SAUDARAKU, PUASA ITU HUKUMNYA WAJIB…

HUKUM PUASA RAMADLAN

بسم الله الرحمن الرحيم

PUASA6Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan “shaum”. Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara, nikah dan berjalan. Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus. [1]

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Shaum secara bahasa bermakna menahan diri (imsak). Sedangkan secara syar’iy (istilah) adalah menahan sesuatu yang dikhususkan pada masa yang dikhususkan dengan syarat yang khusus. Diwajibkannya puasa bulan Ramadlan itu pada tahun kedua hijriyah”. [2]

Berkata asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Alu asy-Syaikh hafizhahullah, “Shaum menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan menurut syar’iy adalah menahan diri dari makan, minum dan semua perkara yang membatalkan (puasa) yang disertai dengan niat dari sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya matahari”. [3]

Puasa Ramadlan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa) [4], berakal [5], dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak bersafar) [6] serta tidak dalam keadaan haidl dan nifas bagi wanita. [7]

Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadlan itu wajib adalah dalil Aqur’an, Sunnah bahkan kesepakatan para ulama (ijmak ulama) [8].

Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadlan dan telah menjadikannya sebagai salah satu dari 5 rukun Islam. Di antara dalil dari Alqur’an adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. [QS. Al Baqarah : 183].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhahullah, “ Diwajibkannya puasa pada bulan Ramadlan. Puasa itu akan mendidik mukmin untuk menguasai ketakwaan. Puasa itu dapat menghapus dosa-dosa sebagaimana di dalam hadits, ‘Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan dengan penuh keimanan dan semata-mata mencari pahala maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu’”. [9]

Dalil dari As Sunnah, dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله وَ إِقَامِ الصَّلاَةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ وَ حَجِّ الْبَيْتِ

“Islam dibangun di atas lima (rukun); Syahadat Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur-Rosulullah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, shaum Ramadlan dan berhaji ke Baitullah (Makkah)”. [HR al-Bukhoriy: 8, 4515, Muslim: 16, an-Nasa’iy: II/ 268, at-Turmudziy: 2609, Ahmad: II/ 143 dan Ibnu Khuzaimah: 1880. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Berkata asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, “Perkara yang paling penting sesudah sholat dan zakat adalah berpuasa Ramadlan. Dia adalah salah satu dari rukun Islam yang lima yang telah disebutkan di dalam sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ‘Islam dibangun di atas lima (rukun); Syahadat Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur-Rosulullah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, shaum Ramadlan dan berhaji ke Baitullah (Makkah)’. Maka wajib bagi seorang muslim untuk menjaga puasa dan qiyamnya dari apa yang telah diharamkan Allah atasnya dari bentuk perkataan ataupun perbuatan. Sebab maksud tujuan dari berpuasa itu adalah mentaati Allah Subhanahu, mengagungkan kehormatan-Nya, memperjuangkan jiwanya untuk menyelisihi hawa nafsunya di dalam mentaati maulanya (Allah), membiasakannya untuk bersabar dari apa yang diharamkan Allah. Maka maksud tujuan puasa itu tidak hanya semata-mata meninggalkan makan, minum dan semua pembatal-pembatalnya”. [11]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

            أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ اْلمـُحَرَّمِ وَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Seutama-utama puasa setelah puasa Ramadlan adalah puasa di bulan Allah yaitu Muharram. Seutama-utama sholat setelah sholat wajib adalah sholat malam”. [HR. Muslim: 1163, Abu Dawud: 2429, at-Turmudziy: 438, 740, Ibnu Majah: 1742, ad-Darimiy: II/ 21, Ahmad: II/ 303, 309, 342, 344, 535, Ibnu Khuzaimah: 2076 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Maka puasa yang paling utama dan paling penting adalah puasa Ramadlan lalu setelah itu puasa Muharram sebagaimana sholat wajib adalah yang paling utama dan paling penting lalu setelah itu sholat malam.

Hal ini juga dapat dilihat pula pada pertanyaan seorang Arab Badui kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Orang Badui ini datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan berambut kusut, kemudian dia berkata kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam, “Beritahukan aku mengenai puasa yang Allah wajibkan padaku”. Kemudian Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا

“(Puasa yang wajib bagimu adalah) puasa pada bulan Ramadlan, Kecuali jika engkau menghendaki untuk melakukan puasa sunnah”. [HR al-Bukhoriy: 46 dan Muslim: 11 dari Thalhal bin Ubaidullah radliyallahu anhu].

Berkata DR Abdul Azhim bin Badawiy hafizhahullah, “Ummat ini telah bersepakat akan wajibnya berpuasa Ramadlan. Bahwa puasa ini merupakan salah satu dari rukun Islam yang telah diketahui urgensinya di dalam agama. Maka orang yang mengingkari kewajibannya itu hukumnya adalah kafir murtad dari agama Islam. Maka telah tsabit/ tetap dengan hal tersebut akan kewajiban puasa dengan dasar Alqur’an, sunnah dan ijmak. Kaum muslimin telah berijmak/ bersepakat atas kufurnya orang yang mengingkari puasa”. [13]

Wajibnya puasa ini juga sudah ma’lum minad dini bi dloruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena puasa adalah bagian dari rukun Islam. [14] Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya hal ini. [15]

Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa

Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, ”Naiklah”. Lalu kukatakan, ”Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata, ”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu  aku bertanya,”Suara apa itu?” Mereka menjawab, ”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”

Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, ”Siapakah mereka itu?” Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya”. [HR an-Nasa’iy di dalam as-Sunan al-Kubra: 3286, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya: 1986, al-Hakim: I/ 430, II/ 209 dalam mustadroknya, Ibnu Hibban, al-Baihaqiy dan ath-Thabraniy. Al-Imam al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim namun tidak dikeluarkan olehnya, dan ini disepakati oleh al-Imam adz-Dzahabiy]. [16]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Aku berkata, ini adalah hukuman/ siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja sebelum tiba waktunya dalam hadits ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang tidak berpuasa sejak awal Ramadlan dan tidak pernah berpuasa sama sekali. Kita memohon keselamatan dan afiat di dunia dan akhirat kepada Allah ta’ala”.

Al-Imam adz-Dzahabiy rahimahullah sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadlan, bukan karena sakit atau udzur lainnya, maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, penarik upeti (dengan paksa), pecandu miras (minuman keras), bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang yang terjangkiti penyakit zindiq (kemunafikan) dan penyimpangan”. [17]

Demikian penjelasan akan kewajiban berpuasa Ramadlan sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam kitab-Nya dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam sunnahnya. Begitupun para ulama sunnah dan kaum muslimin telah berijmak/ bersepakat akan wajibnya puasa Ramadlan.

Maka siapapun diantara kaum muslimin ada yang meninggalkan puasa Ramadlan dengan sengaja sedangkan ia telah mengetahui kewajibannya maka ia telah kufur dan murtad dari agama. Orang tersebut berhak mendapatkan adzab Allah kelak di hari kiamat dengan cara digantung pada urat tumit mereka dan mulut mereka akan dirobek sehingga mengucurkan darah. Al-Iyaadzu billah.

Oleh sebab itu, sebagai muslim kita wajib menjaga kewajiban berpuasa dengan sebaik-baiknya dan melatih anak-anak kita sejak usia dini untuk membiasakannya agar mereka menjadi terbiasa dalam mengerjakannya ketika mereka telah mencapai usia baligh.

Mudah-mudahan pembahasan singkat ini memberi faidah untukku, keluarga, kerabat dan shahabatku serta kaum muslimin seluruhnya.

Wallahu a’lam bish showab.

 [1] Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah: XXVIII/ 7.

[2] Nail al-Awthar: IV/ 221

[3] Kitab al-Fiqh al-Muyassar fi dlow’i al-Kitab waas-Sunnah taqdim Ma’aliy asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh halaman 151, cetakan Dar A’lam as-Sunnah, Cetakan Pertama, tahun 2009M/ 1430H.

[4] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 8: 188-190).

Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah: XXVIII/ 20)

Al-Imam al-Bukhoriy membawakan pula dalam kitab Shahihnya Bab “Puasanya anak kecil“. Lantas beliau membawakan hadits dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz. Ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus seseorang pada pagi hari di hari Asyura (10 Muharram) ke salah satu perkampungan Anshor, lantas beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak berpuasa di pagi hari, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa hari ini dengan berpuasa. Barangsiapa yang berpuasa di pagi harinya, hendaklah ia tetap berpuasa”. Ar-Rubayyi’ berkata, “Kami berpuasa setelah itu. Dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan pada mereka mainan dari bulu. Jika saat puasa mereka ingin makan, maka kami berikan pada mereka mainan tersebut. Akhirnya mereka terus terhibur sehingga mereka menjalankan puasa hingga waktu berbuka”. [HR al-Bukhoriy: 1960 dan Muslim: 1136. Lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 615]. Hadits ini menunjukkan bahwa hendaklah anak-anak dididik puasa sejak mereka kuat. Jika mereka ‘merengek’ ingin berbuka padahal belum waktunya, maka hiburlah mereka dengan mainan sehingga mereka terbuai. Akhirnya mereka nantinya bisa menjalankan puasa hingga waktu Maghrib.

[5] Bagaimana dengan orang yang pingsan?

Dijelaskan oleh Muhammad al-Hishni bahwa jika hilang kesadaran dalam keseluruhan hari (dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelam matahari, -pen), maka tidak sah puasanya. Jika tidak, yaitu masih sadar di sebagian waktu siang, puasanya sah. Demikian menurut pendapat terkuat dari perselisihan kuat yang terdapat pada perkataan Imam Syafi’i. Lihat pembahasannya di Kifayah al-Akhyar, halaman 251 dan Hasyiyah al-Baijuriy: I/ 561.

Bagaimana dengan orang yang tidur seharian, apakah puasanya sah?

Ada ulama yang mengatakan tidak sah sebagaimana perihal pingsan di atas. Namun yang shahih dari pendapat madzhab Syafi’iy, tidur seharian tersebut tidak merusak puasa karena orang yang tidur masih termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah. Lihat pembahasan Kifayah al-Akhyar, halaman 251.

[6] Lihat al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah: XXVIII/ 20 dan Shahih Fiqh Sunnah: II/ 88. Ada ulama menambahkan syarat wujub shoum (syarat wajib puasa) yaitu mengetahui akan wajibnya puasa.

[7] al-Fiqh al-Muyassar fi dlow’i al-Kitab wa as-Sunnah taqdim Ma’aliy asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh halaman 153.

 [8] Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah: XXVIII/ 7.

[9] Aysar at-Tafasir: I/ 161 susunan asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam cetakan pertama tahun 1994M/ 1415H.

[10] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 5, Mukhtashor Shahih Muslim: 62, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4628, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2104, Irwa’ al-Ghalil: 781, Shahih at-Targhib waat-Tarhib: 347 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2840.

[11] Arkan al-Islam halaman 237-238 oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Dar ad-Da’iy, Cetakan Pertama tahun 1420H.

[12] Shahih Sunan at-Turmudziy: 360, 591, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1416, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1121, Irwa’ al-Ghalil: 951 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 611, 1005, 1006.

[13] Al-Wajiz fi fiqh as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz halaman 231, susunan DR Abdul Azhim bin Badawiy, Penerbit Dar Ibnu Rajab tahun 2009M/ 1430H dan juga kitab al-Fiqh al-Muyassar fi dlow’i al-Kitab waas-Sunnah taqdim Ma’aliy asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh halaman 152.

[14] Ad-Dlaror al-Mudliyyah, halaman 263.

[15] Shahih Fiqh Sunnah: II/  89, 118-127.

[16] Penulis kitab Shifat Shaum Nabi (halaman 25) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat juga Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3951 (VIII/III/1669) dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 2393.

[17] Kitab al-Kaba’ir,di dalam dosa besar kesepuluh halaman 53, susunan al-Imam adz-Dzahabiy, cetakan Dar al-Hadits Cetakan pertama tahun1992M/ 1414H.

SAUDARAKU, MARILAH KITA BERPUASA 3 HARI SETIAP BULAN…

PUASA TIGA HARI SETIAP BULAN DAN PUASA AYYAMUL BIDL

بسم الله الرحمن الرحيم

AYYAMUL BIDL3

Sebagai umat Islam, kita disunnahkan untuk berpuasa dalam sebulan minimal tiga kali. Dan yang lebih utama adalah melakukan puasa pada Ayyamul Bidl, yaitu pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan-bulan Qomariyah (Hijriyah).

Puasa tersebut disebut ayyamul bidl (hari putih) karena pada malam-malam tersebut bersinar bulan purnama dengan sinar rembulannya yang putih. Maka dia putih bersinar di siang hari dengan cahaya mentari dan di malam hari dengan sinar rembulan. Yakni tanggal 13, 14 dan 15 (di bulan-bulan qomariyah/ hijriyah) menurut para pentahqiq. [1]

Dalil-dalil haditsnya

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

“Kekasihku (yaitu Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasihat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati, 1). Berpuasa tiga hari setiap bulannya, 2). Mengerjakan sholat Dluha dan 3). Tidur setelah sholat witir”. [HR al-Bukhoriy: 1178, Muslim: 721, Abu Dawud: 1432, at-Turmudziy: 760, an-Nasa’iy: III/ 229, IV/ 218, Ahmad: II/ 459 dan ad-Darimiy: II/ 19. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

Dari Abu ad-Darda’ radliyallahu anhu berkata,

أَوْصَانِى حَبِيْبِى بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ صَلَاةِ الضُّحَى وَ بِأَنْ لَا أَنَامَ حَتَّى أُوْتِرَ

“Kekasihku mewasiatkan tiga hal kepadaku yang aku tidak akan meninggalkannya selama aku masih hidup, 1). Berpuasa selama tiga hari setiap bulannya, 2). Mengerjakan sholat Dluha dan 3). Aku tidak akan tidur sehingga aku melakukan sholat witir”. [HR Muslim: 722 dan Abu Dawud: 1433. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun”. [HR al-Bukhoriy: 1979 dan Muslim: 1159].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhahullah, “Berpuasa sepanjang masa itu hukumnya haram. Disukai untuk berpuasa selama tiga hari setiap bulan. Berpuasa tiga hari setiap bulan itu seperti berpuasa sepanjang masa, hal tersebut karena adanya pelipat gandaan. Sebab satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali sebagaimana telah berlalu (penjelasannya)”. [4]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “(Nabi shallallahu alaihi wa sallam) mewasiatkan mereka dengan puasa selama tiga hari setiap bulan. Beliau bersabda kepada Abdullah bin Amr bin al-Ash, ‘Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun’. Yaitu tiga hari dan satu kebaikan dibalas dengan sepuluh yang semisalnya, yang menjadi 30 hari maka hal itu menjadi berpuasa sepanjang masa”. [5]

Dari Abu Qotadah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

ثَلاَثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ رَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلُّهُ

“Puasa tiga hari setiap bulan dan berpuasa Ramadlan sampai Ramadlan berikutnya itu sama seperti berpuasa sepanjang masa”. [HR Muslim: 1162, Abu Dawud: 2425 dan an-Nasa’iy: IV/ 208-209. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Dari Qurrah bin Iyas radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلُّهُ وَ إِفْطَارُهُ

“Puasa selama tiga hari di setiap bulan sama seperti berpuasa sepanjang masa dan berbukanya”. [HR Ahmad: III/ 435, 436, V/ 34, al-Bazzar dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

صَوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ وَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ يُذْهِبَنَّ وَحَرَ الصُّدُوْرِ

“Puasa pada bulan kesabaran (yaitu Ramadlan) dan puasa selama tiga hari setiap bulan itu dapat menghilangkan kotoran (kedengkian atau waswasnya) hati”. [HR al-Bazzar dan Ahmad: V/ 78. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Dari Abu Dzarr radliyallah anhu berkata, telah bersabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ فَأَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيْقَ ذَلِكَ فِى كِتَابِهِ ((مَنْ جَاءَ بِاْلحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Barangsiapa yang berpuasa selama tiga hari maka berarti telah berpuasa sepanjang masa. Lalu Allah ta’ala menurunkan (ayat) untuk membenarkan hal tersebut di dalam kitab-Nya ((Barangsiapa yang datang membawa satu kebaikan maka ia akan mendapat sepuluh kali lipat. QS al-An’am/ 6: 160))”. [HR Ahmad: V/ 145, an-Nasa’iy: IV/ 219, at-Turmudziy: 762 dan Ibnu Majah: 1708. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Dari Abu Dzarr, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah)”. [HR at-Turmudziy: 761, an-Nasa’iy: IV/ 222-223, Ahmad: V/ 162, 177, Ibnu Hibban, al-Baihaqiy dan ath-Thayalisiy. Abu Isa at-Turmudziy mengatakan bahwa haditsnya hasan. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Dari Qotadah bin Milhan al-Qo’isiy radliyallahu anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ أَيَّامِ اْلبِيْضِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ

“Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidl yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah)”. Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidl itu seperti puasa setahun”. [HR Abu Dawud: 2449 dan an-Nasa’iy: IV/ 224-225. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [11]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhahullah,

“Telah berlalu penjelasan tentang bolehnya berpuasa tiga hari setiap bulan tanpa pengkhususan. Dan hadits-hadits ini menjelaskan bahwa puasa (ayyamul) bidl sebaik-baik hari dalam bulan dan disunnahkan untuk berpuasa padanya.

Ayyamul bidl adalah hari-hari pada malam yang terang putih bersinar karena keberadaannya rembulan sepanjang malam.

Ayyamul bidl itu adalah tanggal 13, 14 dan 15 (setiap bulan qomariyah/ hijriyah).

Terdapat penjelasan akan kelemah lembutan Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya, rasa kasih sayangnya kepada mereka, membimbing mereka kepada sesuatu yang membawa kepada kemashlahatan dan memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu yang mereka sanggupi secara kontinyu”. [12]

Demikian beberapa dalil hadits yang menganjurkan umat Islam untuk berpuasa tiga hari setiap bula-bulan hijriyah, dan khususnya pada ayyamul bidl yaitu pertengahan bulan ketika rembulan bersinar putih cemerlang karena malam purnama, yaitu tanggal 13, 14 dan 15.

Namun puasa ayyamul bidl itu dikecualikan untuk dikerjakan pada tanggal 13 Dzul hijjah sebab tanggal tersebut merupakan bagian dari hari tasyriq. Berpuasa pada hari tersebut diharamkan.

Sebagaimana telah diketahui bahwa di antara hari yang terlarang untuk puasa adalah hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah).

Dalam hadits disebutkan, dari Nubaisyah al-Hudzaliy berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum”. [HR. Muslim: 1141 dan Ahmad: V/ 75].

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ

“Hari-hari Mina adalah hari-hari makan dan minum”. [HR Ibnu Majah: 1719. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [13]

Dari Bisyr bin Syuhaim, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah berkhuthbah pada hari-hari tasyriq lalu bersabda,

لَا يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ وَ إِنَّ هَذِهِ اْلأَيَّامُ أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ

“Bahwasanya tidak ada yang masuk ke dalam surga kecuali jiwa yang muslimah dan sesungguhnya hari-hari ini adalah hari makan dan minum”. [HR Ibnu Majah: 1720. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

Dari Ka’b bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya ia menceritakan bahwa Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengutusnya dan juga Aus bin al-Hadatsan pada hari-hari tasyriq. Lalu beliau menyeru,

أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَ أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ

“Bahwasanya tidak ada yang masuk ke dalam surga kecuali orang mukmin dan hari-hari Mina itu adalah hari-hari makan dan minum”. [HR Muslim: 1142, Ahmad: III/ 460 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil tidak boleh sama sekali berpuasa pada hari tasyriq”. [16]

Beliau juga menjelaskan, “Hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Iedul Adl-ha. Hari tasyriq disebut demikian karena pada hari itu kaum muslimin menyajikan kurbannya dan ada yang menjemurnya di terik matahari. Dalam hadits disebutkan dianjurkannya memperbanyak dzikir di antaranya takbir pada hari-hari tasyriq”. [17]

Iedul adl-ha adalah tanggal 10 Dzul hijjah jadi 3 hari tasyriqnya adalah tanggal 11, 12 dan 13 Dzul hijjah. Maka tanggal 13 Dzul hijjah meskipun termasuk ayyamul bidl maka diharamkan berpuasa padanya karena termasuk hari tasyriq.

            Wallahu a’lam bish showab. Semoga bermanfaat untukku, keluarga dan kerabatku serta shahabatku dan semua kaum muslimin.

[1] Bahjah an-Nazhirin: II/ 389.

[2] Shahih Sunan Abu Dawud: 1269, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2267, Shahih Sunan at-Turmudziy: 607, Irwa’ al-Ghalil: 946 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1017.

[3] Shahih Sunan Abu Dawud: 1270 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1018.

[4] Bahjah an-Nazhirin: II/ 390.

[5] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 510.

[6] Mukhtashor Shahih Muslim: 620, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2250, Shahih Sunan Abu Dawud: 2119, Irwa’ al-Ghalil: 946, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3042 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1020.

[7] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3848 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1021.

[8] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6324, Irwa’ al-Ghalil: 947 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1022.

[9] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2267, Shahih Sunan at-Turmudziy: 608, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1386 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1025.

[10] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2279, Shahih Sunan at-Turmudziy: 609, Irwa’ al-Ghalil: 947, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7817, Misykah al-Mashabih: 2057 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1028.

[11] Shahih Sunan Abu Dawud: 2139 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1029.

[12] Bahjah an-Nazhirin: II/ 391.

[13] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1396, Irwa al-Ghalil: IV/ 129 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1282.

[14] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1397 dan Irwa’ al-Ghalil: IV/ 128-129.

[15] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2424 dan Irwa’ al-Ghalil: 963.

[16] Syar-h Shahih Muslim: VIII/ 18.

[17] Syar-h Shahih Muslim:VIII/ 18.

By Abu Ubaidullah Alfaruq Dikirimkan di SHAUM, SUNNAH

SAUDARAKU, MARI KITA PUASA 6 HARI DI BULAN SYAWWAL..!!!

KEUTAMAAN PUASA SUNNAH 6 HARI DI BULAN SYAWWAL

بسم الله الرحمن الرحيم

SYAWAL1Dari Abu Ayyub al-Anshariy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadlan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh”. [HR Muslim: 1164, Abu Dawud: 2433, at-Turmudziy: 759, Ibnu Majah: 1716, Ahmad: V/ 417, 419, ath-Thayalisiy, Ibnu Abi Syaibah dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

Dari Tsauban maulanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ اْلفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِاْلحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Barangsiapa yang berpuasa 6 hari setelah iedul fithri maka sempurnalah setahun. (Barangsiapa yang datang membawa satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala 10 kalinya)”. [HR Ibnu Majah: 1715. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

Dan juga an-Nasa’iy dengan lafazh,

جَعَلَ اللهُ اْلحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَشَهْرٌ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَ صِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ اْلفِطْرِ تَمَامُ السَّنَةِ

“Allah telah menjadikan satu kebaikan itu sepuluh kalinya. Maka sebulan itu menjadi sepuluh bulan dan puasa enam haru setelah iedul fithri itu menjadi genap setahun”. [Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Ibnu Khuzaimah: 2114 dengan lafazh,

صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَ صِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ

“Puasa bulan Ramadlan itu sebanding dengan puasa 10 bulan sedangkan puasa enam hari itu sebanding dengan puasa 2 bulan. Maka itulah puasa setahun”. [Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Dan Ibnu Hibban dengan lafazhnya,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَقَدْ صَامَ السَّنَةَ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan dan 6 hari di bulan Syawwal maka sungguh-sungguh ia telah berpuasa selama setahun”.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan dan diiringi puasa 6 hari di bulan Syawwal maka seolah-olah ia berpuasa selama setahun”. [HR al-Bazzar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

Hadits-hadits yang agung ini menunjukkan akan keutamaan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, yang ini termasuk karunia agung dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, dengan kemudahan mendapatkan pahala puasa setahun penuh tanpa adanya kesulitan yang berarti.[6]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhahullah,

Pahala perbuatan baik itu akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali, karena puasa Ramadlan ditambah puasa enam hari di bulan Syawwal menjadi tiga puluh enam hari, pahalanya dilipat gandakan sepuluh kali menjadi tiga ratus enam puluh hari, yaitu sama dengan satu tahun penuh (tahun Hijriyah), bagi yang melaksanakannya.

Disunnahkannya puasa Syawwal selama enam hari.

Diperbolehkan puasa pada hari-hari tersebut secara berturut-turut atau terpisah.

Sebahagian ulama salaf tidak menyukai disambungnya puasa Syawwal dengan Ramadlan agar orang-orang jahil tidak menyangka bahwa puasa Syawwal itu penyempurna puasa Ramadlan. Sungguh-sungguh telah terjadi apa yang dikhawatirkan disebagian negeri non Arab ketika mereka menunda iedul fithri sampai setelah 6 hari di bulan Syawwal. Na’udzu billah dari perilaku bid’ah tersebut. [7]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Para ulama menafsirkannya bahwa satu kebaikan itu akan dibalas 10 kalinya dan Ramadlan itu dikerjakan selama sebulan maka menjadi 10 bulan. Sedangkan Puasa Syawwal itu 6 hari menjadi 60 hari yakni 2 bulan. Berdasarkan hal ini manusia dianjurkan untuk menyempurnakan puasa Ramadlan dengan puasa 6 hari di bulan Syawwal.

Namun hendaknya diketahui, bahwa tidak ada puasa (Syawwal) sebelum qodlo (membayar hutang puasa Ramadlan). Yaitu seandainya ada seseorang memiliki hutang sehari puasa Ramadlan lalu ia berpuasa 6 hari (Syawwal) maka ia tidak akan memperoleh pahala tersebut. Sebab Rosul shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadlan…”. Barangsiapa yang masih memiliki hutang sehari dari Ramadlan maka belumlah ia berpuasa padanya tapi hanya berpuasa beberapa hari saja padanya. Jika ia tidak berpuasa sehari maka ia berarti berpuasa selama 29 hari. Jika ia tidak berpuasa 2 hari maka ia hanya berpuasa 28 hari, ia tidak berpuasa selama sebulan. Rosul shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan,…”. Maka jika engkau berpuasa Ramadlan dan juga berpuasa selama 6 hari di bulan Syawwal maka seolah-olah engkau berpuasa selama setahun penuh.

Sama saja engkau berpuasanya pada hari kedua dari hari raya Iedul fithri, sebagiannya mengikuti yang lainnya. Atau engkau berpuasa sesudah dua atau tiga hari, atau engkau berpuasa secara berturut-turut atau terpisah. Perkara dalam masalah ini sangat luas. Tetapi jika engkau memudah-mudahkan sehingga keluar dari bulan Syawwal lalu engkau berpuasa maka perbuatan ini tidak akan mendapatkan ganjaran. Ya Allah, kecuali orang yang memiliki udzur seperti orang yang sedang sakit, perempuan yang nifas/ haidl atau orang yang sedang safar yang ia tidak dapat berpuasa di bulan Syawwal dan mengqodlonya di bulan Dzulqoidah, maka hal tersebut tidaklah mengapa”. [8]

Jadi keutamaan ini adalah bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadlan sebulan penuh dan telah mengqadla/membayar (utang puasa ramadlan) jika ada, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Barangsiapa yang (telah) berpuasa (di bulan) Ramadlan…”, maka bagi yang mempunyai utang puasa Ramadlan diharuskan menunaikan/membayar utang puasanya dulu, kemudian baru berpuasa Syawwal. [9]

Meskipun demikian, barangsiapa yang berpuasa Syawwal sebelum membayar utang puasa Ramadlan, maka puasanya sah, tinggal kewajibannya membayar utang puasa Ramadlan. [10]

Lebih utama jika puasa enam hari ini dilakukan berturut-turut, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, meskipun dibolehkan juga tidak berturut-turut.

Lebih utama jika puasa ini dilakukan segera setelah hari raya Iedlul Fithri, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, menunjukkan kecintaan kepada ibadah puasa serta tidak bosan mengerjakannya, dan supaya nantinya tidak timbul halangan untuk mengerjakannya jika ditunda. [11]

Melakukan puasa Syawwal menunjukkan kecintaan seorang muslim kepada ibadah puasa dan bahwa ibadah ini tidak memberatkan dan membosankan, dan ini merupakan pertanda kesempurnaan imannya. [12]

Ibadah-ibadah sunnah merupakan penyempurna kekurangan ibadah-ibadah yang wajib, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih. [13]

Tanda diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah, adalah dengan giat melakukan amal ibadah lain setelahnya. [14]

Demikian beberapa dalil hadits dan penjelasannya tentang keutamaan shaum atau puasa sunnah 6 hari di bulan Syawwal, yang dikerjakan setelah menunaikan puasa Ramadlan secara berturut-turut atau terpisah. Mudah-mudahan bermanfaat untukku, keluarga dan kerabatku serta kaum muslimin seluruhnya.

Wallahu a’alam bish showab.

[1] Shahih Sunan Abu Dawud: 2125, Shahih Sunan at-Turmudziy: 606, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1393, Irwa’ al-Ghalil: 950, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6327 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 996.

[2] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1392, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6328 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 997.

[3] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3094.

[4] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3851.

[5] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 999.

[6] Ahadits Ash-Shiyam, Ahkam wa Adab halaman 157.

[7] Bahjah an-Nazhirin: II/385 oleh asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhahullah, Dar Ibnu al-Jauziy.

[8] Syarh Riyadl ash-Shalihin: III/ 506-507 oleh asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah, Dar al-Aqiidah.

[9] Pendapat ini dikuatkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam asy-Syarhu al-Mumti’ (III/100), dan juga asy-Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili dan para ulama lainnya.

[10] Lihat keterangan asy-Syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitab Ahadits ash-Shiyam halaman 159.

[11] Kitab Ahadits ash-Shiyam, Ahkam wa Adab halaman 158.

[12] Kitab Ahadits ash-Shiyam, Ahkam wa Adab halaman 157.

[13] Kitab Ahadits ash-Shiyam, Ahkam wa Adab halaman 158.

[14] Kitab Ahadits ash-Shiyam, Ahkam wa Adab halaman 157.

By Abu Ubaidullah Alfaruq Dikirimkan di SHAUM, SUNNAH

SAUDARAKU, DI DALAM PUASA ITU ADA KEMUDAHAN…

 HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN KETIKA BERPUASA

بسم الله الرحمن الرحيم

By Abu Ubaidullah Alfaruq

            PUASA5Bagi seorang hamba yang shalih dan taat serta memahami alqur’an, hadits-hadits shahih serta penjelasan para ulama salafush shalih yang berjalan di atas manhaj nabi Shallallahu alaihi wa sallam, niscaya ia mengerti dan tidak ragu sedikitpun bahwa Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan sama sekali bagi mereka. Pembuat syariat ini telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa dan memaafkannya jika melakukan sesuatu hal lantaran kesulitan yang menimpanya. Beberapa hal yang dimudahkan dan dibolehkan bagi orang yang berpuasa, di antaranya yaitu,

1). Gosok gigi di siang hari ketika puasa.

Bersiwak atau gosok gigi adalah merupakan salah satu dari sunah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang banyak diabaikan oleh kebanyakan umatnya. Padahal di dalam siwak ini terdapat banyak faidah dan kebaikan. Oleh sebab itu Beliau sangat menganjurkannya, bahkan ketika sedang berpuasa.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتىِ لَأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ أَوْ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ سِوَاكٌ وَ لَأَخَّرْتُ عِشَاءَ اْلآخِرَةِ إِلىَ ثُلُثِ اللَّيْلِ

“Andaikan aku tidak menyusahkan umatku niscaya aku perintahkan mereka berwudlu setiap kali sholat, bersiwak setiap kali wudlu dan menangguhkan sholat isya terakhir hingga mencapai sepertiga malam”. [HR Ahmad: II/ 259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [1]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, ”Terdapat penganjuran bersiwak dan keutamaan di dalamnya. Yang telah mencapai derajat wajib di dalam pahala (ganjaran)”. [2]

Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma berkata,

بِتُّ لَيْلَةً عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ أَتَى طَهُوْرَهُ فَأَخَذَ سِوَاكَهُ فَاسْتَاكَ ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ اْلآيَاتِ ((إِنَّ فِى خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَ اْلأَرْضِ وَ اخْتَلَافِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ لَأَيَاتٍ لِّأُولِى اْلأَلْبَابِ)) حَتىَّ قَارَبَ أَنْ يَخْتِمَ السُّوْرَةَ أَوْ خَتَمَهَا ثُمَّ تَوَضَّأَ فَأَتَى مُصَلاَّهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَجَعَ إِلىَ فِرَاشِهِ فَنَامَمَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ فَفَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ رَجَعَ إِلىَ فِرَاشِهِ فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ فَفَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ كُلُّ ذَلِكَ يَسْتَاكُ وَ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ

“Aku pernah bermalam suatu malam di sisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ketika Beliau terbangun dari tidurnya, Beliau mendatangi air wudlunya lalu mengambil siwaknya dan bersiwak kemudian membaca ayat ini ((Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta perselisihan siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang memiliki pikiran. Q.S. Ali Imran/3: 190)) sehingga mendekati selesainya surat atau bahkan sampai selesai. Lalu Beliau berwudlu kemudian mendatangi tempat sholatnya lalu sholat dua rakaat. Kemudian Beliau kembali ke tempat tidurnya lalu tidur apa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian bangun kembali lalu berbuat seperti itu lagi kemudian kembali ke tempat tidurnya lalu tidur. Kemudian bangun kembali lalu berbuat seperti itu lagi, semuanya itu bersiwak dan sholat dua rakaat kemudian sholat witir”. [Telah mengeluarkan hadits ini Abu Dawud: 58 dan Muslim: 256. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata,

كُنَّا نُعِدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ فَيَبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَّأُ وَ يُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ  يَجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فىِ الثَّامِنَةِ

“Kami yang selalu mempersiapkan untuk Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam siwak dan air wudlunya. Lalu Allah Subhanahu wa ta’ala membangunkannya apa yang Allah hendak membangunkannya pada waktu malam. Lalu Beliau bersiwak, wudlu dan sholat sembilan rakaat, tidak duduk padanya kecuali pada rakaat ke delapan”. [HR Muslim: 746]. [4]

Berkata asy-Syaikh Sallim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Adanya penganjuran bersiwak sebelum wudlu, sebelum sholat dan ketika bangun dari tidur”. [5]

Dari Aisyah radliyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Siwak itu pembersih bagi mulut dan diridloi oleh Rabb”. [HR an-Nasa’iy: I/ 10, Ahmad: VI/ 47, 62, 124, 238, ad-Darimiy: I/174 dan Ibnu Khuzaimah: 135. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [6]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Bersiwak adalah penyebab mendapatkan ridlo Rabb Azza wa Jalla. Siwak adalah alat untuk membersihkan mulut. Allah Subhanahu wa ta’ala menyukai kebersihan dan mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri, oleh karena itulah Allah telah mensyariatkan sesuatu untuk mereka yang dapat membantu mereka untuk mendapatkan ridlo-Nya”. [7]

Catatan: Bolehkah menggunakan pasta gigi?

Asy-Syaikh Ibn Baz rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menggunakan pasta gigi. Beliau menjawab, “Tidak masalah, selama dijaga agar tidak tertelan sedikitpun”. [Fatwa asy-Syaikh Ibn Baz: IV/247].

2. Keramas untuk mendinginkan badan.

Dari sebahagian shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata,

لَقَدْ رَاَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِاْلعَرَجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ اْلمـَاءَ وَ هُوَ صَائِمٌ مِنَ اْلعَطَشِ أَوْ مِنَ اْلحَرِّ

“Sungguh-sungguh aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di al-Araj menyiramkan air ke atas kepalanya padahal Beliau sedang puasa, karena kehausan atau udara panas”. [HR. Abu Dawud: 2365 dan Ahmad: V/ 376. 380, 408, 430. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, sebagaimana di dalam Shahih Sunan Abu Dawud: 2072].

و بَلَّ ابْنُ عُمَرَ رضى الله عنهما ثَوْبًا  فَأَلْقَى عَلَيْهِ وَهُوَ صَائِمٌ

Ibnu Umar radliyallahu anhuma pernah membasahi pakaiannya dan beliau letakkan di atas kepalanya ketika sedang puasa. [Atsar riwayat al-Bukhoriy: IV/ 153 secara muallaq].

Begitu pula, asy-Sya’biy pernah masuk ke dalam kamar mandi (untuk mandi) sedangkan ia dalam keadaan berpuasa.

Semakna dengan hadis ini adalah orang yang berenang atau berendam di air ketika sedang berpuasa.

3.  Bercelak dan menggunakan obat tetes mata.

Semua hal tersebut tidaklah membatalkan puasa, baik barang-barang tersebut terasa olehnya ataupun tidak. Itu pula yang di-tarjih oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam risalahnya yang berjudul “Haqiqah ash-Shiyam”. Begitu pula muridnya, al-Imam Ibu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah di dalam kitabnya, “Zad al-Ma’ad”.

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata,

اكْتَحَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ صَائِمٌ

“Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah bercelak sedangkan ketika itu Beliau dalam keadaan berpuasa”. [HR Ibnu Majah: 1678. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Al-Imam al-Bukhoriy membawakan di dalam shahihnya,

و لم ير أنس و الحسن و إبراهيم بالكحل للصائم بأساً

Anas bin Malik, Hasan Al-Bashriy, dan Ibrahim (an-Nakho’iy) berpendapat bolehnya menggunakan celak. [Shahih al-Bukhoriy: IV/ 153 dan Abu Dawud: 2379. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [9]

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu, “Bahwasanya ia pernah bercelak dalam keadaan berpuasa”. [Atsar riwayat Abu Dawud: 2378. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Mauquf]. [10]

Pernah ditanyakan kepada asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang mengatakan bahwa celak dan obat tetes mata itu tidak membatalkan puasa, baik seseorang itu mendapati rasanya di tenggorokan ataupun tidak?”.

Beliau menjawab, “Sayapun berpendapat demikian. Akan tetapi, jika orang itu mendapati rasanya di tenggorokan, hendaklah ia segera mengeluarkannya (meludahkannya). Tidak boleh baginya menelan cairan tersebut”.

Beliau ditanya lagi, “Apakah puasanya itu batal jika ia menelannya?”. Maka Beliau menjawab, “Ya”. [11]

4.  Suntikan selain infus.

Terkadang sering dijumpai, ada seseorang yang membutuhkan bantuan kesehatan untuk pengobatan dengan segera. Lalu bantuan pengobatan tersebut dalam bentuk menyuntikkan obat ke dalam tubuh pasiennya, apakah suntikan itu di lengan, paha dan selainnya. Maka perbuatan tersebut dibolehkan, karena suntikan itu bukan makanan atau minuman yang membatalkan, namun hanya obat yang ia butuhkan.

Karena pada asalnya, suatu perbuatan itu tidak membatalkan puasa kecuali jika ada dalilnya. Dan tidak diketahui adanya dalil tentang menggunakan suntikan. Maka barangsiapa melarang atau membencinya maka wajib mendatangkan dalil. Karena haram dan makruh adalah hukum syariat yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan dalil. Allahu A’lam

Berkata asy-Syaikh Muhammad bi Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Suntikan yang digunakan untuk pengobatan itu ada dua jenis. Yang pertama, yang dipakai untuk mengkonsumsi makanan dan sebagai ganti dari makanan dan minuman. Suntikan yang berfungsi sebagai ganti dari makan dan minum dihukumi dalam penggunaannya sebagai makan dan minum. Yang seperti ini membatalkan puasa. Karena dalam nash syar’iy, apabila didapati satu makna yang dikandung oleh nash tersebut dalam satu masalah, maka akan dihukumi masalah tersebut dengan hukum yang terkandung dalam nash syar’iy tersebut. Yang kedua, yaitu alat suntik yang tidak dimaksudkan sebagai ganti makanan dan minuman. Maka yang seperti ini tidak membatalkan puasa. Karena, hal ini tidak terkandungdalam nash syar’iy, baik secara lafazh maupun maknanya. Dan penggunaan suntikan semacam ini bukanlah bentuk makan dan minum, juga secara makna tidak mengandung makanan dan minuman. Dan hukum asalnya adalah puasa tersebut sah sampai didapati dengan benar sesuatu yang merusak puasa berdasarkan dalil syar’iy”. [12]

Ditanyakan kepada asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah mengenai hukum suntikan. Maka Beliau menjelaskan bahwa menurut Beliau hal itu boleh selama tidak mengandung zat makanan. Sebaliknya, puasanya batal jika suntikan itu mengandung zat makanan, dari manapun dan dengan cara apapun disuntikkan ke dalam tubuh. [13]

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa hal itupun tidak membatalkan puasa. [Majmu’ Al Fatawa: XXV/ 234].

5. Menelan ludah.

            Pernah ditanyakan kepada asy-Syaikh Bin Baz, Apa hukum menelan ludah bagi orang yang sedang berpuasa?”.

            Beliau menjawab, “Ludah tidak merusak puasa orang yang sedang berpuasa, sehingga apabila ludah itu tertelan maka tidak mengapa. Dan apabila dikeluarkan (diludahkan)pun tidak mengapa. Adapun dahak yang keluar dari dada atau hidung, yakni berupa cairan kental yang keluar dari dada dan terkadang keluar dari kepala, maka yang seperti ini hendaknya diludahkan baik oleh laki-laki maupun perempuan dan tidak menelannya. Adapun ludah yang biasa, maka tidak mengapa dan tidak merusak puasanya, hukum ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan”. [14]

Berdasarkan penjelasan di atas maka bagi orang yang sedang berpuasa, tidak mengapa menelan ludahnya sendiri karena suatu keadaan. Begitu pula, tidak mengapa jika ia tanpa sengaja menelan lalat, nyamuk atau serangga lainnya, karena hal tersebut bukan kemauannya tanpa disengaja. Sebagaimana telah dijelaskan mengenai orang yang makan atau minum dalam keadaan lupa dan tidak sengaja.

6. Mencicipi makanan.

Begitu pula, bagi kaum perempuan yang hendak mencicipi makanan ketika memasak masakan maka tidak mengapa mencicipinya dan tidak membatalkan puasanya.

Ibnu Abbas radliyallahu anhuma mengatakan,

لَا بَأْسَ أَنْ يَتَطَعَّمَ اْلقِدْرَ أَوِ الشَّيْءَ

“Tidak mengapa (orang yang berpuasa itu) merasakan makanan yang di periuk atau sesuatu lainnya”. [HR. Al-Bukhoriy:  IV/ 153 secara muallaq].

Di dalam riwayat lain di dalam al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata,

لَا بَأسَ أَن يَذُوق الخَلَّ أو الشَيءَ مَا لَـم يَدخُل حَلقَه وهو صائم

Orang yang puasa boleh mencicipi cuka atau makanan lainnya selama tidak masuk ke kerongkongannya. [Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah].

Begitu pula berkata Ibnu Abbas radliyallahu anhuma,

لَا بَأْسَ أَنْ يَتَطَاعَمَ الصَّائِمُ الْعَسَلَ وَ السَمْنَ وَ نَحْوَهُ يَمُجُّهُ

“Tidak mengapa orang yang berpuasa itu merasakan madu, minyak samin (mentega) dan semisalnya dan kemudian meludahkannya kembali”. [Atsar riwayat al-Baihaqiy dengan sanad Hasan]. [15]

7.  Mengambil darah untuk tujuan analisis atau donor darah, jika tidak dikhawatirkan melemahkan badan.

Bagi yang menjalankan ibadah puasa terkadang harus mengalami suatu perkara yang tidak dapat dihindarkannya. Misalnya, ia harus memeriksakan darahnya untuk diperiksa oleh dokter karena suatu penyakit yang dideritanya, maka hal itu mengharuskannya untuk diambil darahnya dengan jarum suntik untuk mengambil darahnya tersebut. Atau, jika ada keluarga, kerabat atau shahabatnya yang sakit karena keluarnya darah yang banyak sekali, lalu orang tersebut butuh bantuan darah darinya. Apalagi golongan darahnya dengan darah orang yang sakit tersebut sesuai, maka tidak mengapa ia mengeluarkan darahnya dengan cara mendonorkannya kepada orang tersebut.

Dibolehkan mengambil darah untuk tujuan analisis penyakit atau kesehatan atau juga untuk donor darah, jika tidak dikhawatirkan membuat badan lemah. Jika pendonor khawatir lemas maka sebaiknya tidak donor di siang hari, kecuali karena darurat.

Dari Tsabit al-Bunaniy, dari Anas bin Malik radliyallahu anhu, bahwa beliau ditanya,

أكنتم تَكرَهون الحِجَامة للصائم

“Apakah kalian dulu membenci bekam ketika puasa?”. Anas menjawab, “Tidak, kecuali jika menyebabkan lemah”. [HR. Al-Bukhoriy].

Hukum dalam masalah ini sama dengan hukum berbekam. Dan terdapat riwayat yang shahih bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berbekam.

Apalagi donor darah atau mengambil darah dengan tujuan analisis penyakit atau kesehatan dari orang yang berpuasa itu dalam bentuk mengeluarkan darah bukan memasukkan darah. Karena batal puasa itu dari sebab yang masuk bukan dari sebab yang keluar.

Berkata Ibnu Abbas radliyallahu anhuma tentang berbekam bagi orang yang sedang berpuasa,

اْلفِطْرُ مِمَّا دَخَلَ وَ لَيْسَ مِمَّا يَخْرُجُ

“Berbuka (batal puasa) itu dari sebab apa yang masuk bukannya dari sebab apa yang keluar”. [Atsar Riwayat Ibnu Abi Syaibah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Sanadnya Shahih, rijal haditsnya tsiqot yakni para perawi al-Bukhoriy dan Muslim, lihat Irwa’ al-Ghalil: IV/ 79].

Begitu pula, tidaklah batal puasa seseorang yang meneteskan darah pada salah satu anggota tubuhnya, menangis dengan tangisan yang mencucurkan air mata, mengeluarkan kororan pada hidung atau telinga dan selainnya.

8.  Berbekam.

Berbekam diperbolehkan bagi seseorang yang sedang berpuasa, jika tidak membuatnya payah dan lemah. Maka hukumnya sama dengan mengambil darah untuk tujuan analisis dan donor darah.

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata,

احْتَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ صَائِمٌ مُحْرِمٌ

“Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah berbekam dalam keadaan puasa lagi berihram”. [Atsar Riwayat Ibnu Majah: 1682, Abu Dawud: 2372 dan at-Turmudziy: 775. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy; Shahih]. [16]

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata,

أَرْخَصَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فِى اْلحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ

“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah memberi rukhshoh (keringanan) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam”. [HR an-Nasa’iy di dalam al-Kubro, Ibnu Khuzaimah dan ad-Daruquthniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Sanadnya shahih, lihat Irwa’ al-Ghalil: IV/ 72, 74].

            Dari Syu’bah berkata, aku pernah mendengar Tsabit al-Bunaniy bertanya kepada Anas bin Malik radliyallahu anhu, “Apakah kalian memakruhkan hijamah (berbekam) bagi orang yang berpuasa, di masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam?”. Ia menjawab, “Tidak, kecuali dari sebab lemah”. [Atsar ini diriwayatkan oleh al-Bukhoriy: 1940]. [17]

9.  Berkumur dan menghirup air ketika wudlu.

Berkumur dan istinsyaq itu adalah merupakan perbuatan yang diperintahkan bagi muslim ketika berwudlu. Oleh sebab itu dalam keadaan berpuasapun ia harus tetap melaksanakannya untuk kesempurnaan wudlunya.

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan umatnya untuk berkumur dan menghirup air ke dalam hidung (istinsyaq) ketika wudlu, hanya saja beliau melarang untuk menghirup air itu terlalu keras ketika sedang puasa.

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فىِ أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لِيَسْتَنْثِرْ

“Apabila seseorang di antara kalian wudlu maka hendaklah ia meletakkan air pada hidungnya (istinsyaq) kemudian keluarkanlah (istintsar)”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66, Abu Dawud: 140, Ahmad: II/ 242, al-Bukhoriy: 162 dan Muslim: 237. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, “Wajibnya istinsyaq dan istintsar”. Berkata al-Imam Nawawiy rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bahwa istintsar itu bukanlah istinsyaq”. [19]

       Dari Luqaith bin Shabrah berkata, aku bertanya, “Wahai Rosulullah kabarkan kepadaku tentang wudlu!”. Beliau menjawab,

أَسْبِغِ اْلوُضُوْءَ وَ بَالِغْ فىِ اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Sempurnakan wudlu dan bersungguh-sungguhlah di dalam istinsyaq kecuali jika kamu sedang shaum”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66, Abu Dawud: 142, Ibnu Majah: 407, Ibnu Khuzaimah: 150, 168, al-Hakim: 537 dan Ahmad: IV/ 33. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,

“Terdapat penjelasan tentang sunnah-sunnah wudlu berupa menyempurnakannya, menyela-nyela di antara jari jemari kedua kaki dan bersungguh-sungguh di dalam melakukan istinsyaq.

Bersungguh-sungguh di dalam melakukan istinsyaq itu adalah sunnah kecuali di dalam keadaan berpuasa. Karena dikhawatirkan masuknya air ke dalam rongga (mulut atau hidung)nya.

Orang yang sedang berpuasa berkumur-kumur tapi tidak menjalankannya atas kedua bibirnya (dengan air) sebagaimana dilakukan oleh kaum awam. Perbuatan ini adalah suatu kekeliruan yang tidak cukup hanya berkumur-kumur, juga menyelisihi syariat dan membuat-buat bid’ah di dalam agama, yang tidak pernah didatangkan oleh salah seorangpun shahabat, tidak tabi’in dan juga tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. [21]

Hadis ini menunjukkan bahwa berkumur dan istinsyaq juga disyariatkan ketika berpuasa.

10.  Mencium dan bercumbu dengan istri.

Diperbolehkan bagi suami untuk mencium atau mencumbui istrinya jika tidak khawatir untuk melakukan jimak atau keluar mani. Namun jika dikhawatirkan berlanjut kepada perbuatan jimak atau khawatir keluarnya mani maka hendaklah ia menghindar dari mencium dan mencumbui istrinya.

Dari Aisyah radliyallahu anhaberkata,

كان النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وَيُباشِر وَهُو صَائِمٌ و كَان أَملَكَكُم لِإِرْبَهِ

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu dengan istrinya ketika puasa Dan beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya. [HR. al-Bukhoriy: 1927, Muslim: 1106, Abu Dawud: 2382 dan Ibnu Majah: 1684. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata,

إِنْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لَيُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ وَ هُوَ صَائِمٌ ثُمَّ ضَحِكَتْ

“Sesungguhnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mencium sebahagian istri-istrinya sedangkan Beliau dalam keadaan berpuasa”. Kemudian ia tertawa. [Atsar riwayat al-Bukhoriy: 1928, Ahmad: VI/ 192, 241, 252, 280, ad-Darimiy: II/ 12, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqiy].

Aisyah radliyallahu anha berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُقَبِّلُنِى وَ هُوَ صَائِمٌ وَ أَنَا صَائِمَةٌ

“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menciumku sedangkan Beliau sedang berpuasa dan akupun sedang berpuasa”. [Atsar riwayat Abu Dawud: 2384, Ibnu Khuzaimah: 2004, Ahmad: VI/ 134, 162, 175-176, 179, 269-270, 270, ath-thohawiy dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-ALbaniy: Shahih]. [23]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Hadits ini adalah dalil akan bolehnya orang yang sedang berpuasa untuk mencium istrinya di bulan Ramadlan. Para ulama berbeda pendapat tentang perkara ini menjadi empat pendapat. Dan pendapat yang paling tepat adalah yang membolehkan perbuatan tersebut. Namun demikian, perlu diperhatikan keadaan suami yang mencium istrinya tersebut, sebagai pertimbangan akan boleh tidaknya hal itu dilakukan. Maksudnya, jika ia adalah seorang pemuda yang dikhawatirkan akan berlanjut kepada jimak (hubungan intim) yang dapat membatalkan puasanya, maka janganlah ia melakukannya”. [24]

Dari Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu, beliau mengatakan,

هَشَشتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ

Suatu hari nafsuku bergejolak maka aku-pun mencium (istriku) padahal aku puasa, kemudian aku mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Aku berkata, “Aku telah melakukan perbuatan yang berbahaya pada hari ini, aku mencium sedangkan aku puasa”. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتُ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ

“Apa pendapatmu kalau kamu berkumur dengan air padahal kamu puasa?”. Aku jawab, “Boleh”. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Lalu kenapa mencium bisa membatalkan puasa?”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud: 2385. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

Dalam hadis Umar di atas, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meng-qiyaskan (analogi) antara bercumbu dengan berkumur. Keduanya sama-sama rentan dengan pembatal puasa. Ketika berkumur, orang sangat dekat dengan menelan air. Namun selama dia tidak menelan air maka puasanya tidak batal. Sama halnya dengan bercumbu. Suami sangat dekat dengan keluarnya mani. Namun selama tidak keluar mani maka tidak batal puasanya.

Namun sebaiknya para pemuda menghindarkan diri dari perbuatan menyumbu dan mencium istrinya, sebagaimana di dalam riwayat berikut,

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwa seseorang pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang menyumbu (istri) bagi orang yang sedang berpuasa, maka Beliau memberi keringanan (rukhshoh) kepadanya. Lalu datang pula kepadanya seseorang yang lain, lalu Beliau melarangnya.

فَإِذَا الَّذِى رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَ الَّذِى نَهَاهُ شَابٌّ

Yang diberi keringanan padanya adalah seorang yang sudah tua sedangkan yang dilarangnya adalah seorang pemuda. [HR Abu Dawud: 2387 dan Ibnu Majah: 1688 dari Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [26]

11. Masuk waktu subuh dalam kondisi junub (yaitu belum mandi janabat).

Di antara perkara yang pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah menjumpai pagi hari ketika fajar sudah terbit sedangkan Beliau dalam keadaan junub lantara jimak dengan istrinya. Setelah itu Beliau mandi untuk sholat subuh dan berpuasa.

Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallahu anhuma,

أَنَّ النَّبِـي صلى الله عليه وسلم كَانَ يُدرِكُه الفَجرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِن أَهلِه ثُـمَّ يَغتَسِل وَيَصُوم

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk waktu subuh dalam keadaan junub (belum mandi) karena berhubungan suami istri, kemudian beliau mandi dan berpuasa. [HR. al-Bukhoriy: 1930 dan Muslim: 1109].

Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallahu anhuma dua orang istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya keduanya pernah berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُصْبِحُ جُنُبًا فِى رَمَضَانَ مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُوْمُ

“Adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di waktu subuh pada bulan Ramadlan dalam keadaan junub dari sebab jimak bukan karena mimpi kemudian Beliau berpuasa”. [HR Abu Dawud: 2388 dan Ibnu Majah: 1704. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

12. Menggunakan minyak wangi dan minyak rambut.

Bau harum merupakan satu hal yang disukai dalam Islam, lebih-lebih ketika hari jum’at, berdasarkan hadits yang berkaitan dengan jum’atan,

Dari Abu Dzarr radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَأَحْسَنَ غُسْلَهُ وَ تَطَهَّرَ فَأَحْسَنَ طَهُوْرَهُ وَ لَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَ مَسَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ مِنْ طِيْبِ أَهْلِهِ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ وَ لَمْ يَلْغُ وَ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ غُفِرَ لَهُ مِنْ بَيْنِهِ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى

“Barangsiapa mandi pada hari jum’at lalu ia membaguskan mandinya, bersuci lalu ia membaguskan bersucinya, memakai dari pakaian yang terbagusnya, menggunakan wewangian keluarganya yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya. Kemudian ia mendatangi jum’at, tidak berbicara dan tidak pula memisahkan antara dua orang (yang sedang duduk) maka diampuni baginya (dosa-dosanya) antaranya dan antara jum’at berikutnya”. [HR Ibnu Majah: 1097. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [28]

Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu mengatakan,

إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً

“Jika kalian berpuasa maka hendaknya masuk waktu subuh dalam keadaan meminyaki dan menyisir rambutnya.” [Atsar riwayat al-Bukhoriy: IV/ 153 tanpa sanad].

Ibnu mas’ud juga mengatakan,

اصبحُوا مُدّهِنِين صِيامًا

“Ketika masuk pagi, gunakanlah minyak rambut pada saat puasa.” [HR. Ath-Thabraniy dan perawinya perawi shahih].

Demikian beberapa hal yang diperbolehkan bagi muslim ketika sedang berpuasa. Mudah-mudah penjelasan ini dapat membantu di dalam melaksanakan ibadah tersebut. Karena di dalam Islam itu ada kemudahan dan keringanan.

Wallahu a’lam.


[1]Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5318 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 200.  

[2]Taysir al-Allam: I/ 63.

[3]Shahih Sunan Abi Dawud: 52 dan Mukhtashor Shahih Muslim: 122.

[4] Mukhtashor Shahih Muslim: 390. Kalimat, “Sholat sembilan rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke delapan”. Adalah sholat malam yang Beliau kerjakan sebanyak sembilan rakaat sekaligus dan Beliau tidak duduk (tahiyyat) padanya kecuali pada rakaat ke delapan (tahiyyat awal) dan ke sembilan (tahiyyat akhir).

[5] Bahjah an-Nazhirin: II/ 341.

[6]Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5, Irwa’ al-Ghalil: 66, Misykah al-Mashobih: 381 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3695

[7] Bahjah an-Nazhirin: II/ 342.

[8] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1360.

[9] Shahih Sunan Abu Dawud: 2083.

[10] Shahih Sunan Abu Dawud: 2082.

[11] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah: III/ 293.

[12] Fatawa ash-Shiyam oleh Muhammad al-Musnid.

[13] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah: III/ 302.

[14] Fatawa ash-Shiyam.

[15] Irwa’ al-Ghalil: IV/ 86.

[16]Shahih Sunan Ibnu Majah: 1364, Shahih Sunan Abu Dawud: 2079, Shahih Sunan at-Turmudziy: 622 dan Irwa’ al-Ghalil: 932.

[17]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 947 (I/ 456)].

[18]Shahih Sunan an-Nasa’iy: 84, Shahih Sunan Abi Dawud: 127, Mukhtashor Shahih al-Imam al Bukhoriy: 107 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 443.

[19] Taysir al-Allam: I/ 30.

[20]Shahih Sunan an-Nasa’iy: 85, Shahih Sunan Abi Dawud: 129, Shahih Sunan Ibni Majah: 328, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 927 dan Misykah al-Mashobih: 405.

[21] Bahjah an-Nazhirin: II/ 380.

[22] Shahih Sunan Abu Dawud: 2086, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1366 dan Irwa’ al-Ghalil: 934.

[23] Shahih Sunan Abu Dawud: 2088 dan Irwa’ al-Ghalil: IV/ 82-83.

[24] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 430.

[25] Shahih Sunan Abu Dawud: 2089.

[26] Shahih Sunan Abu Dawud: 2090 dan Shahih Sunan Ibnu Majah: 1369.

[27] Shahih Sunan Abu Dawud: 2091 dan Shahih Sunan Ibnu Majah: 1383.

[28]Shahih Sunan Ibni Majah: 900 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6064.

SAUDARAKU, JAGALAH PUASAMU DARI YANG MEMBATALKAN.!!.

PEMBATAL-PEMBATAL PUASA

بسم الله الرحمن الرحيم

            Puasa1Shaum/ puasa berarti menahan diri dengan disertai niat dari hal-hal yang dapat membatalkan atau menggugurkannya sejak terbitnya fajar kedua hingga terbenamnya matahari.

            Maka ketika seorang muslim sedang mengerjakan ibadah puasa pada bulan Ramadlan dengan puasa wajib hendaknya menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkannya. Sebab jika ada di antara mereka yang berpuasa lalu melakukan salah satu dari beberapa perkara yang membatalkannya dengan sengaja, maka ia berdosa dan wajib baginya membayar puasa atau qodlo’ atau bahkan membayar kiffarat.

            Di antara beberapa perkara yang dapat membatalkan puasa adalah sebagai berikut, [1]

1. Makan dan minum dengan sengaja.

Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama. [2] Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok, [3] atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu). [4] Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [QS al-Baqarah/2: 187].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan sesuatu yang harus ditahan/ dicegah oleh orang yang berpuasa adalah makan, minum dan jimak”. [5]

Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum. [6]

Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodlo’ puasanya, tanpa ada kiffarat. Inilah pendapat mayoritas ulama. [7]

Maka orang yang batal puasa dengan sebab makan, minum ataupun sesuatu yang seperti makan minum, maka ia harus mengqodlo’ yakni membayar puasanya sejumlah hari yang ia batal pada waktu itu di bulan-bulan lainnya.

Namun jika ada seorang muslim yang berpuasa lalu karena lupa, keliru, atau dipaksa untuk makan, minum atau sejenisnya maka puasanya tidaklah batal. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini,

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

“Apabila seseorang lupa lalu ia makan dan minum sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, hendaklah dia tetap melanjutkan puasanya. Karena Allah telah memberinya makan dan minum.”[HR al-Bukhoriy: 1933, 6669, Muslim: 1155, Ibnu Majah: 1673, ad-Darimiy: II/ 13, Ahmad: II/ 395, 425, 491, 513 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, pernah seorang lelaki datang menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu ia bertanya, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya aku makan dan minum dalam keadaan lupa, sedangkan aku dalam keadaan berpuasa”. Maka Beliau bersabda,

أَطْعَمَكَ اللهُ وَ سَقَاكَ

“Allah telah memberikan makan dan minum kepadamu”. [HR Abu Dawud: 2398. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Sedangkan dalam riwayat yang lain dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَلَا يُفْطِرْ فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ رَزَقَهُ اللهُ

“Barangsiapa makan atau minum dalam keadaan lupa (sedangkan ia dalam keadaan berpuasa) maka janganlah ia berbuka puasa karena hal itu adalah rizki yang Allah anugrahkan kepadanya”. [HR at-Turmudziy: 721. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Dari Abu Salamah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَفْطَرَ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَ كَفَّارَةَ

“Barangsiapa yang berbuka (batal puasa) pada bulan Ramadlan dalam keadaan lupa, maka tidak ada qodlo’ baginya dan tidak pula kiffarat”. [HR Ibnu Hibban: 906 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [11]

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.”[HR. Ibnu Majah: 2045, 2043 dari Abu Dzarr al-Ghifariy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

2. Muntah dengan sengaja.

Bagi seseorang yang berpuasa lalu ia menyengaja untuk muntah, apakah dengan mencolok-colok jarinya ke dalam tenggorokannya, mencium-cium dengan sengaja suatu bebauan yang mengundangnya untuk muntah dan selainnya, maka batal puasanya dan wajib baginya untuk mengqodlo’.

Namun apabila seseorang tidak mampu menahan muntahnya lantaran sesuatu, apakah karena sedang masuk angin, mencium bebauan yang membuatnya muntah dan sejenisnya maka puasanya tidak batal.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’. [HR. Abu Dawud: 2380, Ibnu Majah: 1676, at-Turmudziy: 720 dan Ahmad: II/ 498. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

3. Haidl dan nifas.

Apabila seorang wanita mengalami haidl atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah dan ia berdosa karena melanggar larangan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yakni mengerjakan ibadah puasa pada waktu sedang haidl atau nifas.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Keluarnya darah haidl dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama”. [14]

عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَ أَكْثِرْنَ اْلاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ: وَ مَا لَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَ تَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ وَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَ دِيْنٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ: يَا رَسُـوْلَ اللهِ وَ مَا نُقْصَـانُ اْلعَقْلِ وَ الدِّيْنِ ؟ قَالَ: أَمَّا نُقْصَانُ اْلعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ اْلعَقْلِ وَ تَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَ تُفْطِرُ فِى رَمَضَـانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّيْنِ

Dari Abdullah bin Umar dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (permohonan ampun)!, karena aku melihat kalian yang terbanyak penghuni neraka. Lalu bertanyalah seorang wanita dari mereka yang fasih dalam berbicara, “Mengapakah kami yang terbanyak penghuni neraka, wahai Rosululla?”. Beliau bersabda, “Karena kalian suka banyak mengutuk, mengkufuri suami dan aku juga melihat berkurangnya akal dan agama seseorang di antara kalian dapat menghilangkan akal seseorang yang bijak”. Ia bertanya lagi, “Wahai Rosulullah, apakah yang dimaksud dengan berkurangnya akal dan agama itu?”.  Beliau menjawab, “Adapun berkurangnya akal adalah persaksian dua wanita itu sebanding dengan persaksian seorang lelaki, maka itulah berkurangnya akal. Dan ia tinggal beberapa hari tidak mengerjakan sholat dan berbuka ketika Ramadlan maka inilah berkurangnya agama”.  [HR Muslim: 79, al-Bukhoriy: 304, 1951, Ibnu Majah: 4003 dan Ahmad: II/ 66-67. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ ؟ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

“Bukankah kalau wanita tersebut haidl, dia tidak sholat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita”.[HR al-Bukhariy: 304, 1951. Asy-Syaikh al-Albaniy menshahihkannya]. [16]

Dari Mu’adzah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah radliyallahu anha. Aku bertanya,

مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ

“Mengapa wanita haidl harus mengqodlo’ puasa dan tidak mengqodlo’ sholat?”. Aisyah lantas berkata, “Apakah engkau seorang Haruriy (Khowarij)?”. Lantas aku berkata, “Aku bukanlah seorang Haruriy, aku hanya sekedar bertanya”. Lalu Aisyah menjawab,

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Dulu kami mengalami haidl. Kami diperintahkan untuk mengqodlo’ puasa dan kami tidak diperintahkan mengqodlo’ sholat”. [HR Muslim: 335 (69) dan al-Bukhariy:  321. Asy-Syaikh al-Albaniy menshahihkannya]. [17]

Berkata as-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhohullah ketika ditanya tentang hukunnya berpuasa bagi wanita yang sedang haidl atau nifas, “Diharamkan bagi wanita yang sedang haidl atau nifas untuk berpuasa dan diwajibkan baginya untuk mengqodlo’ pada hari-hari yang lain”. [18]

Jika wanita haidl dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodlo’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan Aisyah radliyallahu anha, “Kami dahulu juga mengalami haidl, maka kami diperintahkan untuk mengqodlo’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqodlo’ Sholat”. Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidl dan nifas wajib mengqodlo’ puasanya ketika ia telah suci. [19]

4. Keluarnya mani dengan sengaja.

Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jimak seperti mengeluarkan mani dengan tangan (onani/ masturbasi), dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodlo’, tanpa menunaikan kiffarat. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.

Dalil hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

“(Allah ta’ala berfirman), ‘ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”. [HR. al-Bukhoriy: 1894, 7492]. [20]

Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum. [21]

Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal. [22]

Asy-Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apabila seseorang yang sedang berpuasa melakukan istimna’ (onani/ masturbasi), maka apakah puasanya batal karena hal itu? Apakah diwajibkan kiffarat baginya?”.

Beliau menjawab, “Apabila seseorang sedang berpuasa melakukan istimna’ lalu inzal (keluar mani) maka puasanya batal, wajib baginya untuk mengqodlo’ hari yang ia melakukan istimna’ itu, namun tidak ada kiffarat baginya. Karena kiffarat itu tidak diwajibkan kecuali karena jimak (hubungan suami istri) dan hendaknya ia bertaubat dari apa yang telah ia lakukan”. [23]

Pernah ditanyakan pula kepada asy-Syaikh Utsaimin rahimahullah, “Wahai Syaikh yang mulia, semoga Allah Azza wa Jalla menjagamu. Apabila ada seorang lelaki mencumbui istrinya sehingga keluar madzi, padahal ia sedang berpuasa, apa yang harus dilakukannya?”.

Beliau rahimahullah menjawab, “Apabila ada seseorang yang sedang berpuasa lantas mencumbui istrinya hingga keluar madzi maka hal itu tidak merusak puasanya, baik itu puasa sunnah maupun puasa wajib. Puasanya sah dan ia tidak berdosa”.

Adapun jika ia keluar mani, maka puasanya rusak baik puasa sunnah maupun puasa wajib. Tidak boleh bagi orang yang berpuasa mencumbui istrinya apabila ia mengetahui bahwa dirinya akan cepat keluar air mani dengan cumbuan tersebut. Sebab, sebahagian orang bisa cepat sekali keluar air mani hanya dengan bercumbu atau menciumi istrinya dan semacamnya.

Kami katakan kepada orang ini, “Tidak halal bagimu untuk mencumbui istrimu apabila kamu khawatir akan keluar air mani”. [24]

Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal. [25] Alasannya,  

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya”.[HR. Bukhariy: 5269, Muslim: 127 dan Ibnu Majah: 2040. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

5. Berniat membatalkan puasa.

Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum, dan wajib baginya qodlo’. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”[HR al-Bukhoriy: 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953, Muslim: 1907, Abu Dawud: 2201. at-Turmudziy: 1647, an-Nasa’iy: I/ 58-60, Ibnu Majah: 4227, Ahmad: I/ 25, Ibnu Khuzaimah: 142, al-Humaidiy: 28 dan ad-Daruquthniy: 128. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal”. [28]

Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodlo’ puasanya di hari lainnya. [29]

6. Jimak (bersetubuh) di siang hari.

Berjimak dengan pasangan di siang hari bulan Ramadlan membatalkan puasa, wajib mengqodlo’ dan menunaikan kiffarat. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat; (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodlo’ dan tidak ada kiffarat. [30]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم  إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لاَ قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لاَفَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لاَ قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى فَضَحِكَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau Shallallahu alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian beliau Shallallahu alaihi wa sallam berkata,“Dimana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedekahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah daripada keluargaku”. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau Shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu”. [HR al-Bukhoriy: 1936, Muslim: 1111, Abu Dawud: 2390, at-Turmudziy: 720 dan Ibnu Majah: 1671. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [31]

Menurut mayoritas ulama, jimak (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan wanita) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadlan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodlo’, ditambah dengan menunaikan kiffarat. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jimak oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kiffarat.

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan al-Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadlan tidak punya kewajiban kiffarat, yang menanggung kiffarat adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kiffarat sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kiffarat, maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kiffarat adalah hak harta. Oleh karena itu, kiffarat dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar. [32]

Kiffarat yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut,

a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.

b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.

c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud [33] makanan.

Jika orang yang melakukan jimak di siang hari bulan Ramadlan tidak mampu melaksanakan kiffarat di atas, kiffarat tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari al-Imam an-Nawawiy rahimahullah. [34]

Demikian beberapa hal yang dapat membatalkan puasanya orang yang berpuasa di bulan Ramadlan. Baik batalnya dengan hanya mengqodlo’ puasa sebanyak hari yang ia tinggalkan atau dibarengi dengan membayar kiffarat.

Semoga bermanfaat untukku, keluargaku, kerabat dan shahabatku serta seluruh kaum muslimin.

Wallahu a’lam bish showab.   

 


[1] Lihat pembahasan ini di banyak kitab, di antaranya al-Wajiz fi Fiq-h as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz olehDR Abdul Azhim bin Badawiy halaman 237-239, Fatawa al-Aqidah wa ma’ahu fatawa ash-Shiyam wa al-Hajj wa az-Zakat wa ash-Sholah oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin halaman 649-653, dan selainnya.

[2]Bidayah al-Mujtahid, halaman 267.

[3]Merokok termasuk pembatal puasa. Lihat keterangan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin di Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, Bab ash-Shiyam: XVII/ 148.

[4]Syar-h al-Mumthi’: III/47-48.

[5] Aysar at-Tafasir: I/ 168.

[6]Shifat Shoum Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, halaman 72.

[7]Shahih Fiq-h Sunnah: II/ 105.

[8] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 941, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1357 dan Irwa’ al-Ghalil: 938.

[9] Shahih Sunan Abu Dawud: 2098.

[10] Shahih Sunan at-Turmudziy: 578 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6082.

[11] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6070 dan Irwa’ al-Ghalil: IV/ 87.

[12] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1664, 1662, Irwa’ al-Ghalil: 82, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1836  dan Misykah al-Mashobih: 6284.

[13] Shahih Sunan Abu Dawud: 2059, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1359, Shahih Sunan at-Turmudziy: 577, Irwa’ al-Ghalil: 923 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6243.

[14]Majmu’ Fatawa: XXV/ 266.

[15]Mukhtashor Shahih Muslim: 524, Shahih Sunan Ibnu Majah: 3234,Irwa’ al-Ghalil: 190, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7980 dan Misykah al-Mashobih: 19.

[16] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 725.

[17] Mukhtashor Shahih Muslim: 180.

[18] Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah halaman 179 oleh DR Muhammad Abdul maqshud Afifiy cetakan Dar Ibnu  al-Haitsam.

[19]Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah: II/9917.

[20] Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: 922, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3877, 4538.

[21]Syar-h al-Mumthi’: III/52.

[22]Syar-h al-Mumthi’: III/53-54.

[23] Fatawa al-Aqidah wa ma’ahu fatawa ash-Shiyam wa al-Hajj wa az-Zakat wa ash-Sholah oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin halaman 655.

[24] Liqo’at al-Bab al-Maftuh: 1237, dinukil dari kitab al-Fatawa al-Muhimmah li asy-Syaikh Ibnu Utsaimin.

[25]Syar-h al-Mumthi’: III /54.

[26] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1659, Shahih Sunan Abu Dawud: 1915, Irwa’ al-Ghalil: 2062.

[27] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 1, Mukhtashor Shahih Muslim: 1080, Shahiih Sunan Abi Dawud: 1927, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1344, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 73, Shahih Sunan Ibni Majah: 3405, Irwa’ al-Ghalil: 22, Misykah al-Mashobih: 1 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 8.

[28]Al-Muhalla: VI/174.

[29]Shahih Fiq-h Sunnah, II/106.

[30]Syar-h al-Mumthi’: III/68.

[31] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 943, Mukhtashor Shahih Muslim: 589, Shahih Sunan Abu Dawud: 2093, Shahih Sunan at-Turmudziy: 579, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1356 dan Irwa’ al-Ghalil: 939.

[32]Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah: II/ 9957 dan Shahih Fiq-h Sunnah: II/108.

[33]Satu mudd sama dengan ¼ sho’. Satu sho’ kira-kira sama dengan 3 kg. Sehingga satu mudd kurang lebih 0,75 kg.

[34]Al-Minhaj Syar-h Shahih Muslim: VII/ 224.

[35] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1361, Irwa’ al-Ghalil: IV/ 65.

[36] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1362, Shahih Sunan Abu Dawud: 2049, Shahih Sunan at-Turmudziy: 621, Irwa’ al-Ghalil: 931.

[37] Irwa’ al-Ghalil: IV/ 74.

[38] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1364, Shahih Sunan Abu Dawud: 2079, Shahih Sunan at-Turmudziy: 622 dan Irwa’ al-Ghalil: 932.

[39] Irwa’ al-Ghalil: IV/ 79.

HIASILAH RAMADLAN DENGAN AMAL-AMAL SHALIH

ramadlan4

AMALAN-AMALAN DI BULAN RAMADLAN

            بسم الله الرحمن الرحيم

Banyak kaum Muslimin, ketika datang dan masuknya bulan Ramadlan bahkan ketika bulan itu telah lewat, mereka mengisi bulan tersebut dengan amalan yang sia-sia, tidak bermanfaat dan terkadang masih mengandung dosa.

            Hal ini dimungkinkan karena mereka masih jahil dan awam terhadap ajaran agamanya sendiri. Aneh, tapi ya itulah yang terjadi.

            Maka di dalam pembahasan kali ini, akan sedikit dijelaskan akan amalan-amalan yang dapat dikerjakan selama bulan Ramadlan, agar mereka dapat menempuh perjalanan dengan tepat dan benar dengan bimbingan alqur’an dan hadits-hadits yang shahih.

1). Berpuasa.

          Amalan pokok di bulan Ramadlan adalah berpuasa, karena di bulan inilah Allah Subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan puasa bagi umat Islam. Bahkan bagi seorang Muslim yang meninggalkan puasa karena suatu udzur semisal sakit, sedang bepergian, sedang haidl atau nifas dan semisalnya maka ia wajib mengqodlo (mengganti) sesuai dengan jumlah hari-hari yang ia tinggalkan. Namun bagi yang tidak mampu lagi mengerjakannya maka ia wajib membayar fidyah.

            Lalu jika ada di antara umat ini yang dengan sengaja meninggalkan puasa Ramadlan, maka ia telah melakukan dosa besar dan diancam dengan adzab neraka Jahannam.

            Adapun dalil-dalilnya telah mafhum dan masyhur dikalangan kaum muslimin, di antaranya adalah,

        شَهْرَ رَمَضَانَ الَّذِى أُنزِلَ فَيهِ اْلقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ اْلهُدَى وَ اْلفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. [QS. Al-Baqarah/ 2: 185].

عن أبى هريرة قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

            Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang yang berpuasa Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. Dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah, “dan menegakkannya”. [HR al-Bukhoriy: 38, Muslim: 860, Abu Dawud: 1372, at-Turmudziy: 683, Ibnu Majah: 1326, 1641, an-Nasa’iy: IV/ 157, Ahmad: II/ 232, 241, 385, 473 dan ad-Darimiy: II/ 26. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

2). Menyegerakan berbuka.

          Amalan lainnya pada bulan Ramadlan bagi yang berpuasa adalah berbuka. Bahkan umat ini diperintahkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk menyegerakan berbuka, karena di dalamnya banyak sekali kebaikan.

        عن سهل بن سعد أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ

            Dari Sahl bin Sa’d bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Umat manusia ini akan tetap dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”. [HR al-Bukhoriy: 1957, Muslim: 1093, At-Turmudziy: 699, Ibnu Majah: 1697. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[2]

            عن أنس عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: بَكِّرُوْا بِاْلإِفْطَارِ وَ أَخِّرُوْا السَّحُوْرَ

            Dari Anas radliyalahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Segerakanlah berbuka dan akhirkanlah sahur”. [HR. Ibnu Adiy dan al-Haitsamiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

        عن أبى هريرة عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ اْلفِطْرَ لِأَنَّ اْليَهُوْدَ وَ النَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

            Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Agama ini akan selalu tetap jaya selama kaum Muslimin menyegerakan berbuka puasa. Sebab kaum Yahudi dan Nashrani suka mengakhirkannya”. [HR Abu Dawud: 2353 dan Ibnu Khuzaimah: 2060. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [4]

            Dari Abu Athiyyah berkata, “Aku dan Masruq pernah masuk mengunjungi Aisyah”. Kami bertanya, “Wahai Ummul mukminin, ada dua orang shahabat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Yang pertama suka menyegerakan berbuka dan menyegerakan sholat, sedangkan yang lainnya suka mengakhirkan berbuka dan menunda sholat?”. Aisyah berkata, “Siapakah orang yang suka menyegerakan berbuka dan menyegerakan sholat?”. Kami menjawab, “Abdullah”. Ia berkata, “Seperti itulah yang Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam perbuat”. [Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Dawud: 2354. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

            عن سهل بن سعد قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لَا تَزَالُ أُمَّتِى عَلَى سُنَّتِى مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُوْمَ

Dari Sahl bin Sa’d berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Senantiasa umatku berada di atas sunnahku selama mereka tidak menunggu munculnya bintang di di langit (yakni, malam) untuk berbuka”.

            Sahl berkata, “Apabila Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berpuasa, beliau memerintahkan seorang lelaki untuk memanjat suatu bangunan. Apabila ia berseru, “Matahari telah terbenam!”. Maka beliau segera berbuka”. [HR. Ibnu Khuzaimah: 2061 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

        عن أبى الدرداء عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قال: ثَلَاثٌ مِنْ أَخْلَاقِ النُّبُوَّةِ تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَ تَأْخِيْرُ السَّحُوْرِ وَ وَضْعُ اَليَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِى الصَّلَاةِ

Dari Abu ad-Darda’ dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Ada tiga hal yang termasuk akhlak Nabi, yaitu; menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam sholat”. [HR ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

Banyak dalil-dalil yang memerintahkan untuk menyegerakan berbuka, yang jika dihimpun akan banyak menyita tempat. Karena menyegerakan berbuka ini selain untuk mengikuti sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga untuk menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashrani yang suka menunda-nunda berbuka.

Namun ada istilah yang aneh di masa sekarang ini yang sedang getol disosialisasikan oleh sebahagian umat, yaitu takjil/ ta’jil. Banyak masyarakat awam yang mengartikan takjil ini dengan makna berbuka. Misalnya, di restoran/ hotel ini disediakan takjil gratis, bagi yang ingin menghadiri acara bukber ini hendaknya ikut berpartisipasi dengan membawa takjil dan sebagainya. Padahal takjil/ ta’jil ini artinya adalah menyegerakan bukan berbuka. Kalau berbuka itu dalam bahasa Arabnya adalah ifthor. Maka hendaknya mereka menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebelum sholat Maghrib biasanya berbuka dengan ruthob, jika tidak ada dengan tamr dan jika tidak ada juga maka dengan meminum air.

        عن أنس بن مالك قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

            Dari Anas bin Malik berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berbuka denga makan beberapa ruthob (kurma basah) sebelum sholat. Jika tidak ada ruthob, Beliaupun berbuka dengan makan beberapa tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada juga tamr, maka Beliau minum beberapa teguk air”. [HR. Abu Dawud: 2356, Ahmad: III/ 164, ad-Daruquthniy: 240, al-Hakim dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [8]

            Dianjurkan bagi setiap Muslim yang sedang berbuka untuk berdoa dengan doa-doa yang penuh kebaikan. Karena berdoa ketika berbuka itu adalah waktu yang tidak akan ditolak oleh Allah Azza wa Jalla.

        عن أنس عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ثَلاَثٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حِيْنَ يُفْطِرُ وَ اْلإِمَامُ اْلعَادِلُ وَ دَعْوَةُ اْلمـَظْلُوْمِ

            Dari Anas dari Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan orang yang doa mereka tidak akan ditolak, yaitu; doanya orang yang sedang berpuasa ketika ia sedang berbuka, doanya imam yang adil dan doanya orang yang teraniaya”. [HR. al-Baihaqiy dan adl-Dliya’ al-Muqaddisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [9]

            Dianjurkan untuk membaca doa atau dzikir ketika hendak berbuka puasa dengan doa-doa yang shahih dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bukan dengan doa-doa yang tidak sesuai dalil atau hadits yang kuat.

عن مروان – يعنى ابن سالم المقفع-قَالَ: رَأَيْتُ لبْنَ عُمُرُ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَيَقْطَعُ مَا زَادَ عَلَى اْلكَفِّ وَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَ ابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ و ثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

Dari Marwan –yaitu Ibnu Salim al-Muqoffi’- berkata, “Aku pernah melihat Ibnu Umar radliyallahu anhuma menggenggam jenggotnya dan memotong apa yang lebih dari kepalannya. Dan ia berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila berbuka beliau mengucapkan, “Telah hilang dahaga, urat-urat telah basah dan pahala telah tetap, insyaa Allah”. [HR. Abu Dawud: 2357, ad-Daruquth-niy: 2256, al-Hakim: II/ 52 nomor 1576, al-Baihaqiy di dalam asy-Syu’ab al-Iman: III/ 306-407 nomor: 3902, an-Nasa’iy di dalam as-Sunan al-Kubra dan Ibnu as-Suniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [10]

Tidak ada hadits lain yang dapat dijadikan hujjah/ dalil selain hadits ini. Karena hadits-hadits selain ini adalah dla’if (lemah).

3). Memberi makanan berbuka untuk orang yang berpuasa.

          Jika ada di antara kaum muslimin yang diberi kemampuan rizki lebih dan ingin menyisihkan hartanya, maka dianjurkan untuk mengajak dan memberi makanan berbuka bagi kaum muslimin yang lainnya, apalagi jika mereka itu termasuk golongan yang tidak mampu. Karena pahala orang yang memberi makanan berbuka itu seperti yang diperoleh oleh orang yang berpuasa, sebagaimana dalil hadits berikut,

        عن زيد بن خالد الجهنى قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

            Dari Zaid bin Kholid al-Juhniy berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang memberi makan (untuk berbuka) kepada orang yang sedang berpuasa, maka ia akan mendapat pahala seperti yang diperoleh oleh orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun”. [HR. Ibnu Majah: 1746, at-Turmudziy: 807, Ahmad: IV/ 114-115 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

       Bahkan orang yang diberi jamuan makanan berbuka itu hendaknya mengucapkan doa untuk orang yang telah memberikan makanan berbuka itu.

        عن أنس أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم جَاءَ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَجَاءَ بِخُبْزٍ وَ زَيْتٍ فَأَكَلَ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَ أَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَ صَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمـَلَائِكَةُ

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, bahwasanya Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam pernah datang menemui Sa’d bin Ubadah (radliyallahu anhu). Sa’d datang menjumpai Beliau dengan membawa roti dan minyak zaitun (atau kismis) lalu makan. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berdoa, “Telah berbuka orang-orang yang shaum di sisimu, orang-orang yang baik telah memakan makananmu dan para Malaikat mendoakan agar kalian mendapat rahmat”. [HR Abu Dawud: 3854, Ibnu Majah: 1747, al-Baihaqiy (Syu’ab al-Iman): 6048, an-Nasa’iy dalam Amal al-Yaum wa al-Lail, Ibnu Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lail dan Ahmad: III/ 118, 138. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Ketahuilah bahwa dzikir ini tidaklah terikat pada orang yang shaum/ puasa setelah berbukanya saja. Tetapi dzikir ini sifatnya mutlak. Sabda beliau “Telah berbuka orang-orang yang shaum di sisimu”, bukan dalam bentuk kalimat khabar (pemberitaan), namun merupakan doa untuk orang yang menyediakan makanan sampai-sampai orang-orang yang shaum berbuka di sisinya dan mendapatkan pahala berbukanya mereka. [13]

 4). Mengakhirkan sahur.

          Selain berbuka, amalan lain yang mesti dikerjakan oleh setiap muslim yang hendak berpuasa adalah makan sahur. Karena makan sahur ini adalah pembeda antara puasanya umat Islam dengan ahli kitab dan di dalam sahur ini terdapat berkah dan kebaikan-kebaikan lainnya.

        عن عمرو بن العاص رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ اْلكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

            Dari Amr bin al-Ash radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahlul Kitab adalah makan sahur”. [HR Muslim: 1096, Abu Dawud: 2343, at-Turmudziy: 708 dan an-Nasa’iy: IV/ 146. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

        عن أنس رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِى السَّحُوْرِ بَرَكَةً

            Dari Anas radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada sahur terdapat berkah”. [HR. Muslim: 1095, al-Bukhoriy: , at-Turmudziy: 708, Ibnu Majah: 1692  dan an-Nasa’iy: IV/ 140-141. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

عن سلمان رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: اْلبَرَكَةُ فِى ثَلَاثَةٍ اَلجَمَاعَةِ وَ الثَّرِيْدِ وَ السَّحُوْرِ

            Dari Salman radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Berkah itu terdapat pada tiga perkara; berjamaah, tsarid (roti yang diremukkan dan direndam dalam kuah) dan makan sahur”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Kabir, al-Baihaqiy dan Abu Thahir al-Ambariy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[16]

        عن أبى هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنَّ اللهَ جَعَلَ اْلبَرَكَةَ فِى السَّحُوْرِ وَ اْلكَيْلِ

        Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan berkah melalui sahur dan takaran”. [HR. asy-Syiroziy di dalam al-Alqob, al-Khathib  dan Abdulghaniy di dalam Fadla’il Ramadlan. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[17]

        عن العرباض بن سارية قَالَ: دَعَانِى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِلَى السَّحُوْرِ فَىِ رَمَضَانَ فَقَالَ: هَلُمَّ إِلَى اْلغَدَاءِ اْلمـُبَارَكِ

            Dari al-Irbadl bin Sariyah berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengundangku untuk sahur di bulan Ramadlan. Lalu beliau bersabda, “Ayo, marilah kepada makanan yang penuh berkah”. [HR Abu Dawud: 2344, an-Nasa’iy: IV/ 145, Ahmad: IV/ 126, 127 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

        عن عبد الله بن الحارث قال: عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ يَتَسَحَّرُ فَقَالَ: إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ اللهُ إِيَّاهَا فَلَا تَدَعُوْهُ

            Dari Abdullah bin al-Harits berkata, dari seseorang shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Aku pernah masuk menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang sedang bersahur, lalu Beliau bersabda, “Sesungguhnya sahur ini adalah berkah yang telah diberikan Allah kepada kalian, maka janganlah kalian meninggalkannya”. [HR an-Nasa’iy: IV/ 145. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [19]

        عن أبى سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: السَّحُوْرُ أَكْلَةُ بَرَكَةٍ فَلَا تَدَعُوْهُ وَ لَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ وَ مَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى اْلمـُتَسَحِّرِيْنَ

            Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shhallallahu alihi wa sallam, “Sahur adalah makan yang penuh berkah. Oleh sebab itu janganlah kalian meninggalkannya sekalipun seseorang di antara kalian hanya meminum seteguk air. Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bersholawat kepada orang-orang yang makan sahur”. [HR Ahmad: III/ 12, 44. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[20]

            Sahur adalah amalan yang wajib dikerjakan oleh umat Islam yang hendak berpuasa meskipun ia tidak menjumpai yang dapat dimakan kecuali air. Dan makanan sahur yang paling baik adalah tamr (kurma kering).

         عن أبى هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم: نِعْمَ سَحُوْرُ اْلمـُؤْمِنِ التَّمْرُ

            Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa  sallam bersabda, “Sebaik-baik sahurnya mukmin itu adalah kurma”. [HR Abu Dawud: 2345 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

        عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: تَسَحَّرُوْا وَ لَوْ بِجُرْعَةٍ مِنْ مَاءٍ

            Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Bersahurlah kalian meskipun hanya dengan seteguk air”. [HR. Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]

            Adapun jarak waktu sahur dengan waktu shubuh adalah sekitar lima puluh ayat alqur’an yang dibaca secara tartil.

        عن زيد بن ثابت قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: قَدْرَ قِرَاءَةِ خَمْسِيْنَ آيَةٍ

        Dari Zaid bin Tsabit berkata, “Kami pernah bersahur bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian kami berdiri menuju sholat?”. Aku bertanya, “Berapa jarak di antara keduanya?”. Ia menjawab, “Sekitar bacaan (alqur’an) lima puluh ayat”. [HR. Ibnu Majah: 1694, al-Bukhoriy: 1921 dan an-Nasa’iy: IV/ 143. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [23]

          Jadi menurut dalil, kita dianjurkan untuk makan sahur dengan mengakhirkannya yaitu sekitar jarak lima puluh ayat yang dibaca tartil sampai menjelang shubuh. Bahkan jika ternyata ketika seseorang di antara kita hendak minum sudah terdengar adzan shubuh yang menunjukkan waktu sholat, maka tidak mengapa ia menyelesaikan minum terlebih dahulu, sebagaimana di dalam dalil hadits dari Abu Hurairah radliyallahu anhu.

            Maka istilah IMSAK yang didengang-dengungkan kebanyakan kaum muslimin itu adalah tidak benar dan bid’ah karena telah menyalahi dalil. [24]

عن أبى هريرة قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَ اْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (makanan dan minuman mereka) berada pada tangan mereka, maka janganlah ia meletakkannya sehingga ia menyelesaikan hajatnya”. [HR Ahmad: II/ 423, 510, Abu Dawud: 2350 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [25]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya orang yang mendapatkan munculnya fajar sedangkan bejana makanan dan minumannya itu ada pada tangannya, maka boleh baginya untuk tidak meletakkannya sehingga ia menunaikan hajatnya itu (yaitu makan dan minum). [26]

Katanya lagi, “Di antara faidah hadits ini adalah adanya batilnya bid’ah imsak sebelum fajar seukuran seperempat jam. Karena mereka mengerjakannya itu lantaran khawatir datangnya adzan subuh sedangkan mereka dalam keadaan sahur. Seandainya mereka mengetahui rukhsoh tersebut niscaya mereka tidak akan terjatuh ke dalam bid’ah tersebut. Maka perhatikanlah. [27]

 5). Memperbanyak sedekah.

          Bersedekah adalah amalan yang mulia yang semestinya dikerjakan oleh setiap Muslim, karena di dalamnya banyak kebaikan dan bagi yang meninggalkannya akan mendapat banyak keburukan, terlebih pada bulan Ramadlan.

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, tiada sesuatupun yang diminta oleh umatnya lalu beliau mengatakan ‘tidak’, namun pada bulan Ramadlan Beliau akan lebih dermawan lagi. Maka tiada kebaikan bagi umatnya itu melainkan jika mencontoh dan meneladani sifat junjungannya tersebut.

عن ابن عباس قال: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَجْوَدَ النَّاسِ وَ كَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِى رَمَضَانَ حَيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ وَ كَانَ يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ اْلقُرْآنَ فَلَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَجْوَدُ بِاْلخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ اْلمـُرْسَلَةِ

            Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dan bertambah lagi kedermawanannya itu pada bulan Ramadlan ketika Malaikat Jibril Alaihi as-Salam menemuinya. Malaikat Jibril mentadarusi alqur’an kepadanya. Benar-benar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu orang yang paling dermawan dalam kebaikan lebih dari pada angin yang berhembus. [HR al-bukhoriy: 6, 1902, 3220, 3554, 4997, Muslim: 2308 dan an-Nasa’iy: IV/ 125. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]

            Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhihullah, “Terdapat dorongan untuk bersikap dermawan di setiap waktu, dan dianjurkan bertambah (kedermawanan itu) ketika berkumpul dengan orang-orang shalih dan pada waktu bulan Ramadlan”. [29]

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ  وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” [Saba’: 39] 

عن أبى الدرداء رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَا طَلَعَتْ شَمْسٌ قَطُّ إِلاَّ بُعِثَ بِجَنْبَتَيْهَا مَلَكَانِ يُنَادِيَانِ يُسْمِعَانِ أَهْلَ اْلأَرْضِ إِلاَّ الثَّقَلَيْنِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ هَلُمُّوْا إِلَى رَبِّكُمْ فَإِنَّ مَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كَثُرَ وَأَلْهَى وَلاَ آبَتْ شَمْسٌ قَطُّ إِلاَّ بُعِثَ بِجَنْبَتَيْهَا مَلَكَانِ يُنَادِيَانِ يُسْمِعَانِ أَهْلَ اْلأَرْضِ إِلاَّ الثَّقَلَيْنِ: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَأَعْطِ مُمْسِكًا مَالًا تَلَفًا

Dari Abu ad-Darda’ Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah matahari terbit melainkan diutus di dua sisinya dua Malaikat yang berseru, semua penduduk bumi mendengarnya kecuali jin dan manusia, mereka berdua berkata, “Wahai manusia menghadaplah kalian kepada Rabb kalian, karena yang sedikit dan cukup itu tentu lebih baik daripada yang banyak tetapi melalaikan. Dan tidaklah matahari terbenam melainkan diutus di antara dua sisinya dua Malaikat yang berseru, semua penduduk bumi mendengarnya kecuali jin dan manusia, mereka berdua berkata, “Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak, dan hancurkanlah (harta) orang yang kikir”. [HR Ahmad: V/ 197, al-Hakim: 3714, Ibnu Hibban: 686, 3329, Abu Dawud ath-Toyalisiy dan Abu Nu’aim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Isnadnya shahih atas syarat Muslim]. [30]

عن أبى هريرة رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُوْلُ اْلآخَرُ: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak satu hari pun di mana pada pagi harinya seorang hamba ada padanya melainkan dua Malaikat turun kepadanya, salah satu di antara keduanya berkata, “Ya Allah, berikanlah ganti [31] bagi orang yang berinfak”. Dan yang lainnya berkata, “Ya Allah, hancurkanlah (harta) orang yang kikir”. [HR al-Bukhoriy: 1442, Muslim: 1010. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].  [32]

عن أبى هريرة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنَّ مَلَكًا بِبَابٍ مِنْ أَبْوَابِ السَّمَاءِ يَقُوْلُ: مَنْ يُقْرِضِ الْيَوْمَ يُجْزَى غَدًا وَ مَلَكًا بِبَابٍ آخَرَ يَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَعَجِّلْ لِمُمْسِكٍ تَلَفًا

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya satu Malaikat yang ada di sebuah pintu dari pintu-pintu langit berkata, “Barangsiapa meminjamkan pada satu hari ini, maka akan dibalas pada esok hari”. Dan satu Malaikat lainnya yang ada di pintu lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak dan segera hancurkanlah (harta) orang yang kikir”. [HR Ahmad: II/ 305-306. Berkata asy-Syaiklh al-Albaniy: shahih] [33]

Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah memberikan bab bagi hadits ini dengan judul, “Do’a Malaikat bagi orang yang berinfak dengan pengganti dan bagi orang yang kikir agar hartanya dihancurkan.” [34]

Jadi setiap pagi akan ada dua orang Malaikat alaihima as-Salam yang selalu memohon kepada Allah ta’ala dan mendoakan dua orang dari jenis manusia yaitu, 1). Orang yang suka berinfak supaya diganti dengan harta yang serupa atau lebih, diberikan pahala kebaikan dan dihalangi dari keburukan. 2). Orang yang kikir agar dihancurkan dan dimusnahkan semua harta yang dimilikinya, diberikan balasan keburukan dan dihalangi dari kebaikan akhirat.

عن أسماء بنت أبى بكر رضي الله عنهما أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللهِ لَيْسَ لِى شَيْءٌ إِلَّا مَا أَدْخَلَ عَلَيَّ الزُّبَيْرُ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ أَرْضَخَ مِمَّا يُدْخِلُ عَلَيَّ؟ فَقَالَ: ارْضَخِى مَا اسْتَطَعْتِ وَ لَا تُوْعِى فَيُوْعِيَ اللهُ عَلَيْكِ 

Dari Asma binti Abu Bakar radliyallahu anha menceritakan, bahwa ia pernah menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Nabiyullah, aku tidak memiliki sesuatu apapun kecuali yang diberikan az-Zubair kepadaku. Bolehkah aku mengeluarkannya (menginfakkannya) sedikit dari harta yang diberikannya itu?”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bersedekahlah semampumu, janganlah engkau suka menahan-nahan harta sehingga Allah akan menyempitkan rizkimu”. [HR Muslim: 1029, al-Bukhoriy: 1434, Abu Dawud: 1699 dan an-Nasa’iy: V/ 74. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]

Hadits di atas juga menegaskan agar umat Islam tidak suka menahan-nahan harta mereka untuk diinfakkan karena hal itu akan menjadi penyebab Allah ta’ala menyempitkan rizki mereka. Dan jangan pula mereka menghitung-hitung harta mereka yang hendak dizakatkan atau disedekahkan karena Allah Subhanahu wa ta’ala juga akan menghitung-hitung rizki yang akan diberikan kepada mereka. Menghitung-hitung ketika hendak memberi sedekah, biasanya dengan memikirkan berapa yang hendak disedekahkan dan berapa sisa harta yang ada padanya?. Lalu mereka berpikir, bisakah hidup dengan sisa harta itu sampai kepada beberapa waktu ke depan?.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta”. [HR Muslim: 2588, at-Turmudziy: 2029, Ahmad: II/ 386 dan ad-Darimiy: I/ 396. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [36]

Ingatlah, bahwa sedekah yang ia keluarkan di jalan Allah itu tidak akan pernah berkurang, bahkan akan selalu bertambah di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala.

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ سَائِلٌ مَرَّةً وَ عِنْدِى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَأَمَرَتْ لَهُ بِشَيْءٍ ثُمَّ دَعَوْتُ بِهِ فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: أَمَّا تُرِيْدِيْنَ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتَكِ شَيْءٌ وَ لَا يَخْرُجَ إِلَّا بِعِلْمِكِ ؟ قُلْتُ: نَعَمْ قَالَ: مَهْلًا يَا عَائِشَةُ لَا تُحْصِى فَيُحْصِيَ اللهُ عز و جل عَلَيْكِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Pernah datang kepadaku seorang peminta-minta dan di sisinya ada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu aku menyuruh (seseorang) untuk memberikan sesuatu kepadanya. Kemudian aku memanggilnya dan memeriksa apa yang hendak diberikan kepadanya. Maka Rosulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau ingin sesuatu yang masuk dan keluar dari rumahmu ini harus engkau ketahui?”. Aisyah menjawab, “Ya”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Perlahan, wahai Aisyah, Janganlah engkau menghitung-hitung (pemberian/ sedekah) yang akan menyebabkan Allah juga akan membuat hitung-hitungan terhadapmu”. [HR an-Nasa’iy: V/ 73, Ahmad: VI/ 70-71, 180, Abu Dawud: 1700 dan Ibnu Hibban: 3365. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [37]

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan istrinya tercinta Aisyah radliyallahu anha agar tidak menghitung-hitung pemberian atau sedekah kepada orang lain sebab perbuatan tersebut juga akan menyebabkan Allah Subhanahu wa ta’ala menghitung-hitung pemberian-Nya kepadanya. Meskipun peringatan ini ditujukan kepada istrinya namun hal ini juga berlaku untuk seluruh umatnya, agar mereka tidak suka menghitung-hitung dan menahan sedekah yang hendak diberikan kepada orang yang memang berhak menerimanya, sebab hal tersebut akan menyebabkan Allah Azza wa Jalla menghitung-hitung dan menahan rizki yang akan diberikan kepada mereka.

Apalagi sifat kikir dan gemar menahan harta dari orang yang berhak mendapatkannya itu merupakan salah satu sifat orang yang tidak beriman. Yakni iman dan kikir itu adalah dua sifat yang tidak pernah terkumpul dalam diri seseorang. Jika seseorang beriman, maka tidak ada kekikiran dalam dirinya. Dan jika seseorang kikir maka tidak ada keimanan di dalam hatinya. Maka kikir adalah penyakit yang paling berbahaya bagi seseorang yang ingin membentuk dirinya menjadi seorang mukmin.

عن أبى هريرة قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ يَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَ دُخَانٌ جَهَنَّمَ فِى جَوْفِ عَبْدٍ أَبَدًا وَ لاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَ اْلإِيْمَانُ فِى قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak akan terhimpun debu fi sabilillah dengan asap neraka Jahannam pada diri seorang hamba, selama-lamanya. Tidak akan pula terkumpul di dalam hati seorang hamba antara kekikiran dan keimanan selama-lamanya”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 281 dan Tarikh al-Kabir, an-Nasa’iy: VI/ 13, 14, Ahmad: II/ 256, 342, al-Hakim, Ibnu Hibban: 3251 dan Ibnu Abi Syaibah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[38]

عن جابر قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ سَيِّدُكُمْ يَا بَنِى سَلَمَةَ؟ قُلْنَا: جُدُّ بْنُ قَيْسٍ عَلَى أَنَّا نُبَخِّلُهُ قَالَ: وَ أَيُّ دَاءٍ أَدْوَى مِنَ اْلبُخْلِ؟ بَلْ سَيِّدُكُمْ عَمْرُو بْنُ اْلجَمُوْحِ وَ كَانَ عَمْرُو عَلَى أَصْنَامِهِمْ فِى اْلجَاهِلِيَّةِ وَ كَانَ يُوْلَمْ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا تَزَوَّجَ

Dari Jabir (bin Abdullah) radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Wahai Bani Salamah, siapakah pemimpin kalian?”. Kami menjawab, “Judd bin Qois, hanyasaja kami menganggap bahwa ia adalah orang yang bakhil”. Beliau bersabda, “Penyakit apakah yang lebih berbahaya dari penyakit bakhil?, sekarang pemimpin kalian adalah Amr bin al-Jamuh”. Padahal di masa jahiliyah Amr ini menyembah patung-patung dan suka mencela Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam jika menikah. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 296. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [39]

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menerangkan bahwa bakhil atau kikir ini adalah penyakit yang paling berbahaya bagi umat manusia. Sehingga Beliau mengganti seorang pemimpin yang kikir kepada rakyatnya. Sebab bagaimana ia dapat memperhatikan kesejahteraan rakyat yang di pimpinnya jika ia kikir, tidak ingin mengeluarkan hartanya sedikitpun untuk membantu penghidupan dan kehidupan mereka.

عن عائشة رضي الله عنها أَنَّهُمْ ذَبَحُوْا شَاةً فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: مَا بَقِيَ مِنْهَا؟ قَالَتْ: مَا بَقِيَ مِنْهَا إِلَّا كَتِفُهَا قَالَ: بَقِيَ كُلُّهَا إِلَّا كَتِفُهَا

Dari Aisyah radliyallahu anha, bahwasanya mereka menyembelis seekor kambing. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apakah yang tersisa darinya?”. Ia menjawab, “Tiada yang tersisa selain dari pundaknya”. Beliau bersabda, “Sebetulnya tersisa semuanya kecuali pundaknya”. [HR at-Turmudziy: 2470. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [40]

Pada kisah di atas, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang dikatakan milik adalah semua yang disedekah dari daging kambing itu kepada orang lain. Sedangkan yang bukan miliknya adalah pundak kambing itu karena ia sendiri yang akan memakannya. Oleh karena itu, setiap muslim yang meyakini akan adanya hari pembalasan maka ia segera akan mengirim hartanya terlebih dahulu sebelum dirinya dengan bentuk zakat, sedekah, infak atau selainnya.

Jika seorang muslim, misalnya memiliki harta senilai 100 juta rupiah, lalu ia menginfakkan hartanya sebesar 2,5 juta rupiah maka harta yang merupakan miliknya itu adalah yang sebesar 2,5 juta, sedangkan sisanya belum dikatakan miliknya sehingga ia keluarkan pula di jalan Allah. Maka di bulan yang mulia ini diharapkan bagi kaum muslimin untuk menggalakkah dan menggiatkan kedermawanan mereka seukuran kemampuan mereka dengan memberikan harta mereka dalam bentuk zakat, infak atau sedekah kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya.

6). Membaca alqur’an.

          Biasanya suasana bulan Ramadlan ini akan membawa dampak positif bagi umat Islam. Yang biasanya malas membaca alqur’an maka pada bulan Ramadlan minimal mereka akan membacanya meskipun hanya kurang dari satu juz saja. Dan tidak ada yang menghalangi dari membaca dan mentadabburinya kecuali orang-orang yang telah dilalaikan hatinya dari mengingat Allah Subhanahu wa ta’ala.

عن ابن عباس قال:  وَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَلْقَاهُ (جبريل) فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ اْلقُرْآنَ

            Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika Malaikat Jibril Alaihi as-Salam menemuinya, ia mentadarusi alqur’an kepadanya setiap malam Ramadlan. [HR al-Bukhoriy: 6, 1902, 3220, 3554, 4997, Muslim: 2308 dan an-Nasa’iy: IV/ 125. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [41]

            Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy, “Dianjurkan untuk memperbanyak tadarus alqur’an di bulan Ramadlan karena bulan itu adalah bulannya alqur’an”. [42]

            Berkata asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah, “Mengkhatamkan alqur’an di bulan Ramadlan bagi orang yang sedang berpuasa itu bukanlah suatu hal yang diwajibkan. Namun, di bulan Ramadlan semestinya kaum muslimin memperbanyak membaca alqur’an, seperti halnya sunah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam dikunjungi oleh Malaikat Jibril Alaihi as-Salam di setiap bulan Ramadlan untuk mendengarkan bacaan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam”. [43]

            Jadi meskipun membaca dan mengkhatamkan alqur’an di bulan Ramadlan itu tidak dihukumkan wajib, tapi sepatutnya setiap muslim itu selalu membaca alqur’an di setiap waktu, khususnya di bulan Ramadlan.

            Anjuran-anjuran membaca alqur’an apalagi jika diiringi dengan mentadabburi maknanya itu banyak sekali dalil-dalilnya, di antaranya adalah sebagai berikut,

عن أبي أمامة رضي الله عنه قَالَ: َسمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: اِقْرَؤُوا اْلقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتىِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ شَفِيْعًا ِلأَصْحَابِهِ

            Dari Abu Umamah radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,Bacalah alqur’an, karena sesungguhnya ia nanti akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya. [HR Muslim: 804].

            Berkata asy-Syaikh Salim Ied al-Hilaliy hafizhohullah di dalam fiqh al-hadits,“Terdapat dorongan untuk membaca alqur’an dan memperbanyak di dalam membacanya serta tidak disibukkan dengan selainnya. Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan idzin kepada alqur’an untuk memberikan syafaat kepada para pembacanya, dan para pembacanya adalah orang-orang yang selalu membaca dan mengamalkannya di dunia.[44]

      عن أبي هريرة صلى الله عليه و سلم أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ عَلَّمَهُ اللهُ اْلقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوْهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ آنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ: لَيْتَنىِ أُوْتِيْتُ مِثْلَمَا أُوْتِيَ فُلاَنٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَ رَجُلٍ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُهْلِكُهُ فىِ اْلحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنىِ أُوْتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوْتِيَ فُلاَنٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ

     Dari Abu Hurairah radliyallahu anu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Tiada kedengkian kecuali kepada dua hal. Kepada seseorang yang diajarkan alqur’an oleh Allah, lalu ia membacanya ditengah malam dan siang. Lalu tetangganya mendengarnya kemudian berkata,“Duhai kiranya aku diberi seperti yang diberikan kepada si fulan, niscaya aku dapat berbuat sebagaimana yang ia perbuat. Dan kepada seseorang yang dianugerahi harta oleh Allah, lalu ia menghabiskannya di jalan yang benar.  Berkata seseorang: duhai kiranya aku dianugerahi seperti yang diberikan kepada si fulan, niscaya aku dapat beramal sebagaimana yang ia amalkan”. [HR al-Bukhoriy: 5026, 7232, 7528 dan Ahmad: II/ 479. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[45]

 عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : الَّذِي يَقْرَأُ اْلقُرْآنَ وَ هُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ اْلبَرَرَةِ وَ الَّذِي يَقْرَأُ اْلقُرْآنَ وَ يَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَ هُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ  

       Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,“Orang yang membaca alqur’an dalam keadaan mahir maka ia bersama para malaikat utusan Allah lagi taat. Sedangkan orang yang membaca alqur’an dalam keadaan terbata-bata karena ia merasa sulit maka ia akan mendapatkan dua ganjaran. [HR al-Bukhoriy: 4937, Muslim: 898, at-Turmudziy: 2904, Abu Dawud: 1454, Ahmad: VI: 48, 192 dan ad-Darimiy: II/ 444. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [46]

            Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied  al-Hilaliy hafizhohullah,Orang yang melanggengkan membaca alqur’an dan bersungguh-sungguh atasnya, kedudukannya lebih agung daripada orang yang tidak melanggengkannya. Orang membaca alqur’an dalam keadaan susah payah akan mendapatkan dua balasan, yaitu satu balasan karena membacanya dan yang lain lantaran kesulitan dan keterbataannya. [47]

      عن ابن مسعود رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَ اْلحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ : الم حَرْفٌ وَلَكِنْ: أَلِفٌ حَرْفٌ وَ لاَمٌ حَرْفٌ وَ مِيْمٌ حَرْفٌ

Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari alqur’an maka ia akan mendapat pahala satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kalinya. Aku tidak mengatakan; alif laam miim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf. [HR at-Turmudziy: 2910, ad-Darimiy: II/ 429 dan al-Baihaqiy: 1983. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [48]

عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَثَلُ اْلمـُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ اْلقُرْآنَ مَثَلُ اْلأُتْرُجَّةِ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَ مَثَلُ اْلمـُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ اْلقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لاَ رِيْحَ لَهَا وَ طَعْمُهَا حُلْوٌ وَ مَثَلُ اْلمـُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ اْلقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّ ْيحَانَةِ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَ طَعْمُهَا مُرٌّ وَ مَثَلُ اْلمـُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ اْلقُرْآنَ كَمَثَلِ اْلحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيْحٌ وَ طَعْمُهَا مُرٌّ

Dari Abu Musa al-Asy’ariy radliyallahu anhu, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,“Perumpamaan orang mukmin yang membaca alqur’an adalah seperti buah utrujjah (sejenis buah jeruk), harum baunya dan lezat rasanya. Perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca alqur’an adalah seperti buah kurma, tiada bau harum namun rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca alqur’an adalah seperti buah rayhanah, harum baunya tetapi pahit rasanya. Dan orang munafik yang tidak membaca alqur’an adalah seperti buah hanzholah (sejenis buah labu), tiada bau harum dan pahit pula rasanya. [HR al-Bukhoriy: 5020, 5059, 5427, 7560 dan Muslim: 797, at-Turmudziy: 2865, Ibnu Majah: 214 dan al-Baihaqiy: 1973. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [49]

 عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: يُقَالُ لِصَاحِبِ اْلقُرْآنِ: اقْرَأْ وَ ارْتَقِ وَ رَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فىِ الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Dikatakan kepada para penghafal alqur’an (pada hari kiamat),“Bacalah dan naiklah (ke surga). Dan bacalah (alqur’an) dengan tartil sebagaimana engkau membacanya dengan tartil  di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu (di surga) adalah berdasarkan ayat yang terakhir yang engkau baca. [HR Abu Dawud: 1464, at-Turmudziy: 2914, Ibnu Majah: 3780, Ahmad: II/ 192 dan al-Baihaqiy: 1999. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].[50]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullahdi dalam fiqh alhadits,“Terdapat dorongan untuk menghafal dan mempelajari alqur’an. Kedudukan kaum mukminin di dalam surga sesuai dengan amalan dan kesungguhan mereka di dunia.[51]

عن أبي موسى رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: تَعاَهَدُوْا هَذَا اْلقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتَا مِنَ اْلإِبِلِ فيِ عُقُلِهَا

Dari Abu Musa radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,Jagalah alqur’an ini, maka demi Dzat yang jiwa Muhammad ada pada tangan-Nya, benar-benar ia lebih sangat mudah terlepas daripada seekor unta pada tali ikatannya. [HR al-Bukhoriy: 5033, Muslim: 791 dan al-Baihaqiy: 1961. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [52]

عن ابن عمر رضي الله عنهما أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنمَّاَ مَثَلُ صَاحِبِ اْلقُرْآنِ كَمَثَلِ اْلإِبِلِ اْلمعَلَّقَةِ إِنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَ إِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa salla, bersabda,Perumpamaan orang yang menjaga alqur’an adalah seperti unta yang terikat, jika ia dijaga maka ia akan menahannya dan jika ia melepasnya maka unta itu akan pergi. [HR al-Bukhoriy: 5031, Muslim: 789 dan al-Baihaqiy: 1962. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [53]

7). Menyibukkan diri dengan tholabul ilmi, menyiapkan hidangan berbuka untuk yang puasa, mengerjakan umrah, berdoa, memohon ampun dan amal-amal shalih lainnya.

            Selain dari membaca dan mempelajari alqur’an, masih banyak lagi amal-amal shalih lainnya yang dapat dikerjakan selama berlangsungnya bulan Ramadlan, dan di dalamnya pasti akan banyak kebaikan di dunia dan akhirat.

Misalnya menghadiri kajian-kajian agama yang berlandaskan alqur’an dan hadits shahih, karena biasanya pada bulan mulia ini akan banyak diselenggarakan kajian-kajian agama yang berkenaan tentang akidah, fikih, akhlak dan selainnya. Jadi pengajian dan kajian-kajian agama tidak boleh ditutup dan akan dibuka kembali setelah lewatnya bulan penuh berkah ini.

Begitu pula jika ada waktu luang di malam atau siang hari hendaknya setiap muslim memanjatkan doa-doa yang dikehendakinya karena pada bulan setiap muslim mempunyai doa yang akan dikabulkan oleh Allah ta’ala.

عن أبى سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ لِلّهِ تبارك و تعالى عُتُقَاءَ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ (يعنى فِى رَمَضَانَ)وَ إِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Tabaroka wa ta’ala membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari dan malam (bulan Ramadhan). Dan sesungguhnya setiap muslim memilki doa yang dikabulkan pada setiap hari dan malam”. (HR. al-Bazzar dalam Majma’ az-Zawaid dan Ahmad: II/ 254. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [54]

Bagi yang memiliki waktu luang dan uang, dianjurkan untuk menunaikan ibadah umrah, karena mengerjakan umrah pada bulan Ramadlan itu menyamai pahala haji bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم (لأم سنان الأنصارية): فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِى

            Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (kepada Ummu Sinan al-Anshoriyyah), “Sesungguhnya umrah di bulan Ramadlan menyamai pahala ibadah haji bersamaku”. [HR al-Bukhoriy: 1863, Muslim: 1256, Ahmad: III/ 229 dan Ibnu al-Jarud. Berkata asy-Syaikh al-Albaiy: Shahih]. [55]

8). Mandi junub sebelum waktu sholat shubuh.

          Ibadah puasa itu tidak boleh menghalangi seorang suami untuk menunaikan kewajiban kepada istrinya dan begitu juga sebaliknya. Mereka boleh berhubungan intim di waktu malam dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Lalu jika mereka makan sahur dan ketika selesai sahur lalu masuk waktu sholat shubuh sedangkan mereka belum mandi janabat maka tidak mengapa mereka mandi jenabat dan melanjutkan puasanya.

        عن عائشة و أم سلمة رضي الله عنهما قَالَتَا: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يُدْرِكُهُ اْلفَجْرُ وَ هُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَ يَصُوْمُ

            Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallahu anhuma berkata, “Bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mendapati waktu fajar dalam keadaan junub karena telah berhubungan dengan istrinya. Kemudian beliau mandi dan berpuasa”. [HR. al-Bukhoriy: 1926, 1930 dan Muslim: 1109].

9). I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan.

          Begitu pula amalan mulia yang dapat dikerjakan oleh seorang Muslim adalah melakukan itikaf di masjid jami’ selama sepuluh hari penuh. Ia tidak boleh pulang mengunjungi keluarganya atau kembali ke kantornya untuk melanjutkan pekerjaannya, kecuali dalam keadaan darurat.

            Selama itikaf di masjid, hendaknya ia meniatkan untuk beribadah dari membaca alqur’an, berdzikir, berdoa, menyimak kajian-kajian agama jika ada, dan sebagainya.

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا دَخَلَ اْلعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَ أَحْيَا لَيْلَهُ وَ أَيْقَظَ أَهْلَهُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Ketika memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadlan), Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya”. [HR. al-Bukhoriy: 2024, Muslim: 1174 dan Ibnu Majah: 1768. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [56]

Dalam satu riwayat Muslim, “Beliau bersungguh-sungguh beribadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan, tidak seperti hari-hari yang lainnya”. [HR. Nuslim: 1175 dan Ibnu Majah: 1767. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [57]

عن ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَعْتَكِفُ اْلعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan”. [HR. al-Bukhoriy: 2025, Muslim: 1171 dan Abu DAwud: 2465. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [58]

عن عائشة رضي الله عنها زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ تَعَالَى ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Dari Aisyah radliyallahu anha istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beritikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadlah sampai Allah ta’ala mewafatkannya. Kemudian para istri Beliau Shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan itikaf sesudahnya”. [HR. al-Bukhoriy: 2027, Muslim: 1172 (5) dan Abu Dawud: 2462. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [59]

10). Tidak melaksanakan hijamah/ bekam.

          Dianjurkan bagi yang berpuasa untuk tidak membekam dan berbekam, karena di dalamnya ada kelemahan dan kepayahan. Sebab ketika seseorang dibekam itu akan mengeluarkan darah yang berakibat payahnya pertahanan tubuh seseorang.

            Namun jika tidak boleh tidak seseorang itu harus dibekam karena untuk pengobatan penyakitnya, maka tidak mengapa. Karena larangan itu telah mansukh oleh hadits yang menerangkan bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah dibekam dalam keadaaan sedang berpuasa.

        Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam,

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam”. [HR Ibnu Majah: 1680. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [60]

Dari Tsauban radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” [HR. Abu Dawud: 2370, 2371, an-Nasa’iy: II/228, Ibnu Majah: 1679, at-Turmudziy: 774 dari Rafi’ bin Khodij, ad-Darimiy: II/ 14, Ibnu Khuzaimah: 1962, 1963, Ahmad: V/ 277, 280, 282, 283, al-Hakim, Ibnu Hibban: 899 dan ath-Thayalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [61]

        عن أبى قلابة أنه أخبره أَنَّ شَدَّادَ بْنَ أَوْسٍ بَيْنَمَا هُوَ يَمْشِى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم بِاْلبَقِيْعِ فَمَرَّ عَلَى رَجُلٍ يَحْتَجِمُ بَعْدَ مَا مَضَى مِنَ الشَّهْرِ ثَمَانِي عَشَرَ لَيْلَةً فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: أَفْطَرَ اْلحَاجِمُ وَ اْلمـَحْجُوْمُ

            Dari Abu Qilabah bahwasanya ia mengkhabarkan, bahwa Syaddad bin Aus ketika sedang berjalan-jalan bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di Baqi’, ia melewati seorang lelaki yang sedang dibekam setelah bulan (Ramadlan) lewat 18 hari). Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang membekam dan yang dibekam itu telah berbuka (maksudnya, batal puasanya)”. [HR Ibnu Majah: 1681. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [62]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Akan tetapi hadits ini mansukh (telah dihapus hukumnya). Yang menghapus hukumnya adalah hadits dari Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata,

أَرْخَصَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فِى اْلحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ

“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah memberi rukhshoh (keringanan) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam”. [HR an-Nasa’iy di dalam al-Kubro, Ibnu Khuzaimah dan ad-Daruquthniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Sanadnya shahih]. [63]

            Dari Syu’bah berkata, aku pernah mendengar Tsabit al-Bunaniy bertanya kepada Anas bin Malik radliyallahu anhu, “Apakah kalian memakruhkan hijamah (berbekam) bagi orang yang berpuasa, di masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam?”. Ia menjawab, “Tidak, kecuali dari sebab lemah”. [Atsar ini diriwayatkan oleh al-Bukhoriy: 1940]. [64]

Berkata Ibnu Abbas tentang berbekam bagi orang yang sedang berpuasa,

اْلفِطْرُ مِمَّا دَخَلَ وَ لَيْسَ مِمَّا يَخْرُجُ

“Berbuka (batal puasa) itu dari sebab apa yang masuk bukannya dari sebab apa yang keluar”. [Atsar Riwayat Ibnu Abi Syaibah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Sanadnya Shahih, rijal haditsnya tsiqot yakni para perawi al-Bukhoriy dan Muslim]. [65]

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata,

احْتَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ صَائِمٌ مُحْرِمٌ

“Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah berbekam dalam keadaan puasa lagi berihram”. [Atsar Riwayat Ibnu Majah: 1682, Abu Dawud: 2372 dan at-Turmudziy: 775. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy; Shahih].[66]

            Demikian beberapa amalan di bulan Ramadlan yang dianjurkan bagi umat Islam untuk dapat mengamalkannya. Hendaknya setiap Muslim dapat mengisi sisa-sisa bulan Ramadlan dengan amal-amal shalih yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam supaya hidupnya di bulan ini menjadi penuh berkah.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi ash-Showab.


[1] Shahih Sunan Abu Dawud: 1224, Shahih Sunan at-Turmudziy: 550, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1091, 1330, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2082, 2083, 2084, 2085, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6326, Irwa’ al-Ghalil: 906 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 982.

[2] Shahih Sunan at-Turmudziy: 563, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1377 dan Irwa’ al-Ghalil: 917.

[3] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2835 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1773.

[4] Shahih Sunan Abu Dawud: 2063, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7689, Shahir at-Targhib wa at-Tarhib: 1067 dan Misykah al-Mashobih: 1995.

[5] Shahih Sunan Abu Dawud: 2064 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2038, 2039, 2040, 2041.

[6] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1066.

[7] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3038.

[8] Shahih Sunan Abu Dawud: 2065, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4995, Irwa’ al-Ghalil: 922, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib” 1064 dan Misykah al-Mashobih: 1991.

[9] Shahih al-Jami’ ash-Shagir: 3032 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1797.

[10] Shahih Sunan Abu Dawud: 2066, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4678, Misykah al-Mashobih: 1993 dan Irwa’ al-Ghalil: IV/ 39 nomor: 920.

[11] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1417, Shahih Sunan at-Turmudziy: 647, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6415 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1071.

[12] Shahih Abu Dawud: 3263, Shahih Sunan Ibni Majah: 1418, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1137, Tahqiq al-Kalim ath-Thayyib: 193 dan Adab az-Zifaf halaman 170.

 [13] Adab az-Zifaf halaman 171.

[14] Shahih Sunan at-Turmudziy: 570, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2046, Shahih Sunan Abu Dawud: 2053.

[15] Mukhtashor Shahih Muslim: 580, Shahih Sunan at-Turmudziy: 570, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1373, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2027, 2028, 2029, 2030, 2031, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2943 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1055.

[16] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2882 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1045.

[17] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1735 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1291.

[18] Shahih Sunan Abu Dawud: 2054, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2043, 2045, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7043, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1059 dan Misykah al-Mashobih: 1997.

[19] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2042.

[20] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1062.

[21] Shahih Sunan Abu Dawud: 2055 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1064.

[22] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1063.

[23] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1374 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2035, 2036, 2037.

[24]Mu’jam al-Bida’ halaman 268.

[25] Shahih Sunan Abu Dawud: 2060, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 607, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1394 dan Misykah al-Mashobih: 1988].

 [26] Tamam al-Minnah halaman 417

[27] Tamam al-Minnah halaman 418

[28] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1981 dan Irwa’ al-Ghalil: 888.

[29] Bahjah an-Nazhirin: II/ 365.

[30] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 443 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 908.

[31] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Pengganti itu lebih baik disamarkan agar mencakup pengganti dalam bentuk harta dan pahala, karena berapa banyak orang yang berinfak, dia wafat sebelum mendapatkan balasan berupa harta di dunia, maka penggantinya adalah berupa pahala di akhirat, atau dia akan dihalangi dari keburukan.” (Fat-h al-Bariy: III/305)

[32] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1930, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5797 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 905.

[33] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 905.

[34] Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibni Hibban: VIII/124.

[35] Mukhtashor Shahih Muslim: 551, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2391, Shahih Sunan Abi Dawud: 1490 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 900, 7480.

[36] Mukhtashor Shahih Muslim: 1790, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1652, Irwa’ al-Ghalil: 2200 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2328.

[37] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2389 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 1491.

[38] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2913, 2914, 2915, 2917, 2918 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7616 dan Misykah al-Mashobih: 3828.

[39] Shahih al-Adab al-Mufrad: 227.

[40] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2009 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 853.

[41] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1981 dan Irwa’ al-Ghalil: 888.

[42] Bahjah an-Nazhirin: II/ 365.

[43] Majmu’ Fatawa wa ar-Rosa’il oleh asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin: XX/ 184.

[44] Bahjah an-Nazhirin: II/ 225.

[45] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7489.

[46] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2325, Shahiih Sunan Abi Dawud: 1290, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5497 dan Misykah al-Mashobih: 2112.

[47] Bahjah an-Nazhirin: II/ 226-227.

[48] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6469, Misykah al-Mashobih: 2137 dan Syu’ab al-Iman: II/ 342.

[49] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2299, Shahih Sunan Ibni Majah: 177, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5840, Misykah al-Mashobih: 2114 dan Syu’ab al-iman: II/ 337-338.

[50] Shahih Sunan Abi Dawud: 1300, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2240, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8122, Misykah al-Mashobih: 2134 dan Syu’ab al-Iman: II/ 347.

[51] Bahjah an-Nazhirin: II/ 230-231.

[52] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2956 dan Syu’ab al-Iman: II/ 333.

[53] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2372 dan Syu’ab al-Iman: II/ 333.

[54] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2169 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 992.

[55] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4097, 4098 dan Irwa’ al-Ghalil: 869, 1587.

[56] Mukhtashor Shahih Muslim: 634, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1431 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4713.

[57] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1430 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2123.

[58] Shahih Sunan Abu Dawud: 2154.

[59] Shahih Sunan Abu Dawud: 2150.

[60] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1361, Irwa’ al-Ghalil: IV/ 65.

[61] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1362, Shahih Sunan Abu Dawud: 2049, Shahih Sunan at-Turmudziy: 621, Irwa’ al-Ghalil: 931.

[62] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1363.

[63] Irwa’ al-Ghalil: IV/ 79.

[64] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 947 (I/ 456).

[65] Irwa’ al-Ghalil: IV/ 79.

[66] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1364, Shahih Sunan Abu Dawud: 2079, Shahih Sunan at-Turmudziy: 622 dan Irwa’ al-Ghalil: 932.

MARILAH MERAIH KEUTAMAAN PUASA RAMADLAN

KEUTAMAAN SHAUM/ PUASA RAMADLAN

 بسم الله الرحمن الرحيم

ramadlan2Di dalam ajaran agama Islam, Ramadlan adalah bulan yang di dalamnya banyak kebaikan dan keutamaan. Sebab ketika datang bulan Ramadlan, dengan sendirinya sebahagian besar kaum muslimin mempersiapkan diri untuk meluangkan waktu untuk menetapkan ibadah semisal sholat berjamaah, sholat taraweh, menghadiri kajian-kajian agama, membaca alqur’an dan selainnya. Dan juga mereka menyisihkan sebahagian harta mereka untuk bersedekah, membayar zakat fithrah dan mal, memberikan makanan berbuka dan selainnya. Bahkan tak sedikit dari kaum muslimin yang sengaja mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah umrah ke Mekkah karena pahalanya sama dengan ibadah haji bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Semuanya itu mereka lakukan, karena keyakinan mereka bahwa pada bulan mulia tersebut banyak terdapat keutamaan dan kebaikan.

Di antara keutamaan bulan Ramadlan adalah sebagai berikut,

1). Ramadlan adalah bulan diturunkannya alqur’an.

Ramadlan adalah bulan di antara Sya’ban dan Syawwal. Dinamakan Ramadlan karena pada awal pemberian namanya, bulan ini berada pada masa yang sangat panas (ar-Ramdla’), sehingga dinamailah bulan ini dengan Ramadlan. [1]

Bulan Ramadlan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih  sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula alqur’an dan kitab-kitab Allah lainnya diturunkan. Sebagaimana Allah Subhanahu ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. [QS. Al Baqarah/2 : 185].

Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan,”(Dalam ayat ini) Allah ta’ala memuji bulan puasa –yaitu bulan Ramadlan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya alqur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana di dalam hadits [2] bahwa pada bulan Ramadlan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ‘alaihimus salam.” [3]

Dan bulan Ramadlan ini, adalah satu-satunya bulan yang disebutkan secara jelas di dalam Alqur’an. [4]

2). Puasa Ramadlan adalah puasa yang paling utama.

Allah Subhanahu wa ta’ala melalui Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam telah banyak memerintahkan dan menganjurkan berpuasa, misalnya puasa Ramadlan, puasa bayadl (puasa tiga hari di pertengahan bulan-bulan hijriyah, puasa senin dan kamis, puasa di bulan Muharram khususnya 10 Muharram, puasa Arafah, puasa 6 hari di bulan Syawal, puasa nabi Dawud dan sebagainya.

Dan puasa yang paling utama dari sekian banyak puasa adalah puasa pada bulan Ramadlan sebagaimana telah dijelaskan di dalam dalil berikut ini,

       عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ اْلمـُحَرَّمِ وَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

            Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Seutama-utama puasa setelah puasa Ramadlan adalah puasa di bulan Allah yaitu Muharram. Seutama-utama sholat setelah sholat wajib adalah sholat malam”. [HR. Muslim: 1163, Abu Dawud: 2429, at-Turmudziy: 438, 740, Ibnu Majah: 1742, ad-Darimiy: II/ 21, Ahmad: II/ 303, 309, 342, 344, 535, Ibnu Khuzaimah: 2076 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

3). Setan-setan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan pintu-pintu surga dibuka ketika Ramadlan tiba.

Ini adalah perkara yang telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Kewajiban Beliau adalah menjelaskan dan kewajiban kita adalah menerima dan mengimaninya.

عن أبى هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَ غُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Ramadlan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setanpun dibelenggu.” (HR. Muslim: 1079, al-Bukhoriy: 1898, 1899, 3277 dan an-Nasa’iy: IV: 126, 127, 128-129. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih). [6]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Pada bulan Ramadlan, keburukan sedikit di muka bumi karena setan-setan dibelenggu dan diikatnya jin-jin yang durhaka dengan rantai dan belenggu. Mereka tidak bebas untuk merusak manusia sebagaimana di bulan-bulan selainnya. Karena kaum muslimin disibukkan dengan berpuasa, menegakkan sholat (tarawih) dan membaca alqur’an, yang dapat mengekang syahwat dan menjernihkan nafsu sehingga jiwa menjadi bersih”. [7]

Dibukanya pintu-pintu surga, ditutupnya pintu-pintu neraka dan dirantainya jin-jin yang durhaka itu sejak awal bulan Ramadlan. Hal ini berdasarkan dalil berikut ini,

عن أبى هريرة قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صٌفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ وَ مَرَدَةُ اْلجِنِّ وَ غُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَ فُتِحَتِ اْلجَنَّةُ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَ يُنَادِى مُنَادٍ: يَا بَاغِى اْلخَيْرِ أَقْبِلْ وَ يَا بَاغِى الشَّرِّ أَقْصِرْ وَ لِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَ ذَلِكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila datang malam pertama bulan Ramadlan, setan-setan dan jin-jin durhaka dibelenggu. Pintu-pintu neraka ditutup sehingga tidak ada satupun pintu yang dibuka. Dan pintu-pintu surga dibuka sehingga tidak ada satupun pintu yang ditutup. Kemudian ada penyeru yang menyeru, “Wahai para pencari kebaikan, sambutlah! Wahai pencari kejahatan, berhentilah!. Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka dan hal itu berlangsung setiap malam”. [HR. at-Turmudziy: 682, Ibnu Majah: 1642, an-Nasa’iy: IV: 129-130, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [8]

Asy-Syaikh Muhammad bin al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Pintu-pintu surga dibuka pada bulan ini karena banyaknya amal shalih dikerjakan sekaligus untuk memotivasi umat Islam untuk melakukan kebaikan. Pintu-pintu neraka ditutup karena sedikitnya maksiat yang dilakukan oleh orang yang beriman. Setan-setan diikat kemudian dibelenggu, tidak dibiarkan lepas seperti di bulan selain Ramadlan.” [9]

4). Terdapat malam yang penuh kemuliaan dan keberkahan.

Pada bulan Ramadlan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah -yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan- saat diturunkannya Alqur’an.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-qur’an) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [QS. Al-Qadr/ 97 : 1-3].

Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [QS. Ad-Dukhan/ 44 : 3].

Ibnu Abbas, Qotadah dan  Mujahid mengatakan bahwa malam yang diberkahi tersebut adalah malam lailatul qadar. (Lihat Ruh al-Ma’ani, 18/423, Syihabuddin al-Alusi].

عن أنس بن مالك قَالَ: دَخَلَ رَمَضَانُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ اْلخَيْرَ كُلَّهُ وَ لَا يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلَّا مَحْرُوْمٌ

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, “Bulan Ramadlan telah datang. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnyabulan ini (yairu Ramadlan) telah hadir di hadapan kalian. Di bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik daripada 1000 bulan. Barangsiapa yang terhalang dari malam tersebut (maksudnya, tidak menghidupkannya dengan berbagai ibadah syar’iy) niscaya ia akan terhalang dari semua kebaikan malam tersebut. Dan tidaklah yang terhalang dari kebaikannya kecuali orang yang mahrum (terhalang dari kebaikannya)”. [HR. Ibnu Majah: 1644. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [10]

عن أبى هريرة قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: أَتَاكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَ تُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوُابُ اْلجَحِيْمِ وَ تُغَلُّ فِيْهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِيْنِ لِلَّهِ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Telah datang bulan Ramadlan kepada kalian, bulan yang diberkahi. Allah telah mewajibkan puasa kepada kalian. Dibuka pintu-pintu langit, ditutup pintu-pintu neraka Jahim dan dibelenggu setan-setan yang durhaka pada bulan itu. Pada bulan itu juga Allah mempunyai satu malam yang lebih baik daripada 1000 bulan. Barangsiapa yang terhalang dari kebaikan bulan itu maka sungguh-sungguh ia telah terhalang darinya”. [HR. an-Nasa’iy: IV/ 129 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [11]

5). Bulan Ramadlan adalah salah satu waktu dikabulkannya doa.

          Jika kita, sebagai umat Islam ingin berdoa dan dikabulkan doa kita maka pada bulan Ramadlan ini adalah waktu yang paling tepat untuk berdoa. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala niscaya akan mengabulkannya. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam dalil berikut ini,

عن أبى سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ لِلّهِ تبارك و تعالى عُتُقَاءَ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ (يعنى فِى رَمَضَانَ) وَ إِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Tabaroka wa Ta’ala membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari dan malam (bulan Ramadhan). Dan sesungguhnya setiap muslim memilki doa yang dikabulkan pada setiap hari dan malam”. (HR. al-Bazzar dalam Majma’ az-Zawaid dan Ahmad: II/ 254. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

6). Ibadah Umrah di bulan Ramadlan sebanding dengan ibadah haji bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Banyak umat Islam yang berbondong-bondong untuk melaksanakan ibadah umrah pada bulan Ramadlan karena keutamaanya. Maka hal tersebut didukung oleh dalil-dalil hadits yang banyak apalagi ibadah umrah pada bulan Ramadlan ini pahalanya sebanding dengan pahala berhaji bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

            عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم (لأم سنان الأنصارية): فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِى

            Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (kepada Ummu Sinan al-Anshoriyyah), “Sesungguhnya umrah di bulan Ramadlan menyamai pahala ibadah haji bersamaku”. [HR al-Bukhoriy: 1863, Muslim: 1256, Ahmad: III/ 229 dan Ibnu al-Jarud. Berkata asy-Syaikh al-Albaiy: Shahih]. [13]

            عن ابن عباس قال: قال رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِامْرَأَةٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ: إِذَا كَانَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِى فِيْهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِيْهِ تَعْدِلُ حَجَّةً

            Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang wanita anshor, “Apabila bulan Ramadlan maka berumrahlah. Karena umrah pada bulan itu (pahalanya) sebanding dengan haji”. [HR an-Nasa’iy: IV/ 130-131, Ibnu Majah: 2994. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

            عن أم معقل قالت: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: فَهَلَّا خَرَجْتِ عَلَيْهِ فَإِنَّ اْلحَجَّ فِى سَبِيْلِ اللهِ فَأَمَّا إِذْ فَاتَتْكِ هَذِهِ اْلحَجَّةُ مَعَنَا فَاعْتَمِرِى فِى رَمَضَانَ فَإِنَّهَا كَحَجَّةٍ

Dari Ummu Ma’qal berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidakkah engkau pergi keluar untuk berhaji, karena sesungguhnya haji itu adalah fi sabilillah. Namun jika haji bersama kami itu telah luput darimu, maka berumrahlah pada bulan Ramadlan karena umrah pada bulan itu (pahalanya) sama dengan haji”. [HR Abu Dawud: 1989. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

7). Bulan Ramadlan adalah waktu yang paling agung untuk menghapuskan dosa-dosa.

          Di antara keutamaan puasa bulan Ramadlan adalah menghapuskan dosa-dosa orang yang mengerjakannya dengan penuh keimanan dan mengharapkan dengannya pahala dari Allah ta’ala.

Maka sangat disayangkan jika banyak di antara kaum muslimin, yang ketika lewat bulan Ramadlan namun dosa-dosanya tidak terhapus. Hal ini dikarenakan mereka tidak mau menunaikan puasa Ramadlan atau boleh jadi mereka menunaikannya tapi tidak memenuhi syarat-syarat dalam menunaikannya.

        عن أبى هريرة رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: الصَّلَوَاتُ اْلخَمْسُ وَ اْلجُمُعَةُ إِلَى اْلجُمُعَةِ وَ رَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ اْلكَبَائِرُ

            Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Shalat wajib lima waktu, shalat jum’at hingga shalat jum’at berikutnya dan (puasa) Ramadlan hingga Ramadlan berikutnya adalah penebus dosa-dosa yang dikerjakan di antaranya, selama menjauhi dosa-dosa besar”. [HR Muslim: 233 (16) dan Ahmad: II/ 400. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]

            عن جابر بن عبد الله: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم رَقِىَ اْلمـِنْبَرَ فَلَمَّا فِى الدَّرَجَةِ اْلأُوْلَى قَالَ: آمِيْنٌ ثُمَّ رَقِىَ الثَّانِيَةَ فَقَالَ: آمِيْنٌ ثُمَّ رَقِىَ الثَّالِثَةُ فَقَالَ: آمِيْنٌ فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْنَاكَ تَقُوْلُ آمِيْنٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالَ: لَمَّا رَقِيْتُ الدَّرَجَةَ اْلأُوْلَى جَاءَنِى جَبْرِيْلُ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: شَقِي عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ آمِيْن ثُمَّ قَالَ: شَقِي عَبْدُ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ اْلجَنَّةَ فَقُلْتُ آمِيْن ثُمَّ قَالَ: شَقِي عَبْدٌ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ وَ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ: آمِيْن

            Dari Jabir bin Abdullah, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah menaiki mimbar. Ketika sampai ke undakan pertama beliau mengatakan, “Aamiin” (Ya Allah, kabulkanlah). Lalu naik ke undakan kedua, beliau mengatakan, “Aamiin”. Kemudian naik lagi ke undakan ketiga, beliau juga mengatakan, “Aamiin”. Mereka bertanya, “Wahai Rosulullah, kami mendengarmu mengatakan ‘aamiin’ sebanyak tiga kali”. Maka Beliau bercerita, “Ketika aku naik ke undakan pertama, tiba-tiba datanglah Malaikat Jibril Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Celakalah seorang hamba yang berjumpa dengan bulan Ramadlan lalu bulan itu berlalu tetapi ia tidak diampuni”. Maka aku berkata, “Aamiin”. Lalu ia berkata lagi, “Celakalah seorang hamba yang masih bertemu dengan kedua orang tuanya atau salah satu keduanya, naming mereka berdua tidak dapat memasukkannya ke dalam surga”. (Karena hamba itu tidak berbakti kepada keduanya). Maka aku mengatakan, “Aamiin”. Kemudian ia berkata kembali, “Celakalah seorang hamba yang disebutkan namamu didekatnya tetapi ia tidak megucapkan sholawat kepadamu”. Maka aku berkata, “Aamiin”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 644. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih li ghairihi]. [17]

            عن أبى هريرة: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم رَقِيَ اْلمـِنْبَرَ فَقَالَ: آمِيْن آمِيْن آمِيْن قِيْلَ لَهُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كُنْتَ تَصْنَعُ هَذَا؟ فَقَالَ: قَالَ لِى جَبْرِيْلُ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ اْلجَنَّةَ قُلْتُ: آمِيْن ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ علَيْهِ رَمَضَانُ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ: آمِيْن ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ ذَكَرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ: آمِيْن

            Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah menaiki mimbar, lalu berkata, Aamiin, aamiin, aamiin”. Ditanyakan kepada Beliau, “Wahai Rasulullah, apa yang telah terjadi padamu?”. Beliau menjawab, “Malaikat Jibril Alaihi as-Salam berkata kepadaku, “Sungguh celaka seorang hamba yang menjumpai kedua orang tuanya atau salah satunya namun tidak menjadi penyebab masuknya dirinya ke dalam surga. Maka aku mengucap, “Aamiin”. Ia berkata lagi, “Sungguh celaka seorang hamba yang memasuki bulan Ramadlan tetapi tidak menyebabkan diampuninya dosa-dosanya”. Maka aku berkata, “Aamiin”. Kemudian ia berkata kembali, “Celakalah seseorang yang namamu disebutkan di sisinya lalu ia tidak mengcapkan sholawat kepadamu”. Maka aku ucapkan, “Aamiin”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 646. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [18]

عن أبى هريرة قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

            Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang yang berpuasa Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. Dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah, “dan menegakkannya”. [HR al-Bukhoriy: 38, Muslim: 860, Abu Dawud: 1372, at-Turmudziy: 683, Ibnu Majah: 1326, 1641, an-Nasa’iy: IV/ 157, Ahmad: II/ 232, 241, 385, 473 dan ad-Darimiy: II/ 26. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

8). Dimasukkan ke dalam golongan para Shiddiq (yaitu orang-orang selalu membenarkan dan menerima kebenaran) dan Syuhada’ (yaitu orang-orang yang mati syahid.

Diantara keutamaan puasa pada bulan Ramadlan adalah bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala akan meletakkan dan menempatkannya kelak bersama para shiddiqin dan syuhada, jika dibarengi dengan mengerjakan rukun-rukun Islam yang lainnya, yaitu mengucapkan dan mempersaksikan dua kalimat syahadat, menunaikan sholat dan membayar zakat.

            عن عمرو بن مرّة الجهنى رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ وَ صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ اْلخَمْسَ وَ أَدَّيْتُ الزَّكَاةَ وَ صُمْتُ رَمَضَانَ وَ قُمْتُهُ فَمِمَّنْ أَنَا ؟ قَالَ: مِنَ الصِّدِّيْقَيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ

            Dari Amr bin Murrah al-Juhaniy radliyallahu anhu berkata, pernah ada seseorang datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rosulullah, bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwasanya tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku mengerjakan sholat 5 waktu, membayar zakat, berpuasa Ramadlan dan aku juga menegakkannya (dengan sholat malam/ tarawih). Maka termasuk golongan apakah aku ini”?. Beliau bersabda, “(Kamu) termasuk dari golonganshiddiqin dan syuhada”.  [HR al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

Demikian beberapa keutamaan berpuasa di bulan Ramadlan diantara sekian keutamaan berpuasa yang lainnya. Mudah-mudahan dalil-dalil dan penjelasan di atas menjadi motivasi dan sumber inspiratif bagi kita sebagai umat Islam untuk menunaikan ibadah puasa Ramadlan dengan penuh keimanan dan semata-mata mengharapkan ridlo dan balasan dari Allah ta’ala semata.

Wallahu a’lam bish Showab.


[1] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: I/ 254 oleh asy-Syaikh al-Utsaimin.

[2] Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ath-Thabraniy,

            عن واثلة بن الأسقع أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيْمَ عليه السلام فِى أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَ أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ وَ اْلإِنْجَيْلُ لِثَلَاثِ عَشَرَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَ أُنْزِلَ اْلفُرْقَانُ لِأَرْبَعٍ وَ عِشْرِيْنَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ

            Dari Watsilah bin al-Asqa’ bahwasanya Roasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Shuhuf Ibrahim alaihi as-Salam diturunkan pada awal malam Ramadlan. Taurat diturunkan pada hari ke 6 bulan Ramadlan. Injil diturunkan pada hari ke 13 bulan Ramadlan. Alqur’an diturunkan pada hari ke 24 bulan Ramadlan”. (dalam satu riwayat, “Zabur diturunkan pada hari ke 18 bulan Ramadlan”). [HR Ahmad: IV/ 107, ath-Thabraniy, an-Na’aliy, Abdul Ghaniy al-Muqaddisiy di dalam Fadlail Ramadlan dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1575 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1497].

[3] Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, I/268, Dar al-Fikr.

[4] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: I/ 254.

[5] Shahih Sunan at-Turmudziy: 360, 591, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1416, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1121, Irwa’ al-Ghalil: 951 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 611, 1005, 1006.

[6] Mukhtashor Shahih Muslim: 572, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1983, 1984, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 470 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 988

[7] Bahjah an-Nazhirin Syar-h Riyadl ash-Shalihin oleh asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy: II/ 362.

[8] Shahih Sunan at-Turmudziy: 549, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1331, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1993, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 759, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 988 dan Misykah al-Mashobih: 1960, 1961.

[9] Majalis Syah-ri Ramadlan, halaman 8, oleh asy-Syaikh Muhammad bin al-Utsaimin .

[10] Shahih Sunan Ibni Majah: 1333, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2247, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 990 dan Misykah al-mashobih: 1964.

[11] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1992, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 55, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 989 dan Misykah al-Mashobih: 1962.

[12] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2169 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 992.

[13] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4097, 4098 dan Irwa’ al-Ghalil: 869, 1587.

[14] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1995, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2425, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 766 dan Irwa’ al-Ghalil: VI/ 33.

[15] Shahih Sunan Abu Dawud: 1752.

[16] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3875, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 684, 984.

[17] Shahih al-Adab al-Mufrad: 500.

[18] Shahih al-Adab al-Mufrad: 502.

[19] Shahih Sunan Abu Dawud: 1224, Shahih Sunan at-Turmudziy: 550, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1091, 1330, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2082, 2083, 2084, 2085, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6326, Irwa’ al-Ghalil: 906 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 982.

[20] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 993.

By Abu Ubaidullah Alfaruq Dikirimkan di FIQIH, SHAUM