

1. Apa karena satu-satunya negara yang menerapkan hukum hadd dan ta’ziir di zaman ini?

2. Apa karena mewajibkan toko-toko tutup di waktu sholat?

3. Apa karena melarang Musik di Mall dan kawasan-kawasan umum?

4. Apa karena menyebarkan dakwah tauhid dan sunnah?

5. Apa karena melarang praktek perdukunan serta ajaran kesyirikan dan bid’ah di seluruh negerinya? 6. Apa karena negara yg tidak ada tempat kemusyrikannya?

7. Apa karena seluruh wanitanya memakai hijab dan cadar?

8. Apa karena melarang industri per-film-an dan sinetron bagi warganya?

9. Apa karena negeri yang tidak ada premanisme dan kekerasan di jalanannya?

10. Apa karena telah meratakan kuburan dan tidak mengizinkan untuk membangun kubah-kubah di atasnya?

11. Apa karena telah sukses memberikan pendidikan gratis dari SD-Kuliah untuk seluruh penduduknya?

12. Apa karena merupakan negara yang telah memberikan donasi besar-besaran untuk kaum muslimin Palestina,Suriah,Bosnia dan korban tsunami Aceh?

13. Apa karena satu-satunya negara yg telah memberikan izin tinggal untuk para aktifis IM yg menjadi buronan presiden Jamal Abdun Nashir?

14. Apa karena telah memberikan bea siswa kepada kaum muslimin seluruh dunia untuk bisa mencicipi kuliah di LIPIA, Ummul Qura mekkah, Jamia’ah Islamiyah Madinah dan King Saud Riyadh?

15. Apa karena negara yg telah membangun jutaan Masjid dan Madrasah di seluruh dunia?

16. Apa karena negara yang telah mencetak dan menerjemahkan Al-qur’an ke lebih dari 25 bahasa untuk dibagikan secara GRATIS ke seluruh dunia?

17. Apa karena negara yang telah melarang paham liberal?

18. Apa karena negara yg tidak menjalankan sistem demokrasi?

19. Apa karena telah mengirimkan mujahidin untuk mengusir pasukan Uni soviet dari Afghanistan?

20. Apa karena telah menyewa tentara amerika untuk menghadang pasukan Irak yg berpaham komunis ba’tsiyyah demi keamanan dua tanah suci Makkah dan Madinah?

21. Apa karena telah membebaskan ka’bah dan masjidil Harom dari pembajakan kelompok takfiir Juhaymaan yang membantai jama’ah umroh dan haji?

22. Apa karena telah mengucurkan keringat demi melayani jama’ah haji dan umroh dari seluruh dunia setiap harinya?

23. Apa karena telah mengajak para Milyardernya untuk bershodaqoh pada musim Haji?

24. Apa karena telah menganjurkan lembaga-lembaga islam untuk membagikan kitab-kitab Ibnu taimiyyah dan Ibnul Qayyim secara gratis?

25. Apa karena telah melarang praktek perjudian,bar,diskotik,dan perzinaan di seluruh negerinya?

tablig akbar full musik

musik itu haram HTI

https://aslibumiayu.wordpress.com

SAUDARAKU, INILAH NASHIHAT UNTUK SEMUA KELOMPOK DAKWAH

SURAT BUAT KELOMPOK-KELOMPOK DAKWAH

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh : Syaikh Muhammad Jamil Zainu

Agama adalah nasehat
Rosulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

الدِّينُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا : لِمَنْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَ ئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasehat, kami (para sahabat) bertanya, “Untuk siapa wahai Rosulullah?”. Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Untuk Allah, kitabnya, Rosulnya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan orang awamnya”. (HR. Muslim).

Dan sebagai aplikasi sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas, maka saya ingin menyampaikan nasehat kepada seluruh kelompok dakwah Islam, agar senantiasa berpegang teguh dengan al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih berdasarkan pemahaman para ulama salaf, seperti : para sahabat, tabi’in, para imam mujtahidin dan orang-orang senantiasa meniti jejak mereka.

Kepada Kelompok Sufi

1. Nasehat saya kepada mereka agar menunggalkan Allah dalam do’a dan isti’anah (meminta pertolongan) sebagai bentuk perwujudan dari firman Allah,

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”. (QS. Al-Fatihah : 5).
Dan sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

الدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”. (HR. Tirmidzi dan beliau berkata : hadits hasan shahih).

Dan wajib bagi mereka untuk meyakini bahwa Allah ada di atas langit, sebagaimana firman-Nya,

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?,”(QS. Al-Mulk : 16).

Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, berkata Dia adalah Allah (sebagaimana disebutkan Ibnul Jauzi dalam tafsirnya).

Dan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنٌ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Tidaklah kalian percaya kepadaku, padahal saya adalah kepercayaan dzat yang di langit”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan arti di langit adalah di atas langit.

2. Hendaklah mereka senantiasa mendasari dzikir-dzikir mereka dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah (yang shahih –ed.) serta amalan para sahabat.

3. Jangan sekali-kali mendahulukan ucapan syaikh-syaikh melebihi firman Allah dan sabda Rosulullah shallahu alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rosul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Hujurat : 1).
Yakni : Jangan sekali-kali kalian mendahulukan ucapan atau perbuatan siapapun melebihi firman Allah dan sabda Rosulullah shallahu alaihi wa sallam. (tafsir Ibnu Katsir).

4. Hendaknya mereka beribadah dan berdo’a kepada Allah dengan rasa takut dari siksa neraka-Nya dan berharap surga-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan)”.(QS. Al-A’raf : 56)

Dan sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

أَسْأَلُ اللهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِهِ مِنَ النَّارِ

“Saya meminta kepada Allah surga dan berlindung dengan-Nya dari neraka”.(HR. Abu Dawud dengan sanad shahih).

5. Mereka harus meyakini bahwa makhluk pertama dari kalangan manusia adalah nabi Adam alaihis salam, dan bahwasanya nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam adalah termasuk anak keturunannya dan semua manusia adalah anak keturunannya yang Allah ciptakan dari tanah.

Allah ta’ala berfirman,

“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani”. (QS. Ghafir : 67)

Dan tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa Allah menciptakan nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam dari nur (cahaya-Nya), bahkan yang masyhur bagi semua bahwa Allah menciptakannya dari kedua orang tuanya.

Kepada Jama’ah Tabligh

1. Nasehat saya kepada mereka agar berpegang teguh dalam dakwahnya dengan al-Qur’an dan sunnahnya yang shahih dan agar belajar al-Qur’an, tafsir, dan hadits sehingga dakwah mereka benar-benar di atas ilmu, sebagaimana firman Allah ta’ala,

“Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,”(QS. Yusuf : 108).

Dan sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ

“Sesungguhnya ilmu (bisa diperoleh) hanya dengan belajar”. (Hadits hasan, lihat shahihul jami’).

2. Mereka harus berpegang teguh dengan hadits-hadits yang shahih dan menjauhi hadits-hadits yang dla’if (lemah) dan maudlu’ (palsu) sehingga tidak masuk pada apa yang disinyalir Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukup seseorang dikatakan berdusta jika menceritakan semua apa yang didengarnya.”(HR. Muslim).

3. Kepada al-Ahbab (orang-orang yang saya cintai) agar tidak memisahkan antara amar ma’ruf dan nahi munkar, karena Allah banyak menyebut-Nya secara bersamaan dalam ayat-ayat al-Qur’an, seperti firman Allah ta’ala,

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali Imran : 104)

Dan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam juga punya perhatian serius dan memerintahkan kaum muslimin untuk merubah kemungkaran, sebagaimana sabdanya shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran hendaklah merubah dengan tangannya, dan apabila tidak mampu, maka hendaklah merubah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim).

4. Hendaklah mereka memperhatikan dakwah kepada tauhid dengan serius. Dan mendahulukannya atas yang lainya, demi mengamalkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

فَلْيَكًُنْ أَوَّلُ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةَ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ الله

“Jadikanlah pertama kali yang kalian dakwahkan kepada mereka adalah syahadat (kalimat tauhid) la ilaha illallah”. (HR. al-Bukhariy dan Muslim). Dan dalam riwayat lain, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهََ

“Sampai mereka (benar-benar) mentauhidkan Allah”.(HR. al-Bukhariy).
“Mentauhidkan Allah”, maksudnya adalah: menunggalkan Allah dalam semua jenis ibadah, lebih-lebih dalam hal do’a, karena sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

الدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ

“Do’a adalah ibadah.”(HR. at-Tirmidziy dan beliau berkata: Hadits ini hasan shahih).

Kepada kelompok Ikhwanul Muslimin

1. Hendaklah mereka mengajarkan kepada anggota kelompoknya tauhid dan macam-macamnya, yakni ; tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma dan sifat, karena itu adalah masalah yang sangat urgen yang berpengaruh pada terwujudnya kebahagiaan induvidu maupun masyarakat, daripada sibuk dalam politik praktis dan yang mereka sangka sebagai fiqih waqi’ (realita –ed.). Ini bukan berarti buta dengan keadaan dunia dan manusia, tapi tidak berlebih-lebihan dengannya dan tidak pula menyepelekannya.

2. Hendaklah mereka menjauhi pemikiran-pemikiran sufi yang menyelisihi akidah Islam. Karena banyak kita jumpai dalam kitab-kitab mereka berisi akidah-akidah sufi yang batil:

a. Lihatlah pimpinan mereka di Mesir yaitu Umar Tilmisani yang banyak menyebutkan dalam bukunya “Syahidul Mihrab” akidah-akidah Sufi yang sangat membahayakan. Di samping membolehkan belajar musik.

b. Inilah Sayyid Quthub, menyebutkan dalam kitabnya “Dzilalul Qur’an” akidah sufi wihdatul wujud pada awal surat al-Hadid dan lain sebagainya dari takwil-takwil yang batil.

Dan sungguh saya telah menyampaikannya kepada saudaranya sendiri yaitu Muhammad Qutub agar mengomentari kesalahan-kesalahan akidah, karena ia adalah penanggung jawab penerbitan ”as-Syuruq”, akan tetapi dia menolaknya dan mengatakan: Saudara saya sendiri yang akan menanggungnya. Dan syaikh Abul Lathif Badr penanggung jawab majalah at-Tau’iyah di Mekah menyarankan kepadaku agar saya mendatanginya lagi.

c. Lihatlah “Said Hawa” beliau menyebutkan dalam kitabnya “Tarbiyatuna ar-Ruhiyah” akidah-akidah sufi sebagaimana sudah disebutkan di awal kitab .

d. Dan lihatlah pula “syaikh Muhammad al-Hamid” dari Suria, dia menghadiahkan kepadaku buku yang berjudul “Rudud Ala Abatil”.

Dalam buku ini ada pembahasan-pembahasan yang baik, seperti pengharaman rokok dan lainnya, akan tetapi dia juga menyebutkan bahwa di sana ada Abdal, Aqthab dan Aghwats , tapi tidaklah dinamakan al-Ghauts kecuali apabila bisa dimintai pertolongan !!!.

Padahal meminta kepada al-Ghauts dan al-Aqthab adalah termasuk syirik yang menghapus amalan. Dan ini adalah pemikiran sufi yang batil yang diingkari oleh syariat Islam.

Dan sungguh saya telah meminta kepada anaknya yang bernama Abdurrahman untuk mengoreksi perkataan bapaknya, tapi sayang diapun menolaknya.

3. Jangan sampai mereka dengki kepada saudara-saudara mereka dari salafiyyah yang senantiasa berdakwah kepada tauhid dan memerangi bid’ah serta berhukum kepada al-Qur’an dan sunnah karena mereka adalah saudara. Allah ta’ala berfirman,

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara”. (al-Hujurat : 10).
Dan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يُحِبَّ لأَِخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Salah seorang di antara kalian tidak beriman sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.(HR. al-Bukhariy dan Muslim).

Kepada Salafiyun dan Ansharussunah al-Muhammadiyah

1. Wasiat saya kepada mereka agar senantiasa konsisten dalam berdakwah kepada tauhid dan berhukum dengan apa yang Allah turunkan serta perkara-perkara penting lainnya.

2. Dan agar lemah lembut dalam dakwah mereka bagaimanapun lawan yang dihadapinya. Sebagai aplikasi terhadap firman Allah,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An-Nahl : 125)

Dan firman Allah kepada nabi Musa dan Harun,

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Toha : 43-44).

Dan sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ كُلُّهُ

“Barangsiapa yang diharamkan baginya lemah lembut, berarti diharamkan baginya seluruh kebaikan”.(HR. Muslim).

3. Hendaklah mereka sabar terhadap gangguan yang menimpa mereka, karena Allah selalu menyertai mereka dengan pertolongan dengan memberikan kekuatan kepada mereka.
Allah ta’ala berfirman :

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah, dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka, dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipudayakan. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. An-Nahl : 127-128).

Dan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اَلْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَيُخَالطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka lebih utama daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka”. (Hadits shahih riwayat Imam Ahmad dll).

4. Orang-orang salafi jangan sampai beranggapan bahwa jumlah orang-orang yang menyelisihi mereka itu sedikit. Karena Allah ta’ala berfirman,

“ Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”(QS. Saba’ : 13).

Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

طُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيْلَ مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ قَلِيْلٌ فِي أُنَاسٍ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ

“Beruntunglah bagi orang-orang yang asing. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya siapa mereka?”. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah orang-orang shaleh yang sedikit di tengah-tengah manusia yang rusak lagi banyak, yang bermaksiat kepada mereka lebih banyak daripada yang taat kepada mereka”. (HR. Imam Ahmad dan Ibnul Mubarak).

Kepada Hizbut Tahrir

1. Wasiat saya kepada mereka agar menegakkan hukum Islam dan ajarannya pada diri-diri mereka sebelum menuntut orang lain untuk menegakkannya.

Sekitar 20 tahun yang lalu, pernah ada 2 orang pemuda dari mereka yang mengunjungiku di Syiria, dalam keadaan gundul jenggotnya, dari keduanya tercium bau rokok dan meminta kepadaku diskusi dan bergabung dengan mereka. Maka saya katakan kepada mereka, kalian mencukur jenggot dan menghisap rokok padahal keduanya adalah haram menurut syariat dan kalian juga membolehkan jabat tangan dengan lawan jenis (yang bukan mahramnya –ed), padahal Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ِلأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Ditusukkannya jarum dari besi pada kepala seorang di antara kalian itu lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”. (HR. ath-Thabrani).

Kedua pemuda tersebut berkata: Diriwayatkan dalam shahih al-Bukhariy, bahwa Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berjabat tangan dengan wanita ketika baiat?
Maka saya katakan: Tolong besok datangkan kepadaku haditsnya. Maka setelah itu keduanya pergi dan tidak kembali lagi, karena keduanya berbohong. Karena Imam Bukhari sama sekali tidak menyebutkan yang demikian, tapi hanya menyebutkan baiat kepada para wanita dengan tanpa jabat tangan.

Tapi sungguh aneh sebagian Ikhwanul Muslimin –juga- membolehkan jabat tangan dengan lawan jenis (yang bukan mahramnya –ed). Seperti syaikh Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana yang saya katakan ketika saya berdialog dengannya. Dia berdalih dengan hadits seorang budak yang menarik tangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar memenuhi kebutuhannya”.(HR. al-Bukhariy).

Saya katakan: Cara pengambilan dalilnya tidak benar, karena Jariyah (budak perempuan) ketika menarik Rosulullah shallahu alaihi wa sallam tidak menyentuh tangannya tapi hanya menyentuh lengan baju yang ada di tangannya, karena ‘Aisyah radliyallahu anha berkata,

لاَ، وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌ فِي الْمُبَايَعَةِ، مَا بَايَعَهُنَّ إلاَّ بِقَوْلِهِ : قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكَ

“Sekali-kali tidak, demi Allah ”Tangan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan perempuan sedikitpun dalam baiat. Beliau shallallahu alaihi wa sallam tidaklah membaiat mereka (para wanita) kecuali hanya mengatakan: Sungguh saya telah membaiat kamu atas yang demikian itu”.(HR. al-Bukhariy).

Dan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Saya tidak pernah berjabatan tangan dengan perempuan”(HR. at-Tirmidziy dan beliau berkata : hadits ini hasan shahih).

2. Saya pernah mendengar ceramah seorang syaikh dari Hizbut Tahrir di Yordania yang membicarakan para pemimpin yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Tapi tatkala saya mendatangi rumahnya, mertuanya mengadu tentang dia kepadaku sambil mengatakan: Sesungguhnya syaikh tadi telah memukul istrinya sampai mengenai matanya dan membekas. Maka saya katakan kepadanya (syaikh) : Sesungguhnya kamu menuntut para pemimpin untuk menegakkan syariat Allah tapi kamu tidak menegakkan syariat dalam rumahmu, apakah benar bahwa engkau telah memukul istrimu sampai mengenai matanya ? maka ia menjawab ; Iya, betul tapi hanya pukulan ringan dengan gelas teh.!!. Maka saya katakan kepadanya: Praktekkanlah Islam pada dirimu dulu, kemudian setelah itu tuntutlah yang lain untuk mempraktekkannya. Karena Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya, apa hak istri atas suami?”. Beliau menjawab,

أَنْ تَطْعَمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَ هَا إِذَا اكْتَسَوْتَ وَلاَ تَضْرِبِ اْلوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي اْلَبيْتِ

“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberikan baju apabila engkau memakai baju, jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekanya dan jangan engkau menghajr (pisah ranjang) kecuali di dalam rumah”.(Hadits shahih riwayat arba’ah : Abu Dawud, at-Tirmidziy, an-Nasa’iy dan Ibnu Majah).

Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ فَلْيَتَّقِ اْلوَجْهَ

“Apabila seseorang diantara kalian memukul budaknya hendaklah menjauhi wajah”.(Hadits hasan riwayat Abu Dawud).

Kepada Jamaah Jihad dll.

1. Nasehat saya kepada mereka agar lembut dalam dakwah dan jihad mereka, lebih-lebih kepada para pemimpin. Sebagaimana firman Allah kepada nabi Musaqketika mengutusnya kepada Fir’aun yang kafir ,
“Dan katakanlah (kepada Fir’aun):”Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”.(QS. an-Nazi’at : 18).

Dan firman Allah,

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.(QS. Toha : 43-44).
Dan sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ كُلُّهُ

“Barangsiapa yang diharamkan baginya lemah lembut berarti diharamkan baginya seluruh kebaikan”. (HR. Muslim).

2. (Hendaklah –ed) memberikan nasehat kepada para kaum muslimin dan pemimpin mereka, dengan cara membantu mereka dalam kebaikan, mentaati mereka dalam kebaikan, memerintahkan mereka dengan kebaikan, melarang mereka dan mengingatkan mereka dengan lemah lembut dan tidak keluar menghadap mereka dengan pedang (memberontak) apabila berbuat zhalim atau jahat. (silahkan telaah ucaan al-Khatabi dalam Syarah Arba’in Haditsan).

Imam abu Ja’far at-Thahawi –penulis kitab Aqidah Thahawiyah- berkata: Kami memandang tidak boleh keluar dari imam dan para pemimpin kita walaupun mereka berbuat dhalim, tidak mendoakan jelek kepada mereka, tidak mencabut tangan dari ketaatan pada mereka dan kami memandang bahwa taat kepada mereka adalah bagian dari ketaatan kepada Allahkdan wajib selama tidak memerintahkan maksiat.

Bahkan kami senantiasa mendoakan kepada mereka dengan kebaikan dan keselamatan.

1. Allah ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul(Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa’ : 59).

2. Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ يُطِعِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah. Dan Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa taat kepada amir berarti ia taat kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir berarti ia bermaksiat kepadaku”. (HR. al-Bukhariy dan Muslim).

3. Dan dari Abu Dzar radliyallahu anhu beliau berkata,

إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيْعَ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا مُجَدِّعَ الأطرافِ

“Kekasihku Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam berwasiat kepadaku agar saya mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia seorang budak Ethiopia lagi cacat anggota tubuhnya”. (HR. Muslim).

4. Dan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Bagi tiap orang wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) pada saat senang dan benci, kecuali apabila diperintah untuk bermaksiat, maka apabila diperintahkan untuk maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat”.(HR. al-Bukhariy dan Muslim).

5. Dan dari Hudzaifah bin Yaman radliyallahu anhu beliau berkata,

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ الله  عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا فِيْ جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَ نَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ، فَقُلْتُ : فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرٍّ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ، قَالَ : قُلْتُ : وَمَا دَخَنُهُ ؟ قَالَ : قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِخَيْرِ سُنَّتِيْ وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِ تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ، فَقُلْتُ : هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَوْفُوْهُ فِيْهَا. فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا ؟ قَالَ : نَعَمْ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَ تِنَا يَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا تَرَى إِذَا أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ ؟ قَالَ : تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ. فَقُلْتُ : فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ : فَاعْتَزِلْ تِلْكَ اْلفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Manusia bertanya kepada Rosulullah tentang kebaikan dan saya bertanya kepadanya tentang kejelekan karena khawatir akan menimpaku, saya bertanya, “Wahai Rosulullah, kita dahulu berada dalam jahiliyah dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kita. Apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?”. Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Iya ada”. Saya bertanya : apakah setelah kejelekan akan datang kebaikan lagi ? Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Iya ada, tapi didalamnya terdapat dakhan”. Saya bertanya, “Apa dakhannya?”. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu, ada suatu kaum yang mengambil dengan selain sunnahku dan mengambil petunjuk dengan selain petunjukku”. Engkau mengetahui mereka dan engkau mengingkarinya. Saya bertanya, “Apakah setelah kebaikan seperti ini akan ada kejelekan?” Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Iya, yaitu para da’i yang mengajak ke pintu-pintu neraka jahannam. Siapa yang menyambutnya niscaya akan dilemparkan kedalamnya”. Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepada kita sifat-sifat mereka?”. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “mereka adalah, kaum dari bangsa kita dan berbicara dengan bahasa kita”. Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana nasehatmu jika kita mendapati yang demikian itu?”. Beliau menjawab, “Engkau konsisten bersama jamaah kaum mulimin dan imam mereka”. Saya bertanya, “Bagaimana jika tidak ada jamaah dan tidak pula imam?”. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Tinggalkan seluruh firqah-firqah yang ada, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai ajal menjemputmu dan engkau dalam keadaan demikian”. (HR. al-Bukhariy dan Muslim).

6. Dan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًايَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ، فَأِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمَيْتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ

“Barangsiapa melihat pada amirnya suatu yang ia benci, hendaklah ia sabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri satu jengkal dari jamaah dan ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.(HR. al-Bukhariy dan Muslim).

7. Dan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحُِّبوْنَكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتكُمُ الَّّذِيْنَ تَبْغَضُوْنَهُمْ وَيَبْغَضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ، فَقُلْنَا : يَارَسُولَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ : لاَ، مَاأقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ إِلاَ مَنْ وُلِّيَ عَلَيْهِ وَالٍ

“Sebaik-baik pimpinan bagi kalian adalah: Pemimpin yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan merekapun mendoakan kalian. Dan sejelek-jelek pemimpin bagi kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian”. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah apakah kita tidak mengangkat pedang (memberontak) saja pada saat demikian ? Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jangan memberontak, selama mereka mendirikan sholat bersama kalian. Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin wali (pemimpin) dan ia melihatnya bermaksiat kepada Allah, maka hendaklah aa membenci maksiat yang dijalankannya, dan jangan sekali-kali mencabut tangan dari mentaatinya”. (HR. Muslim).

8. Dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah menunjukkan atas wajib taat kepada ulil amri selama tidak memerintahkan maksiat.
Renungilah firman Allah berikut ini,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul(Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa: 59).

Kenapa Allah berfirman “dan taatilah Rosul” dan tidak mengatakan “dan taatilah ulil amri diantara kamu” dengan pengulangan kata kerja taatilah. Ini menunjukkan bahwa ulil amri tidak ditaati dengan sendirinya. Akan tetapi mereka ditaati hanya pada perkara-perkara ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya. Dan ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang taat kepada Rosul shallallahu alaihi wa sallam maka sungguh ia taat kepada Allah, karena Rosul shallallahu alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan yang bukan termasuk ketaatan kepada Allah, karena beliau nadalah maksum (terjaga) dari yang demikian itu. Berbeda halnya dengan penguasa, maka kadang-kadang memerintahkan pada yang bukan ketaatan kepada Allah (maksiat), maka tidak boleh ditaati kecuali pada perkara-perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya.

Adapun perintah untuk taat kepada penguasa walaupun mereka berbuat zhalim, karena keluar dari ketaatan kepada mereka akan mengakibatkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding kedhaliman mereka –bahkan sabar dalam menghadapi kedhaliman mereka akan menghapus kesalahan dan dosa dan menyebabkan pahala dilipatgandakan. Karena Allah tidak akan menjadikan mereka sebagai pimpinan kita, kecuali dengan sebab perbuatan kita sendiri, karena balasan adalah sesuai dengan perbuatan. Maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali beristighfar, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan kita.

Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman,

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.(QS. Asy-Syura : 30).

Dan Allah juga berfirman,

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan”.(QS. Al-An’am : 129).

Maka apabila rakyat menginginkan selamat dari keburukan pemimpin yang zhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman .(silahkan lihat Syarah Aqidah ath-Thahawiyah 380-381).

9. Jihad terhadap para pemimpin kaum muslimin. Yang demikian itu dengan cara menyampaikan nasehat kepada mereka dan kepada seluruh jajarannya. Karena sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

الدِّينُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا : لِمَنْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَ ئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasehat”. Kami (para sahabat) bertanya, “Untuk siapa wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rosul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan mereka pada umumnya”. (HR. Muslimin).

Dan sabda Rosululllah shallallahu alaihi wa sallam,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat kebenaran di sisi pemimpin yang dhalim”.(Hadits hasan riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi).

Rosulullah menjelaskan juru selamat dari kezhaliman para hakim yang mereka dari bangsa kita, dan berbicara dengan bahasa kita yaitu dengan cara,

Kaum muslimin bertaubat kepada Rab mereka, memperbaiki akidah mereka dan membina diri serta keluarga mereka di atas Islam yang murni. Sebagai bentuk perwujudan firman Allah ta’ala,

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS. Ar-Ra’d : 11).

Dan inilah yang pernah disinyalir oleh seorang da’i kontemporer dengan ungkapannya, “Tegakkanlah Negara Islam di dada-dada kalian, niscaya akan tegak di bumi kalian”.

Demikian pula, harus dengan cara memperbaiki akidah dalam menegakkan bangunan di atasnya, yaitu masyarakatnya.
Allah ta’ala berfirman,

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridloi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur : 55).

Nasehat umum kepada seluruh kelompok-kelompok dakwah.

Saya sekarang sudah tua renta, umur saya sekarang telah mencapai 70 tahun, dan saya mengharapkan kebaikan bagi semua kelompok, oleh karena itu untuk mengamalkan hadits Nabi n “agama itu nasehat”, saya ingin menyampaikan beberapa nasehat berikut ini :

1. Agar semua kelompok berpegang teguh dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai bentuk ketaatan terhadap firman Allah,

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai..”(QS. Ali Imran : 103).

Dan sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهَا كِتَابَ الله وَسنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ

“Telah saya tinggalkan kepada kalian 2 perkara, selama kalian berpegang teguh dengan keduanya. Maka tidak akan tersesat, yaitu (kitabullah al-Qur’an dan sunnah Rosul-Nya shallallahu alaihi wa sallam).”(HR. Malik dan dishahihkan oleh al-Albani dalam shahihul jami’).

2. Apabila jama’ah-jamaah yang ada berselisih, hendaknya mereka kembali kepada al-Qur’an dan hadits serta amalan para sahabat.
Sebagaimana firman Allah,

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS. An-Nisa : 59).

Dan sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا

“Wasiat atas kalian dengan sunnahku dan sunnahnya para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya”. (Hadits sahih riwayat Imam Ahmad).

3. Hendaklah mereka memperhatikan dakwah tauhid yang menjadi prioritas dan pusat perhatian al-Qur’an. Dan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam memulai dakwahnya kepada tauhid dan memerintahkan para sahabatnya agar memulai dengannya.

4. Sungguh saya telah masuk dan bergaul dengan kelompok-kelompok dakwah Islam, dan saya lihat bahwa dakwah salafiyahlah yang konsisten dengan al-Qur’an dan sunnah menurut pemahaman salafus shaleh yaitu Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam para sahabatnya dan para tabiin.

Dan sungguh Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memberikan isyarat tentang kelompok yang satu ini dalam sabdanya,

أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ اْلكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذه الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ : ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan, 72 di dalam neraka dan yang 1 di surga yaitu al-Jama’ah”.(HR. Ahmad dan dinyatakan hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dan dalam riwayat yang lain).

كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

“Semua di dalam neraka kecuali satu yaitu apa yang saya dan para sahabatku ada di atasnya”.(HR. at-Tirmidziy dan di hasankan oleh al-Albani).

Dalam hadits di atas Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita, bahwasanya orang yahudi dan nasrani berpecah belah menjadi banyak kelompok dan umat Islam berpecah belah menjadi lebih banyak dari mereka dan kelompok-kelompok yang banyak ini terancam masuk neraka, karena penyimpangannya dan jauhnya dari kitab Allah dan sunnah nabi-Nya dan bahwasanya hanya satu kelompok yang selamat dari neraka dan masuk surga yaitu al-Jamaah (kelompok yang berpegang teguh dengan al-Qur’an dan sunnah serta amalan para sahabat).

Keistimewaan dakwah salafiyah adalah dakwah kepada tauhid, memerangi syirik, mengetahui hadits-hadits yang shahih dan memperingatkan umat dari hadits yang dlaif (lemah) dan maudlu’ (palsu) serta memahami hukum-hukum syariat dengan dalil-dalilnya. Dan ini sungguh sangat penting bagi setiap muslim.
Oleh karena itu saya menasehati seluruh saudara-saudaraku kaum muslimin agar senantiasa konsisten dengan dakwah salafiyah, karena dakwah yang selamat dan kelompok yang mendapat pertolongan, sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلىَ الْحَقِّ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتىَّ يَأْتِيَ أَمَرُ اللهِ

“Akan senantiasa ada dari umatku satu kelompok yang tampak di atas kebenaran, tidak memudharatkan mereka orang yang menghinakan mereka sampai datang urusan Allah”. (HR. Muslim).

Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk kelompok yang selamat dan mendapat pertolongan.

Sumber: Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 38, hal. 4-18

https://ibnuabbaskendari.wordpress.com

SAUDARAKU, JANGANLAH KALIAN TERTIPU OLEH KHILAFAH KHAYALAN HIZBUT TAHRIR…

MENGAPA MEREKA LEBIH MENDAHULUKAN KHILAFAH DARIPADA TAUHID ???

felix siauwpun tertipu khilafah khayalanAbu Salma al-Atsary

Segala puji hanya bagi Allah, Rabb pemelihara alam semesta, satu-satunya Ilah yang Haq untuk disembah, yang tiada sekutu bagi-Nya baik dalam nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum dan ibadah kepada-Nya, yang mengutus para nabi untuk menegakkan haq-Nya, yang menurunkan al-Kitab sebagai bayyinah atas keesaan-Nya, yang menciptakan manusia dan jin hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan menjadikan segala maksud dan tujuan hanyalah untuk-Nya.
Amma Ba’du:

Sesungguhnya, sejak zaman dahulu hingga sekarang, sejak manusia pertama diciptakan hingga manusia terakhir akan binasa, Tauhid merupakan pondasi dasar ubudiyah seorang hamba, haq Rabb yang harus dipenuhi hamba-Nya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dalam keadaan suka maupun duka. Bahkan, tiadalah diutus para anbiya’ dimuka buni ini kecuali mengembalikan fitrah manusia pada kesuciannya, dalam mengabdi dan beribadah kepada penciptanya semata.

Namun, sungguh sayang, ketika kelompok-kelompok islam yang parsial/juz’iyyat dalam gerakannya bermunculan, mereka membangun bangunan yang dimulai dari atapnya, sedangkan pondasinya keropos dan kosong dari pilar-pilar aqidah, maka bagaimana mungkin bangunan tersebut akan berdiri, sedangkan pondasinya tidak ada, dan mereka mencurahkan segala daya dan upaya mencari cara untuk membangun atap bangunan yang tak berpondasi dan berpilar tersebut.

Mereka berfikir, jika mereka membangun pondasi terlebih dahulu, akan memerlukan waktu yang lama, biaya dan tenaga yang besar, sedangkan hujan, badai dan terik telah menyiksa, maka atap untuk berlindung lebih diperlukan, karena mereka tak kuat lagi tertimpa hujan dan panas terik…

Namun sungguh malang, karena upaya mereka itu adalah mustahil dan bodoh, karena biar bagaimanapun, pondasi adalah penting dalam membangun infra-struktur suatu bangunan, tanpa pondasi, maka kita seolah-olah hanya mengharap sesuatu yang tak mungkin tegak, bak hendak meraih bulan dan bintang di tengah malam, padahal tangan tak sampai.

Pun seandainya berdiri atap tersebut, dan mereka beranggapan telah aman dari hujan dan terik yang mendera, namun bangunan itu sangat lemah, hanya dengan tiupan angin sedikit saja, maka akan hancur berkeping-keping bangunan dan usaha mereka yang sia-sia tersebut.

Inilah perumpaan mereka, penyeru-penyeru islam yang senantiasa menggembar-gemborkan khilafah islamiyyah, namun mereka jahil dan acuh terhadap aqidah dan manhaj yang benar di dalam islam.

Inilah fenomena nyata saat ini, dimana banyak sekali kelompok yang mengklaim sebagai kelompok penegak syariat islamiyyah dan pelanggeng hukum-hukum islam, berkoar-koar ke sana kemari, meneriakkan dan memekikkan tathbiqus syarii’ah (penegakkan syariat), namun sekali lagi sungguh sayang, pekikan mereka tampak begitu parsial, seolah-olah syariat islam yang dimaksud hanyalah seputar hukum-hukum siyasiyyah saja, hanya penyelenggaraan hukum had, qishash, dan lain sebagainya.

Mereka melalaikan suatu hal yang lebih penting dari itu semua, yang merupakan dasar dan pijakan dari hukum-hukum lainnya, dan merupakan syariat terbesar di dalam islam, yang seharusnya kita tegakkan dan kita prioitaskan, sebagai pengejawantahan penegakkan syariat secara integral dan kaafah, yakni penegakkan haqqullah (hak Allah) yang wajib dipenuhi hamba-Nya, yaitu mentauhidkan-Nya di dalam uluhiyah/ubudiyyah.

Karena inilah metode rasululullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam dalam da’wahnya, manhajnya seluruh rasul dan nabi, karena Allah Ta’ala’ala telah menandaskannya secara gamblang di dalam firman-Nya surat An-Nahl ayat 36, “Dan sungguh telah kami utus pada tiap-tiap ummat seorang rasul, (yang menyeru) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut.”

Mereka menyatakan bahwa menegakkan daulah merupakan ghoyah (tujuan) da’wah, dan daulah khilafah Islamiyyah adalah suatu hal yang niscaya dan wajib, mereka berdalil dengan qoidah ushul fiqh, Maa Laa Yutimmu waajibun illa bihi fahuwa waajibun, Suatu hal yang jika tanpanya tidak akan sempurna suatu kewajiban, maka hukumnya adalah wajib, karena tidaklah akan tegak syariat Islam kecuali jika ada perangkatnya, sedangkan daulah khilafah adalah perangkat syar’i untuk meng-implementasikannya. Maka daulah khilafah hukumnya wajib, dan tidak menegakannya termasuk dosa.

Mereka juga berdalil dengan hadits baiat, bersabda nabi ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam, “Man maata walaysa fi unuqihi baa’iatan, fa maata miytaatan jaahilayatan” (barangsiapa yang mati sedangkan tidak ada baiat di pundaknya, maka matinya bagaikan bangkai jahiliah).

Anggapan mereka, bahwa baiat wajib atas kholifah/imamul a’dham, namun sekarang saat tak ada imamul a’dham, maka dengan kembali ke qoidah awal tadi, makai baiat adalah wajib, karena jika tak ada baiat maka mati kita adalah mati jahiliah, sehingga wajib atas kita untuk membaiat seorang imamul a’dham, padahal ba’iat takkan bisa ditegakkan jika tak ada daulah, maka menegakkan daulah hukumnya wajib, sehingga menurut anggapan mereka, orang-orang yang menegakkan daulah tidak terkena ancaman hadits tersebut, namun orang islam yang tak ada keinginan untuk menegakkan daulah terkena ancaman matinya dalam keadaan jahiliah.

Maka, kami katakan pada mereka, wahai para pengklaim penegak hukum islam dan perindu daulah khilafah islamiyyah, dengan cara apakah kalian memenuhi harapan antum tersebut?

Dengan metode bagaimanakah antum menegakkannya?

Na’am!!! Tidak dipungkiri bahwa syariat islam takkan bisa tegak secara sempurna jika tidak didukung oleh hukama’ atau daulah islamiyyah.

Sungguh merupakan suatu dambaan bagi kami dan kalian akan tegaknya daulah khilafah Islamiyyah ‘ala manhaj nubuwwah, namun ingatlah, bahwa islam ini adalah agama yang sempurna, yang tak butuh pengurangan terlebih lagi penambahan, telah terang metode da’wah al-haq di al-Qur’an dan as-Sunnah, bahwa tidaklah para nabi dan rasul (QS 16:36, 21:25), baik itu nabi Nuh kepada kaumnya (QS 7:59), Hud kepada kaum ‘Aad (QS. 7:65), Sholih kepada kaum Tsamud (QS. 7:73), Nabi Syuaib kepada Madyan (QS. 7:85), dan seluruh nabi hingga nabi terakhir kita Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam (39:65-66,dan masih banyak ayat pada tempat lain) melainkan adalah mereka semua diutus untuk menegakkan peribadatan hanyalah untuk Allah semata, baik dalam ibadah dan ahkam.

Lantas, mengapa gaung dan gema pekikan tathbiq syariiatil islaamiyyah yang kalian tabuh itu kosong dari syariat islamiyyah yang paling tinggi ini, yakni da’wah kepada tauhidul uluhiyyah/ibaadah?

Kenapa kalian konsentrasikan, fokuskan dan curahkan segala daya dan upaya kalian pada bagian yang parsial/juz’iyyah saja, yakni penegakkan daulah khilafah semata, penegakan syariat had, qishahsh dan yang semisalnya, sedangkan tidak pernah kami lihat kalian mengajak manusia kepada Aqidah yang benar secara tafshil (teperinci), kepada sunnah nabi yang mulia yang shohihah, kepada dien yang murni sebagaimana awalnya.

Maka kami katakan lagi kepada mereka mengenai dalil-dalil parsial mereka tentang ghoyah da’wah mereka yang mereka orientasikan kepada daulah, maka kami jawab :

1. Likulli maqaal maqaam wa likulli maqaam maqaal (tiap-tiap ucapan ada tempatnya dan tiap tempat juga ada ucapannya), kaidah yang kalian gembar-gemborkan, Laa yutimmu waajibun illa bihi fahuwa waajib, tentulah ada konteksnya, dan memang kami membenarkan bahwa daulah adalah suatu hal yang niscaya sebagai perangkat penegakkan syariat islamiyyah, dan ini adalah ideal keinginan tiap muslim, jika ada muslim yang tak menghendaki akan adanya daulah islamiyyah maka patutlah dipertanyakan keimanannya.

Namun satu hal yang harus diingat, metode apakah yang kita tempuh dalam menuju daulah Islamiyyah, inilah yang membedakan antara kami dengan kalian. Kalian lebih fokus kepada upaya parsial dengan pengopinian kepada masyarakat pentingnya daulah islamiyyah dan penegakkan syariat (walau banyak dari kalian jahil terhadap syariat itu sendiri) sedangkan kita mengajak ummat secara integral dari metode yang digariskan Allah dan Rasul-Nya, yang kita berpijak dan berangkat darinya.

Maka wahai kalian yang berjuang dengan orientasi daulah, kita katakan, maa laa yutimmu waajibun illa bihi fahuwa waajib, dengan kaidah ini kita sepakat bahwa menegakkan daulah adalah suatu hal yang niscaya, maka mari kita juga bersepakat, dengan kaidah itu pula, tidak akan bisa tegak daulah jika kita tidak meniti dengan metodenya para anbiya’ dan rusul yang telah ma’tsur di dalam kitabain, yakni memulai dakwah ini dari tauhid dan akidah shahihah.

2. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah” (Al-Hujurat : 1), dari ayat ini maka wajib bagi tiap mu’min untuk mendahulukan al-Qur’an dan as-Sunnah dari lainnya, dan wajib berhujjah dengan keduanya, maka apakah layak bagi kita mendahulukan kaidah ushul fiqh di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal ushul fiqh merupakan istinbath para ulama’ yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah,.

3. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah)” (An-Nisaa’ : 59), dari ayat ini wajib atas mu’min jika berselisih untuk mengembalikan kepada al-Qur’an dan al-Hadits.

Sekarang kita berselisih terhadap orientasi da’wah, antum mengatakan daulah prioritas pertama saat ini sedangkan kami menyatakan tauhid dan akidah islamiyyah yang terpenting, maka merupakan kewajiban atas kita untuk mengembalikan perselisihan kita ini kepada kitabain, maka wahai kalian yang berorientasi kepada daulah dan tathbiqusy syarii’at, tunjukkan dalil-dalil kalian dari al-Qur’an dan as-Sunnah, di ayat mana para anbiya’ dan rusul memulai da’wahnya dan memprioritaskan da’wahnya kepada kekuasaan, di hadits mana??

Apakah qath’i ad-Dilalah (pasti penunjukannya)??,

Maka ketahuilah!!!

Kami dapat menunjukkan berpuluh-puluh ayat dari al-Qur’an dan beratus-ratus hadits tentang manhaj kami yang qath’i ad-Dilalah, bahwa metode haq dari kitabain adalah tauhid, prioritas pertama dan utama!!!

4. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah takkan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka.” (ar-Ra’du : 11), kita beristifaadah dengan ayat ini bahwa keadaan ummat ini takkan berubah hingga ummat ini yang merubah keadaan mereka, tentunya dengan cara/ikhtiyar yang masyru’ (disyariatkan), maka kita sama-sama sepakat dan sering menggunakan ayat ini, namun kita berbeda dalam pemahamannya.

Kalian sering menggunakan ayat ini sebagai hujjah wajibnya menerapkan syariat islamiyyah dan dorongan untuk menegakkannya sebagai solusi dari semua krisis ummat saat ini, namun kalian lupa, bahwa ikhtiyar manusia itu juga tak lepas dari Iradah syar’iyyah Allah, yakni Allah takkan menolong hamba-Nya yang tak menolong agama-Nya, Intanshurullahu yanshurkum wa yutsabbit aqdaamakum, mafhum muwaafaqah (pemahaman tekstual) dari ayat ini adalah, jika kita menolong agama Allah niscaya Allah akan menolong kita.

Kemudian mafhum mukhalafah (pemahaman berkebalikan) dari ayat ini adalah, jika kita tidak menolong agama Allah dengan cara yang digariskan Allah dan rasul-Nya, maka bagaimana mungkin Allah akan menolong kita dan memperteguh kedudukan kita, walaupun kita sudah berusaha untuk merubah keadaan kita, namun jika Allah tak menghendaki, yang disebabkan oleh faktor penghalang turunnya nashrullah, maka keadaan kita akan tetap demikian.

Dan ingatlah bahwa cara perubahan yang paling masyru’ adalah inqilabiyyah yakni dengan tashfiyah (pensucian/pemurnian) dari syirik, bid’ah, maksiat, dan tarbiyah (pembinaan) dengan akidah yang benar, sunnah yang shahihah, dan amal yang shalih. Inilah metode yang haq itu, inilah perubahan yang akan membawa  kepada kemenangan, yakni at-Tashfiyah wat-Tarbiyah!!!

5. Allah Ta’ala berfirman, “Dan Allah telah bejanji dengan orang-orang yang beriman diantara kalian dan beramal sholeh, bahwa ia sungguh-sungguh akan menjadikanmu berkuasa di bumi (dengan kekhilafahan), sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang sebelummu berkuasa, dan sungguh ia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka, dan Ia benar-benar merubah keadaan mereka setelah mereka dala keadaan ketakutan menjadi aman sentausa, mereka tetap menyembah-Ku dan tiada mempersekutukan-Ku dengan suatu apapun.” (an-Nur : 55),

Ayat ini bagi orang-orang yang berakal pasti akan menunjukkan banyak faidah, dari tekstual ayat telah nyata bahwa merupakan janji Allah untuk memberikan kekuasaan bagi ummatnya yang beriman dan beramal shalih, iman kepada Allah secara ijmal (global) dan tafshil (terperinci), yang mana keimanan ini hanya dimiliki oleh ahlus sunnah wal jama’ah, dan beramal sholih, yang ikhlash lillahi Ta’ala dan ittiba’ rosul ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam.

Inilah syarat kemenangan itu, bahkan pada akhir ayat Allah menjelaskan syarat yang lain, yakni mentauhidkan-Nya semata dan tak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun. Lantas, bagaimana mungkin Allah Ta’ala akan mmberikan kekuasaan jika ummat ini masih jahil terhadap aqidah yang benar, mereka tak bisa membedakan mana syirik mana tauhid, mana sunnah mana bid’ah.

Mereka masih menyembah kuburan-kuburan, bertawassul dengan wali-wali dan orang shalih yang telah meninggal, menyeru mayat-mayat, membangun kubah di kuburan, ghuluw terhadap nenek moyang mereka, lantas bagaimana mungkin Allah akan memenuhi janji-Nya.

Maka berfikirlah!!!

Inilah yang ditinggalkan oleh hampir kebanyakan kelompok islam, yakni metode dakwah integral/kulliyat yang ittiba’ terhadap metode da’wah anbiya’ dan rusul, yang ma’tsur di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang tidaklah jika ummat ini berpijak dan berangkat dainya kecuali hanyalah kemenangan yang akan didapatnya. Maka berfikirlah sekali lagi wahai kalian yang berjuang menatap ke langit namun kepalamu tak mampu mendongak ke atas apalagi meraihnya.

6. Al-Ghoyah laa tubirrul washilah, Tujuan tak membenarkan segala cara, karena, al-ashlu fil ‘ibaadah al-ittiba’, asal dari ibadah adalah ittiba’ rasul, dan islam itu tauqifiyyah, laa yutsbitu illa bid’dalil, tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, dan da’wah termasuk bagian dari islam, dan ia adalah da’wah, sedangkan da’wah itu adalah tauqifiyyah.

Maka wajib untuk ittiba’ terhadap metode rasul, maka kami tanyakan kepada mereka, ittiba’ terhadap siapakah kalian dalam metode dakwah kalian?

Tidakkah kalian telah melakukan bid’ah fi manhajid da’wah, bid’ah dalam metode da’wah?

Maka dimanakah hujjahmu wahai orang yang berakal???

Sungguh, kami dapat menunjukkan kepada mereka berpuluh hujjah akan lemahnya pemahaman mereka terhadap manhaj dakwah bid’iyyah mereka, banyak kitab yang telah ditulis para ulama’ mengenainya, namun kami cukupkan hanya sampai di sini.

Semoga dapat mengambil pelajaran orang-orang yang berakal, dan semoga impian mereka yang hanya isapan jempol semata itu dapat sirna dan mereka akhirnya tersadarkan bahwa kita takkan dapat meraih kekuasaan dengan pemahaman parsial, dan bersumber dari pemahaman mu’tazilah, khawarij dan kelompok sempalan islam.

sumber : https://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2009/10/27/mengapa-mereka-lebih-mendahulukan-khilafah-daripada-tauhid/

https://aslibumiayu.wordpress.com

HIZBUT TAHRIR DALAM TIMBANGAN FATWA ULAMA..

Fatwa Ulama: TENTANG KESESATAN HIZBUT TAHRIR

بسم الله الرحمن الرحيم

HT3Oleh; asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah.

Pada suatu kesempatan ada dua pertanyaan yang keduanya bertemu pada satu titik berkenaan dengan Hizbut Tahrir.

Pertanyaan Yang Pertama.

Saya banyak membaca tentang Hizbut Tahrir dan saya kagum terhadap banyak pemikiran-pemikiran mereka, saya ingin anda menjelaskan atau memberikan faidah pada kami dengan penjelasan yang ringkas tentang Hizbut Tahrir ini.

Pertanyaan Yang Kedua.

Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan tadi akan tetapi si penanya menghendaki dariku penjelasan yang sangat luas tentang Hizbut Tahrir, sasaran, atau tujuan-tujuannya, serta pemikiran-pemikirannya, dan apakah semua sisi negatifnya merembet ke dalam permasalahan akidah?

Saya (asy-Syaikh al-Albaniy) menjawab atas dua pertanyaan tadi;

Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Alqur’an) dan Sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salaf ash-Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata! Tidak diragukan lagi bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini (Alqur’an, Sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan Manhaj Shalaf ash-Shalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian pada akhirnya walaupun mereka itu (dalam dakwahnya) ikhlas.

Pembahasan saya kali ini tentang golongan-golongan Islamiyah yang mereka semua harus ikhlas kepada Allah Azza wa Jalla dan menginginkan nasehat kebaikan bagi umat sebagaimana dalam hadits yang shahih,

إِنَّمَا الدّيْنُ نَصِيْحَةٌ قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَ لِكِتَابِهِ وَ لِرَسُوْلِهِ وَ لِأَئِمَّةِ اْلمـُسْلِمِيْنَ وَ عَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah nashihat”, kami (para shahabat) berkata, “Bagi siapa ya Rosulullah?”. (Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam) bersabda,“Bagi Allah dan bagi Kitab-Nya, bagi Rosul-Nya, bagi Imam-Imam kaum Muslimin, dan mereka (kaum Muslimin) pada umumnya”. [1]

Karena Allah telah berfirman dalam Alqur’an tentang permasalahan ini,

            وً الَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridloan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”. [QS al-Ankabut/ 29: 69].

Maka barangsiapa yang jihadnya karena Allah ‘Azza wa Jalla dan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam serta di atas manhaj Salaf ash-Shalih merekalah orang-orang yang dimaksud dalam ayat,

            إِن تَنصُرُوا اللهَ يَنصُرْكُمْ

“Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu”. [QS. Muhammad/ 47: 7].

Manhaj Salaf ash-Shalih ini adalah dasar yang agung maka dakwah setiap golongan kaum Muslimin harus berada di atasnya. Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh.

Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja.

Dan saya (al-Albaniy) tidak menyebut satu jamaah tadi sebuah hizb (sekte) karena mereka tidak berkelompok dan tidak berpecah belah serta tidak fanatik kecuali kepada Kitabullah, Sunnah Rasul, dan manhaj Salaf ash-Shalih, dan sungguh saya tahu persis tentang hal ini. Dan akan lebih jelas bagi kita semua betapa pentingnya dasar yang ketiga ini dalam kaitannya dengan nash syar’i yang dinukil dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam baik yang berhubungan dengan Alqur’an maupun Sunnah.

Pada kenyataannya, jamaah-jamaah Islamiyah sekarang ini, demikian pula kelompok-kelompok Islamiyah sejak awal munculnya penyimpangan terus merajalela serta menampakkan taringnya di antara jamaah-jamaah Islamiyah yang pertama (yaitu mulai timbulnya Khawarij) pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu, kemudian sejak mulainya Ja’ad bin Dirham mendakwahkan (pemikiran) Mu’tazilah dan sejak munculnya firqah-firqah yang dikenal nama-namanya di zaman dulu serta berhubungan dengan wajah-wajah baru di zaman sekarang dengan nama-nama yang baru pula. Mereka itu baik yang dulu maupun yang sekarang tidak terdapat padanya perbedaan, tak satupun di antara mereka yang menyatakan dan mengumandangkan bahwasanya mereka di atas manhaj Salaf ash-Shalih.

Semua kelompok-kelompok ini dengan perselisihan yang ada pada mereka, baik dalam masalah akidah, dasar-dasar atau permasalahan-permasalahan hukum dan furu’ (cabang-cabang), semuanya menyatakan berada di atas Kitab dan Sunnah, akan tetapi mereka berbeda dengan kita, karena mereka tidak mengatakan apa yang kita katakan, yang perkataan itu merupakan kesempurnaan dakwah kita. Yakni (perkataan) berada di atas manhaj Salaf ash-Shalih.

Maka atas dasar ini, siapa yang menghukumi golongan-golongan ini, yang mereka semua ber-intima’ (menisbatkan diri) walaupun minimal secara perkataan bahwa dakwahnya di atas Kitab dan Sunnah, dan bagaimana hukum yang pasti (tentang mereka), karena mereka semua mengatakan dengan perkataan yang sama?

Jawabannya, tidak ada jalan untuk menghukumi golongan-golongan di antara mereka bahwa mereka di atas yang haq (benar), kecuali apabila dibangun di atas manhaj Salaf ash-Shalih. Sekarang pada diri kita timbul satu pertanyaan, “Dari mana (atas dasar apa, pent.) kita mendatangkan manhaj Salaf ash-Shalih?”.

Jawabannya, sesungguhnya kita mendatangkan dasar yang ketiga ini dari Kitabullah dan hadits Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Imam-Imam Salaf dari kalangan shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti halnya yang mereka katakan saat ini. Dalil yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَ مَن يُّشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ اْلهُدَى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ اْلمـُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَى وَ نَصْلِهِ جَهَنَّمَ وَ سَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalannya orang-orang mukmin, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [QS an-Nisa’/ 4: 115].

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) dihubungkan dengan firman Allah ((“Dan barangsiapa menentang Rosul”)). Maka seandainya ayat ini berbunyi ((“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”)) yakni tanpa firman Allah Subhanahu wa ta’ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) niscaya ayat ini menunjukkan kebenaran dakwah golongan-golongan dari kelompok-kelompok tadi baik yang di zaman dahulu maupun yang sekarang ini, karena mereka mengatakan kami di atas Kitab dan Sunnah. Mereka tidak mengembalikan permasalahan-permasalahan yang mereka perselisihkan kepada Kitab dan Sunnah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَ أَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“ … kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alqur’an) dan Rosul-Nya (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisa : 59)

Apabila Anda mengajak (berdakwah) kepada salah satu dari jumhur ulama mereka dan salah satu dari da’i mereka kepada Kitabullah dan Sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka mereka akan berkata, “Saya mengikuti madzhabku”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Hanafiy”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Syafi’iy”, dan seterusnya.

Mereka taqlid kepada Imam-Imam mereka sebagaimana mereka mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rosul Shallallahu alaihi wa sallam. Maka apakah benar mereka mengamalkan ayat ini? Tidak sama sekali dan sekali-kali tidak. Oleh sebab itu apa faidahnya pengakuan mereka bahwasanya mereka di atas Kitab dan Sunnah selama mereka tidak mengamalkan keduanya.

Dari contoh ini, tidaklah saya menghendaki untuk orang-orang yang taqlid (awam, pent.) dari mereka, akan tetapi yang aku kehendaki dengannya adalah para da’i Islam yang seharusnya tidak menjadi orang yang taqlid belaka, yang mengutamakan pendapat para Imam yang tidak ma’shum keadaannya.

Maka Allah Subhanahu wa ta’ala tidaklah menyebutkan kalimat di pertengahan ayat tadi secara sia-sia, hanya saja Allah Subhanahu wa ta’ala menginginkan dengannya menanamkan satu pokok yang sangat penting, suatu patokan yang sangat kokoh yaitu tidak boleh kita semata-mata bersandar pada akal dalam memahami Kitab Allah (Alqur’an) dan Sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Kaum Muslimin hanyalah dikatakan mengikuti Alqur’an dan Sunnah baik secara pokok-pokoknya dan patokan-patokannya, apabila di samping berpegang pada Alqur’an dan Sunnah, mereka juga berpegang dengan apa yang ditempuh oleh Salaf ash-Shalih. Karena ayat di atas mengandung nash yang jelas tentang dilarangnya kita menyelisihi jalannya para shahabat.

Artinya wajib bagi kita mengikuti Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan tidak menyelisihi (menentang) beliau, demikian pula wajib bagi kita untuk mengikuti jalannya kaum Mukminin dan tidak menyimpang darinya. Dari sini kita menyatakan bahwa wajib atas tiap golongan/kelompok/jamaah Islamiyah untuk memperbaharui tolok ukur mereka yakni agar mereka bersandar kepada Alqur’an dan Sunnah di atas pemahaman Salaf ash-Shalih.

Dan sangat kita sayangkan Hizbut Tahrir tidak berdiri di atas dasar yang ketiga, demikian pula Ikhwanul Muslimin dan hizb-hizb Islamiyah lainnya. Sedangkan kelompok-kelompok yang mengumandangkan perang dengan Islam seperti partai Ba’ats dan partai komunis, maka mereka tidak (masuk) dalam pembicaraan kita sekarang ini.

Oleh karena itu seyogyanya seorang Muslim dan Muslimah hendaknya mengetahui bahwa suatu garis kalau sudah bengkok pada awalnya (pangkalnya) maka akan semakin jauh dari garis yang lurus. Dan setiap ia melangkahkan kakinya akan semakin bertambahlah penyelewengannya. Maka jelas yang lurus adalah sebagaimana yang disebutkan Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam ayat Alqur’an,

وَ أَنَّ هَذَا صِرَاطِى مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَ لَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ عَن سَبِيلِهِ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya”. [QS al-An’am/ 6: 153].

Ayat yang mulia ini jelas Qath’iyyat ad-Dalalah (pasti penunjukkan) sebagaimana disukai dan biasa diucapkan oleh Hizbut Tahrir dan sekte-sekte lain dalam dakwahnya, tulisan-tulisan dan khutbah-khutbahnya. Dalil yang Qath’iyyat ad-Dalalah, karena ayat ini menyatakan, “Sesungguhnya jalan yang bisa menuju pada Allah Subhanahu wa ta’ala adalah satu, dan jalan-jalan yang lain adalah jalan-jalan yang menjauhkan kaum Muslimin dari jalan Allah Subhanahu wa ta’ala.

Dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga menambahkan keterangan dan penjelasan terhadap ayat ini sebagaimana keberadaan Sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu sendiri (menjelaskan dan menerangkan Alqur’an, pent.). Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan dalam Alqur’an al-Karim kepada Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam,

وَ أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

“Dan Kami turunkan kepadamu Alqur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. [QS. an-Nahl/ 16 : 44].

Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah penjelas yang sempurna terhadap Alqur’an, sedangkan Alqur’an adalah asal peraturan/undang-undang dalam Islam. Untuk memperjelas suatu permasalahan pada kita agar lebih mudah untuk dipahami, saya (asy-Syaikh al-Albaniy) berkata, “Alqur’an bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti undang-undang dasar dan Sunnah bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti penjelasan terhadap undang-undang dasar tersebut”.

Oleh sebab itu sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, yang pasti bahwa tidak mungkin bisa memahami Alqur’an kecuali dengan penjelasan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan ini adalah perkara yang telah disepakati.

Akan tetapi sesuatu yang diperselisihkan kaum Muslimin sehingga menimbulkan berbagai pengaruh setelahnya yaitu bahwa semua firqoh sesat dahulu tidak mau memperhatikan dasar yang ketiga ini yaitu mengikuti Salaf ash-Shalih, maka mereka menyelisihi ayat yang aku sebutkan berulang-ulang,

“ … dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang Mukmin”. [QS an-Nisa/4: 115].

Mereka menyelisihi jalan Allah Subhanahu wa ta’ala, karena jalan Allah Subhanahu wa ta’ala adalah satu yaitu sebagaimana yang disebut dalam ayat terdahulu,

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya”. [QS al-An’am/ 6: 153].

Saya (asy-Syaikh al-Albaniy) berpendapat, sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menambahkan penjelasan dan keterangan pada ayat ini dari riwayat salah seorang shahabat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang terkenal faqih (fahamnya terhadap dien) yaitu Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu ketika beliau mengatakan,

Pada suatu hari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam membuat satu garis untuk kami, sebuah garis lurus dengan tangan beliau di tanah, kemudian beliau menggaris disekitar garis lurus itu garis-garis pendek. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengisyaratkan (menunjuk) pada garis yang lurus dan beliau membaca ayat (yang artinya), “Dan bahwa (yang Kami perintah) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya”((QS al-An’am/ 6: 153)).

Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sambil menunjuk jarinya pada garis lurus, “ini adalah jalan Allah”, kemudian menunjuk pada garis-garis yang pendek di sekitarnya (kanan-kirinya) dan bersabda, “ini adalah jalan-jalan dan pada setiap pangkal jalan itu ada setan yang menyeru manusia padanya”. [2]

Hadits ini ditafsirkan dengan hadits lain yang telah diriwayatkan oleh Ahlus Sunan seperti Abu Dawud, at-Turmudziy dan selain dari keduanya dari Imam-Imam Ahlul Hadits dengan jalan yang banyak dari kalangan para shahabat seperti Abu Hurairah, Muawiyah, Anas bin Malik dan yang selainnya dengan sanad yang jayyid. Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan Nashrani telah terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya ada di neraka kecuali satu. Maka mereka (para shahabat) bertanya, “Siapakah dia ya Rosulullah?”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَنَا عَلَيْهِ وَ اَصْحَابِى

“Dia adalah apa yang aku dan shahabatku berada di atasnya”. [3]

Hadits ini menjelaskan kepada kita jalannya kaum Mukminin yang disebut dalam ayat tadi. Siapakah orang-orang Mukmin yang disebutkan dalam ayat itu? Meraka itulah yang disebutkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada hadits al-Firaq, ketika beliau ditanya tentang al-Firqoh an-Najiyah (golongan yang selamat), manhaj, sifat, dan titik tolaknya. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya”.

Maka jawaban ini wajib diperhatikan, karena merupakan jawaban dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Jika bukan wahyu dari Allah Subhanahu wa ta’ala maka itu adalah tafsir dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam terhadap jalannya orang-orang mukmin yang terdapat pada firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

“Dan barangsiapa yang menentang Rosulullah sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”. [QS an-Nisa’/ 4: 115].

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan jalannya orang-orang mukmin. Sementara itu (dalam hadits, pent.) Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan tanda al-Firqoh an-Najiyah yang tidak termasuk 72 golongan yang binasa. Sesungguhnya al-Firqoh an-Najiyah adalah golongan yang berdiri di atas apa yang ada pada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat.

Maka pada hadits ini kita akan dapati apa yang kita dapati pula dalam ayat. Sebagaimana ayat tidak membatasi penyebutan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam saja, demikian pula hadits tidak membatasi penyebutan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam saja. Di samping itu ayat juga menyebutkan jalannya orang-orang mukmin demikian pula dalam hadits terdapat penyebutan “shahabat Nabi” maka bertemulah hadits dengan Alqur’an. Oleh sebab itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتىِ وَ لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتىَّ يَرِدَا عَلَيَّ اْلحَوْضَ

“Aku telah tinggalkan dua hal untuk kalian, yang kalian tidak akan tersesat selamanya sesudah (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu kitab Allah (alqur’an) dan sunnahku. Dan keduanya tidak akan berpisah sehingga kedua-duanya datang kepadaku di telaga (yaitu pada hari kiamat)”. [4]

Banyak golongan-golongan terdahulu maupun sekarang yang tidak berdiri di atas dasar yang ketiga ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Alqur’an dan hadits. Pada hadits di atas disebutkan tanda golongan yang selamat yaitu yang berada di atas apa yang ada pada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Semakna dengan hadits ini adalah hadits al-Irbadl bin Sariyah radliyallahu anhu yang termasuk salah satu shahabat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari kalangan Ahlus Shufah, yakni mereka dari kalangan fuqara’ yang tetap berada di Masjid dan menghadiri halaqah-halaqah (majelis taklim) Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam secara langsung dan bersih. Berkata al-Irbadl bin Sariyah radliyallahu anhu,

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kami yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami berlinang (karena terharu). Kami berkata, “Ya Rosulullah seakan-akan ini adalah nashihat perpisahan maka berilah kami wasiat”. Maka beliau bersabda,

أُوْصِيكُمْ بِتَقْوُى اللهِ عز و جل وَ السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ إِنْ تَأَمَرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمـَهْدِيِّيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَ إِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَ كُلَّ ضَلَالَةٍ فِى النَّارِ

“Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk tetap bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak (habasyiy). Barangsiapa ada yang masih hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian, dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka”. [5]

Hadits ini merupakan (penguat) bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak membatasi perintahnya kepada umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnahnya saja ketika mereka berselisih akan tetapi beliau menjawab dengan uslub/cara bijaksana, dan siapa yang lebih bijaksana dari beliau setelah Allah? Oleh sebab itu tatkala Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa di antara kalian ada yang masih hidup (berumur panjang) setelahku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak”.

Beliau juga memberikan jawaban dari soal yang mungkin akan muncul (dipertanyakan), “Apa yang kita lakukan ketika itu wahai Rosulullah?” Maka Rosulullah menjawab, “Wajib atas kalian mengikuti sunnahku”. Dan Rosulullah tidak mencukupkan perintahnya terhadap mereka yang hidup pada waktu terjadi perselisihan dengan hanya mengikuti sunnah beliau, akan tetapi menggabungkannya dengan sabda beliau,

“ … dan sunnahnya Khulafa ar-Rosyidin yang mendapat petunjuk”.

Jika demikian halnya, maka seorang Muslim yang menginginkan kebaikan pada dirinya dalam masalah akidah, dia harus kembali pada jalannya orang-orang Mukmin (para shahabat) bersama dengan Kitab (Alqur’an dan sunnah) yang shahih dengan dalil ayat dan hadits al-Firaq (perpecahan) serta hadits dari al-Irbadl bin Sariyah radliyallahu anhu.

Inilah kenyataan yang ada dan sangat disesalkan bahwasanya hal ini banyak dilalaikan oleh semua hizbi-hizbi/sekte-sekte Islamiyah masa sekarang ini sebagaimana keberadaan firqoh-firqoh yang sesat, khususnya kelompok Hizbut Tahrir yang berbeda dengan sekte-sekte lainnya di mana Hizbut Tahrir dalam melaksanakan Islam menggunakan akal manusia sebagai tolok ukurnya.

__________________________________________________________________________________
(Dikutip dari buku Terjemahan HT Mu’tazilah Gaya Baru, terbitan Cahaya Tauhid Press)

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=75

Fatwa Ulama: Tentang Kesesatan Hizbut Tahrir

 

[1]HR Muslim: 55, an-Nasa’iy: VII/ 156, at-Turmudziy: 1926, Abu Dawud: 4944 dan Ahmad: IV/ 102, II/ 297, I/ 351 dari Tamim ad-Dariy dan Abu Hurairah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 1209, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3913, 3914, 3915, 3916, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1570, Shahih Sunan Abu Dawud: 4135, Irwa’ al-Ghalil: 26, Ghoyah al-Maram: 332 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1610.

 [2]HR Ahmad: I/ 435, 465, ad-Darimiy: I/ 67-68 dan Ibnu Majah: 11 dari Jabir bin Abdullah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah: 11.

 [3] Dari jalur Abu Hurairah, Ahmad: II/ 233 dan at-Turmudziy: 2640. Dari jalur Muawiyah, Ahmad: IV/ 102, ad-Darimiy: II/ 241 dan Abu Dawud: 4597. Dari Jalur Anas bin Malik, Ibnu Majah: 3993. Dari jalur Auf bin Malik, Ibnu Majah: 3992 dan dari jalur Ibnu Amr, at-Turmudziy: 2641. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abu Dawud: 3843, Shahih Sunan Ibnu Majah: 3226, 3227, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2128, 2129, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2641, 1082, 1083 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 203, 204, 1492.

[4] HR Malik di dalam Muwaththa’nya dan al-Hakim: 324 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2973.

 [5] HR Abu Dawud: 4607, Ibnu Majah: 42, at-Turmudziy: 2676, Ahmad: IV/ 126, 127, al-Hakim: 333, 338 dan ad-Darimiy: I/ 44-45 dari al-Irbadl bin Sariyah radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 3851, Shahih Sunan Ibni Majah: 40, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2157, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2549, Irwa’ al-Ghalil: 2455 dan Misykah al-Mashobih: 165.

AKHI, INILAH HAKIKAT HIZBUT TAHRIR…

MENYIBAK HAKIKAT HIZBUT TAHRIR

بسم الله الرحمن الرحيم

HT1Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

TAQDIM

Dakwah Ilallah adalah jalan semua rasul dan para pengikut mereka, untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya yang terang benderang, dari kekufuran kepada keimanan, dari kesyirikan kepada tauhid, dan dari neraka ke surga.

Dakwah para rasul inilah yang wajib diikuti oleh setiap juru dakwah, agar dakwah mereka membuahkan hasil yang baik, barang siapa berdakwah tanpa memakai asas-asas dakwah para rasul maka dakwah itu tidak bernilai sama sekali di sisi Allah dan menjadikan daya upaya yang dicurahkan padanya sia-sia.

Di antara jama’ah-jama’ah dakwah yang menyelisihi manhaj para rasul adalah Hizbut Tahrir yang mengonsentrasikan dakwahnya untuk merebut kekuasaan dan mendirikan Khilafah Islamiyyah (negara Islam) dan mengabaikan sisi-sisi penting dari syari’at Islam seperti aqidah, akhlak, dan yang lainnya.

Mengingat begitu gencarnya dakwah mereka pada hari ini dan di sisi lain banyak dari kaum muslimin yang belum mengetahui hakikat dakwah mereka maka insya Allah di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan studi kritis terhadap manhaj kelompok ini dengan menukil dari tulisan-tulisan mereka sendiri dan penjelasan-penjelasan para ulama tentang hakikat mereka.

SEJARAH PENDIRIAN HIZBUT TAHRIR

Kelompok ini didirikan oleh Taqiyddin bin Ibrahim an-Nabhani. Dia dilahirkan tahun 1909 M di Desa Ijzam yang terletak di sebelah selatan Kota Jifa, Yordania. Dia banyak terpengaruh oleh kakeknya, Yusuf Isma’il an-Nabhani yang dikenal dengan pemikiran sufinya dan permusuhannya kepada Salafush Shalih sebagaimana di dalam banyak tulisan-tulisannya seperti Syawahidul Haqqi fi Istighatsah Bisayyidil Khalqi.

Pada tahun 1952 dia mengajukan permohonan resmi kepada Kementerian Dalam Negeri Yordania untuk mendapatkan izin bagi partainya yang bernama Hizbut Tahrir al-Islami, tetapi permohonannya ditolak. Sesudahnya, kelompok Hizbut Tahrir melakukan aktivitas politik secara rahasia.

Taqiyuddin an-Nabhani meninggal pada tanggal 10 Desember 1977 di Lebanon dengan meninggalkan karangan yang cukup banyak yang menjadi referensi acuan gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir, di antaranya,

1).  Nizhamul Islam (Peraturan hidup dalam Islam)

2).  Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)

3).  Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)

4).  Nizhamul Ijtima’i fil Islam (Sistem Pergaulan Dalam Islam)

5).  At-Takattul Hizbi (Pembentukan Partai)

6).  Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah (Kepribadian Islam)

7).  Nida’ul Har ila Alamil Islami (Seruan Kepada Dunia Islam)

Dan beberapa kitab lainnya. Kitab-kitab diatas banyak sekali menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan terpengaruh oleh filsafat Mu’tazilah (lihat al-Jama’at al-Islamiyyah hlm. 282 dan Mausu’ah al-Muyassarah hlm. 344).

RASIONALISME HIZBUT TAHRIR

Merupakan hal yang dimaklumi bahwa sumber kesesatan dari setiap kelompok bid’ah adalah karena mereka meninggalkan Sabilil Mukminin yaitu jalan para sahabat di dalam memahami dan mengamalkan Islam. Allah Ta’ala berfirman :

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam, itulah seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa [4]:115).

Kalimat (Sabiilul mu’miniin) artinya adalah jalan orang-orang mukmin, yang pertama kali masuk dalam makna ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabdanya :

“Dan sesungguhnya umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 kelompok, semuanya di neraka kecuali satu kelompok, ia adalah al-Jama’ah.” Di dalam riwayat lain, “Ia adalah jalan yang aku tempuh dan para sahabatku.”[1]

Dari sinilah jelas bagi kita bahwa biang keladi kesesatan semua kelompok dalam Islam, sejak dahulu sampai sekarang, yaitu bahwasanya mereka tidak menghiraukan ayat dan hadits-hadits di atas sehingga mereka menyeleweng dri jalan yang lurus dan memilih jalan-jalan yang sesat. Mereka mengandalkan akal dan pemikiran mereka tanpa merujuk kepada pemahaman sahabat dan ulama yang mengikuti jalan mereka. Padahal, jalan keselamatan adalah manhaj para sahabat dan as-salaf ash-shalih yaitu orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Kelompok Hizbut Tahrir di dalam memahami Islam secara terang-terangan meninggalkan pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menggantinya dengan pemahaman pemimpin pertama mereka dan pendiri kelompok mereka yaitu Taqiyuddin an-Nabhani yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Mu’tazilah. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata : “Dari sini kita meletakkan satu titik dalam dakwah Hizbut Tahrir bahwasanya mereka terpengaruh oleh Mu’tazilah dalam dasar pijakan mereka mengenai jalan keimanan (thariqul iman). Jalan keimanan (thariqul iman) ini adalah sebuah judul pembahasan mereka yang terdapat dalam kitab Nizhamul Islam yang dikarang oleh pemimpin mereka, yaitu Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah. Saya (Syaikh al-Albani) pernah berjumpa dengannya (Taqiyuddin an-Nabhani) beberapa kali. Saya mengenalnya dengan baik dan mengenal dengan sangat baik jalan yang ditempuh oleh Hizbut Tahrir. Karena itu, Insya Allah saya berbicara berdasarkan ilmu tentang segala hal yang dakwah mereka tegak di atasnya”.[2]

Taqiyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya, Nizhamul Islam hlm. 10 :

“Dan berdasarkan atas hal itu maka iman kepada Allah adalah datang dari jalan akal, dan tidak boleh tidak bahwa iman ini terjadi dari jalan akal. Maka adalah dengan hal itu tonggak utama yang berdiri di atasnya keimanan kepada seluruh perkara-perkara gaib dan semua yang Allah kabarkan kepada kita”.

Hizbut Tahrir berkata di dalam kitab mereka Nida’un Harrun ilal Muslimin min Hizbut Tahrir dari website resmi mereka,

“Maka Islam sebagai pemikiran-pemikiran maka asasnya adalah akal”.

Demikianlah, Hizbut Tahrir banyak terpengaruh dengan kelompok Mu’tazilah yang merupakan pionir semua kelompok rasionalis dalam Islam. Mu’tazilah menjadikan akal sebagai hakim secara mutlak. Mereka mempromosikan akan setinggi-tingginya, sebagaimana sering terungkap dalam perkataan gembong-gembong mereka,

Al-Qadhi Abdul Jabbar menyebutkan urutan dalil-dalil syar’i menurutnya, “Yang pertama adalah akal, karena dengannya bisa dibedakan baik dan buruk, dan dengan akallah diketahui bahwa Kitab adalah hujjah, demikian juga sunnah dan ijma’!!” (Fadhlul I’tizal hlm. 139).

Amr bin Ubaid[3] menyebut hadits Shadiqul Mashduq dan berkomentar, “Seandainya aku mendengar hadits ini langsung dari A’masy pasti akan kudustakan, seandainya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya pasti akan kutolak! dan seandainya aku mendengar Allah mengatakannya maka akan kukatakan, ‘Bukan atas ini Engkau mengambil mitsaq (perjanjian) dari kami”.!!

Az-Zamakhsyari berkata, “Berjalanlah dalam agamamu di bawah panji akal, jangan engkau merasa cukup dengan riwayat dari Fulan dan Fulan”.! (Athwaqu Dzahab fil Mawaizh wal Khuthab hlm. 28).

Demikianlah kaum rasionalis. Mereka menjadikan akal semata sebagai sumber ilmu mereka, mengagungkan akal, dan menjadikan iman dan al-Qur’an tunduk di bawah akal. (Majmu Fatawa Syaikhul Islam 5/338).

Syubhat mereka ini telah dikikis habis dan dihancurkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya yang agung yang berjudul Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wan Naql yang tersusun dalam 10 jilid, kemudian diringkas oleh muridnya al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah yang tersusun dalam dua jilid. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya tersebut 54 argumen dalam membantah syubhat mereka ini, diantaranya,

*). Perkataan mereka bahwa akal adalah landasan naql adalah batil karena apa yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah shahih dari dirinya, entah kita ketahui dengan akal kita atau tidak kita ketahui, entah dibenarkan oleh manusia atau didustakan oleh mereka, sebagaimana Rasulullah adalah haq meskipun didustakan oleh manusia, dan sebagaimana wujud Allah dan keberadaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah haq, entah akal kita mengetahui atau tidak.

*). Mendahulukan akal atas naql adalah cela pada akan dan naql sekaligus, karena akan telah bersaksi bahwa wahyu lebih tahu dibandingkan akal. Jika hukum akal didahulukan atas hukum wahyu maka itu adalah cela pada persaksian akal, jika persaksiannya batal maka tidak boleh diterima ucapannya, maka mendahulukan akal atas wahyu adalah cela pada akal dan wahyu sekaligus.

*). Syari’at diambil dari Allah dengan perantaraan malaikat dan Rasul-Nya, dengan membawa ayat-ayat, mukjizat-mukjizat, dan bukti-bukti atas kebenarannya, hal ini diakui oleh akal

Lalu bagaimana perkataan Allah pencipta semesta alam ditentang dengan pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Ibnu Sina dan pengikut-pengikut mereka?

Bagaimana perkataan seorang Rasul ditentang dengan perkataan filosof, padahal filosof wajib mengikuti Rasul, bukan Rasul yang mengikuti filosof, karena Rasul diutus oleh Allah, dan filosof adalah umatnya. [4]

MENOLAK HADITS AHAD DALAM MASALAH AQIDAH

Hizbut Tahrir termasuk kelompok Inkarus Sunnah, mereka menolak hadits-hadits Ahad di dalam masalah aqidah, mereka berkata di dalam kitab ad-Dusiyah hlm. 3, “Terdapat perbedaan antara hukum-hukum syariat dan perkara-perkara aqidah dari sisi dalil. Hukum-hukum syar’iyyah boleh ditetapkan dengan dalil zhanni dan boleh dengan dalil qath’i kecuali aqidah, karena harus ditetapkan dengan dalil qath’i tidak boleh ditetapkan dengan dalil zhanni sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil melainkan harus dengan dalil yakin, apabila dalilnya qath’i maka wajib diimani dan mengingkarinya adalah kafir, namun jika dalilnya zhanni maka haram bagi tiap muslim mengimaninya…, maka wajib menetapkan aqidah dengan dalil qath’i…“

Hizbut Tahrir berkata di dalam kitab ad-Dusiyah hlm. 4:

“Dan hadist ahad adalah zhanni.”

KAMI KATAKAN : Sesungguhnya dalil-dalil dari Kitab, Sunnah, dan amalan sahabat, dan perkataan para ulama menunjukkan tentang wajibnya berhujjah dengan hadits ahad dalam syari’at Islam tanpa memperbedakannya dalam ‘aqidah ‘ilmiyyah atau ahkam ‘amaliyyah, dan bahwasanya pendapat yang membedakan antara keduanya adalah pendapat yang bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh salaf. Karena itulah al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

Pendapat yang membedakan antara keduanya adalah pendapat yang batil dengan kesepakatan umat karena umat tidak henti-hentiny berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam khabar-khabar ilmiyyah yang berhubungan dengan aqidah, sebagaimana mereka berhujjah dengan khabar-khabar amaliyyah, terutama hukum-hukum amaliah yang mengandung kabar dari Allah bahwasanya Allah mensyari’atkan ini dan itu, mewajibkannya, dan meridhainya sebagai agama, … Tidak henti-hentinya para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan ahli hadits dan sunnah berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam masalah-masalah sifat, qadar, asma, dan ahkam, … (Mukhtashar Shawa’iq Mursalah 2/412).

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang telah sepakat atas menetapkan hadits ahad dan berhenti padanya”. (ar-Risalah hlm. 457).

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, “Telah tersebar secara luas tentang amalan sahabat dan tabi’un akan khabar (hadits) ahad; tanpa ada pengingkaran, bahkan sudah terjadi ittifaq untuk menerimanya”. (Lihat Fathul Bari 13/234)

Berkata al-Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah “Tentang hadit ahad, telah sepakat umat menerimanya, baik sebagaimana amal dan wajib untuk dibenarkan; dan juga memberi faedah ilmu yaqin di kalangan ulama umat ini. Hal tersebut karena hadits ahad merupakan bahagian dari hadits mutawatir, dan tidak terdapat perbedaan di kalangan salaf umat ini”. (Lihat Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah hlm. 399-400-takhriij Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah).

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Seandainya argumen tidak tegak dengan khabar ahad maka tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu ke Yaman seorang diri, demikian juga ini dikatakan pada hadits-hadits dalam Shahihain yang mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu sebagai da’i-da’i yang diutus untuk mendakwahkan Islam ke negeri-negeri tertentu dalam keadaan sendirian. Merupakan hal yang tidak diragukan lagi bahwa keseluruhan termasuk di dalamnya masalah-masalah aqidah”. [5]

MENOLAK TAQDIR ALLAH TA’ALA

Taqiyyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya, Syakhshiyyah Islamiyyah 1/71-72

“Perbuatan-perbuatan ini-yaitu perbuatan-perbuatan manusia-tidak ada hubungan sama sekali dengan qadha’, karena manusia adalah yang melakukan sendiri perbuatan-perbuatan ini dengan kehendak dan pilihannya, dan berdasarkan atas hal itu maka fi’il-fi’il ikhtiyariyyah tidak masuk di bawah qadha’”.

Dia Nizhamul Islam :

“Maka digantungkannya pahala atau hukuman dengan petunjuk dan kesesatan menunjukkan bahwa petunjuk dan kesesatan keduanya termasuk perbuatan manusia dan keduanya bukan dari Allah”.

Perkataan ini jelas sekali menyelisihi nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah telah ditakdirkan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan takdir-takdir (ukuran-ukurannya) dengan serapi-rapinya. (QS. al-Furqan [25] :2)

Dan Allah Ta’ala berfirman,

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. ash-Shaffat [37] :96)

Dan Allah Ta’ala berfirman,

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir. (QS. al-Qamar [54] : 49).

MENGADOPSI PEMAHAMAN KHAWARIJ

Hizut Tahrir mengikuti pemahaman Khawarij di dalam masalah takfir dan bolehnya khuruj (pemberontakan, red) kepada penguasa muslim. Di dalam kitab Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hlm. 36 mereka berkata, “Hizb tidak berkompromi dengan para penguasa dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, termasuk konstitusi dan perundang-undangan mereka walau dengan alasan kelancaran dakwah. Sebab syara’ mengharamkan mempergunakan sarana yang haram untuk memenuhi suatu kewajiban. Sebaliknya  hizb mengoreksi dan mengkritik penguasa dengan tegas. Hizb menganggap bahwa peraturan yang mereka terapkan itu adalah peraturan kufur sehingga harus dimusnakan dan diganti dengan hukum Islam. Hizb juga menganggap bahwa mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang fasik dan zalim…”

Dalam hlm. 37, “… Hizb juga menolak membantu mereka melakukan ishlah baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan maupun di bidang moral…”

Dalam hlm. 42, “Aktivitas hizb adalah menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negara-negara Islam lainnya. Mengungkapkan makar-makar jahat mereka, mengoreksi dan mengkritik mereka…”

Inilah pemahaman Hizbut Tahrir yang menyelisihi perintah Allah kepada setiap muslim agar taat kepada waliyyul amr-sebagaimana dalam firman-Nya,

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (QS. an-Nisa [4]:59),

Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memerintahkan agar selalu taat kepada waliyyul amr, tidak membatalkan bai’at dan sabar atas kecurangan para penguasa,

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata,

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami maka kami membai’atnya, di antara yang diambil atas kami bahwasanya kami berbai’at atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan sempit, dalam keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda, ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan nyata yang kalian punya bukti di hadapan Allah”. (Shahih Muslim 1709).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Ini adalah perintah agar selalu taat walaupun ada sikap egois dari waliyyul amr, yang ini merupakan kezaliman darinya, dan larangan dari merebut kekuasaan dari pemiliknya, yaitu larangan dari memberontak kepadanya, karena pemiliknya adalah para waliyul amr yang diperintahkan agar ditaati, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah”. [6]

Hizbut Tahrir juga mengatakan bahwa seluruh negeri Islam saat ini adalah Darul Kufur wal Harb, sebagaimana dalam buku mereka, Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hlm. 5, “Adapun kondisi negeri-negeri yang hidup didalamnya kaum muslimin saat ini di seluruh negeri, adalah darul kufr bukan darul Islam”.

Asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqy berkata dalam kitabnya. Hizbut Tahrir Munaqasyah Ilmiyyah li Ahammi Mababdi’il hizbi wa Raddu Ilmi Mufashshal Haula Khabari Wahid hlm. 47.

Aku bertanya kepada salah seorang di antara mereka (Hizbut Tahrir), ‘Bagaimanakah (menurutmu) dengan Makkah dan Madinah? Apakah termasuk Darul Iman ataukah Darul Kufur wal Harb??’ Dia menjawab, ‘Termasuk Darul Kufur dan Harb!’ Aku berkata lagi, ‘Lantas apakah boleh aku berhaji ke darul Kufur?? Lantas dimanakah Darul Iman jika Makkah dan Madinah termasuk Darul Kufur!!’ Dia pun kebingunan … Ada seorang juga bertanya kepada mereka (Hizbut Tahrir), ‘Apakah ada Darul Islam di dunia saat ini?’ Mereka menjawab, “Tidak ada!!’ Ia bertanya lagi, “Saya ingin berhijrah, ke manakah gerangan aku harus berhijrah (jika tidak ada Darul Islam)??’ mereka kebingungan menjawabnya”.

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

“Tidaklah terputus hijrah hingga terputusnya taubat dan tidak terputus taubat hingga terbitnya matahari dari baratnya (hari kiamat)”. [7]

 

Dari Isham al-Muzani radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata,

“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh seorang pun”. [8]

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa sekadar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri maka ini cukup menjadi dalil atas keislaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukannya agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal : adanya masjid atau mendengar adzan”. (Nailul Authar 7/287)

Berdasarkan uraian diatas maka jika dengar adzan di suatu negeri atau didapati suatu masjid, dan penduduknya muslim, maka negeri tersebut adalah darul Islam, meskipun para penguasanya tidak menerapkan syari’at Islam. Hal inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah beliau berkata, “Keberadaan suatu tempat sebagai negeri kafir atau negeri iman atau negeri orang-orang fasik, bukanlah sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi ia adalah sifat yang insidental sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap jengkal bumi yang penduduknya orang-orang mukmin yang bertakwa maka tempat tersebut adalah negeri para wali Allah di saat itu. Setiap jengkal tanah yang penduduknya orang-orang fasik, maka ia adalah negeri kefasikan di saat itu. Dan jika para penduduknya selain yang kita sebutkan tadi, dan berubah dengan selain mereka, maka negeri itu adalah negeri mereka”.[9]

PENEGAKAN DAULAH DENGAN MENGORBANKAN SYARI’AT ISLAM

Hizbut Tahrir memprioritaskan penegakan Daulah Islamiyyah dan kekuasaan ketimbang perbaikan aqidah dan tauhid. Mereka telah menjadikan penegakan daulah saat ini hukumnya paling wajib dan paling urgen (mendesak). Mereka berpandangan bahwa segala kemerosotan, kehancuran, dan kekacauan yang melanda umat saat ini dikarenakan tidak adanya payung yang melindungi umat dari kaum kuffar, yakni daulah khilafah. Maka semenjak Kesultanan Utsmani runtuh, pada tahun 1924 di Turki, maka umat Islam semuanya dalam keadaan berdosa dan umat wajib ‘ain mengembalikannya.

Taqiyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah 2/92 :

Dan demikianlah maka seluruh kamu muslimin sejak tahun 1924 yaitu sejak hilangnya Khilafah Islamiyyah dari Turki maka mereka mati dan akan mati jahiliyyah”.

            Maka mereka mengonsentrasikan segala daya dan upaya untuk meraih kembali kekuasaan. Namun, di sisi lain mereka banyak meremehkan syari’at-syari’at Islam. Lihatlah, bagaiman tokoh-tokoh mereka tidak menampakkan penampilan Islam sama sekali. Mereka cukur habis jenggot-jenggot mereka. Mereka tidak memperhatikan shalat jama’ah dan yang lainnya dari syari’at Islam. Jika engkau ingatkan mereka tentang hal itu maka mereka mengatakan bahwa hal itu akan mereka lakukan kalau sudah tegak Daulah Islam!! (Lihat Jama’at Islamiyyah hlm. 288-289).

Padahal Daulah Islam adalah sarana untuk menegakkan syari’at Islam, pantaskah jika seorang muslim berjuang mewujudkan daulah Islam dengan jalan mengorbankan syari’at Islam?!

Daulah adalah anugerah Allah kepada kaum muslimin karena keteguhan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban seperti jihad, melaksanakan syari’at dan perkara-perkara yang disyari’atkan Allah kepada mereka. Anugerah inilah yang diperoleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena kesabaran mereka dalam menempuh manhaj dakwah yang haq, menghadapi kekejian dan kebrutalan kaum musyrikin. Allah menolong Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, memenangkan din mereka, dan pengokohkan mereka di muka bumi, sebagai perwujudan janji Allah dalam Kitab-Nya,

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku. (QS. an-Nur [24] : 55)[10]

PENDAPAT-PENDAPAT GANJIL HIZBUT TAHRIR

Sesungguhnya pendapat-pendapat Hizbut Tahrir yang ganjil amatlah banyak sekali dan bertebaran di dalam kitab-kitab mereka, di antaranya,

1)). Hizbut Tahrir memperbolehkan berjabat tangan lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Taqiyuddin berkata dalam Nizhamul Ijtima’i fil Islam, “Seorang pria pada dasarnya boleh menjabat tangan seorang wanita, demikian pula sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat tangan seorang pria tanpa ada penghalang di antara keduanya”. Hal ini juga diperkuat dengan nusyrah sual jawab mereka no. 24/Rabi’ul Wal/1390 atau 29/5/1970, no.8/Muharram/1390 atau 16/3/1970 dan nusyrah al-ajwibah wal as’ilah tanggal 26/4/1970.

2)). Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang wajah wanita, karena menurut mereka wajah tidak termasuk aurat. Taqiyuddin berkata dalam Nizhamul Ijtima’i fil Islam, “Allah Ta’ala berfirman : ‘Katakanlah kepada mukmin laki-laki hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka.’ (QS. an-Nur [24]:30), maksudnya tentu adalah menundukkan pandangan terhadap wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan, sebab memandang wajah dan telapak tangan adalah mubah”.

3)). Hizbut Tahrir menghalalkan musik dan nyanyian (walau diiringi alat musik) sebagaimana dalam nusyrah jawab wa sual no. 9 (20/Shafar/1390 atau 26/4/1970), “Suara wanita tidak termasuk aurat dan nyanyian mubah hukumnya serta mendengarkannya mubah. Adapun hadits-hadits yang warid (datang) mengenai larangan musik adalah tidak shahih haditsnya. Yang benar adalah musik tidak haram dan hadits-hadits yang memperbolehkan musik adalah shahih”.

Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat aneh Hizbut Tahrir lainnya (Lihat al-Jama’at al-Islamiyyah hlm. 345-348).

PENUTUP

Inilah sedikit yang bisa kami paparkan tentang penyimpangan-penyimpangan Hizbut Tahrir, sebetulnya masih banyak hal-hal lain yang belum kami cantumkan karena keterbatasan tempat, semoga yang kami paparkan di atas bisa menjadikan kewaspadaan kepada kita semua tentang bahaya kelompok ini, dan sekaligus menyadarkan saudara-saudara kami yang hingga saat ini masih terperdaya dengan kelompok ini serta membuka mata mereka tentang jati diri kelompok ini. Semoga Allah selalu menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalannya para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Aamiin

Sumber: Majalah AL FURQON Edisi 4 no. 118 thn ke 11 Dzulqo’dah 1432H/Okt-Nov 2011M


[1]  Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/503-504 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahihah 203, 204, dan 1492).

[2]  “Hizbut Tahrir Mu’tazilah judud” dari Majalah Salafiyyah, Riyadh, Edisi Kedua, tahun 1417 H, hlm. 17-32.

[3]  Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah memuji Amr bin Ubaid ini dan mengatakan bahwa dia tidak memiliki penyelewengan sama sekali dalam aqidah.

[4]  Lihat bahasan “Kedudukan Akal di Dalam Islam” di dalam Majalah Al-Furqon IV/4 rubrik Manhaj.

[5]  Al-Hadits Hujjatun Binafsihi fil ‘Aqaid wal Ahkam hlm. 59. untuk pembahasan lebih rinci dalam masalah ini silakan melihat bahasan “Hadits Ahad dalam Sorotan” didalam Majalah Al Furqon VIII/Edisi Khusus rubrik Manhaj.

[6]  Mihhajus Sunnah 3/395 dan untuk bahasan yang lebih rinci tentang masalah ini silahkan melihat bahasan “Renungan Bagi Para Pemberontak” di dalam Majalah AL FURQON V/6 rubrik Manhaj

[7]  Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya 2/312 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam Irwaul Ghalil 5/33 no. 1208.

[8]  Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 3/448, Abu Dawud dalam Sunan-nya 2635, dan Tirmidzi dalam Jami-nya 1545, dan dilemahkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Dha’if Sunan Abu Dawud hlm. 202.

[9]  Majmu Fatawa 18/282 dan untuk bahasan yang lebih rinci tentang masalah ini silakan melihat bahasan “Darul Islam dan Darul Kufur” di dalam Majalah Al-Furqon IV/9 Rubrik Manhaj.

[10] Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fid Da’wah ila Allah oleh Syaikh al-Allamah Dr. Rabi’bin Hadi al-Madkhali hafidhahullah