AYO CARILAH BERKAH DENGAN MAKAN (4) !!!

ADAB MAKAN DAN MINUM (4)

بسم الله الرحمن الرحيم

Mindi226). Dilarang duduk di majlis hidangan yang terdapat kemungkaran di dalamnya.

Dari Jabir radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُدْخِلْ حَلِيْلَتَهُ اْلحَمَّامَ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ بِغَيْرِ إِزَارٍ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ

            “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memasukkan istrinya ke pemandian umum. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke pemandian umum tanpa sarung. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk di suatu meja hidangan yang diedarkan khomer di atasnya”. [HR at-Turmudziy: 2801, an-Nasa’iy: I/ 198 dan Ahmad: III/ 339. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[1]

Dari Qosh al-Ajnad di Qosthanthiniyah bahwasanya ia menceritakan bahwa Umar bin al-Khothob radliyallahu anhu berkata, “Wahai manusia sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَقْعُدَنَّ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ إِلاَّ بِإِزَارٍ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُدْخِلْ حَلِيْلَتَهُ اْلحَمَّامَ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk di suatu meja hidangan yang diedarkan khomer di atasnya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke pemandian umum kecuali dengan sarung. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah memasukkan istrinya ke pemandian umum”. [HR Ahmad: I/ 20, Abu Ya’la dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [2]

Dua dalil hadits di atas menerangkan bahwa haram hukumnya duduk di majlis hidangan yang diedar atau disuguhkan khomer (minuman keras) padanya atau diletakkan makanan yang diharamkan atau terdapat perkara-perkara mungkar lainnya. Baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.

27). Diundang makan lalu diikuti oleh orang lain

            عَنْ أَبِى مسعود البدري رضي الله عنه قَالَ: دَعَا رَجُلٌ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم لِطَعَامٍ صَنَعَهُ لَهُ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَلَمَّا بَلَغَ اْلبَابَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ هَذَا تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَأْذَنَ لَهُ وَ إِنْ شِئْتَ رَجَعَ قَالَ: بَلْ آذَنُ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ

            Dari Abu Mas’ud al-Badriy radliyallahu anhu berkata, pernah ada seseorang mengundang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada suatu jamuan makan yang ia buat bersama lima orang yang lain. Lalu ada seseorang yang mengikuti mereka, sehingga ketika mereka telah sampai pintu rumah (orang yang mengundang), Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang ini telah mengikuti kami (kesini), jika engkau mau maka idzinkanlah dia (bersama kami) dan jika tidak maka biarkanlah ia kembali pulang. Orang itu berkata, “Bahkan aku mengidzinkannya (bersama kita), wahai Rosulullah”. [HR al-Bukhoriy: 5434, 5461, 2456 dan Muslim: 2036. Dan hadits ini dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy]. [3]

            Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Orang yang diundang itu tidak boleh meminta orang lain diajak (kepada undangan) kecuali jika telah diketahui keridloan dari orang yang mengundang akan perbuatannya tersebut. Sepatutnya bagi orang yang diundang itu tidak menolak jawaban apabila orang yang mengundang menolak memberi idzin sebahagian kawan (yang dibawanya kepada undangan tersebut)”. [4]

            Dalil hadits di atas menjelaskan bahwasanya jika seorang muslim pergi menuju tempat undangan lalu ada orang ingin yang ikut menyertainya kepada undangan tersebut maka hendaklah ia tidak boleh menerimanya dan hendaknya pula ia menolaknya. Apalagi sampai ia sendiri yang mengajak orang lain ke tempat tersebut. Namun jika ia terpaksa membawanya, hendaknya ia memberi tahu dan meminta idzin kepada orang yang mengundangnya bahwa ia membawa seseorang atau beberapa orang yang menyertainya. Jika diidzinkan maka silahkan ia masuk bersamanya, namun jika orang yang mengundangnya menolak dan tidak memberi idzin kepadanya maka hendaklah ia menyuruh orang yang ikut bersamanya itu untuk kembali pulang dan tidak masuk bersamanya.

28). Dilarang mengambil dua buah kurma (iqran/ qiran) sekaligus ketika makan berjama’ah.

            Dari Jabalah bin Suhaim berkata, “Suatu ketika kami berada di Madinah bersama beberapa penduduk Irak. Kami tertimpa musim paceklik. Biasanya Ibnu az-Zubair sering memberi kami buah-buahan (yaitu kurma). Suatu saat Ibnu Umar radliyallahu anhuma lewat di hadapan kami dan berkata,

      إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنِ اْلإِقْرَانِ إِلَّا أَنْ يَسْـَأْذِنَ الرَّجُلُ مِنْكُمْ أَخَاهُ

            “Sesungguhnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang iqran (mengambil dua buah kurma sekaligus) kecuali jika ia minta idzin dahulu kepada rekannya”. [HR al-Bukhoriy: 2455, Muslim: 2045, Abu Dawud: 3834, Ibnu Majah: 3331, 3332, Ahmad: II/ 60, 131 dan ad-Darimiy: II/ 103. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

            Hadits di atas menjelaskan diharamkannya iqran sewaktu makan kecuali bila diidzinkan oleh orang yang makan bersamanya, penyajinya, pengundangnya atau tuan rumahnya. Karena perbuatan ini dapat merugikan rekannya dan pengundangnya. Biasanya hal ini berkenaan dengan hidangan buah kurma dan sejenisnya.

            Adapun hikmah dilarangnya iqran adalah untuk mencegah kezhaliman, kecurangan, menimbulkan rasa tidak suka pada hati orang yang makan bersamanya, tidak merugikan pengundangnya dan mencegah sifat tamak dan rakus.

            Jika engkau mengundang rekan-rekanmu kepada hidangan yang telah engkau sediakan atau engkau ajak mereka makan di sebuah rumah makan, lalu ada seseorang di antara mereka yang mengambil hidangan itu semaunya tanpa peduli kepada yang lainnya, maka bagaimana perasaanmu dan rekan-rekanmu yang lainnya?.

29). Menghidangkan makanan atau minuman dimulai dari yang sebelah kanan.

        عن أنس بن مالك رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أُتِيَ بِلَبَنٍ قَدْ شِيْبَ بِمَـاءٍ وَ عَنْ يَمِيْنِهِ أَعْرَبِيٌّ وَ عَنْ شِمَالُهُ أَبُو بَكْرٍ فَشَرِبَ ثُمَّ أَعْطَى اَلأَعْرَابِيَّ وَ قَالَ: اْلأَيْمَنَ فَاْلأَيْمَنَ

            Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah diberikan kepadanya susu yang telah dicampur dengan air. Sedangkan di sebelah kanan Beliau ada seorang Arab Badui dan di sebelah kiri Beliau ada Abu Bakar radliyallahu anhu. Lalu Beliau meminum susu itu kemudian memberikannya kepada orang Arab Badui dan bersabda, “Dari sisi kanan (terlebih dahulu), lalu sisi kanan (terlebih dahulu)”. (Dalam riwayat Muslim, Anas berkata, “Maka inilah sunnah, inilah sunnah, inilah sunnah”). [HR al-Bukhoriy: 5612, 5619, Muslim: 2029, Abu Dawud: 3726, Ibnu Majah: 3425, Ahmad: III/ 110, 113, 197, 231, 239, ad-Darimiy: II/ 118, ath-Thayalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

            عن سهل بن سعد رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أُتِيَ بِشَرَابٍ فَشَرِبَ مِنْهُ وَ عَنْ يَمِيْنِهِ غُلَامٌ وَ عَنْ يَسَارِهِ اْلأَشْيَاخُ فَقَالَ لِلْغُلَامِ أَتَأْذَنَ لِى أَنْ أُعْطِيَ هَؤُلَاءِ؟ فَقَالَ: وَ اللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَا أُوْثِرُ بِنَصِيْبِى مِنْكَ أَحَدًا قَالَ: فَتَلَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فِى يَدِهِ

Dari Sahl bin Sa’d radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah diberikan kepadanya minuman, lalu Beliau meminum sebagian darinya. Sedangkan di sebelah kanan Beliau ada anak kecil dan di sebelah kirinya ada beberapa kaum sepuh. Lalu Beliau bersabda kepada anak kecil itu, “Apakah engkau idzinkan jika aku memberikan minuman ini (terlebih dahulu) kepada kaum sepuh itu?”. Maka anak kecil itu berkata, “Demi Allah wahai Rosulullah, aku tidak akan mendahulukan bahagianku darimu kepada seseorangpun”. Berkata Sahl, “Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam meletakkannya pada tangannya”. [HR al-Bukhoriy: 5620, Muslim: 2030, Ibnu Majah: 3426, Ahmad: V/ 333, 338 dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [7]

Ketika seseorang menghidangkan makanan atau minuman kepada para tamu dan undangannya, maka hendaklah ia ketika menyuguhkannya itu memulai dari sebelah kanannya terlebih dahulu. Lalu jika ia hendak memberikannya kepada orang yang hendak ia khususnya semisal kepada kaum sepuh, orang yang sedang memiliki keperluan dan semisalnya maka ia harus meminta idzin terlebih dahulu kepada orang yang sedang mendapatkan haknya.

30). Tidak berlebihan dalam makan.

Dari al-Miqdam bin Ma’diyakrab radliyallahu anhu berkata, ‘Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,

مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

“Tidak ada tempat yang diisi oleh anak keturunan Adam yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak keturunan Adam agar makan sekedar untuk menegakkan tulang sulbi (tulang punggung)nya. Melainkan jika ia tidak dapat mengelak, maka isilah 1/3 untuk makanannya, 1/3 untuk minumannya, dan 1/3 untuk nafasnya ” [HR at-Turmudziy: 2380, Ibnu Majah: 3349, Ahmad: IV/ 132, Ibnu Hibban: 1349, al-Hakim, Ibnu Asakir dan ath-Thabraniy di dalam al-Kabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, ‘Pernah ada seseorang bersendawa di sisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Beliau bersabda,

كُفَّ جُشَاءَكَ عَنَّا فَإِنَّ أَطْوَلَكُمْ جُوْعًا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ أَكْثَرَكُمْ شِبَعًا فِى دَارِ الدُّنْيَا

“Tahanlah sendawamu, karena sesungguhnya orang yang paling lama menahan lapar pada hari kiamat adalah yang terbanyak diantara kalian kenyangnya di dunia ini”. [HR Ibnu Majah: 3350 dan at-Turmudziy: 2478. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [9]

Dari Athiyyah bin Amir al-Juhniy berkata, aku pernah mendengar Salman dan aku tidak suka akan makanan yang ia makan. Ia berkata, “Cukuplah bagiku, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ شِبَعًا فِى الدُّنْيَا أَطْوَلَهُمْ جُوْعًا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

“Sesungguhnya orang yang paling banyak kenyangnya di dunia ini maka ia adalah orang yang paling lama rasa laparnya pada hari kiamat”. [HR Ibnu Majah: 3351. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [10]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya ia berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam,

طَعَامُ اْلاِثْنَيْنِ كَافِى الثَّلَاثَةِ وَ طَعَامُ الثَّلَاثَةِ كَافِى اْلأَرْبَعَةِ

“Makanan untuk dua orang cukup untuk tiga orang dan makanan untuk tiga orang cukup untuk empat orang”. [HR al-Bukhoriy: 5392, Muslim: 2058 dan at-Turmudziy: 1821. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

Dari Jabir bin Abdullah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

طَعَامُ اْلوَاحِدِ يَكْفِى اْلاثْنَيْنِ وَ طَعَامُ اْلاثْنَيْنِ يَكْفِى اْلأَرْبَعَةَ وَ طَعَامُ اْلأَرْبَعَةِ يَكْفِى الثَّمَانِيَةَ

“Makanan untuk satu orang cukup untuk dua orang, makanan untuk dua orang cukup untuk berempat dan makanan untuk empat orang cukup untuk berdelapan”. [HR Muslim: 2059, Ibnu Majah: 3254. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَ إِنَّ الْكَافِرَ أَوِاْلمـُنَافِقَ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ

“Sesungguhnya orang mukmin itu makan dengan satu lambung sedangkan orang kafir atau munafik itu makan dengan tujuh lambung”. [HR al-Bukhoriy: 5394, 5393, 5395, Muslim: 2060, at-Turmudziy: 1818 dan Ibnu Majah: 3257. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

Dari Abu Hurairah bahwasanya ada seseorang yang suka makan banyak. Lalu ia masuk Islam, maka iapun makan dengan sedikit makanan. Kemudian hal tersebut diceritakan kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ

“Sesungguhnya orang mukmin itu makan dengan satu lambung sedangkan orang kafir itu makan dengan tujuh lambung”. [HR al-Bukhoriy: 5397. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ أَحَبَّ الطَّعَامِ إِلَى اللهِ مَا كَثُرَتْ عَلَيْهِ اْلأَيْدِي

“Makanan yang paling disukai oleh Allah adalah selama banyaknya tangan (untuk mengambil makanan tersebut) atasnya”. [HR Abu Ya’la dan Abu asy-Syaikh]. [15]

Adapun ungkapan yang terkenal di masyarakat dan diyakini sebagai hadits atau perkataan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah ungkapan berikut ini,

نَحْنُ قَوْمٌ لَا نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَإِذَا أَكَلْنَا لَا نَشْبَعُ

“Kami adalah sekelompok orang yang tidak akan makan sampai merasa lapar terlebih dahulu dan jika kami makan tidak sampai terasa kenyang”.

 Hadits di atas dibahas oleh asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah dalam kitabnya, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah juz 7 halaman 1651-1652 penjelasan hadits nomor 3942, ia berkata, “Ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ini adalah tidak ada asalnya”. Dengan kesimpulan “tidak memiliki sanad” yang merupakan derajat hadits yang lebih jelek dari pada hadits lemah ataupun palsu.

31). Melazimi makan dan minum dalam keadaan duduk

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata,

أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا قَالَ قَتَادَةُ: فَقُلْنَا فَالْأَكْلُ فَقَالَ: ذَاكَ أَشَرُّ أَوْ أَخْبَثُ

“Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam melarang seseorang minum dalam keadaan berdiri”. Qotadah berkata, “Kami bertanya (kepada Anas), “Bagaimana pula dengan makan (sambil berdiri)?”. Lalu ia berkata, “Itu lebih jelek atau lebih buruk”. [HR Muslim: 2024, at-Turmudziy: 1879, Abu Dawud: 3717, Ahmad: III/ 118, 131, 148, 199, 214, 250, 277, 291 dan Ibnu Majah: 3424. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata,

أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يَشْرَبُ قَائِمًا فَقَالَ لَهُ: قِهِ قَالَ: لِمَهْ قَالَ: أَيَسُرُّكَ أَنْ يَشْرَبَ مَعَكَ الْهِرُّ ؟ قَالَ: لَا قَالَ: فَإِنَّهُ قَدْ شَرِبَ مَعَكَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنْهُ الشَّيْطَانُ

“Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam pernah melihat seseorang minum dalam keadaan berdiri. Maka beliau pun berkata, “Tahan orang itu”. Orang tersebut pun bertanya, “Kenapa?”. Maka Nabi berkata, “Sukakah sekiranya kucing turut minum bersama-sama denganmu?”. Lelaki itu berkata, “Tidak”. Nabi pun menjelaskan, “Karena sesungguhnya telah turut minum bersama-sama denganmu yang lebih buruk dari kucing, yaitu setan”. [HR Ahmad, ad-Darimiy: II/ 121 dan ath-Thohawiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Sanadnya shahih. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 175].

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ

“Janganlah salah seorang di antara kamu minum dalam keadaan berdiri, barangsiapa yang lupa makan muntahkanlah”. Dan lafazh tambahannya ‘barangsiapa yang lupa maka muntahkanlah’, dari riwayat Muslim. [Muslim: 2026, dan ad-Darimiy: II/ 121. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

Dari al-Jarud bin al-Ala radliyallahu anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا

“Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang perbuatan minum dalam keadaan berdiri”. [HR at-Turmudziy: 1881. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا

Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mencela perbuatan minum dalam keadaan berdiri”. [HR Muslim: 2025].

Hadits-hadits ini semuanya menjelaskan tentang larangan makan dan minum dalam keadaan berdiri. Sekaligus menunjukkan keutamaan agar melazimi atau membiasakan makan dan minum dalam keadaan duduk. Meskipun demikian, tidaklah hal tersebut terlarang secara mutlak. Tetapi tetap diperbolehkan untuk makan dan minum dalam keadaan berdiri sekali-sekali waktu sebagaimana perbuatan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri dan berdasarkan perbuatan sebahagian para shahabat yang bersamanya.

Ulama berbeda pendapat dalam memahami antara dalil-dalil yang melarang dengan perbuatan Nabi bersama-sama para shahabatnya yang menunjukkan dibolehkan perbuatan tersebut. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan pembolehannya adalah,

Dari an-Nazzal bin Saburah berkata, “Pernah dibawakan air kepada Ali radliyallahu anhu ke pintu masjid yang luas, kemudian beliau pun meminumnya dalam keadaan berdiri. Beliau berkata,

إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ

“Sebahagian orang membenci minum dalam keadaan berdiri, sedangkan aku pernah melihat sendiri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukannya sebagaimana yang kalian melihatku melakukannya”. [HR al-Bukhoriy: 5615, 5616 dan Abu Dawud: 3718. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohulah, “Sudah sepantasnya bagi orang yang berilmu apabila ia melihat manusia menjauhi suatu perkara sedangkan ia mengetahui kebolehannya maka hendaknya ia menjelaskan kepada mereka pada sisi yang benar karena kekhawatiran panjangnya perkara tersebut sedangkan perkara itu masih diduga pengharamannya. Kapanpun dikhawatirkan hal tersebut, maka ia harus menyegerakan memberitahukan hukum itu meskipun tidak diminta. Lalu jika diminta, hendaklah ia menegaskan perkara tersebut”. [20]

Maksudnya jika seseorang berilmu mengetahui bahwasanya masih dibolehkannya minum sambil berdiri (karena suatu alasan) sedangkan masyarakat di sekitarnya masih menganggap bahwa perbuatan tersebut dilarang sehingga mereka membenci perbuatan tersebut. Maka wajib bagi orang yang berilmu untuk menjelaskannya dengan segera akan kebolehan tersebut dengan merujuk kepada dalil yang shahih. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu yang merujuk kepada perbuatan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam setelah ia melakukannya dan menjelaskan akan kebolehannya kepada mereka.

Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata,

شَرِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا مِنْ زَمْزَمَ

“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah minum zam-zam dalam keadaan berdiri”. [HR al-Bukhoriy: 5617, Muslim: 2027, at-Turmudziy: 1882 dan Ibnu Majah: 3422. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ

“Kami pernah makan di zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam sambil berjalan dan minum dalam keadaan berdiri”. [HR at-Turmudziy: 1880, Ibnu Majah: 3301, Ahmad: II/ 108 dan ad-Darimiy: II/ 120. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata,

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَشْرَبُ قَائِمًا وَ قَاعِدًا

“Aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam minum dalam keadaan berdiri dan dalam keadaan duduk”. [HR at-Turmudziy: 1881. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[23]

Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah menyatakan larangan makan dan minum dalam keadaan berdiri tersebut adalah merujuk maksud makruh tanzih. Yaitu makruh yg mendekati mubah, tidak disukai sekiranya dijadikan sebagai kebiasaan. [24]

Demikian juga yang dipegang oleh al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam Fat-h al-Bariy dan penyusun ‘Aun al-Ma’bud, Abu Thayyib al-Azhim Abadi rahimahullah. Adapun perintah memuntahkan minuman tersebut sekiranya terminum dalam keadaan berdiri, maka itu menunjukkan tuntutan bersifat sunnah (istihbab), bukan wajib.

al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah berkata,

“Sebaliknya yang benar berkaitan larangan beliau tersebut dibawa kepada makna makruh tanzih. Dan dalil yang menunjukkan beliau minum dalam keadaan berdiri tersebut menunjukkan hukum pembolehannya. Adapun yang mengatakan adanya nasakh (pemansukhan hukum) atau selainnya, maka itu adalah suatu kekeliruan. Karena nasakh tidak boleh dilakukan ketika masih ada ruang kemungkinan untuk menggabungkan di antara dalil-dalil yang ada walaupun setelah adanya tarikh (dipahami mana dalil yang datang awal dan mana yang terkemudian).

Dan perbuatan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam minum sambil berdiri tersebut menunjukkan hukum boleh karena tidak mungkin kita katakan beliau melakukan sesuatu yang makruh (dibenci). Ini karena beliau adakalanya melakukan sesuatu sekali atau berulang-ulang kali dalam rangka untuk menjelaskan (sesuatu hukum). Dan adakalanya beliau membiasakan sesuatu untuk menunjukkan keutamaan (sesuatu amal). Manakala perintah memuntahkan minuman jika seseorang terminum dalam keadaan berdiri maka ia dibawa kepada perintah istihbab (dianjurkan, bukan wajib). Menunjukkan, disukai bagi yang minum dalam keadaan berdiri agar memuntahkan yang diminum berdasarkan isyarat dari hadits yang shahih lagi jelas ini. Karena apabila suatu kata perintah itu tidak dapat dibawa kepada makna wajib, maka ia dibawa kepada makna istihbab (anjuran)”. [25]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Jalan penggabungan (kompromi antara hadits-hadits larangan dan pembolehan berdiri ketika makan minum) itu lebih utama dan lebih baik. Namun penggabungan itu dimungkinkan di antara hadits-hadits dengan cara yang lebih baik yaitu hadits-hadits larangan secara zhahir memberi faidah pengharaman, khususnya apabila kita lihat kaitan-kaitan padanya niscaya kita dapati bahwa tidak ada jalan keluar dari ucapan pengharaman.

1)). Larangan minum dalam keadaan berdiri.

2)). Terdapat penjelasan bahwa setan itu minum bersama orang yang berdiri.

3)). Terdapat teguran bagi orang yang minum dalam keadaan berdiri.

4)). Terdapat perintah bagi orang yang minum sambil berdiri untuk memuntahkannya.

Adapun hadits-hadits pembolehan maka semuanya itu dari perilaku/ perbuatan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sedangkan ucapan itu labih didahulukan daripada perbuatan, karena perbuatan itu merupakan kekhususan. Tetapi kandungan pembolehan itu harus memiliki udzur (alasan) seperti tempat yang sempit dan kondisi tempat kantung air yang tergantung”. [26]

Demikian beberapa penjelasan tentang adab makan dan minum dalam Islam sebagaimana telah diperintahkan dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang dibuat menjadi empat kali pembahasan. Namun pembahasan ini bisa kami tambahkan kembali, in syaa Allah jika ada mashlahat dan manfaatnya bagi kaum muslimin.

Mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat bagiku, istriku, anak keturunanku, para kerabat dan shahabatku serta seluruh kaum muslimin untuk senantiasa mengikuti dan mencontoh sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Wallahu a’lam bish showab.

 

[1] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2246, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 388, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6505, 6506, Ghoyah al-Maram: 190 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 159.

[2] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 162 dan Irwa’ al-Ghalil: 1949.

[3]Mukhtashor Shahih Muslim: 1308.

[4]Bahjah an-Nazhirin: II/ 57.

[5]Shahih Sunan Abu Dawud: 3247, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2691, 2692, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2323 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 6863.

[6] Shahih Sunan Abu Dawud: 3169, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2765 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1771.

[7] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2766, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: IV/ 372 (1771), 2320 dan Mukhtashor asy-Syama’il al-Muhammadiyah: 176.

[8] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1939, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2704, Irwa’ al-Ghalil: 1983, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2265 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5674.

[9] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2705, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2015, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 343, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4491 dan Misykah al-Mashobih: 5193.

[10] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2706, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 343 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1577.

[11]Mukhtashor Shahih Muslim: 1310, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1486, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1686 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3908.

[12]Mukhtashor Shahih Muslim: 1311, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2633, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1486, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1686 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3910.

[13]Mukhtashor Shahih Muslim: 1312, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2635 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 1484.

[14]Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6660.

[15] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 2133.

[16]Shahih Sunan at-Turmudziy: 1531, Shahih Sunan Abu Dawud: 3161 dan Shahih Sunan Ibnu Majah: 2764.

[17]Mukhtashor Shahih Muslim: 1294, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 175, 176 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7718.

[18]Shahih Sunan at-Turmudziy: 1532.

[19]Shahih Sunan Abu Dawud: 3162.

[20]Bahjah an-Nazhirin: II/ 71.

[21]Shahih Sunan at-Turmudziy: 1534 dan Shahih Sunan Ibnu Majah: 2762.

[22]Shahih Sunan at-Turmudziy: 1533, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2670 dan Misykah al-Mashobih: 4275.

[23]Shahih Sunan at-Turmudziy: 1535, Misykah al-Mashobih: 4276 dan Mukhtashor asy-Syama’il al-Muhammadiyah: 177.

[24]Syar-h Shahih Muslim: XIII/195.

[25] Fat-h al-Bariy: X/83 susunan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah.

[26]Bahjah an-Nazhirin: II/ 73-74.

AYO CARILAH BERKAH DENGAN MAKAN (3) !!!

ADAB MAKAN DAN MINUM (3)

بسم الله الرحمن الرحيم

Mindi121). Makan dari bawah dan tepi hidangan

            Dari Abdullah bin Busr bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah diberi semangkuk besar (makanan). Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

            كُلُوا مِنْ جَوَانِبِهَ وَ دَعُوْا ذُرْوَتَهَا يُبَارَكْ فِيْهَا

            “Makanlah dari tepi-tepinya dan biarkan bagian atasnya niscaya (makanan itu) akan diberkahi”. [HR Ibnu Majah: 3275, 3263 dan Abu Dawud: 3773. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

            Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan manusia akan tata cara makan. Bahwa berkah itu berada di tengah-tengah (makanan) dan hal itu berdampak pada makanan seluruhnya”. [2]

Dalam riwayat yang lainnya, dari Abdullah bin Busr berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

كُلُوْا مِنْ جَوَانِبِهَا وَ دَعُوْا ذِرْوَتَهَا يُبَارَكْ لَكُمْ فِيْهَا ثُمَّ قَالَ خَذُوْا فَكُلُوْا فَوَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَيُفْتَحَنَّ عَلَيْكُمْ أَرْضُ فَارِسٍ وَ الرُّوْمِ حَتَّى يَكْثُرَ الطَّعَامُ فَلَا يُذْكَرَ اللهُ عَلَيْهِ

“Makanlah dari bagian pinggirnya dan biarkan bagian tengahnya niscaya kalian akan diberkahi”. Kemudian Beliau bersabda, “Ambillah dan makanlah, demi Dzat yang jiwa Muhammad ada pada (genggaman) tangan-Nya, benar-benar tanah Persia dan Romawi akan ditaklukkan untuk kalian, sehingga makanan akan menjadi banyak lalu tidak disebut nama Allah padanya”. [HR Abu Bakar asy-Syafi’iy di dalam al-Fawa’id, Ibnu Asakir, al-Baihaqiy dan adl-Dliya’ al-Muqaddisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Hadits tersebut merupakan satu tanda dari tanda-tanda kenabiannya Shallallahu alaihi wa sallam. Sungguh-sungguh orang terdahulu kita telah menaklukan daerah Persia dan Romawi dan kita mewariskannya dari mereka. Lalu banyak dari kita yang melampaui batas dan berpaling dari syariat dan adab-adabnya yang memulai makan mengucapkan ‘Bismillah’. Lalu mereka melupakan hal ini sehingga hampir-hampir kita tidak akan menjumpai orang yang berdzikir (menyebut nama Allah) pada mereka”. [4]

Dari Watsilah bin al-Asqo’ al-Laitsiy berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengambil bagian atasnya roti tsarid lalu bersabda,

كُلُوا بِسْمِ اللهِ مِنْ حَوَالَيْهَا وَ اعْفُوْا رَأْسَهَا فَإِنَّ اْلبَرَكَةَ تَأْتِيْهَا مِنْ فَوْقِهَا

“Makanlah dengan membaca bismillah dari bagian pinggirnya dan biarkan bagian atasnya. Karena sesungguhnya berkah itu datang dari bagian atasnya”. [HR Ibnu Majah: 3276. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلَا يَأْكُلْ مِنْ أَعْلَى الصَّحْفَةِ وَلَكِنْ لِيَأْكُلْ مِنْ أَسْفَلِهَا فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ مِنْ أَعْلَاهَا

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka jangan ia makan dari bahagian atas hidangan, tetapi makanlah dari bahagian bawahnya. Karena sesungguhnya berkah itu turun dari bahagian atasnya.” [HR Abu Dawud: 3772. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اْلبَرَكَةُ تَنْزِلُ فِى وَسَطِ الطَّعَامِ فَكُلُوْا مِنْ حَافَتَيْهِ وَ لَا تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهِ

“Berkah itu turun dari tengah-tengah makanan, maka dari sebab itu makanlah dari tepi-tepinya dan jangan makan dari tengah-tengahnya”. [HR at-Turmudziy: 1805, Ibnu Majah: 3277 dan Ahmad: I/ 270]. [7]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah Azza wa Jalla telah memuliakan orang-orang yang mengingat-Nya (atau menyebut nama-Nya) ketika maka dengan menurunkan berkah yang Ia cabut dari orang-orang selain mereka dari orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya. Berkah itu berada di luar makanan yang tidak halal baginya kecuali dengan menyebut Nama Allah. Makan makanan dari tengah-tengah makanan itu hukumnya makruh. Adab di dalam makan itu berada di pinggir piring bukan dari tengahnya”. [8]

Beberapa dalil hadits di atas penjelasannya menjelaskan bahwa yang dicari dan diharapkan dari memakan makanan adalah mencari dan ngalap berkah, bukan sekedar mencari kepuasan dan rasa kenyang. Hal itu bisa diperoleh jika mengikuti perintah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yaitu dengan mengucapkan Bismillah dan juga memakan makanan itu dari pinggir atau tepi makanan bukan dari bagian atas atau tengahnya.

22). Larangan minum dari mulut bejana tempat menyimpan air secara langsung.

Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ فَمِ القِرْبَةِ أَوِ السِّقَاءِ

“Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang minum secara langsung dari mulut bejana simpanan air atau kantong air”.[HR al-Bukhoriy: 5627. Juga diriwayatkan Abu Dawud: 3719, Ibnu Majah: 3421, ad-Darimiy: II/ 89, 118-119 dan Ahmad: I/ 226, 241, 321, 339 dari Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Maka yang benar, hendaklah air dituang ke dalam bejana yang lain seperti gelas atau cawan mengikut jumlah kadar yang diperlukan, lalu kemudian barulah air itu diminum dengan menggunakan gelas tersebut. Bukan langsung dari mulut ceret, kantong air dan sejenisnya. Apalagi dikhawatirkan pada ceret atau kantung air itu terdapat binatang, ular atau serangga yang berbahaya bagi manusia yang jika langsung diminum makan serangga itu akan langsung tertelan masuk melalui mulutnya.

Atau dikhawatirkan akan merubah bau air dan tempatnya sehingga timbul rasa jijik dan akhirnya membuangnya. Sebagaimana diketahui jika seseorang makan telur dan semisalnya yang berbau amis maka ketika ia meminum air langsung dari mulut ceret atau tempat air, maka ketika selesai akan membuat tempat itu berbau atau air yang kembali masuk ke dalamnya akan membuat air lainnya berbau pula.

Atau ketika seseorang meminum dengan cara seperti itu akan menjadikan air yang keluar dari mulut ceret atau tempat air tersebut terlalu banyak dan berlebih sehingga tercurah melewati kebutuhannya dan terbuang, bahkan akan membuat peminumnya tersedak.

23). Anjuran untuk memberi makan kepada orang miskin atau orang yang lapar.

        وَ يُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَ يَتِيمًا وَ أَسِيرًا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءًا وَ لَا شُكُورًا

          Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.Sesungguhnya Kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridloan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih. [QS al-Insan/ 76: 8-9].

Dari Abu Musa al-Asy’ariy radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

أَطْعِمُوْا اْلجَائِعَ وَ عُوْدُوْا اْلمـَرِيْضَ وَ كُفُّوْا اْلعَانِى

            “Berilah makan kepada orang yang lapar, besuklah orang yang sakit dan bebaskanlah budak/ tawanan”. [HR al-Bukhoriy: 5373 dan Ahmad: IV/ 406. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[10]

            Dari Hudzaifah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

        مَنْ خُتِمَ لَهُ بِإِطْعَامِ مِسْكِيْنٍ مُحْتَسِبًا عَلَى اللهِ عز و جل دَخَلَ اْلجَنَّةَ وَ مَنْ خُتِمَ لَهُ بِصَوْمِ يَوْمٍ مُحْتَسِبًا عَلَى اللهِ عز و جل دَخَلَ اْلجَنَّةَ وَ مَنْ خُتِمَ لَهُ بِقَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحْتَسِبًا عَلَى اللهِ عز و جل دَخَلَ اْلجَنَّةَ

            “Barangsiapa yang diakhiri (hidupnya) dengan memberi makan kepada orang miskin dalam rangka mencari keridloan Allah Azza wa Jalla maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang diakhiri (hidupnya) dengan berpuasa satu hari dalam rangka mencari keridloan Allah Azza wa Jalla maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang diakhiri hidupnya dengan ucapan ‘Laa ilaaha illallah’ dalam rangka mencari keridloan Allah Azza wa Jalla maka ia akan masuk surga”. [HR Abu Nu’aim, Ahmad: V/ 391 dan Ibnu Syahin. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[11]

            Dari Hani radliyallahu anhu, bahwasanya ketika ia menjadi utusan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia bertanya, “Wahai Rosulullah, sesuatu apakah yang dapat menetapkan ke dalam surga?”. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

        عَلَيْكَ بِحُسْنِ اْلكَلَامِ وَ بَذْلِ الطَّعَامِ

            “Wajib atasmu untuk baik dalam perkataan dan mendermakan makanan”. [HR Ibnu Abi ad-Dunya dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

            Dari Shuhaib (bin Sinan) radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

        خِيَارُكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ

            “Sebaik-baik kalian adalah yang suka memberi makan”. [HR Ahmad dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [13]

            Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya ada seseorang pernah mengeluh kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa tentang kekerasan hatinya. Lalu Beliau bersabda kepadanya,

إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ فَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ

“Jika engkau ingin melunakkan hatimu maka berilah makan pada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim”. [HR. Ahmad II/263, ath-Thabraniy dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [14]

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

      أَفْضَلُ اْلأَعْمَالِ أَنْ تُدْخِلَ عَلَى أَخِيْكَ اْلمـُؤْمِنِ سُرُوْرًا أَوْ تَقْضِيَ عَنْهُ دَيْنًا أَوْ تُطْعِمَهُ خُبْزًا

“Seutama-utama amal adalah engkau memasukkan kebahagiaan kepada saudaramu yang mukmin, engkau membayarkan hutangnya atau engkau memberinya makan roti”. [HR Ibnu Abi ad-Dunya di dalam Qodlo’ al-Hawa’ij dan ad-Dailamiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [15]

Di dalam satu riwayat dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma, “Seutama-utama amal adalah engkau memasukkan kebahagiaan kepada seorang mukmin, mengenyangkan rasa laparnya, memberi pakaian untuk auratnya dan memenuhi kebutuhannya”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Awsath]. [16]

Dari Abu Malik al-Asy’ariy radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِى اْلجَنَّةِ غُرَفًا يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا وَ بَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا أَعَدَّهَا اللهُ تعالى لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ وَ أَفْشَى السَّلَامَ وَ صَلَّى بِاللَّيْلِ وَ النَّاسُ نِيَامٌ

“Sesungguhnya di dalam surga itu ada beberapa ruangan yang bagian luarnya akan terlihat dari bagian dalamnya dan bagian dalamnya tampak dari bagian luarnya. Yang Allah ta’ala telah sediakan untuk orang yang memberi makan makan (kepada orang yang membutuhkan), menyebarluaskan salam dan sholat di malam hari sedangkan orang lain dalam keadaan tidur”. [HR Ibnu Hibban dan Ahmad: V/ 343. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [17]

            Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini dalam keadaan shaum (berpuasa)?”. Maka Abu Bakar radliyallahu anhu berkata, “Saya”. Beliau bertanya kembali, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini telah menjenguk orang yang sakit?”. Abu Bakar kembali menjawab, “Saya”. Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini menyaksikan jenazah?”. Abu Bakar menjawab, “Saya”. Beliau bertanya kembali, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini telah memberi makan kepada seorang miskin?”. Abu Bakar berkata, “Saya”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

      مَا اجْتَمَعَ هَذِهِ اْلخِصَالُ فِى رَجُلٍ فِى يَوْمٍ إِلَّا دَخَلَ اْلجَنَّةَ

            “Tidaklah terhimpun perkara-perkara ini pada diri seseorang pada satu hari melainkan ia akan masuk ke dalam surga”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 515 dan Ibnu Khuzaimah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

            Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang telah tsabit lagi shahih lainnya yang menjelaskan anjuran bagi setiap muslim untuk senantiasa memperhatikan kehidupan orang-rang selainnya yang tidak memiliki kemampuan dan kemapanan. Di antaranya adalah memberikan makan kepada orang-orang yang membutuhkannya semisal kaum miskin, anak yatim, para budak belian, para janda dan semisal mereka. Banyak sekali faidah dan manfaat di dalamnya semisal; telah mengamalkan amal yang paling utama, melunakkan hati yang mengeras, masuk ke dalam surga dan lain sebagainya.

عن أبي محذورة قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ عُمَرَ رضي الله عنه إِذَا جَاءَ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةٍ بِجَفْنَةٍ يَحْمِلُهَا نَفَرٌ فىِ عَبَاءَةٍ فَوَضَعُوْهَا بَيْنَ يَدَيْ عُمَرَ فَدَعَا عُمَرُ نَاسًا مَسَاكِيْنَ وَ أَرِقَّاءَ مِنْ أَرِقَّاءِ النَّاسِ حَوْلَهُ فَأَكَلُوْا مَعَهُ ثُمَّ قَالَ عِنْدَ ذَلِكَ: فَعَلَ اللهُ بِقَوْمٍ أَوْ قَالَ: لَحَا اللهُ بِقَوْمٍ يَرْغَبُوْنَ عَنْ أَرِقَّائِهِمْ أَنْ يَأْكُلُوْا مَعَهُمْ فَقَالَ صَفْوَانُ: أَمَا وَ اللهِ مَا نَرْغَبُ عَنْهُمْ وَلَكِنَّا نَسْتَاْثِرُ عَلَيْهِمْ لاَ نَجِدُ وَ اللهِ مِنَ الطَّعَامِ الطَّيِّبِ مَا نَأْكُلُ وَ نُطْعِمُهُمْ

Dari Abu Mahdzurah berkata, “Aku pernah duduk di sisi Umar radliyallahu anhu, tiba-tiba datanglah Shofwan bin Umayyah membawa sebuah baskom yang dibawa oleh sekelompok orang di atas sebuah kain. Lalu mereka meletakkannya di hadapan Umar radliyallahu anhu. Lalu Umar mengundang (makan) beberapa kaum miskin dan kaum budak dari budak-budak manusia disekitarnya. Lalu merekapun makan bersamanya. Ketika itu Umar berkata, “Semoga Allah mengutuk suatu kaum yang tidak menyukai makan bersama mereka”. Berkata Shofwan, “Demi Allah, kami tidak benci mereka tetapi kami memperhatikan (keadaan) mereka. Kami tidak menjumpai makanan yang thayyib (baik) yang dapat kami makan dan kami beri kepada mereka”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 201. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih sanadnya]. [19]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

 يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ امْرَؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ هُمْ إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمُ اللهُ تَحْتَ أَيْدِيْكُمْ فَأَطْعِمُوْهُمْ مِمَّا تَأْكُلُوْنَ وَ أَلْبِسُوْهُمْ مِمَّا تَلْبَسُوْنَ وَ لاَ تُكَلِّفُوْهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوْهُمْ فَأَعِيْنُوْهُمْ

“Wahai Abu Dzarr sesungguhnya di dalam dirimu itu masih ada perkara/ perbuatan jahiliyyah. Sesungguhnya mereka (yakni budakmu) itu adalah saudaramu juga. Allah telah menjadikan mereka dibawah kekuasaanmu. Maka berilah mereka makan dari yang biasa kalian makan, berilah mereka pakaian dari yang biasa kalian pakai dan janganlah kalian membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak kuasai. Tetapi jika kalian hendak membebani mereka juga maka bantulah mereka”. [HR Muslim: 1661, al-Bukhoriy: 84, 2545, 6050 dan Abu Dawud: 5158. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[20]

24). Diundang makan ketika sedang berpuasa

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَ إِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ

“Apabila seseorang dari kalian diundang (kepada suatu jamuan makan) maka penuhilah (undangan tersebut). Jika ia sedang berpuasa maka doakanlah kebaikan (bagi orang yang mengundang tersebut), namun jika ia sedang tidak berpuasa maka makanlah”. [HR Muslim: 1431. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[21]

            Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajibnya menerima undangan, sama saja apakah sedang berpuasa atau tidak. Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa dirinya, ia boleh berbuka (makan) atau boleh juga menyempurnakan puasanya. Orang yang berpuasa itu apabila ia tidak berkehendak makan, maka hendaknya ia mendoakan keberkahan dan kebaikan bagi orang yang mengundangnya. Berpuasa itu tidak boleh menahan pelakunya untuk menghadiri walimahan walaupun ia tidak berkehendak makan. Maka orang yang mengundang makan dan para hadirin dapat mengais berkah dengannya. [22]

            Jika seorang muslim diundang makan sedangkan ia sedang menunaikan shaum (puasa sunnah) maka ia tetap wajib menghadiri undangan tersebut selama tidak memiliki udzur syar’iy. Jika berkehendak ia boleh makan dan membatalkan puasanya, namun boleh juga baginya untuk tetap mempertahankan puasanya sambil mendoakan kebaikan dan keberkahan bagi orang yang mengundangnya. Sebab puasa itu tidak dapat mencegah pelakunya dari menerima undangan dan menghadiri walimahan.

25). Dilarang menanyakan perihal makanan dan minuman yang dihidangkan seorang muslim

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

            إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيْهِ اْلمـُسْلِمِ فَأَطْعَمَهُ مِنْ طَعَامِهِ فَلْيَأْكُلْ وَ لَا يَسْأَلْهُ عَنْهُ فَإِنْ سَقَاهُ مِنْ شَرَابِهِ فَلْيَشْرَبْ مِنْ شَرَابِهِ وَ لَا يَسْأَلْهُ عَنْهُ

            “Apabila seseorang dari kalian masuk berkunjung ke rumah saudaranya yang muslim lalu dihidangkan makanan kepadanya maka hendaklah ia memakannya dan janganlah ia menanyakan (atau menyelidiki) perihal makanan tersebut kepadanya. Dan jika dihidangkan minuman kepadanya maka hendaklah ia meminumnya dan janganlah ia menanyakan (atau menyelidiki) perihal minuman tersebut kepadanya”. [HR Ahmad: III/ 399, al-Hakim, Abu Ya’la, ath-Thabraniy dan al-Khathib al-Baghdadiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]

            Dalil di atas menjelaskan larangan dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam perihal makanan atau minuman yang dihidangkan oleh seorang muslim dengan tujuan untuk menyelidikinya. Yakni apakah hidangan itu dari hasil yang haram atau halal.

            Namun jika muslim tersebut tinggal di negara kaum kafirin, maka terkadang perlu ditanyakan kehalalan hidangan tersebut. Sebab daging sembelihan yang halal disana sangat langka sekali, sebagaimana telah banyak dituturkan oleh kaum muslimin yang pernah tinggal dan berkunjung kesana. Tidak ada yang peduli akan hal ini kecuali orang-orang yang sangat memelihara agamanya.

 

[1] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2648 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 3207.

[2] Bahjah an-Nazhirin: II/ 61.

[3]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 393 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4504.

[4]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 678.

[5] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2649 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2030.

[6] Shahih Sunan Abu Dawud: 3207.

[7] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2650 dan Irwa’ al-Ghalil: 1980.

[8] Bahjah an-Nazhirin: II/ 60.

[9]Shahih Sunan Abu Dawud: 3163, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2761, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 399 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6889, 6890.

[10]Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4229.

[11] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1645.

[12] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1939 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4049.

[13] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 940.

[14]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 853 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 1410.

[15] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1096 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1494.

[16] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1096 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: III/ 482.

[17]Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2123, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 939, 614 dan Misykah al-Mashobih: 1232, 1232.

[18]Shahih al-Adab al-Mufrad: 400, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 88 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 945.

[19] Shahih al-Adab al-Mufrad: 148.

[20] Shahih Sunan Abi Dawud: 4297.

[21]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1343, Irwa’ al-Ghalil: 1953 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 538, 539.

[22] Bahjah an-Nazhirin: II/ 56.

[23]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 627 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 518.

AYO CARILAH BERKAH DENGAN MAKAN (2) !!!

ADAB MAKAN DAN MINUM (2)

بسم الله الرحمن الرحيم

makanan59). Mengajak penyedia makanan untuk makan bersama

Di antara adab makan adalah mengajak orang yang menyediakan makanan tersebut untuk makan. Apakah ia seorang pelayan atau bukan, jika kita seorang muslim maka hendaknya kita menawarkan kepadanya untuk merasakan hidangan yang disediakannya tersebut. Atau jika ia tidak menerima ajakan tersebut karena merasa sungkan, hendaknya kita mengambilkan untuknya sepotong ataupun dua potong dari makanan tersebut.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَلْيُجْلِسْهُ فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ فَلْيُنَاوِلْهُ

“Apabila datang kepada salah seorang dari kalian, pembantunya maka hendaklah ia mempersilahkan duduk (untuk makan bersamanya). Jika ia menolak maka hendaklah ia meraihkan untuknya (dalam satu riwayat, satu atau dua suapan)”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 200, di dalam shahihnya: 5460, Muslim: 1663, Ibnu Majah: 3289, 3290, 3291, ad-Darimiy: II/ 107 dan Ahmad: II/ 473. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [1]  

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa Sallam,

إِذَا أَتَى أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ مَعَهُ فَلْيُنَاوِلْهُ أُكْلَةً أَوْ أُكْلَتَيْنِ أَوْ لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ فَإِنَّهُ وَلِيَ حَرَّهُ وَعِلاَجَهُ

“Apabila pembantu (pelayan) salah seorang daripada kamu menyediakan makanan (untuk kamu) ajaklah dia makan sekali, jika tidak maka hendaklah kamu berikan padanya satu atau dua makanan, atau sepotong atau dua potong darinya. Ini karena dia telah membantu kamu menyediakannya.” [HR al-Bukhoriy: 5460, Abu Dawud: 3846 dan Ibnu Majah: 3297. Berkata as-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

Demikian beberapa dalil yang menjelaskan anjuran untuk memberi makanan untuk orang yang menyediakan makanan tersebut meskipun yang menyediakan makanan tersebut hanyalah seorang pelayan atau pembantu. Dan hendaknya kita mesti menyingkirkan perasaan gengsi dan malu untuk sama-sama bersantap makanan tersebut dengannya. Karena ketawadluan seorang majikan muslim itu di antaranya adalah ia mau makan dan bersantap bersama dengan pembantunya.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَا اسْتَكْبَرَ مَنْ أَكَلَ مَعَهُ خَادِمُهُ وَ رَكِبَ اْلحِمَارَ بِاْلأَسْوَاقِ وَ اعْتَقَلَ الشَّاةَ فَحَلَبَهَا

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah sombong orang yang makan bersama pembantunya, mengendarai keledai di pasar dan mengikat kambing lalu memerah susunya”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 550 dan ad-Dailamiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan].  [3]

10). Apabila makanan telah terhidang

Jika hidangan telah tersedia di atas meja hidangan, sedangkan ikomat untuk menunaikan sholat sudah dikumandangkan maka amalan yang mesti didahulukan oleh seorang muslim adalah mendahulukan makan makanan tersebut.

Dari Aisyah radliyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,

إِذَا وُضِعَ العَشَاءُ وَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَابْدَءُوا بِالعَشَاءِ

“Apabila makan malam telah terhidang sedangkan sholat telah diikomatkan, maka dahulukanlah makan malam tersebut.” [HR al-Bukhoriy: 5465 dan Ibnu Majah: 935. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَ أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا يَقُوْمَ حَتَّى يَفْرُغَ

 “Apabila makan malam seseorang di antara kalian telah dihidangkan sedangkan sholat telah diikiomatkan maka janganlah ia berdiri (dari makannya) sehingga ia selesai”.  Musaddad menambahkan, “Ibnu Umar apabila telah dihidangkan (kepadanya) atau dihadirkan kepadanya makan malam, maka ia tidak berdiri (dari makannya) sehingga ia selesai, kendatipun ia mendengar ikomat (dikumandangkan) dan mendengar bacaan imam (memulai sholat memimpin jamaah)”. Musaddad menambahkan, “Ibnu Umar itu apabila telah diletakkan atau dihidangkan hidangan makan malamnya maka ia tidak akan berdiri (menuju sholat) sehingga ia selesai dari makannya, meskipun ikomat telah didengungkan dan telah mendengar bacaan imam. [HR Abu Dawud: 3757, at-Turmudziy: 354 dan Ibnu Majah: 934. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وُضِعَ اْلعَشَاءُ وَ أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوْا بِاْلعَشَاءِ

“Apabila telah disediakan makan malam sedangkan sholat telah diikomatkan maka dahulukan makan malam”. [HR al-Bukhoriy: 5463, at-Turmudziy: 353, an-Nasa’iy: II/ 112 dan Ibnu Majah: 933. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Dari Nafi’ berkata,

أَنَّهُ تَعَشَّى مَرَّةً وَهُوَ يَسْمَعُ قِرَاءَةَ اْلإِمَامِ

“Bahwasanya beliau (yaitu Ibnu Umar) pernah makan malam sedangkan ia dalam keadaan mendengar suara bacaan imam (sedang sholat mengimami jamaah)”. [Atsar riwayat al-Bukhoriy: 5464 dan at-Turmudziy: 353].

Hadis ini menunjukkan disukai agar menghabiskan makanan yang telah terhidang terlebih dahulu jika tiba-tiba telah masuk waktu sholat. Tetapi sekiranya hidangan makanan tersebut tidak mengganggu kekhusyu’an atau kesempurnaan sholatnya, maka dibolehkan baginya untuk meninggalkan sementara makanan tersebut kemudian dia segera menunaikan sholat dan melanjutkan makan kembali jika telah selesai menunaikan sholat.

Ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Amr bin Umayyah radliyallahu anhu,

أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْتَزُّ مِنْ كَتِفِ شَاةٍ فِي يَدِهِ فَدُعِيَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَلْقَاهَا وَالسِّكِّينَ الَّتِي كَانَ يَحْتَزُّ بِهَا ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

“Bahwasanya aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedang memotong paha kambing yang ada pada tangannya, tiba-tiba ada seruan untuk sholat berkumandang. Beliaupun meletakkan pisau yang beliau pakai untuk memotong daging tersebut lalu bergegas menuju sholat tanpa memperbaharui wudhu’.” [HR al-Bukhoriy: 5408, 5462].

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ وَ أَحَدُكُمْ صَائِمٌ فَلْيَبْدَأْ بِاْلعَشَاءِ قَبْلَ صَلَاةِ اْلمـَغْرِبِ وَ لَا تَعْجَلُوْا عَنْ عَشَائِكُمْ

“Apabila sholat telah diikomatkan sedangkan seseorang di antara kalian sedang berpuasa, maka mulailah dengan makan malam terlebih dahulu sebelum menunaikan sholat maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dari makan malam kalian”. [HR Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

11). Tidak mencela makanan

Jika seseorang merasakan ketidak lezatan makanan yang sedang ia santap, hendaklah ia berdiam tanpa celaan terhadap makanan tersebut. Jika ia suka hendaklah ia menyantap dan memakannya sampai habis, namun jika ia tidak menyukainya maka hendaklah ia meninggalkannya yakni tidak memakannya. Sebagaimana di dalam hadits shahih berikut,

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata,

مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Jika beliau mau, beliau makan, dan jika tidak suka, beliau meninggalkannya.” [HR al-Bukhoriy: 5409, Muslim: 2064 dan Abu Dawud: 3763. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Semua makanan yang mubah (dibolehkan untuk dimakan), Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mencelanya. Adapun yang haram, maka Beliau mencela dan menghinanya serta dilarang dari (memakan)nya. Terdapat keagungan akhlak Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Beliau senantiasa menjaga perasaan para pembuat makanan dan juru masaknya. Beliau tidak mencela karya mereka, tidak mengoyak perasaan mereka dan mematahkah hati mereka. Terdapat penjelasan akan adab yang baik, karena seseorang itu terkadang tidak berhasrat kepada suatu makanan tetapi berminat kepada makanan yang lainnya”. [9]

Maksudnya adalah jika seseorang memakan suatu makanan, lalu ia merasakan makanan tersebut tidak enak, maka janganlah ia berkata yang tidak-tidak akan makanan tersebut. Jangan pula ia mencela, mengejek dan mengolok-oloknya, apalagi sampai mengucapkan, ‘makanan apa ini? rasanya tidak enak sekali!’. Atau mengatakan, ‘Aduh makanannya asin banget, atau hambar sekali, dan sejenisnya. Atau jika dihidangkan kurma kepada seseorang, namun kondisi kurma itu kurang baik maka janganlah ia mengatakan, ‘Ini kurma yang jelek’. Maka jika ia berselera, silahkanlah ia memakannya. Tetapi jika tidak, tinggalkanlah kurma tersebut tanpa mencela dan mengejeknya.

Dan dalam hadits yang lain, apabila makanan tersebut terasa lezat dan nikmat, maka dianjurkan baginya untuk memuji makanan tersebut ketika sedang menikmatinya.

Dari Jabir bin Abdillah radliyallahu anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam pernah meminta lauk daripada para isterinya. Maka para isterinya berkata, “Tiada apa di sisi kami kecuali khall (cuka).” Maka beliau pun meminta dibawakan cuka tersebut lalu beliau pun makan berlauk dengannya. Dan beliau mengatakan, “Lauk yang paling nikmat (enak) adalah cuka, lauk yang paling nikmat adalah cuka.” [HR Muslim: 2052, at-Turmudziy: 1839, 1840, 1842, 1843, Ibnu Majah: 3316, 3317, ad-Darimiy: II/ 101, Ahmad: III/ 301, 304, 353, 364, 389, 390, 400. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Tetapi apabila ditanya kenapa kita tidak makan makanan tertentu, maka dibolehkan menyatakan alasannya dengan baik tanpa memburuk-burukkan makanan tersebut. Ini sebagaimana hadits dari Kholid bin al-Walid di mana Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam enggan makan makanan berupa daging dhabb (biawak padang pasir). Apabila beliau ditanya tentang dhabb apakah haram dimakan, maka Rasulullah mengatakan,

لاَ وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ

“Dhabb tersebut tidak terdapat di kampung halamanku (bukan makanan kebiasaan bagi masyarakatnya), jadi aku rasa tidak biasa dengannya (atau tidak selera terhadapnya).” [HR al-Bukhoriy: 5391, 5400, 5537, Muslim: 1945 (43), Abu Dawud: 3794, Ahmad: IV/ 88-89, al-Baihaqiy dan asy-Syafi’iy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Dan ini juga termasuk dari petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa jika Beliau  menyukai suatu makanan maka Beliau akan memujinya. Dan seperti itu pula seandainya engkau menyanjung (kelezatan rasa) roti yaitu engkau mengatakan, ‘Roti yang paling nikmat adalah roti si Fulan atau yang semisalnya’. Maka ini juga jelas termasuk dari sunnah Rosul Shallallahu alaihi wa sallam”. [12]

12). Tidak disukai makan sambil bersandar dan berbaring

Di antara adab menikmati makanan adalah tidak bersandar pada suatu sandaran apakah sandaran kursi, dinding, sofa dan sejenisnya ketika sedang menyantap hidangan. Dan juga tidak dalam keadaan berbaring sebagaimana yang dilakukan oleh para bangsawan atau kalangan raja. Hal tersebut terlarang kecuali orang yang sedang tertimpa udzur semisal sakit dan sejenisnya.

Dari Abu Juhaifah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

 لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا

“Aku tidak makan dalam keadaan bersandar”. [HR al-Bukhoriy: 5398, 5399, Abu Dawud: 3769, at-Turmudziy: 1830, Ibnu Majah: 3262 dan Ahmad: IV/ 308, 309. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

Dari Abdullah bin Amr radliyallahu anhuma berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah terlihat makan sambil bersandar sedikitpun”. [HR Abu Dawud 3770 dan Ibnu Majah: 244. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “(Anjuran) untuk tawadlu ketika makan dan tidak bertasyabbuh kepada orang ‘ajamiy (di luar Islam). Terdapat pengharaman makan dengan bersandar, sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam merupakan dalil atas hal tersebut”. [15]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Karena jika seseorang makan sambil bersandar maka hal itu dapat memberi mudlarat kepadanya. Ketika posisi tempat mengalirnya makanan itu akan menjadi miring, tidak dalam posisi tegak dan tidak pula berada di atas normalnya. Maka boleh jadi, perbuatan tersebut akan mendatangkan beberapa bahaya pada tempat mengalirnya makanan”. [16]

Dari Anas  radliyallahu anhu berkata,

رَاَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم جَالِسًا مُقْعِيًا يَاْكُلُ تَمْرًا

“Aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan duduk iq’a (duduk di atas tumit dengan menegakkan betisnya) sambil memakan kurma”. [HR Muslim: 2044 dan Abu Dawud: 3771. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[17]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dibolehkannya makan dalam keadaan duduk iq’a”. [18]

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata,

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنْ مَطْعَمَيْنِ عَنِ اْلجُلُوْسِ عَلَى مَائِدَةٍ يُشْرَبُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ وَ أَنْ يَأْكُلَ وَ هُوَ مُنْبَطِحٌ عَلَى بَطْنِهِ

“Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang dari dua jenis cara makan. Yakni dari duduk di atas hidangan yang diminum khomer padanya dan makan dalam keadaan berbaring di atas perutnya”. [HR Abu Dawud: 3774 dan Ibnu Majah: 3370. Berkata as-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

13). Minum dengan tiga kali nafas     

Dilarang pula untuk meminum air dengan satu kali nafas, kecuali jika ia meminumnya itu sambil menarik nafas. Dan dianjurkan untuk menghabiskan minum itu dengan tiga kali tarikan nafas, yaitu setiap kali seseorang minum, lalu ia berhenti dan menjauhkan bejana atau wadah minuman tersebut dari mulut dan hidungnya. Lalu ia bernafas sebagaimana biasa dan kemudian minum kembali dan melakukan hal tersebut dengan tiga kali tarikan nafas. Karena hal tersebut dapat lebih mengenyangkan, lebih menghilangkan rasa haus dan terasa lebih nikmat.

Dari Anas radliyallahu anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يَتَنَفَّسُ فِى اْلإِنَاءِ ثَلاَثًا

“Bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bernafas tiga kali di (luar) bejana”. [HR Muslim: 2028].

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَنَفَّسُ فِى الشَّرَابِ ثَلَاثًا وَ يَقُوْلُ: إِنَّهُ أَرْوَى وَ أَبْرَأُ وَ أَمْرَأُ

“Adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bernafas tiga kali (di luar bejana) ketika minum. Lalu Beliau bersabda, sungguh yang demikian itu lebih mengenyangkan, lebih dapat menghilangkan dahaga dan lebih nikmat”. Anas berkata, “Karena itu, aku bernafas tiga kali (di luar bejana) ketika minum”. [HR Muslim: 2028 (123) dan al-Bukhoriy: 5631]. [20]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata,

كَانَ يَشْرَبُ فِي ثَلَاثَةِ أَنْفَاسٍ إِذَا أَدْنَى اْلإِنَاءَ إِلَى فِيْهِ سَمَّى اللهَ تَعَالَى وَ إِذَا أَخَّرَهُ حَمِدَ اللهَ تَعَالَى يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

“Bahwasanya (Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam) biasa minum dengan tiga kali nafas (selang seling antara meneguk air dan menarik nafas). Jika bejana minuman menghampiri ke mulut beliau, beliau menyebut nama Allah ta’ala. Dan jika selesai satu nafas, beliau memuji Allah ta’ala (mengucapkan tahmid/ alhamdulillah). Beliau lakukan hal tersebut sebanyak tiga kali”. [HR al-Khoro’ithiy di dalam Fadla’il asy-Sukri, ath-Thabraniy di dalam al-Awsath dan selainnya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

14). Tidak bernafas atau meniup ke dalam bejana minuman

Disamping itu juga seorang muslim dilarang untuk mengeluarkan dan menghembuskan nafasnya pada bejana minumannya tersebut ketika sedang meneguk minumannya. Apalagi dengan meniup minumannya tersebut, sehingga bercampurlah air minuman tersebut dengan udara yang ditiupkan kepadanya. Biasanya air minum atau makanan berkuah itu ditiup karena untuk mendinginkan panas yang ada padanya atau karena adanya kotoran yang tercampur padanya.

Dari Abu Qotadah radliyallahu anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِى اَلإِنَاءِ

“Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang bernafas di dalam bejana”. [HR Muslim: 267 (121), 267 (65) dan Ibnu Majah: 3428 dari Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat dorongan untuk menjaga kebersihan dan bersungguh-sungguh di dalamnya. Karena terkadang bersama hembusan nafas itu keluar cairan ludah, ingus atau uap yang kotor yang menyebabkannya berbau busuk”. [23]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Hikmah dari aturan tersebut adalah bahwa bernafas di dalam bejana akan membuat jijik bagi orang yang minum sesudahnya. Boleh jadi akan keluar dari hembusan nafas itu beberapa penyakit yang ada pada lambung, paru-paru atau mulut yang dapat melekat pada bejana. Boleh jadi juga orang yang meminumnya akan tersedak apabila bernafas pada bejana. Oleh sebab itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang seseorang itu bernafas pada bejana namun hendaklah ia bernafas sebanyak tiga kali hembusan nafas, setiap kali ia bernafas hendaknya menjauhkan mulutnya dari bejana”. [24]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَتَنَفَّسْ فِى اْلإِنَاءِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيُنَحِّ اْلإِنَاءَ ثَمَّ لْيَعُدْ إِنْ كَانَ يَرِيْدُ

“Apabila salah seorang diantara kalian minum maka janganlah ia bernafas di dalam bejana. Jika ia ingin kembali minum maka hendaklah ia menjauhkan bejana itu lalu jika ia mau hendaklah ia meminumnya kembali”. [HR Ibnu Majah: 3427 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

Dari Abu Qotadah berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ وَإِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَمْسَحْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَإِذَا تَمَسَّحَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِهِ

“Apabila salah seorang di antara kamu minum, maka janganlah dia menghembuskan nafasnya ke dalam bejana. Dan apabila salah seorang di antara kamu kencing, maka janganlah dia membasuh (menyentuh) kemaluannya dengan tangan kanannya. Dan apabila dia beristinja’, maka janganlah dia beristinja’ dengan tangan kanannya.” [HR al-Bukhoriy: 153, 154, 5630 dan Muslim: 267 (63). Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].   [26]

Berdasarkan dalil-dalil shahih di atas maka jelaslah bahwa bernafas di dalam bejana ketika minum minuman itu telah dilarang oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dan Beliau tidak mungkin melarang sesuatu jika di dalamnya tidak ada keburukan, maka siapaun yang meninggalkan larangan tersebut niscaya ia akan memperoleh kebaikan dunia dan akhirat.

Di samping itu juga Beliau telah melarang meniup minuman dan makanan dengan tiupan mulutnya yang dihembuskan dari perutnya. Apalagi yang keluar darinya itu adalah CO2 (karbondioksida) yang merupakan udara kotor yang dihasilkan dari pernafasan manusia ketika menghirup oksigen (O2) lalu dikeluarkan dalam bentuk CO2. Maka bagaimana keadaannya jika seseorang menelan kembali udara kotor yang telah dikeluarkannya lewat makanan atau minumannya?.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ ثُلْمَةِ الْقَدَحِ وَأَنْ يُنْفَخَ فِي الشَّرَابِ

“Rosulullah Shallallahu alaihi wa Sallam melarang minum dari bahagian bejana yang retak, dan beliau juga melarang meniup ke dalam minuman.” [HR Abu Dawud: 3722. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata,

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنْ يُنْفَخَ فِى اْلإِنَاءِ

“Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang meniup di dalam bejana”. [HR Ibnu Majah: 3429. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [28]

15). Larangan minum dari mulut qirbah atau tempat air.

            Termasuk dari adab yang mulia adalah tidak minum langsung dari mulut qirbah, kantung air, botol minuman dan sejenisnya. Hal tersebut karena dikhawatirkan di dalam kantung air tersebut terdapat kotoran, kuman penyakit, lumut, cacing, serangga dan berbagai hal lain yang membawa penyakit. Maka jika ia langsung meminumnya maka boleh jadi sebahagiannya akan ikut tertelan ke dalam perutnya, dan akan menimbulkan penyakit bagi yang meminumnya.

Atau boleh jadi kucuran air tersebut akan mengalir dengan deras dan akan tumpah membasahi baju dan pakaiannya bahkan dapat membuatnya tersedak. Maka hendaklah ia menuangkan air tersebut ke dalam gelas atau cangkir kemudian meminumnya dengan perlahan.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu,

أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنِ اخْتِنَاثِ اْلأَسْقِيَةِ

            “Bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang (minum langsung) dari mulut qirbah (tempat minuman)”. [HR Abu Dawud: 3720, al-Bukhoriy: 5625, 5626, Muslim: 2023 (111) dan Ibnu Majah: 3418. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]

            Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata,

      نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ الشُّرْبِ مِنْ فَمِ الْقِرْبَةِ أَوِ السَّقَاءِ

            “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang minum dari mulut qirbah atau kantung air”. [HR al-Bukhoriy: 5627, 5628, 5629].

            Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat larangan minum dari mulut qirbah atau kantung air. Karena yang meminum air dalam keadaan ini terkadang dikalahkan oleh air lalu air itu tercurah melebihi kebutuhannya. Maka hal tersebut dapat membuatnya tersedak”. [30]

16). Larangan makan dari bejana terbuat dari emas dan perak

Berikut ini terdapat dalil akan larangan makan atau minum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak. Bejana itu berupa gelas, cangkir, piring, mangkuk, sendok, garpu dan sejenisnya. Siapapun di antara umat ini, yang melakukan perbuatan tersebut maka ia jatuh ke dalam dosa besar karena telah datangnya larangan tersebut dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Dan juga karena adanya ancaman dari Beliau bahwa yang makan dan minum dengan menggunakan bejana itu maka akan bergolaklah api neraka Jahannam di dalam perutnya. Apalagi Beliau juga menjelaskan bahwa bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak itu adalah untuk kaum kafirin di dunia dan akan diperuntukkan untuk kaum mukminin kelak di dalam surga pada hari kiamat.

Dari Abdurrahman bin Abi Laila mengkhabarkan, “Bahwasanya ketika mereka (orang-orang) berada di sisi Hudzaifah, ia meminta minuman, maka seorang Majusi pun membawa untuknya minuman dalam sebuah bejana di tangannya. Lalu Hudzaifah pun melempar bejana tersebut dari tangannya lalu berkata, “Kalau bukan karena aku telah melarangnya lebih dari sekali atau dua kali (tentu aku tidak melemparkannya).” Seolah-olah beliau mengatakan, “Aku tidak mau melakukan seperti ini tetapi aku telah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,

لاَ تَلْبَسُوا الحَرِيرَ وَلاَ الدِّيبَاجَ وَلاَ تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ وَلاَ تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَنَا فِي الآخِرَةِ

 “Janganlah kalian memakai sutra, jangan kalian minum dari bejana terbuat dari emas dan perak, dan janganlah kalian makan di atas piring yang terbuat dari emas dan perak. Karena semua itu adalah untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia, dan untuk kita di akhirat kelak”. [HR al-Bukhoriy: 5426, 5632, 5633, 5831, 5837, Muslim: 2067, Ibnu Majah: 3414 dan Abu Dawud: 3723. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [31]

Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,

الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

“Orang-orang yang minum dengan menggunakan bejana terbuat dari perak sesungguhnya di perutnya akan bergelojak dengan api jahannam.” [HR al-Bukhoriy: 5634, Muslim: 2065 dan Ibnu Majah: 3413. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Di dalam hadits Ummu Salamah radliyallahu anha ini terdapat dalil bahwa makan dengan menggunakan bejana emas dan perak adalah termasuk dari dosa-dosa besar. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengancam perbuatan tersebut. Bahwa orang yang melakukannya maka akan bergolak di dalam perutnya itu api neraka Jahannam. ‘Jarjarah’ (bergolak) adalah bunyi makanan dan minuman yang jatuh melalu lubang tenggorokan. Jika seseorang makan atau minum dengan bejana emas dan perak maka akan bergolaklah api neraka Jahannam di dalam perutnya. Maka hal ini menunjukkan bahwasanya perbuatan tersebut merupakan dosa-dosa besar, karena di dalamnya ada ancaman Dan setiap dosa yang di dalamnya terdapat ancaman maka ia termasuk dari dosa-dosa besar”. [33]

Sedangkan Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah berkomentar, “Diharamkannya menggunakan emas dan perak. Barangsiapa yang menggunakan bejana emas dan perak maka ia berhak untuk mendapatkan adzab neraka Jahannam”. [34]

17). Makanan yang tidak dimakan hendaklah ditutup

Dianjurkan bagi setiap muslim untuk menutup wadah tempat makanan atau minumannya dengan sesuatu meskipun hanya dengan sepotong kayu. Karena boleh jadi akan masuk ke dalam bejana tersebut berbagai jenis serangga semisal lalat, semut, kecoa, lipan dan bahkan cicak dan tikus, maka makanan dan minuman tersebut akan menjadi rusak, bau dan tidak dapat dikonsumsi lagi.

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa Sallam telah bersabda,

إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْفَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنَ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ فَأَغْلِقُوا الأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ

“Apabila memasuki waktu malam (atau ketika senja), maka tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar rumah) kerana setan-setan sedang berkeliaran ketika itu. Jika waktu malam telah berlalu beberapa waktu, maka lepaskanlah mereka. Kuncilah pintu-pintu (rumah) dan sebutlah nama Allah karena setan tidak mampu membuka pintu yang tertutup. Tutuplah tempat-tempat air kalian dan sebutlah nama Allah. Tutuplah bejana-bejana makanan kalian dan sebutlah nama Allah walaupun hanya dengan meletakkan sesuatu (sebatang kayu) di atasnya di atasnya, dan matikanlah lampu-lampu kalian.” [HR al-Bukhoriy: 5623, Muslim: 2012 (97), Abu Dawud: 3731 dan Ahmad: III/ 388. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]

Dalam riwayat lain, dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu juga bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَطْفِئُوا المـَصَابِيحَ إِذَا رَقَدْتُمْ وَغَلِّقُوا الأَبْوَابَ وَأَوْكُوا الأَسْقِيَةَ وَخَمِّرُوا الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ وَأَحْسِبُهُ قَالَ وَلَوْ بِعُودٍ تَعْرُضُهُ عَلَيْهِ

“Matikanlah lampu-lampu apabila kamu tidur, dan tutuplah (kunci) pintu-pintu. Ikatlah (tutuplah) tempat-tempat minuman, dan tutuplah makanan-makanan dan minuman-minuman walaupun hanya sekadar dengan meletakkan sebatang kayu di atasnya.” [HR al-Bukhoriy: 5624 dan Abu Dawud: 3734. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [36]

18). Tidak makan makanan yang terlalu panas

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga telah mendidik umatnya agar tidak memakan makanan atau minum minuman yang terlalu panas. Karena makanan dan minuman yang panas itu akan dapat merusak atau melukai lidah, gusi, gigi, langit-langit mulut, kerongkongan ataupun lambung, hal tersebut jelas akan membuatnya sakit. Sehingga ketika ada seseorang yang makan atau minum sesuatu yang panas, maka secara spontan ia akan memuntahkannya dari mulutnya. Boleh jadi sesuatu yang dimuntahkan itu adalah letak berkahnya makanan, karena tidak ada seseorangpun yang tahu di makanan atau minuman yang manakah yang ada berkahnya.

Oleh sebab itu, ketika seorang muslim hendak makan atau minum sebaiknya ia menunggu sampai asap dan uap panas dari makanan itu hilang dan makanan atau minuman itu menjadi dingin atau tidak terlalu panas. Atau boleh baginya untuk mengipas-ngipasnya dengan sesuatu hanya sekedar untuk menurunkan kadar panasnya.

Dari Urwah bin az-Zubair radliyallahu anhuma berkata dari Asma binti Abu Bakar radliyallahu anha, bahwasanya ia (yaitu Asma’) pernah membuat tsarid. Lalu ia menutupnya sehingga asap panasnya hilang. Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْبَرَكَةِ

 “Sesungguhnya (makanan) itu lebih besar berkahnya”. [HR ad-Darimiy: II/ 100, Ibnu Hibban: 1344, al-Hakim, Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqiy dan Ahmad: VI/ 350]. [37]

Tsarid adalah makanan berupa campuran potongan-potongan roti dengan kuah daging.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “Makanan itu tidak boleh disantap kecuali jika asap makanan yang panas sudah hilang”. [Atsar riwayat al-Baihaqiy: VII/ 280. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hadits ini sanadnya shahih]. [38]

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menyantap makanan dalam keadaan masih panas.” Yang dimaksud berkah dalam hadits dari Asma’ di atas adalah gizi yang didapatkan sesudah menyantapnya, makanan tersebut tidak menyebabkan gangguan dalam tubuh, membantu untuk melakukan ketaatan dan lain-lainnya. [39]

19). Larangan minum dari bahagian gelas yang retak

Di antara larangan yang telah diajarkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah minum dari arah retakan atau pecahan bejana. Sebab biasanya retakan bejana itu ketika dicuci terkadang tidak bersih dan menyisakan sebahagian kotoran, maka jika seseorang minum darinya maka kotoran itu akan tertelan dan masuk ke dalam perutnya.

Atau terkadang retakan pada bejana itu akan dapat melukai bibir dan mulut seseorang yang minum melaluinya. Sebab biasanya retakan atau pecahan itu akan menyisakan bagian yang tajam atau lancip pada beberapa tempat, maka berhati-hatilah!.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu bahwasanya ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ ثُلْمَةِ الْقَدَحِ وَأَنْ يُنْفَخَ فِي الشَّرَابِ

“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang perbuatan minum dari bahagian gelas yang retak, dan beliau juga melarang meniup ke dalam minuman.” [HR Abu Dawud: 3722. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [40]

20). Membuang kotoran dari makanan dan minuman

            Dianjurkan bagi setiap muslim, ketika jatuh ke dalam makanannya seekor serangga atau binatang kecil seperti cicak atau tikus kecil hendaknya membuang binatang tersebut dan makanan yang berada di sekitarnya. Kemudian memakan makanan yang telah dibersihkan tersebut tanpa keraguan, kecuali jika ia tidak berkehendak lagi.

            Atau jika masuk seekor lalat ke dalam bejana minuman seseorang di antara kita, maka hendaklah ia mencelupkan seluruh bagian lalat tersebut lalu membuangnya dan meminum minuman tersebut tanpa kebimbangan. Karena pada salah satu sayapnya itu ada racun yang tercelup ke dalam genangan air itu dan pada sayapnya yang lain itu ada penawarnya yang kita celupkan sebagai obat penawarnya. Maka tidak ada keraguan dan kebimbangan bagi seorang hamba yang shalih dalam menerima setiap apa yang telah Beliau ajarkan dan perintahkan kepadanya.

Begitu pula, jika makanan seseorang terjatuh maka hendaklah ia memungutnya lalu membersihkan bagian yang terkena kotoran tersebut lalu memakan makanan yang telah bersih tersebut.

Dari Maimunah bahwasanya ada seekor tikus terjatuh ke dalam mentega. Maka dikhabarkan kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam (tentang hal itu), lalu berliau bersabda,

            أَلْقُوْا مَا حَوْلهَا وَ كُلُوْا

“Buanglah apa yang ada di sekitarnya dan makanlah!”. [HR Abu Dawud: 3841 dan an-Nasa’iy: VII/ 178. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [41]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَامْقُلُوْهُ فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَ فِى اْلآخَرِ شِفَاءً وَ إِنَّهُ يَتَّقِى بِجَنَاحِهِ الَّذِى فِيْهِ الدَّاءُ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ

“Apabila seekor lalat terjatuh ke dalam bejana salah seorang dari kalian maka tenggelamkanlah!. Karena pada salah satu sayapnya itu ada penyakit dan pada sayap yang lainnya ada penawarnya. Dan Allah dengan sayap tersebut akan menetralkan sayap yang ada penyakitnya. Maka tenggelamkanlah lalat itu seluruhnya”. [HR Abu Dawud: 3844, an-Nasa’iy: VII/ 178-179, Ibnu Majah: 3504, 3505, ad-Darimiy: II/ 99 dan Ahmad: II/ 263, 340, 355, 388, 398, 443, III/ 229, 246. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [42]

عن جابر رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ حَتىَّ  يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ فَإِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمْطِ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَ لاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ فَإِذَا فَرَغَ فَلْيَلْعَقْ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فىِ أَيِّ طَعَامِهِ تَكُوْنُ اْلبَرَكَةُ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar  Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang dari kalian pada setiap keadaannya, hingga akan mendatanginya disaat makan. Sebab itu apabila jatuh sepotong makanan, maka hendaklah ia membuang (membersihkan) kotorannya lalu memakannya. Dan hendaklah ia tidak membiarkannya dimakan oleh setan Dan jika telah selesai makan, hendaklah ia menjilati jari jemarinya, karena ia tidak tahu pada bahagian makanan yang manakah adanya berkah”. [HR Muslim: 2033. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [43]

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشُّرْبِ فَقَالَ رَجُلٌ: القَذَاةُ أَرَاهَا فِي الإِنَاءِ؟ قَالَ: أَهْرِقْهَا قَالَ: فَإِنِّي لَا أَرْوَى مِنْ نَفَسٍ وَاحِدٍ؟ قَالَ: فَأَبِنِ القَدَحَ إِذَنْ عَنْ فِيكَ

“Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari perbuatan meniup ke dalam minuman.” Seorang lelaki bertanya, “Adakalanya aku melihat sesuatu (kotoran) terapung di dalam bejana.” Beliaupun berkata, “Keluarkanlah (kotoran tersebut).” Lelaki itu berkata lagi: “Bahwasanya aku tidak merasa puas dengan sekali tarikan nafas.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, jauhkanlah bejana tersebut dari mulutmu.” [HR at-Turmudziy: 1887, Ahmad: III/ 32, Malik, Ibnu Hibban: 1367 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Barangsiapa yang melihat kotoran pada bejana (minumannya) maka hendaklah ia menuangkannya sampai kotoran itu keluar tanpa sisa”. [45]

Demikian beberapa tambahan adab dalam makan dan minum yang telah diajarkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai contoh dan panutan kita dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga bermanfaat dan in syaa Allah akan bersambung.


[1]Shahih Sunan Ibni Majah: 2660, 2661, 2662, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 469 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1042, 1043, 1285, 1297.

[2] Shahih Sunan Abu Dawud: 3257 dan Shahih Sunan Ibnu Majah: 2661.

[3] Shahih al-Adab al-Mufrad: 428, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5527 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2218.

[4] Shahih Sunan Ibnu Majah: 763 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 374.

[5] Shahih Sunan Abu Dawud: 3195, Shahih Sunan at-Turmudziy: 290, Shahih Sunan Ibnu Majah: 762 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 831.

[6] Shahih Sunan Ibnu Majah: 761, Shahih Sunan at-Turmudziy: 289, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 823 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 374.

[7] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 372.

[8] Shahih Sunan Abu Dawud: 3198.

[9] Bahjah an-Nazhirin: II/ 55.

[10] Mukhtashor Shahih Muslim: 1315, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1500, 1501, 1502, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2680, 2681, Silsilah al-Ahadits ash-Shahih: 2220 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 6768.

[11] Shahih Sunan Abu Dawud: 3222 dan Irwa al-Ghalil: 2498.

[12] Syar-h Ritadl ash-Shalihin: III/ 60.

[13] Shahih Sunan Abu Dawud: 3202, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1494, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2639 dan Irwa’ al-Ghalil: 1966.

[14] Shahih Sunan Abu Dawud: 3204.

[15] Bahjah an-Nazhirin: II/ 62.

[16] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 73.

[17] Shahih Sunan Abu Dawud: 3205.

[18] Bahjah an-Nazhirin: II/ 62.

[19] Shahih Sunan Abu Dawud: 3208, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2716, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2394 dan Irwa’ al-Ghalil: 1982.

[20] Mukhtashor Shahih Muslim: 1293.

[21] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1277, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4956 dan Fat-h al-Bariy: X/ 94.

[22] Mukhtashor Shahih Muslim: 1292, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2768, Irwa’ al-Ghalil: 1977 dan Misykah al-Mashobih: 4277.

[23] Bahjah an-Nazhirin: II/ 66.

[24] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 80.

[25] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2767, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 386 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 624.

[26] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 625.

[27] Shahih Sunan Abu Dawud: 3165, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 387 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6849.

[28] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2769, Irwa’ al-Ghalil: 1977 dan Misykah al-Mashobih: 4277.

[29] Shahih Sunan Abu Dawud: 3164.

[30] Bahjah an-Nazhirin: II/ 68.

[31] Mukhtashor Shahih Muslim: 1288, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2756, Irwa’ al-Ghalil: 32 dan Ghoyah al-Maram: 117 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7335.

[32] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2755, Shahih Sunan Abu Dawud: 3166, Irwa’ al-Ghalil: 33, Ghoyah al-Maram: 116.

[33] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 93.

[34] Bahjah an-Nazhirin: II/ 77.

[35] Mukhtashor Shahih Muslim: 1281, Shahih Sunan Abu Dawud: 3174, Irwa’ al-Ghalil: 39, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 40 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 764.

[36] Shahih Sunan Abu Dawud: 3177 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1025.

[37] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 392.

[38] Irwa’ al-Ghalil: 1978.

[39]Zad al-Ma’ad:IV/ 223 dan Syar-h Shahih Muslim: XIII/ 172.

[40] Shahih Sunan Abu Dawud: 3165, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 387 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6849.

[41] Shahih Sunan Abu Dawud: 3254 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3971, 3972.

[42] Shahih Sunan Abu Dawud: 3255, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3974, Shahih Sunan Ibnu Majah:  2823, 2824, Irwa’ al-Ghalil: 175, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 38, 39 dan Misykah al-Mashobih: 4144.

[43]Mukhtashor Shahih Muslim: 1304 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1659.

[44] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1538 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 385.

[45] Bahjah an-Nazhirin: II/ 70.

AYO CARILAH BERKAH DENGAN MAKAN (1) !!!

ADAB MAKAN DAN MINUM (1)

بسم الله الرحمن الرحيم

makanan4Makan dan minum adalah aktifitas harian setiap makhluk hidup, khususnya manusia. Tidak ada satupun manusia yang terbebas dari makan dan minum melainkan mereka pasti membutuhkannya. Jadi makan dan minum adalah merupakan bahagian terpenting dari mereka.

Di dalam Islam, makan dan minum adalah termasuk dari kegiatan manusia yang banyak disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Islam telah menerangkan berbagai hal tentang kegiatan tersebut, dari cara mencarinya, jenis makanan atau minuman yang dihalalkan dan yang diharamkan untuk dimakan atau diminum, memilih makanan atau minuman yang baik untuk diri mereka, cara makan dan minum yang disyariatkan dan lain sebagainya.

Para ulama telah banyak memuat tentang masalah ini dan memasukkan dalam pembahasan adab, yaitu adab makan dan minum.

Dan termasuk dari perkara yang sangat penting adalah makan dan minum dari sesuatu yang dihalakan oleh Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana telah diperintahkan di dalam dalil-dalil berikut ini,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai manusia, makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa-apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah Setan, karena sesungguhnya Setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian”. [QS al-Baqarah/ 2: 168].

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik dari apa yang Kami anugrahkan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kalian mengabdikan diri kepada-Nya”. [QS al-Baqarah/ 2: 172].

Meskipun Islam telah mengajarkan umatnya untuk selalu memakan makanan dan minum minuman yang halal lagi thayyib yang diperoleh dengan cara yang halal pula. Di samping itu pula Islam telah mengajarkan mereka akan adab-adab makan dan minum dengan benar. Namun sayangnya masih banyak kaum muslimin yang memakan makanan dan minum minuman yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa salam. Dan juga banyak di antara mereka yang tidak mengetahui adab dan tata cara makan dan minum.

Banyak kita jumpai di antara mereka yang lebih suka standing party untuk menjamu tamu-tamunya makan-makan daripada menyediakan kursi dan meja. Menyediakan berbagai peralatan makan dari sendok, garpu, pisau dan sejenisnya sehingga seringkali terjadi mereka makan dengan menggunakan kedua tangannya silih berganti, dan tak sedikit di antara mereka yang mencemooh dan memandang hina orang yang makan dengan jemari tangan kanannya secara langsung tanpa alat-alat makan tersebut. Bahkan banyak dijumpai diantara mereka yang suka menyisakan makanan ketika selesai dari makan karena khawatir dianggap orang yang kelaparan dan tidak tahu sopan santun dan lain sebagainya.

Oleh karena itu disini akan dibahas sedikit tentang adab dan etika di dalam makan makanan dan minum minuman sesuai dengan dalil-dalil yang sharih lagi shahih.

1. Makan dan minum dengan tangan kanan dan tidak dengan tangan kiri.

Di antara adab dan etika di dalam makan dan minum sesuai dengan ajaran Islam adalah makan dan minum itu wajib menggunakan tangan kanan dan tidak boleh menggunakan tangan kiri. Hal tersebut sebagaimana telah dijelaskan di dalam dalil-dalil berikut ini,

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ، وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ، وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Jika seseorang di antara kamu makan, maka hendaklah dia makan dengan tangan kanannya. Jika minum, maka hendaklah minum dengan tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.” [HR Muslim: 2020, Abu Dawud: 3776, at-Turmudziy: 1799 dan Ahmad: II/ 33, 146. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

Dari Abdullah bin Abu Thalhah radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَأْكُلْ بِشِمَالِهِ وَ إِذَا شَرِبَ فَلَا يَشْرَبُ بِشِمَالِهِ وَ إِذَا أَخَذَ فَلَا يَأْخُذُ بِشِمَالِهِ وَ إِذَا أَعْطَى فَلَا يُعْطِي بِشِمَالِهِ

“Apabila seseorang di antara kalian makan maka janganlah ia makan dengan tangan kirinya. Apabila ia minum maka janganlah ia minum dengan tangan kirinya. Apabila ia mengambil (sesuatu dari orang) maka janganlah ia mengambilnya dengan tangan kirinya. Dan apabila ia memberi (sesuatu) maka janganlah ia memberinya dengan tangan kirinya”. [HR Ahmad: V/ 311, IV/ 383. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Isnadnya jayyid]. [2]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لِيَأْكُلْ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ وَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ وَلْيَأْخُذْ بِيَمِينِهِ وَلْيُعْطِ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ وَيُعْطِي بِشِمَالِهِ وَيَأْخُذُ بِشِمَالِهِ

“Hendaklah seseorang di antara kalian makan dengan tangan kanannya, minum dengan tangan kanannya, mengambil dengan tangan kanannya, dan memberi dengan tangan kanannya. Kerana sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya, minum dengan tangan kirinya, memberi dengan tangan kirinya, dan mengambil dengan tangan kirinya.” [HR Ibnu Majah: 3266 dan Ahmad: II/ 325, 349. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Dari Wahb bin Kisan yang ia mendengarnya dari Abu Hafsh Umar bin Abi Salamah Abdullah bin Abdil Asad (anak tirinya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam), berkata, “Aku ada seorang anak kecil dibawah pengasuhan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Dan tanganku mengacak-ngacak di piring. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadaku,

يَا غُلَامُ سَمِّ اللهَ تعالى وَ كُلْ بِيَمِيْنِكَ وَ كُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Wahai anak kecil, ucapkanlah tasmiyah (ucapan bismillah), makan dengan tangan kananmu dan makanlah yang ada di dekatmu!”. Maka sejak saat itu, begitulah cara makanku. [HR al-Bukhoriy: 5376, Muslim: 2022, Abu Dawud: 3777, Ibnu Majah: 3267, at-Turmudziy: 1858, Ahmad: IV/ 26, 27 dan ad-Darimiy: II/ 100. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[4]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Termasuk dari adab makan di dalam Islam adalah,

  1. Mengucapkan tasmiyah (bismillah).
  2. Makan dengan tangan kanan.
  3. Makan (makanan) yang ada di depannya dan tidak mengambil makanan dari arah orang yang sedang makan bersamanya”. [5]

Beberapa hadits dan penjelasannya di atas menunjukkan perintah agar apabila makan dan minum, begitu pula menerima atau memberi sesuatu itu hendaknya dengan menggunakan tangan kanan. Hadits-hadits itu juga menunjukkan larangan menyamai amalan atau cara setan di dalam makan, minum, menerima dan memberi, di mana setan menggunakan semuanya itu dengan tangan kiri. Di dalamnya juga terdapat perintah untuk membaca tasmiyah yaitu ucapan bismillah ketika hendak makan dan mengambil makanan yang terdekat darinya. Di dalamnya juga terdapat kesungguhan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam mendidik umatnya sejak dari kecil.

Hukum menggunakan tangan kanan untuk menyuap makanan ke mulut itu hukumnya adalah wajib karena asal hukum setiap perintah itu adalah menunjukkan wajib kecuali jika ada dalil-dalil lain yang mengecualikannya. Atau jika ada udzur-udzur lain yang tidak dapat dihindarkan seperti luka pada tangannya yang kanan, atau lumpuh, atau tidak memiliki tangan kanan sama sekali.

Dan dilarang makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri, sebab Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada umatnya bahwa setan itu makannya tangan kiri sedangkan mereka diperintahkan untuk selalu menyelisihnya dalam segala hal.

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَاْكُلُوْا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ

“Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kiri”. [HR Ibnu Majah 3268. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[6]

Namun sangat disayangkan, banyak di antara umat ini karena kejahilan dan keawaman mereka terhadap ajaran agama mereka sendiri yang masih suka menyamai amalan setan dalam kehidupan mereka sehari-hari, khususnya di dalam amalan makan dan minum ini.

Banyak di antara mereka yang makan seperti gaya orang kafir barat, yang memegang garpu di tangan kiri dan pisau di tangan kanan. Lalu pisau yang di tangan kanan itu dipergunakan mengiris atau memotong makanan, ketika sudah terpotong maka garpu yang berada di tangan kiripun menusuknya lalu menyuapkannya ke mulut mereka tanpa sungkan. Subhanallah.

Atau ketika mereka makan tahu goreng atau sejenisnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang beberapa cabai, ketika mereka memakan tahu tersebut kemudian diiringi dengan menggigit atau memakan cabai yang berada di tangan kiri mereka. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Maka jika ada di antara umat ini, yang menolak perintah atau larangan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam karena sifat sombongnya, maka Allah berhak untuk mengadzabnya dengan siksaan dunia dan dilanjutkan dengan adzab di akhirat kelak. Sebagaimana telah datang di dalam riwayat hadits berikut ini,

Dari Abu Iyas Salamah bin Amr bin al-Akwa’ radliyallahu anhu,

أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ، فَقَالَ: كُلْ بِيَمِينِكَ، قَالَ: لَا أَسْتَطِيعُ، قَالَ: لَا اسْتَطَعْتَ، مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ، قَالَ: فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ

“Bahwasanya ada seorang lelaki makan dengan tangan kirinya di sisi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Maka Rasulullah pun bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Lelaki itu pun berkata, “Aku tidak bisa.”Beliau bersabda, “Kamu tidak bisa?, (Pada hakikatnya) tidaklah dia menolaknya melainkan karena sifat sombong”. (Berkata perawi yakni Iyas), “Maka setelah itu, dia pun benar-benar tidak mampu mengangkat tangan kanannya (untuk menyuapkan makanan) sampai ke mulutnya.” [HR Muslim: 2021].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajibnya makan dengan tangan kanan. Sedangkan makan tangan kiri tanpa udzur itu diharamkan. Semua perkara mulia, sudah sepantasnya dengan menggunakan tangan kanan secara langsung, karena Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyukai yang kanan-kanan di dalam segala keadaannya”. [7]

2. Apabila makan, hendaklah mengucapkan tasmiyah.

Adab selanjutnya adalah mengawali dengan membaca doa berupa mengucapkan tasmiyah yaitu ucapan ‘Bismillah’ bukan ‘Bismillahi rahmanir rahim’ sebagaimana yang disangkakan oleh mayoritas umat Islam, karena ketiadaan dalilnya.

Adapun jika lupa di awalnya hendaklah ketika ingat segera membaca ‘Bismillah fi awwalihi wa aakhirihi’ atau Bismillah awwalahu wa aakhirahu’.

Dari Aisyah berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memakan makanan bersama enam orang shahabatnya. Tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui, lalu makan dua suapan. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

            أَمَّا أَنَّهُ لَوْ كَانَ قَالَ: بِسْمِ اللهِ لَكَفَاكُمْ فَإِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَقُوْلَ بِسْمِ اللهِ فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فِىِ أَوِّلِهِ وَ آخِرِهِ

“Seandainya ia mengucapkan ‘Bismillah’ niscaya akan mencukupi kalian. Maka apabila seseorang diantara kalian hendak makan, hendaklah ia mengucapkan ‘Bismillah’. Jika ia lupa mengucapkan ‘Bismillah’ di awalnya maka hendaklah ia mengucapkan  ‘Bismillah fi awwalihi wa aakhirihi’ (dengan nama Allah di awal dan akhirnya). [HR Ibnu Majah: 3264 dan at-Turmudziy: 1859. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Dari Aisyah bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تعالى فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تعالى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَ آخِرَهُ

 “Apabila seseorang diantara kalian hendak makan hendaklah ia menyebut nama Allah ta’ala. Jika ia lupa menyebut nama Allah ta’ala di awalnya maka hendaklah ia mengucapkan “Bismillah awwalahu wa aakhirahu” (dengan nama Allah di awal dan akhirnya). [HR Abu Dawud: 3767, at-Turmudziy: 1858 dan Ahmad: VI/ 143. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Dari Hudzaifah berkata, dan bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ الَّذِي لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya setan menghalalkan makanan yang tidak disebut nama Allah padanya.” [HR Abu Dawud: 3766 dan Muslim: 2017. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Dari Abdurrahman bin Jubair at-Tabi’iy, ia bercerita bahwasanya seseorang yang pernah melayani Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selama 8 tahun pernah bercerita kepadanya.

أَنَّهُ كَانَ يَسْمَعُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم إِذَا قُرِّبَ إِلَيْهِ طَعَامًا يَقُوْلُ: بِسْمِ اللهِ

Bahwasanya ia pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila dihidangkan makanan kepadanya, beliau mengucapkan, ‘Bismillah’. [HR Ahmad: IV/ 62, V/ 375, Ibnu as-Sunniy dan Abu asy-Syaikh di dalam ‘Akhlak Nabi Shallallahu alaihi wa salam’. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy: Shahih. [12]

Boleh juga mengucapkan dengan doa yang lain sebagaimana dalam hadis berikut ini.

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dianugrahi makanan oleh Allah maka hendaklah ia mengucapkan,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ وَأَطْعِمْنَا خَيْرًا مِنْهُ

‘Ya Allah berikanlah berkah kepada kami padanya dan anugrahkanlan kepada kami makanan yang lebih baik lagi darinya’.

Dan barangsiapa yang dianugrahi minuman berupa susu maka hendaklah ia mengucapkan,

 اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ وَزِدْنَا مِنْهُ

 ‘Ya Allah, berikanlah berkah kepada kami padanya dan tambahkanlah untuk kami (yang lebih baik) darinya.’ Karena sesungguhnya aku tidak tahu sesuatu yang lebih mencukupi dari makanan dan minuman kecuali susu”.  [HR Ibnu Majah: 3322, Abu Dawud: 3730 dan at-Turmudziy: 3455. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [13]

Adapun doa yang telah masyhur di kalangan kaum muslimin yaitu doa yang dari diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya apabila dihidangkan makanan, Beliau mengucapkan,

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ بِسْمِ اللهِ

‘Ya Allah, berkahilah kami terhadap apa yang Engkau telah rizkikan kepada kami dan jagalah diri kami dari adzab neraka. Bismillah’. [HR Ibnu as-Sunniy di dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah, ath-Thabraniy dan Ibnu Adiy. Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy: Dla’if jiddan (lemah sekali)]. [14]

Karena derajatnya lemah sekali (dla’if jiddan) maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Oleh sebab itu, doa di atas tidak boleh diamalkan/ diucapkan oleh seorang muslim lantaran hadits tersebut bukanlah hujjah yang sharih lagi shahih. Bagi yang tetap mengamalkannya, padahal sudah tahu kedlaifannya maka ia telah berdusta atas nama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan balasannya adalah siksa api neraka.

3. Doa setelah makan.

Begitu pula adab selanjutnya yang harus dilakukan seorang muslim ketika selesai dari makan atau minum adalah mengucapkan salah satu dari doa yang pernah diajarkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di bawah ini,

Dari Mu’adz bin Anas, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakan makanan lalu ia mengucapkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنىِ هَذَا وَ رَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِّنىِّ وَ لاَ قُوَّةٍ

 ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi makanan ini kepadaku dan memberikan rizki dari-Nya tanpa daya dan kekuatan dariku’.

Maka akan diampuni baginya dosanya yang terdahulu dan yang terkemudian”. [HR Abu Dawud: 4023, at-Turmudziy: 3458, Ibnu Majah: 3285, Ahmad: III/ 439, Ibnu as-Sunniy dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [15]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy: Hasan, insyaa Allah. [16]

Dari Abu Umamah berkata, Adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila hidanganny telah diangkat (telah selesai makan), Beliau berucap,

اَلْحَمْدُ ِللهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَ لاَ مُوَدَّعٍ وَ لاَ مُسْتَغْنىً عَنْهُ رَبَّنَا

 ‘Segala puji bagi Allah (aku memujinya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah, yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan dan tidak dapat ditinggalkan wahai Rabb kami’. [HR al-Bukhoriy: 5458, Abu Dawud: 3849, Ibnu Majah: 3284, Ahmad: V/ 252, 256 dan at-Turmudziy: 3456. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:  Shahih]. [17]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy: Shahih. [18]

Dari Abdurrahman bin Jubair at-Tabi’iy, ia bercerita bahwasanya seseorang yang pernah melayani Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selama 8 tahun pernah bercerita kepadanya. Bahwasanya ia pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, apabila selesai dari makannya, Beliau mengucapkan,

      اَللَّهُمَّ أَطْعَمْتَ وَ سَقَيْتَ وَ أَغْنَيْـتَ وَ أَقْنَيْتَ وَ هَدَيْتَ وَ أَحْيَيْتَ فَلَكَ اْلحَمْدُ عَلَى مَا أَعْطَيْتَ

            “Ya Allah, Engkau telah memberi makan, minum, harta, kecukupan, hidayah dan kehidupan. Maka untuk-Mulah segala puji-pujian atas semua yang Engkau telah berikan”. [HR Ahmad: IV/ 62, V/ 375, Ibnu as-Sunniy dan Abu asy-Syaikh di dalam ‘Akhlak Nabi Shallallahu alaihi wa salam. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy: Shahih. [20]

Namun jika hanya mengucapkan tahmid yaitu ucapan “alhamdulillah” setelah makan juga dibolehkan berdasarkan dalil hadis berikut ini.

Dari Anas bin Malik berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Allah benar-benar ridlo kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) ketika selesai dari makan dan minum.” [HR Muslim: 2734, at-Turmudziy: 1816 dan Ahmad: III/ 100, 117. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila selesai dari makannya, Beliau mengucapkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنَا وَ سَقَاَنا وَ جَعَلَنَا مُسْلِمِيْنَ

                ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makan dan minum kepada kami dan telah menjadikan kami sebagai kaum muslimin’. [HR Abu Dawud: 3850, at-Turmudiy: 3457, Ibnu Majah: 3283, Ahmad: III/ 32, 98, an-Nasa’iy di dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lail, ath-Thabraniy dan Ibnu Abi Syaibah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dla’if]. [22]

Berkata  asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy: Dla’if (lemah). [23]

Maka doa tersebut di atas tidak boleh diamalkan karena hadits dlo’if tidak bisa menjadi hujjah dalam agama.

4. Hindari makan bersama dengan setan.

Banyak di antara kaum muslimin yang ketika sedang makan makanan atau minum minuman tetapi karena ketidaktahuannya akan adab makan yaitu ia tidak mengucapkan tasmiyah atasnya, maka setan akan ikut makan bersama-sama dengannya tanpa disadarinya, sehingga hilanglah berkah yang ada pada makanan atau minumannya tersebut. Atau ketika ia sedang makan, terjatuh atau tercecerlah sebagian makanannya tersebut, atau ketika ia selesai makan ia menyisakan makanan tersebut maka setan akan memakan makan tersebut tanpa ampun dan hilanglah pula berkah dari makanannya tersebut.

Adab Islam sudah mengajarkan agar umatnya berdoa sebelum dan sesudah makan, mengambil makanan yang terjatuh lalu setelah membersihkan kotorannya hendaklah mereka memakannya dan tidak pula menyisakan makanan sedikitpun kecuali yang sudah tidak dapat dimakan oleh mereka semisal tulang, duri ikan, sambal dan lain sebagainya.

Dari Jabir radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللهَ تعالى عِنْدَ دُخُوْلِهِ وَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيْتَ لَكُمْ وَ لَا عَشَاءَ وَ إِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ تعالى عِنْدَ دُخُوْلِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ اْلمـَبِيْتَ وَ إِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ تعالى عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمُ اْلـمَبِيْتَ وَ اْلعَشَاءَ

“Apabila seseorang masuk ke rumahnya lalu ia menyebut (nama) Allah ta’ala ketika memasukinya dan ketika makan. Setan berkata (kepada kawan-kawannya), ‘tidak aa tempat bermalam dan makan buat kalian’. Apabila ia tidak menyebut (nama) Allah ta’ala ketika memasukinya, setan berkata ‘kalian telah mendapatkan tempat bermalam’. Dan apabila ia tidak menyebut (nama) Allah ta’ala ketika makan, setan berkata ‘kalian mendapatkan tempat bermalam dan juga makanan’”. [HR Muslim: 2018, Abu Dawud: 3765, dan Ahmad: III/ 346, 383. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Setan itu bermalam di rumah-rumah yang tidak disebutkan nama Allah ta’ala di dalamnya. Dan ia juga makan dari makanan pemiliknya jika mereka tidak menyebutkan nama Allah ta’ala atasnya”. [25]

Hadis  dan penjelasan di atas menunjukkan apabila kita makan tanpa membaca salah satu doa yang disyariatkan dalam rangka mengingat Allah ta’ala, maka setan akan turut serta makan bersama-sama tanpa kita menyadarinya.

Begitu pula jika makanan kita terjatuh hendaknya kita memungutnya lalu memberihkan kotoran yang ada padanya lalu kita memakannya. Atau apabila kita telah selesai dari makan hendaklah kita menjilat jemari kita dan juga membersihkan makanan yang tersisa pada piring atau sendok karena boleh jadi setan akan memakan makanan yang terjatuh atau yang tersisa tersebut, dan hilanglah berkah dari hidangan yang kita makan.

عن جابر رضي الله عنه قَالَ: َسمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ حَتىَّ يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ فَإِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمْطِ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَ لاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ فَإِذَا فَرَغَ فَلْيَلْعَقْ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فىِ أَيِّ طَعَامِهِ تَكُوْنُ اْلبَرَكَةُ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar  Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang dari kalian pada setiap keadaannya, hingga akan mendatanginya disaat makan. Sebab itu apabila jatuh sepotong makanan, maka hendaklah ia membuang (membersihkan) kotorannya lalu memakannya. Dan hendaklah ia tidak membiarkannya dimakan oleh setan dan jika telah selesai makan, hendaklah ia menjilati jari jemarinya, karena ia tidak tahu pada bahagian makanan yang manakah adanya berkah”. [HR Muslim: 2033 (135). Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

5. Menjilat Jari jemari sebelum membersihkannya

Begitu pula adab makan yang banyak ditinggalkan oleh umat Islam adalah menjilat atau menjilatkan makanan yang ada pada jari jemari dan piring mereka. Hal ini dikarenakan mereka merasa jijik dengan perbuatan tersebut atau mereka beranggapan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak pantas dan tidak sopan lagi bertentangan dengan etika modern yang digembargemborkan oleh orang-orang kafir barat. Padahal menjilat atau menjilatkan makanan dan menghabiskan makanan itu adalah adab dan etika yang sebenar-benarnya dan diridloi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا

“Apabila seseorang di antara kalian makan, maka janganlah dia membersihkan tangannya sehinggalah dia menjilatnya atau menjilatkannya (kepada orang lain)”. [HR al-Bukhariy: 5456, Muslim: 2031, at-Turmudziy: 1801 dan Ahmad: I/ 221]. [27]

Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَلْعَقْ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِى فِى أَيَّتِهِنَّ اْلبَرَكَةُ

“Apabila seseorang di antara kalian makan maka hendaklah ia menjilati jari jemarinya, karena ia tidak tahu di makanan yang manakah yang ada berkahnya”. [HR Muslim: 2035].

Dari Jabir bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjilat jari jemari dan piring dan bersabda,

إِنَّكُمْ لَا تَدْرُوْنَ فِى أَيِّ طَعَامِكُمُ اْلبَرَكَةَ

“Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di makanan kalian yang manakah yang ada berkahnya”. [HR Muslim: 2033 (133) dan Ahmad: III/ 177].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,

1). Makanan yang dimakan oleh manusia itu memiliki berkah namun tidak diketahui dimanakah letaknya.

2). Sepatutnya bagi seseorang untuk berusaha keras mendapatkan berkah tersebut. Sebab berkah itu jika telah tercabut (hilang) maka seorang hamba tidak akan meraih manfaat sedikitpun (dari makanan tersebut) meskipun dunia diselimuti dengan berbagai kemuliaannya.

3). Terdapat dorongan untuk menjilat jari jemari dan piring. Karena dalam hal tersebut terdapat upaya memelihara kenikmatan dan berakhlak dengan sifat tawadlu’ (rendah hati).

4). Terdapat (anjuran untuk) memungut sesuatu yang terjatuh ke tanah sesudah membersihkannya dari kotoran jika memungkinkan untuk membersihkannya dan tidak terjatuh ke tempat yang (mengandung) najis. Kemudian (makanan itu) dimakan dan tidak boleh dibuang. Karena di dalam (perbuatan) membuang itu terdapat bentuk penghinaan terhadap nikmat (Allah ta’ala) dan bersifat sombong darinya. [28]

Katanya lagi,

1). Disunnahkan untuk menjilat jari jemari dan piring.

2). Tidak menganggap remeh dengan sedikitnya makanan yang berada pada tangan dan selainnya.

3). Berkah itu turunnya dari tengah-tengah makanan dan tersebar ke seluruhnya dan menetap sampai pada bagian akhirnya. [29]

Hadis-hadits di atas dan penjelasannya menunjukkan disunnahkan agar menjilat sisa-sisa makanan yang masih melekat pada jari-jemari dan piring sebelum dibersihkan, karena berkah itu tidak diketahui tempatnya. Boleh jadi berkah itu adanya pada makanan yang tersisi pada jari jemari atau sendok dan piring. Jika seorang muslim mengabaikannya maka akan hilanglah berkah itu dari makanannya. Bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan contoh makan dengan menggunakan tiga jarinya yang kanan, yaitu ibu jari, telunjuk dan jari tengahnya.

Dari Ka’b bin Malik radliyallahu anhu berkata,

      أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ فَإِذَا فَرَغَ لَعِقَهَا

            “Bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam makan dengan tiga jarinya lalu apabila selesai Beliau menjilatnya”. [Atsar diriwayatkan oleh Muslim: 2032 (132)].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dianjurkan makan dengan menggunakan tiga jari dan tidak menggenggamkan selainnya kecuali karena terpaksa (darurat). Makan menggunakan tiga jari itu menunjukkan tidak rakusnya seseorang terhadap makanan. Maka barangsiapa yang berbuat menyelisihi perilaku tersebut maka hampir-hampir  ia akan memenuhi makanan itu pada mulutnya lalu menyesakkan ususnya yang akan menyebabkannya merasa sakit”. [30]

6. Mengambil makanan yang terjatuh.

Adab makan yang juga banyak diabaikan oleh umatnya adalah mengambil atau memungut kembali makanan yang terjatuh lalu membuang kotoran yang ada pada makanan tersebut kemudian memakannya dan tidak membuangnya.

Yakni di jaman sekarang ini, banyak orang yang makan sambil berdiri (standing party) dan makan sambil mengobrol, senda gurau dan berjalan kian kemari sehingga tanpa disadarinya makanan yang ada pada tangan atau piringnya terjatuh. Ketika makan itu terjatuh maka pemilik makanan itu enggan untuk mengambilnya karena sungkan, malu atau mungkin karena tidak mengetahui sama sekali akan ajaran agamanya. Sehingga ia membiarkan setan untuk mengambil berkah dari makanannya tersebut dan jadilah ia merugi dunia dan akhiratnya.

Dari Anas radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ

“Apabila makanan salah seorang dari kalian terjatuh, maka ambil dan bersihkanlah kotoran yang terdapat padanya dan kemudian makanlah, dan jangan biarkannya untuk setan. Dan janganlah kalian bersihkan tangan kalian dengan kain pengelap sehinggalah terlebih dahulu ia dijilat. Karena sesungguhnya kalian tidak tahu di bahagian manakah makanan tersebut mengandungi berkah.” [HR Muslim: 2034, Abu Dawud: 3845, at-Turmudziy: 1803 dan Ahmad: III/ 177. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [31]

Dari Jabir bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَسَقَطَتْ لُقْمَتُهُ فَلْيُمْطِ مَا رَابَهُ مِنْهَا ثُمَّ لِيَطْعَمْهَا وَ لَا يَدَعُهَا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila sesorang di antara kalian sedang makan, lalu terjatuh satu suapannya maka hendaklah ia menyingkirkan apa yang meragukannya kemudian hendaklah ia memakannya dan janganlah ia membiarkannya untuk setan”. [HR at-Turmudziy: 1802 dan Ibnu Majah: 3279. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]

7. Makan berjama’ah (bersama-sama)

Adab makan selanjutnya adalah makan makanan bersama-sama (berjamaah) dengan keluarga atau para shahabatnya dalam satu piring besar atau nampan. Karena di dalamnya ada sunnah dan keberkahan.

Dari Wahsyi bin Harb, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya para shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلَا نَشْبَعُ قَالَ: فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ؟ قَالُوا: نَعَمْ قَالَ: فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan tetapi tidak merasa kenyang?”. Beliau bersabda, “Mungkin karena kalian makan secara terpisah-pisah (sendiri-sendiri)?.” Mereka menjawab, “Ya benar.” Beliau bersabda, “Hendaklah kalian secara bersama-sama (berjama’ah) ketika makan, dan sebutlah nama Allah atasnya, maka kalian akan mendapat berkah padanya.” [HR Abu Dawud: 3764, Ibnu Majah: 3286, Ahmad: III/ 501, al-Hakim dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [33]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,

1). (Makan) terpisah itu dapat merampas berkah dan (makan) berjamaah itu dapat mendatangkan rasa kenyang dan berkah.

2). Menyebut nama Allah ta’ala ketika makan itu wajib dan dapat menghasilkan berkah yang diharapkan dengan memperbanyak makanan.

3). Orang yang makan sendirian kendatipun makannya banyak, akan tetap merasakan tidak cukup dan lapar berbeda dengan makan secara berjamaah meskipun makanannya sedikit.

4). Wajib bagi umat Islam untuk selalu berjamaah di dalam setiap keadaan, di dalam makan, minum dan memerangi musuh mereka dikarenakan persatuan akidah dan syariat mereka. [34]

Hadis dan penjelasannya di atas menunjukkan sunnahnya mengucapkan ‘bismillah’ ketika hendak makan. Juga menunjukkan disunnahkannya makan secara berjama’ah, bukan sendiri-sendiri karena padanya terdapat berkah dan dapat membuat orang yang makan itu  merasa cukup (kenyang).

8. Berkumur-kumur dan cuci tangan setelah selesai makan

Begitu pula Islam telah mengajarkan adab yang baik bagi umatnya, yaitu ketika seorang muslim selesai makan sedangkan ia hendak menunaikan sholat maka hendaknya ia berkumur-kumur terlebih dahulu lalu berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat.

Sedangkan jika ia hendak tidur hendaklah ia mencuci tangannya terlebih dahulu dari bau-bauan yang masih melekat pada tangannya karena dikhawatirkan bau-bauan pada tangannya itu akan mengundang binatang semisal tikus, kecoa, lipan, semut dan selainnya lalu mereka akan melukai tangannya. Jika demikan janganlah ia menyalahkan dan mencela siapapun kecuali dirinya sendiri.

Dari Suwaid bin An-Nu’man radhiyallahu ‘anhu berkata,

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى خَيْبَرَ، فَلَمَّا كُنَّا بِالصَّهْبَاءِ دَعَا بِطَعَامٍ، فَمَا أُتِيَ إِلَّا بِسَوِيقٍ، فَأَكَلْنَا، فَقَامَ إِلَى الصَّلاَةِ فَتَمَضْمَضَ وَمَضْمَضْنَا

“Kami pernah keluar bersama-sama Rosulullah ke Khaibar. Ketika kami tiba di daerah ash-Shahba’, beliau minta dibawakan makanan. Tiada sesuatupun (yang dapat dihidangkan) melainkan gandum. Maka kami pun makan. Kemudian beliau berdiri untuk sholat (maghrib), maka beliau berkumur-kumur, dan kami pun berkumur-kumur.” [HR al-Bukhariy: 5454, 5455].

Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نَامَ أَحَدُكُمْ وَ فِى يَدِهِ رِيْحُ غَمَرٍ فَلَمْ يَغْسِلْ يَدَهُ فَأَصَابَهُ شَيْءٌ فَلَا يَلُوْمَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ

“Apabila seseorang di antara kalian tidur sedangkan pada tangannya masih ada bau kotor (bekas makanan) dan ia tidak mencucinya lalu terjadi sesuatu padanya maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri”. [HR Ibnu Majah: 3297 dan Abu Dawud: 3852. Berkata ash-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]

Hadits-hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur setelah selesai dari makan terutama apabila kita hendak segera mengerjakan solat. Dan dianjurkan untuk mencuci tangan apabila telah selesai dari makan, karena di dalamnya terdapat bahaya.


[1] Shahih Sunan Abu Dawud: 3209, Shahih Sunan at-Turmuziy: 1470, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 383 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1236.

[2] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: III/ 239.

[3] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2643, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 384 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1236.

[4] Mukhtashor Shahih Muslim: 1300, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1512, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2644, Shahih Sunan Abu Dawud: 3210, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 251, 7958, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1184, Irwa’ al-Ghalil: 1968, al-Kalim ath-Thayyib: 182 dan Nail al-Awthar bi takhrij ahadits kitab al-Adzkar: 631, 646.

[5] Bahjah an-Nazhirin: I/ 382.

[6] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2645.

[7] Bahjah an-Nazhirin: I/ 240.

[8] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2641, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1514 dan Nail al-Awthar bi takhrij ahadits kitab al-Adzkar: 637.

[9] Shahih Sunan Abu Dawud: 3202, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1513, al-Kalim ath-Thayyib dengan tahqiq asy-Syaikh al-Albaniy: 183 dan Nail al-Awthar bi takhrij ahadits kitab al-Adzkar: 632.

[10] Mukhtashor Shahih Muslim: 1296, Shahih Sunan Abu Dawud: 3201 dan Shahih al-jami ash-Shaghir: 1653.

[11] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4768, al-Kalim ath-Thayyib: 182 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 71.

[12] Nail al-Awthar bi takhrij ahadits kitab al-Adzkar: 657 (I/528-529).

[13] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2683, Shahih Sunan Abu Dawud: 3173, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2749, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2320, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 381 dan Misykah al-Mashobih: 4283.

[14] Nail al-Awthar bi takhrij Ahadits Kitab al-Adzkar: 630 (I/ 513).

[15] Shahih Sunan Abu Dawud: 3394, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2656, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2751, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6086, al-Kalim ath-Thayyib dengan tahqiq asy-Syaikh al-Albaniy: 182 dan Irwa’ al-Ghalil: 1989.

[16] Nail al-Awthar bi takhrij ahadits kitab al-Adzkar: 656 (I/528).

[17] Shahih Sunan Abu Dawud: 3260, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2655, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2750, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4731, al-Kalim ath-Thayyib dengan tahqiq asy-Syaikh al-Albaniy: 191 dan Mukhtashor Syama’il al-Muhammadiyah: 164.

[18] Nail al-Awthar bi takhrij ahadits kitab al-Adzkar: 652 (I/525).

[19] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4768, al-Kalim ath-Thayyib: 190 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 71.

[20] Nail al-Awthar bi takhrij ahadits kitab al-Adzkar: 657 (I/528-529).

[21] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1483, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1816 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1651.

[22] Dla’if Sunan Abu Dawud: 829, Dla’if Sunan at-Turmudziy: 681, Dla’if Sunan Ibnu Majah: 709, Misykah al-Mashobih: 4204, Mukhtashor Syama’il al-Muhammadiyyah: 163, al-Kalim ath-Thayyib: 189 dan Dla’if al-Jami’ ash-Shahih: 4436.

[23] Nail al-Awthar bi takhrij ahadits kitab al-Adzkar: 654 (I/527).

[24] Mukhtashor Shahih Muslim: 1297, Shahih Sunan Abu Dawud: 3200 dan Shahih al-Jami’ ash-Shahih: 519.

[25] Bahjah an-Nazhirin: II/ 51.

[26] Mukhtashor Shahih Muslim: 1304 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1659.

[27] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1471, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 382.

[28] Bahjah an-Nazhirin: I/ 246.

[29] Bahjah an-Nazhirin: II/ 63-64.

[30] Bahjah an-Nazhirin: II/ 63.

[31] Shahih Sunan Abu Dawud: 3256, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1473 dan Mukhtashor asy-Syama’il al-Muhammadiyah: 120.

[32] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1472 dan Shahih Sunan Ibnu Majah: 2652, Irwa’ al-Ghalil: 1971 dan Shahih al-jami’ ash-Shaghir: 378.

[33] Shahih Sunan Abu Dawud: 3199, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2657, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 142 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 664.

[34] Bahjah an-Nazhirin: II/ 59.

[35] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2666, Shahih Sunan Abu Dawud: 3262, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 804 dan Miyskah al-Mashobih: 4219.