AYO BERWUDLU SESUAI DENGAN CONTOH NABI Shallallahu alaihi wa sallam (4) !!!

air gemericikبسم الله الرحمن الرحيم

SIFAT WUDLU NABI Shallallahu alaihi wa sallam (4)

Khulashoh

Berdasarkan kepada banyak dalil yang telah dituangkan di dalam penjelasan-penjelasan terdahulu, maka untuk lebih memudahkan mempelajari, memahami dan mempraktekkannya akan diringkas sebagai berikut,

1). Disunahkan untuk bersiwak di setiap kali wudlu atau sholat.

 2). Niat dan cukup diutarakan dalam hati.

 3). Mengucapkan tasmiyah (membaca bismillah).

4). Membasuh kedua telapak tangan.

5). Berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar dengan satu cidukan, separuh cidukan untuk berkumur-kumur dan separuhnya lagi untuk istinsyaq. Berkumur-kumur dan istinsyaq dengan tangan kanan dan istintsar dengan tangan kiri.

 6). Membasuh muka.

6.a. Batas wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut turun sampai ke  ujung dagu dan melebar di antara dua daun telinga. [1]

6.b. Disyariatkan untuk menyela-nyela jenggot.

7). Membasuh kedua tangan sampai kedua siku

7.a. Disyariatkan untuk menyela-nyela jari jemari tangan.

7.b. Dimulai dari tangan kanan yang dibasuh oleh tangan kiri dan mengedarkan air dari atas siku.

8). Mengusap kepalanya dengan kedua tangannya ke depan dan ke belakang mulai dari depan kepalanya kemudian menggerakkannya sampai ke tengkuknya, lalu mengembalikannya ke tempat semula. Lalu langsung mengusap kedua telinganya yang bahagian dalamnya dengan kedua telunjuk dan bahagian luarnya dengan kedua ibu jarinya.

8.a. Jikalau menggunakan sorban maka cukup mengusap ubun-ubun dan kedua sisi sorban.

8.b. Tetapi jika menggunakan kopiah atau peci maka haruslah ia melepasnya dan berwudlu seperti biasa karena keduanya itu tidak menutupi kepala.

9). Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.

9.a. Disyariatkan untuk menyela-nyela jari jemari kaki dengan kelingking.

9.b. Hendaklah memperhatikan kesempurnaannya, karena banyak sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mengancam dengan neraka orang yang meninggalkan pembasuhan tumit. Dan bahkan orang itupun diperintahkan untuk mengulangi wudlu dan sholatnya.

9.c. Jika menggunakan terompah, sepatu, sandal atau kaos kaki maka disyariatkan untuk mengusap bagian atas atau punggungnya dengan sekali usapan.

9.d. Alas-alas kaki dan kedua kaki sebelum dimasukkan ke dalam alas kaki harus dalam keadaan suci dari najis sebelum pengusapan.

9.e. Pengusapan itu dilakukan dengan sekali pengusapan.

9.f. Batas pengusapan untuk orang yang mukim adalah sehari semalam sedangkan untuk orang yang safar adalah tiga hari tiga malam.

 10). Pembasuhan tiap-tiap anggota wudlu itu boleh sekali basuhan sekali basuhan, yakni sekali basuhan sebelah kanan lalu sekali basuhan berikutnya yang sebelah kiri. Atau dua kali basuhan dua kali basuhan atau tiga kali basuhan tiga kali basuhan. Dan tidak boleh lebih dari tiga kali basuhan.

10.a. Kecuali mengusap kepala dan telinga yaitu hanya sekali pengusapan.

10.b. Tidak perlu mengambil air baru untuk mengusap kedua daun telinga namun langsung setelah mengusap kepala.

11). Mengucapkan doa yang disyariatkan yaitu,

 أَشْهَدُ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنىِ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَ اجْعَلْنىِ مِنَ اْلمـُتَطَهِّرِيْنَ

 Atau boleh juga,

 سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْكَ

                 Wallahu a’lam bi ash-Showab.


[1]  Aysar at-Tafasir: I/ 598.

AYO BERWUDLU SESUAI DENGAN CONTOH NABI Shallallahu alaihi wa sallam (3) !!!

air keranSIFAT WUDLU NABI Shallallahu alaihi wa sallam (3)

بسم الله الرحمن الرحيم

24). Mengusap kepala

Setelah sempurna membasuh kedua tangan dan menyela-nyela jari jemari keduanya, pekerjaan selanjutnya adalah mengusap kepala dan kedua telinga sekaligus. Mengusap kepala itu dengan cara mengebelakangkan dan mengedepankan kedua tangan, mulai dari depan kepala lalu menjalankan kedua tangan kebelakang sampai tengkuk kemudian menjalankan kembali ke depan ke tempat semula. Lalu menggerakkan kedua tangan melalui pelipis ke arah kedua telinga dan meletakkan kedua tangan tersebut pada kedua daun telinga. Ibu jari di sebelah luar daun telinga sedangkan telunjuk pada daun telinga sebelah dalam lalu mengusap keduanya dari arah bawah ke atas. Pengusapan kepala dan kedua telinga itu dilakukan dengan sekali usapan. Dalil-dalil tentang pengusapan tersebut adalah sebagai berikut,

قال الله سبحانه و تعالى ((وَ امْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ))

Telah berfirman Allah Subhanahu wa ta’ala ((dan usaplah kepala kalian))

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, ”Lafaznya mengandung seluruh dan sebahagian. Sedangkan sunnah menerangkan bahwasanya orang yang mengusap itu mengedepankan dan mengebelakangkan kedua tangannya, lalu ia mengusap seluruh kepalanya dan itu lebih sempurna. Dan yang demikian itu adalah dengan basahan kedua telapak tangannya, sebagaimana pula sunah telah menerangkan mengusap kedua telinga luar dan dalam sesudah mengusap  kepala”. [1]

Abu Umamah radliyallahu anhu telah bercerita bahwasanya Amr bin Abasah as-Sulamiy radliyallahu anhu bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang cara berwudlu. Lalu Beliau memberikan jawaban, di antaranya adalah,

ثُمَّ يَمْسَحُ رَأْسَهُ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا رَأْسِهِ مِنْ أَطْرَافِ رَأْسِهِ مَعَ اْلمـَاءِ

 Lalu mengusap kepalanya melainkan gugurlah dosa-dosa kepalanya dari ujung-ujung kepalanya bersama tetesan air. [HR Muslim: 832, an-Nasa’iy: I/ 91-92 dan Ahmad: IV/ 112. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [2]

Diriwayatkan oleh Abdu Khair, menceritakan tentang Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu yang sedang mencontohkankan cara berwudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

وَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً

Dan mengusap kepalanya sekali. [HR an-Nasa’iy: I/ 68 dan Abu Dwud: 111. berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Di dalam riwayat yang lain dari jalan Amr bin Yahya al-Maziniy, menceritakan tentang Abdullah bin Zaid radliyallahu anhu yang memperagakan cara berwudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَ أَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلىَ قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّ هُمَا حَتىَّ رَجَعَ إِلىَ اْلمـَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ

            Lalu mengusap kepalanya dengan kedua tangannya ke depan dan ke belakang mulai dari depan kepalanya kemudian menggerakkannya sampai ketengkuknya, lalu mengembalikannya ketempat semula. [HR Abu Dawud: 118, an-Nasa’iy: I/ 70-71,71, Ibnu Majah: 434 dan at-Turmudziy: 32. berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

 عن الربيّع بنت معوّذ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ عِنْدَهَا فَمَسَحَ الرَّأْسَ كُلَّهُ مِنْ قَرْنِ الشَّعْرِ كُلِّ نَاحِيَةٍ لمِـَنْصَبِ الشَّعْرِ لاَ ُيحَرِّكُ الشَّعْرَ عَنْ هَيْئَتِهِ

Dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliyallahu anha bahwasanya Rosulullah pernah berwudlu disisinya, lalu Beliau mengusap kepalanya dari ujung rambut di setiap sisi di tempat jatuhnya rambut, Beliau tidaklah menggeser rambut dari keadaannya. [HR Abu Dawud: 128 dan Ahmad: IV/ 359, 360. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [5]

Dalil-dalil di atas menerangkan tentang perbuatan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika mengusap seluruh kepalanya, tidak sebahagian saja. Yakni dengan cara mengusap kepala dengan kedua tangan ke depan dan ke belakang, mulai dari depan kepala kemudian menggerakkan atau menjalankannya sampai ke tengkuk lalu mengembalikannya ke tempat semula dan beliau tidak menggeser dan mengubah keadaan rambutnya.

Maka apa yang dilakukan oleh mayoritas awam kaum muslimin selama ini adalah keliru dan tidak mengikuti sunah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Yaitu biasanya mereka hanya mengusap ujung rambut bagian depan kepalanya saja sebanyak tiga kali dan bahkan memisahkannya dengan pengusapan kedua daun telinga. Mungkin mereka beranggapan bahwa huruf ”ba” pada kata öNä3řrâäãÎ/ #qßs|¡øB$#ur untuk menyatakan  sebahagian. Padahal tidak demikian, hal ini telah dibantah oleh para ahli bahasa sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Burhan di dalam al-Mughniy dan al-Imam Ibnu Qudamah.

al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah berkata, ”bahwasanya tidak tsabit (kuat) keadaan huruf baa’ itu untuk menunjukkan sebahagian. Sibaweih (yakni seorang ahli nahwu) telah mengingkarinya dalam lima belas masalah di dalam bukunya”.[6]

 25). Mengambil air baru untuk mengusap kepala ?

عن عبد الله بن زيد أَنَّهُ رَأَى  رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَمَضْمَضَ ثُمَّ اسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَ يَدَهُ اْليُمْنىَ ثَلاَثًا وَ اْلأُخْرَى ثَلاَثًا وَ مَسَحَ  بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ وَ غَسَلَ رِجْلَيْهِ حَتىَّ أَنْقَاهُمَا

Dari Abdullah bin Zaid radliyallahu nahuma bahwasanya ia pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wudlu. Maka Beliau berkumur-kumur dan istintsar lalu membasuh wajahnya tiga kali, tangan kanannya tiga kali dan tangannya yang lain juga tiga kali. Dan membasuh kepalanya dengan air yang bukan sisa tangannya dan membasuh kedua kakinya sehingga membersihkan keduanya. [HR Muslim 236, at-Turmudziy: 35, Abu Dawud: 120 da ad-Darimiy: I/ 180. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

Hadits di atas mengungkapkan bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengambil air baru untuk mengusap kepalanya setelah membasuh kedua tangannya. Namun juga diperbolehkan mengusap kepala dari bekas atau sisa air membasuh kedua tangan tanpa mengambil air baru, berdasarkan pada keterangan dalil berikut ini,

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Bahwasanya tidak dijumpai di dalam sunnah apa yang mengharuskan untuk mengambil air baru untuk kedua telinga lalu membasuh keduanya dengan air (sisa) kepala, sebagaimana diperbolehkan mengusap kepala dengan air sisa kedua tangan sesudah membasuhnya karena hadits berikut,

عن الربيع بنت معوذ: أَنَّ النَّبيَّ  صلى الله عليه و سلم مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فىِ يَدِهِ

Dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengusap kepalanya dari sisa air yang ada pada tangannya. [HR Abu Dawud: 130 dan selainnya dengan sanad Hasan sebagaimana aku telah jelaskan di dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 120]”. [8]

Ringkasnya diperbolehkan mengusap kepala dan dua telinga dari air sisa basuhan kedua tangan, namun juga diperbolehkan untuk mengambil air baru untuk mengusapnya. Berbeda dengan mengusap kedua telinga yang mengharuskan dari sisa air usapan kepala dan tidak diperbolehkan mengambil air baru untuk mengusapnya.

 26). Mengusap kepala sekali usap.

 Setelah dipahami tata cara pengusapan kepala beserta kedua daun telinga, yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah jumlah pengusapan. Kebanyakan dalil-dalil hadits yang telah tsabit dan shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan sekali pengusapan tidak seperti kebanyakan kaum muslimin yang mengusap kepala tiga kali usapan lalu mengusap kedua daun telinga juga tiga kali usapan.

عن عثمان بن عفان قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَمَسَحَ رَأْسَهُ مَرَّةً

Dari Utsman bin Affan radliyallahu nahu berkata, ”Aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wudlu lalu mengusap kepalanya sekali (usap)”. [HR Ibnu Majah: 435. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

عن علي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَسَحَ رَأْسَهُ مَرَّةً

Dari Ali radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengusap kepalanya sekali (usap). [HR Ibnu Majah: 436. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

عن عبد الرحمن بن أبى ليلى قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا رضي الله عنه تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا وَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا تَوَضَّأَ رَسُوْل الله صلى الله عليه و سلم

Dari Abdurrahman bin Abi Layla radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah melihat Ali radliyallahu anhu berwudlu, lalu ia membasuh wajahnya tiga kali, membasuh kedua lengan bawahnya (hasta) tiga kali dan mengusap kepadanya sekali”. Kemudian ia berkata, “Demikianlah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu”. [HR Abu Dawud: 115. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

عن سلمة بن الأكوع قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَمَسَحَ رَأْسَهُ مَرَّةً

Dari Salamah bin al-Akwa’ radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wudlu lalu mengusap kepalanya sekali (usap)”. [HR Ibnu Majah: 437. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

عن ابن عباس قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ مِنْ غُرْفَةٍ وَاحِدَةٍ وَ غَسَلَ وَجْهَهُ وَ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّةً مَرَّةً وَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ أُذُنَيْهِ مَرَّةً

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, “aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wudlu maka Beliau membasuh kedua tangannya lalu berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu cidukan. Lalu berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu cidukan. Lalu mengusap wajah dan membasuh kedua tangannya sekali sekali. Lalu mengusap kepala dan kedua telinganya sekali”. [HR an-Nasa’iy: I/ 73. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih isnadnya]. [13]

عن الربيع بنت معوذ بن عفراء أَنَّهَا رَأَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ قَالَتْ: مَسَحَ رَأْسَهُ وَ مَسَحَ مَا أَقْبَلَ مِنْهُ وَ مَا أَدْبَرَ وَ صُدْغَيْهِ وَ أُذُنَيْهِ مَرَّةً وَاحِدَةً

Dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliyallahu anha bahwasanya ia pernah melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wudlu. Ia berkata, “Beliau mengusap kepalanya dan mengusap apa yang kedepan, kebelakang, kedua pelipisnya dan kedua telinganya sekali (usap)”. [HR at-Turmudziy: 34, Abu Dawud: 129, Ibnu Majah: 438 dan Ahmad: VI/ 359. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

Maka berdasarkan beberapa dalil di atas Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengusap kepalanya sekali usapan. [15] Yang dimulai dari bagian depan kepala kemudian menggerakkan kedua tangan kebelakang kemudian sampai tengkuk lalu mengembalikannya ke tempat semula dan dilanjutkan dengan mengusap kedua telinga, bagian dalamnya dengan telunjuk dan bagian luarnya dengan ibu jari.

27). Perempuan mengusap kepalanya

 Jika telah dipahami, maka bagaimana keadaanya akan perempuan di dalam mengusap kepala dan kedua telinga?. Apakah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memisahkan dan membedakannya dengan apa yang dilakukan kaum lelaki?. Dan bolehkah dalam keadaan tertentu seorang perempuan mengusap kerudungnya sebagaimana kaum lelaki mengusap sorbannya?. Dan hal tersebut telah dijelaskan di dalam atsar dan penjelasan ulama salaf di bawah ini,

عن عبد الملك بن مروان بن الحارث بن أبي ذباب قَالَ: أَخْبَرَنيِ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ سَـالِمٌ سَبْلاَنُ قَالَ: وَ كَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَعْجِبُ بِأَمَانَتِهِ وَ تَسْتَأْجِرُهُ فَأَرَتْنيِ كَيْفَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ فَتَمَضْمَضَتْ وَ اسْتَنْثَرَتْ ثَلاَثًا وَ غَسَلَتْ وَجْهَهَا ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَتْ يَدَهَا اْليُمْنىَ ثَلاَثًا وَ اْليُسْرَى ثَلاَثًا وَ وَضَعَتْ يَدَهَا فىِ مُقَدَّمِ رَأْسِهَا ثُمَّ مَسَحَتْ رَأْسَهَا مَسْحَةً وَاحِدَةً إِلىَ مُؤَخَّرِهِ ثُمَّ أَمَرَّتْ يَدَيْهَا بِأُذُنَيْهَا ثُمَّ مَرَّتْ عَلَى اْلخَدَّيْنِ قَالَ سَاِلمٌ: كُنْتُ آتِيْهَا مُكَاتَبًا مَا تَخْتَفِى مِنيِّ فَتَجْلِسُ بَيْنَ يَدَيَّ وَ تَتَحَدَّثُ مَعِي حَتىَّ جِئْتُهَا ذَاتَ يَوْمٍ فَقُلْتُ: ادْعِى لىِ بِاْلبَرَكَةِ يَا أُمَّ اْلمـُؤْمِنِيْنَ ! قَالَتْ: وَ مَا ذَاكَ؟ قُلْتُ: أَعْتَقَنِىَ اللهُ  قَالَتْ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَ أَرْخَتِ اْلحِجَابَ دُوْنىِ فَلَمْ  أَرَهَا بَعْدَ ذَلِكَ اْليَوْمِ

Dari Abdulmalik bin Marwan bin al-Harits bin Abi Dzubab berkata, “pernah mengkhabarkan kepadaku Abu Abdullah Salim Sablan berkata, “Dan Aisyah radliyallahu anha merasa kagum akan sifat amanahnya dan juga mempekerjakannya. Lalu Aisyah radliyallahu anha memperlihatkan kepadaku cara Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wudlu, maka ia berkumur–kumur dan istintsar tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali lalu membasuh tangan kanannya tiga kali dan yang kiri juga tiga kali. Lalu meletakkan tangannya di depan kepalanya kemudian mengusap kepalanya sekali usap sampai belakang (kepala)nya, lalu menjalankan kedua tangannya ke kedua telinganya kemudian melewati kedua pipi. Berkata Salim, “Aku datang kepadanya sebagai budak mukatib yang ia tidak bersembunyi dariku lalu ia duduk di hadapanku dan bercerita bersamaku sehingga aku datang pada suatu hari sambil berkata, “Wahai ummul mukminin doakanlah diriku dengan keberkahan”. Aisyah berkata, “Mengapakah?”. Aku (yaitu Salim) berkata, ”Allah telah memerdekakan diriku”. Aisyah berkata, ”Mudah-mudahan Allah memberkahimu”. Lalu ia menurunkan hijabnya dihadapanku sejak hari itu dan aku tidak pernah melihatnya lagi. [HR an-Nasa’iy: I/ 72-73. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih isnadnya]. [16]

Aisyah radliyallahu anha memperlihatkan cara wudlunya Nabi kepada Salim karena di waktu itu ia masih budak mukatib yaitu budak yang berusaha untuk memerdekakan dirinya dengan membayar tebusan kepada majikannya. Tetapi ketika Salim telah merdeka maka Aisyah radliyallahu anha berhijab darinya sejak saat itu.

Adapun diantara cara berwudlu yang diperlihatkan oleh Aisyah radliyallahu anha adalah meletakkan tangan di depan kepala kemudian mengusap kepala sampai ke belakang kepala sekali usap, lalu menjalankan kedua tangan menuju kedua telinga kemudian melewati pipi.

Pernah ditanyakan kepada asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, ”Apakan disunnahkan bagi perempuan ketika mengusap kepalanya di dalam berwudlu untuk memulai dari bahagian depan kepala kemudian ke arah bahagian belakangnya, lalu kembali lagi ke bahagian depan kepala seperti layaknya kaum lelaki?”.

Beliau menjawab, ”Ya, sebab pada asalnya di dalam hukum syar’iy itu apa yang telah tetap kewajiban bagi kaum lelaki juga tetap kewajiban itu bagi kaum perempuan. Begitupun kebalikannya, apa yang tetap kewajiban bagi kaum perempuan juga tetap kewajiban itu bagi kaum lelaki, kecuali dengan dalil. Dan aku sendiri tidak tahu ada satupun dalil yang mengkhususkan kaum perempun di dalam hal ini. Dengan dasar ini, maka hendaklah ia (yaitu perempuan tersebut) mengusap dari bahagian depan kepala lalu ke bahagian belakangnya, meskipun rambutnya panjang, tidaklah berpengaruh dengannya. Sebab bukanlah maknanya itu menekan rambut dengan kuat agar basah atau (air itu) naik (membasahi sampai) ke ujung kepala, tetapi (tujuan yang sebenarnya) hanyalah membasuh dengan tenang”. [17]

Lalu ditanyakan lagi kepada asy-Syaikh rahimahullah, ”Bolehkah seorang perempuan itu mengusap kerudungnya?”. Beliau menjawab, ”Yang telah dikenal dari madzhab al-Imam Ahmad, bahwasanya boleh baginya untuk mengusap kerudung jika kerudung itu melingkar di bawah tenggorokannya. Sebab yang demikian itu, telah datang (atsar) dari para istri shahabat radliyallahu anhum. Dan juga lantaran di atas segala keadaan yaitu jika mendapatkan kesulitan, apakah karena udara dingin atau susah melepasnya dan kerudung itu terlipat pada kondisi yang lain.[18] Maka dalam keadaan seperti ini ada toleransi yaitu tidak mengapa (ia mengusapnya), tetapi jika tidak maka yang paling utama adalah tidak mengusapnya”. [19]

Berdasarkan dalil dan penjelasannya dapatlah dipahami bahwasanya kaum perempuan itu di dalam mengusap kepala tidak berbeda dengan kaum lelaki. Sebab tidak ada dalil khusus yang membedakannya. Yaitu mengambil air dengan kedua telapak tangannya, lalu meletakkan keduanya di bagian depan kepala lalu mengusapnya yakni menjalankan kedua tangannya sampai ke bagian belakang kepala (tengkuk) kemudian menjalankan keduanya kembali ke bagian depan kepala sekali usap. Lalu dilanjutkan dengan mengusap daun telinga, sebelah luarnya dengan dengan kedua ibu jari dan bagian dalamnya dengan dua jari telunjuk.

Tetapi jika kondisi tidak memungkinkan, apakah lantaran udara dingin, atau jilbab atau kerudungnya sempit dan sulit dilepas, atau wudlu di tempat terbuka maka ada toleransi di dalam masalah ini yaitu perempuan yang hendak berwudlu tersebut, berwudlu dengan cara mengusap kerudung atau jilbabnya saja tanpa melepaskannya sebagaimana kaum lelaki mengusap sorban. Namun jika tidak, maka lebih utama adalah perempuan tersebut melepaskan kerudung atau jilbabnya dan berwudlu sebagaimana biasa. Wallahu a’lam bi ash-Showab.

 28). Mengusap kedua telinga bagian luar dan dalam

Dalil hadits berikutnya menerangkan tentang pengusapan kedua daun telinga. Yakni daun yang sebelah dalam dan luar, yang sebelah atas dan bawah. Mengusap daun telinga bahagian dalam dengan jari telunjuk dan bahagian luarnya dengan ibu jari. Lalu menjalankannya dari arah bawah menuju ke atas dengan sekali usap. Tetapi hal tersebut tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan awam kaum muslimin yang hanya mengusap telinga bahagian bawahnya saja dengan tiga kali usapan, maka hal ini adalah suatu kekeliruan yang jelas.

عن عثمان بن عبد الرحمن التيمي قَالَ: سُئِلَ ابْنُ أَبيِ مُلَيْكَةَ عَنِ اْلوُضُوْءِ فَقَالَ: رَأَيْتُ عُثْمَانَ ابْنَ عَفَّانٍ سُئِلَ عَنِ اْلوُضُوْءِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأُتِيَ بِمِيْضَأَةٍ فَأَصْغَى عَلَى يَدَهِ اْليُمْنىَ ثُمَّ أَدْخَلَهَا فىِ اْلمـَاءِ فَتَمَضْمَضَ ثَلاَثًا وَ اسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا وَ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اْليُمْنىَ ثَلاَثًا وَ غَسَلَ يَدَهُ اْليُسْرَى ثَلاَثًا ثُمَ أَدْخَلَ يَدَهُ فَأَخَذَ مَاءً فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ أُذُنَيْهِ فَغَسَلَ بُطُوْنَهُمَا وَ ظُهُوْرَهُمَا مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُوْنَ عَنِ اْلوُضُوْءِ ؟ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ

Dari Utsman bin Abdurrahman at-Taimiy berkata, “Ibnu Abi Mulaikah pernah ditanya tentang wudlu”. Ia menjawab, “Aku pernah melihat Utsman bin Affan ditanya tentang wudlu, lalu ia menyuruh mengambil air. Maka didatangkan kepadanya air wudlu lalu ia menuangkan ke tangan kanannya kemudian memasukkannya ke air lalu berkumur-kumur dan istintsar tiga kali dan juga membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian membasuh tangan kanannya tiga kali dan membasuh tangan kirinya tiga kali. Kemudian ia memasukkan tangannya lalu mengambil air maka ia mengusap kepala dan kedua telinganya, membasuh bagian dalam dan luar kedua telinganya itu dengan sekali usap. Kemudian membasuh kedua kakinya lalu berkata, ”Dimanakah orang-orang yang bertanya tentang wudlu?. Beginilah yang pernah aku lihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu”. [HR Abu Dawud: 108. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih].  [20]

 عن ابن عباس قاَلَ: تَوَضَّأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَغَرَفَ غُرْفَةً فَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَرَفَ غُرْفَةً فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ غَرَفَ غُرْفَةً فَغَسَلَ يَدَهُ اْليُمْنىَ ثُمَّ غَرَفَ غُرْفَةً فَغَسَلَ يَدَهُ اْليُسْرَى ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ أُذُنَيْهِ بَاطِنِهِمَا بِالسَّبَّاحَتَيْنِ وَ ظَاهِرِهِمَا بِإِبْهَامَيْهِ ثُمَّ غَرَفَ غُرْفَةً فَغَسَلَ رِجْلَهُ اْليُمْنىَ ثُمَّ غَرَفَ غُرْفَةً فَغَسَلَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah berwudlu maka Beliau menciduk dengan satu cidukan lalu berkumur-kumur dan istinsyaq. Kemudian menciduk satu cidukan lalu membasuh wajahnya kemudian menciduk satu cidukan lalu membasuh tangan kanannya kemudian menciduk satu cidukan lalu membasuh tangan kirinya. Kemudian mengusap kepalanya dan kedua telinganya yang bahagian dalamnya dengan kedua telunjuk dan bahagian luarnya dengan kedua ibu jarinya. Kemudian menciduk satu cidukan lalu membasuh kaki kanannya kemudian menciduk satu cidukan lalu membasuh kaki kirinya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 74, Ibnu Majah: 439 dan at- Turmudziy: 36. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [21]

عن المقدام بن معديكرب الكندي قَالَ: أُتِيَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ أُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَ بَاطِنِهِمَا

Dari al-Miqdam bin Ma’diykarib al-Kindiy radliyallahu anhu berkata, “Pernah didatangkan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam air wudlu lalu Beliau berwudlu. Maka Beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali dan membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian membasuh kedua lengannya tiga kali tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali lalu mengusap kepala dan kedua telinganya  bahagian luar dan dalamnya”. [HR Abu Dawud: 121, Ahmad: IV/ 132 dan Ibnu Majah: 442. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]

عن الربيع بنت معوذ بن عفراء قَالَتْ: تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فَأَدْخَلَ أُصْبُعَيْهِ فىِ جُحْرَيْ أُذُنَيْهِ

Dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Afra’ radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berwudlu lalu memasukkan jari jemarinya ke dalam dua lubang telinganya”. [HR Ibnu Majah: 441, Abu Dawud: 131 dan Ahmad: VI/ 359. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]

Dalil-dalil di atas menegaskan cara mengusap kedua telinga setelah mengusap kepala yaitu memasukkan jari jemari ke dalam dua lubang telinga. Jari telunjuk untuk bagian dalam telinga dan ibu jari untuk bahagian luarnya lalu menggerakkan dan menjalankannya dari arah bawah ke atas.

29). Dua telinga itu bahagian dari kepala

Setelah diketahui caranya mengusap kepala dan kedua telinga, maka dalil berikut ini menerangkan bahwa pengusapan kedua daun telinga itu dilakukan setelah pengusapan kepala tanpa diselingi oleh suatu amalan apapun atau mengambil air baru untuk mengusap telinga. Karena Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwasanya kedua telinga itu bahagian dari kepala yaitu pengusapan telinga itu termasuk bahagian pengusapan kepala.

عن عبد الله بن زيد قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: اْلأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

Dari Abdullah bin Zaid radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ”Dua telinga itu bahagian dari kepala”. [HR Ibnu Majah: 443. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]

 عن أبي أمامة قَالَ: تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَ يَدَيْهِ ثَلاَثًا وَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ قَالَ: اْلأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

Dari Abu Umamah radliyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berwudlu lalu Beliau membasuh wajahnya tiga kali, kedua tangannya tiga kali dan mengusap kepalanya. Beliau bersabda, “Kedua telinga itu bahagian dari kepala”. [HR at-Turmudziy: 37, Ibnu Majah: 444 dan Abu Dawud: 134. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

 عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: اْلأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ”Kedua telinga itu bahagian dari kepala”. [HR Ibnu Majah: 445. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Hadits ini menunjukkan bahwa kedua telinga itu adalah bahagian kepala, lalu keduanya diusap bersamaan dengannya. Hal ini merupakan madzhab (pendapat) kebanyakan para ulama”. [27]

Dalil-dalil hadits dan penjelasannya di atas dengan tegas menerangkan bahwa dua telinga itu bahagian dari kepala. Maksudnya pengusapan kedua daun telinga itu bahagian dari pengusapan kepala. Tidak ada pemisahan di dalam pengusapan kedua daun telinga dari kepala dan kedua pengusapan tersebut dilakukan dengan sekali pengusapan.

30). Mengusap sorban

Bagi yang mengenakan sorban ketika berwudlu tidak perlu membuka sorbannya tetapi disyariatkan untuk mengusapnya. Karena kadangkala ketika Rosulullah r tidak bersorban, beliau mengusap kepala dan kedua telinganya sebagaimana telah dijelaskan di dalam bab terdahulu. Tetapi ketika suatu saat beliau mengenakan sorbannya maka beliau mencontohkan dengan mengusap sorbannya tanpa membukanya. Dan pada saat yang lain beliau memakai sorban yang terbuka bahagian atasnya maka beliau mengusap sorban dan ubun-ubunnya.

Adapun peci, kopiah atau sejenisnya maka tidak boleh mengusapnya tetapi harus melepasnya dan berwudlu sebagaimana biasanya. Karena peci atau kopiah tersebut pada umumnya tidak menutupi kepala, sedangkan sorban sesuai dengan kebiasaan adalah menutupi seluruh kepala atau terbuka bahagian ubun-ubunnya.

عن جعفر بن عمرو عن أبيه قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ  صلى الله عليه و سلم يَمْسَحُ عَمَامَتَهُ وَ خُفَّيْهِ

Dari Ja’far bin Amr radliyallahu anhu dari ayahnya berkata, ”Aku pernah melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengusap sorban dan kedua terompahnya”. [HR al-Bukhoriy: 205, an-Nasa’iy: I/ 81, Ibnu Majah: 562, Ibnu Khuzaimah: 181 dan ad-Darimiy: I/ 180. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[28]

 عن ثوبان قَالَ: بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم سَرِيَّةً فَأَصَاَبهُمُ اْلبَرْدُ فَلَمَّا قَدِمُوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَمَرَهُمْ أَنْ يَمْسَحُوْا عَلَى اْلعَصَائِبِ وَ التَّسَاخِيْنِ

Dari Tsauban radliyallahu anhu berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengirim pasukan lalu mereka ditimpa hawa dingin. Ketika mereka sampai kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka Beliau memerintahkan mereka untuk mengusap sorban dan terompah”.[29] [HR Abu Dawud: 146 dan Ahmad: V/ 277. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]

Berkata al-Allamah Abu ath-Thayyib rahimahullah penyusun kitab Aun al-Ma’bud, ”Hadits-hadits  tentang mengusap sorban di keluarkan oleh al-Bukhoriy, Muslim. At-Turmudziy, Ahmad, an-Nasa’iy, Ibnu Majah dan banyak dari para imam dari jalan yang kuat lagi bersambung sanadnya. Sekelompok besar ulama salaf berpegang kepadanya sebagaimana yang kuketahui. Telah tsabit dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau mengusap kepalanya saja, sorbannya saja, kepala dan sorban bersama-sama, dan semuanya telah shahih lagi tsabit dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang terdapat di dalam kitab-kitab shahih para imam”. [31]

عن كعب بن عجرة عن بلال أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَسَحَ عَلَى اْلخُفَّيْنِ وَ اْلخِمَارِ

Dari Ka’b bin ‘Ajurah dari Bilal radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengusap terompah dan penutup kepala (sorban).[32] [HR Muslim: 275, an-Nasa’iy: I/ 75, at-Turmudziy: 101, Ibnu Khuzaimah: 180 dan Ahmad: VI/ 12, 13, 14, 15. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [33]

Jadi dengan dalil-dalil dan penjelasannya di atas, jelaslah bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dikala berwudlu dalam keadaan menggunakan sorban di kepalanya, beliau hanya mengusap sorbannya tanpa melepaskannya. Semua yang dilakukannya tersebut dalam rangka kemudahan bagi umatnya yang memang agama itu disyariatkan untuk memudahkan manusia bukan untuk mempersulit mereka. Dan ketetapan ini bukan hanya diperuntukkan untuk kaum muslimin dari bangsa Arab dan sekitarnya yang sudah terbiasa menggunakan sorban, namun juga diperuntukkan bagi kaum muslimin seluruhnya di belahan bumi manapun. Karena sorban adalah merupakan salah satu dari beberapa sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang disyariatkan bagi umatnya.

 31). Mengusap sorban beserta ubun-ubun

 Namun ketika seorang muslim menggunakan sorban yang terbuka bahagian atasnya, yaitu terbuka bahagian ubun-ubunnya maka pengusapan sorban tersebut diawali dengan pengusapan ubun-ubunnya.

عن المغيرة أَنَّ النَّبيَّ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَ عَلَى اْلعَمَامَةِ وَ عَلَى اْلخُفَّيْنِ

Dari al-Mughirah radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu lalu mengusap ubun-ubunnya, sorban dan kedua terompah. [HR Muslim: 274 (83), an-Nasa’iy: I/ 76 dan at-Turmudziy: 100. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [34]

عنه قَالَ: َتخَلَّفَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم وَ تَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ: أَمَعَكَ مَاءٌ؟ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَ وَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ اْلجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ اْلجُبَّةِ وَ أَلْقَى اْلجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَ مَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَ عَلَى اْلعَمَامَةِ وَ عَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَ رَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلىَ اْلقَوْمِ وَ قَدْ قَامُوْا فىِ الصَّلاَةِ يُصَلِّى بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَ قَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى ِبهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَ قُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتى سَبَقَتْنَا

Dari al-Mughirah radliyallahu anhu berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah tertinggal (sholat) dan akupun tertinggal bersamanya. Ketika beliau telah menunaikan hajatnya, Beliau bersabda, ”Apakah ada air bersamamu?”. Lalu aku datangkan kepadanya air untuk bersuci maka Beliau membasuh kedua telapak tangannya dan wajahnya kemudian membuka kedua lengannya maka lengan jubah tersebut terasa sempit. Lalu Beliau mengeluarkan tangannya dari bawah jubah dan meletakkan jubah tersebut diatas kedua bahunya dan membasuh kedua lengannya dan mengusap ubun-ubunnya, sorban dan kedua terompahnya. Kemudian Beliau mengendarai (kendaraannya) dan akupun berkendaraan pula. Maka sampailah kami kepada kaum dan sungguh-sungguh mereka telah menegakkan sholat dan Abdurrahman bin Auf sholat dengan (mengimami) mereka. Dan sungguh ia telah mendapatkan satu rakaat dengan mereka, maka tatkala ia (yaitu Abdurrahman) merasakan kehadiran Nabi Shallallahu alaihi wa sallam iapun mundur kebelakang tetapi Beliau memberi isyarat kepadanya untuk tetap sholat bersama mereka. Ketika Abdurrahman telah megucapkan salam berdirilah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan akupun berdiri dan kami mengerjakan rakaat yang tertinggal”. [HR muslim: 274 (81), an-Nasa’iy: I/ 63-64, 76 dan Abu Dawud: 149-150. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]

عنه قَالَ: خَصْلَتَانِ لاَ أَسْأَلُ عَنْهُمَا أَحَدًا بَعْدَمَا شَهِدْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: كُنَّا مَعَهُ فىِ سَفَرٍ فَبَرَزَ لِحَاجَتِهِ ثُمَّ جَاءَ فَتَوَضَّأَ وَ مَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَ جَانِبَيْ عَمَامَتِهِ وَ مَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ قَالَ: وَ صَلاَةُ اْلإِمَامِ خَلْفَ الرَّجُلِ مِنْ رَعِيَّتِهِ فَشَهِدْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ كَانَ فىِ سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَاحْتَبَسَ عَلَيْهِمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فَأَقَامُوا  الصَّلاَةَ وَ قَدِمُوْا ابْنَ عَوْفٍ فَصَلَّى بِهِمْ فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَصَلَّى خَلْفَ ابْنِ عَوْفٍ مَا بَقِيَ مِنَ الصَّلاَةِ فَلَمَّا سَلَّمَ ابْنُ عَوْفٍ قَامَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم فَقَضَى مَا سُبِقَ بِهِ

Dari al-Mughirah radliyallahu anhu berkata, “Ada dua perkara yang aku tidak bertanya tentang keduanya kepada seseorangpun sesudah aku menyaksikan dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Ia berkata, ”Kami pernah bersamanya melakukan safar lalu Beliau keluar untuk menunaikan hajatnya. Kemudian datang lalu berwudlu dan mengusap ubun-ubunnya, kedua sisi sorbannya dan mengusap kedua terompahnya”. Ia (yaitu al-Mughirah) berkata, ”Dan sholatnya imam di belakang sesorang diantara rakyatnya. Aku menyaksikan dari Rosululllah Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau berada di dalam suatu safar lalu datanglah waktu sholat tetapi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tertahan atas (mengimami) mereka sedangkan mereka telah mengiqomatkan sholat. Maka mereka menyuruh maju Abdurrahman bin Auf lalu sholat dengan (mengimami) mereka. Kemudian datanglah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam lalu sholat di belakang Ibnu Auf apa yang tersisa dari sholat tersebut. Ketika Ibnu Auf mengucapkan salam berdirilah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu menunaikan apa yang tertinggal”. [HR an-Nasa’iy: I/ 77. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih isnadnya]. [36]

Dari untaian kalimat di dalam hadits di atas, maka pengusapan ubun-ubun itu diiringi atau bersamaan dengan pengusapan sorban. Pengusapan itu bukan pembasuhan, jadi pengusapan kepala atau sorban itu tidak akan sampai membasahi rambut atau sorban dengan basah kuyup.

32). Membasuh kedua kaki

 Lalu setelah mengusap kepala dan kedua daun telinga, atau mengusap ubun-ubun dan sorban, yang mesti dikerjakan oleh seseorang yang berwudlu adalan membasuh kedua kaki. Pembasuhan itu dilakukan yang sebelah kanan terlebih dahulu kemudian sebelah kiri, masing-masing dibasuh dengan sekali basuhan sekali basuhan atau dua kali basuhan dua kali basuhan atrau juga tiga kali basuhan tiga kali basuhan, tidak boleh lebih. Pembasuhan itu meliputi menyela-nyela jari jemari kaki dengan tangan kiri dan membasuh kedua kakinya sampai kedua mata kaki, tumit atau pangkal betis. Jangan meninggalkan basuhan meskipun hanya sebesar mata uang dirham.

و قال الله سبحانه و تعالى ((وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى اْلكَعْبَيْنِ))

Berfirman Allah Subhanahu wa ta’ala, ((Dan kaki-kaki kalian sampai kedua mata kaki)).

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, ”Yaitu basuhlah kaki kalian sampai kedua mata kaki dan keduanya adalah dua tulang keras yang terdapat pada pangkal betis”. [37]

Telah diriwayatkan oleh Hamran maulanya Utsman, menceritakan tentang Utsman bin Affan radliyallahu anhu yang mencontohkan cara berwudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

 ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اْليُمْنىَ إِلىَ اْلكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ اْليُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ

Lalu membasuh kakinya yang kanan sampai kedua mata kaki tiga kali dan membasuh kakinya yang kiri seperti itu pula. [HR Muslim: 226, al-Bukhoriy: 159, 164, 1934, Abu Dawud: 106, an-Nasa’iy: I/ 64, 65, 80, Ahmad: I/ 59, 64, Ibnu Khuzaimah: 3, ad-Darimiy: I/ 176 dan ad-Daruquthniy: 267. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [38]

Abu Umamah radliyallahu anhu telah menceritakan Amr bin Abasah as-Sulamiy yang bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang cara berwudlu. Lalu Beliau menjawab, di antara penjelasan beliau tentang wudlu adalah,

ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ إِلىَ اْلكَعْبَيْنِ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا رِجْلَيْهِ مِنْ أَنَامِلِهِ مَعَ اْلمـَاءِ

Lalu membasuh kedua kakinya sampai kedua mata kaki melainkan gugurlah dosa-dosa kakinya dari jari jemarinya bersama tetesan air. [HR Muslim: 832, an-Nasa’iy: I/ 91-92 dan Ahmad IV/ 112. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [39]

Diriwayatkan oleh Abdu Khair, menceritakan tentang Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu yang sedang memberikan contoh cara berwudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di hadapan manusia,

 ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اْليُمْنىَ ثَلاَثًا وَ رِجْلَهُ الشِّمَالَ ثَلاَثًا

Kemudian ia membasuh kakinya yang kanan tiga kali dan kakinya yang kiri tiga kali. [HR an-Nasa’iy: I/ 68 dan Abu Dawud: 111. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [40]

Diceritakan oleh Nu’aim bin Abdullah al-Mujmir bahwasanya ia melihat Abu Hurairah radliyallahu anhu sedang berwudlu sebagaimana wudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, di antara yang dilakukan oleh Abu Hurairah radliyallahu anhu adalah,

ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اْليُمْنىَ حَتىَّ أَشْرَعَ فىِ السَّاقِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى حَتىَّ أَشْرَعَ فىِ السَّاقِ

Lalu membasuh kaki kanannya sehingga masuk ke betis dan membasuh kaki kirinya sehingga masuk ke betis. [HR Muslim: 246. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [41]

Dalil-dalil di atas mengungkapkan pensyariatan membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki dan betis. Yang dimulai dari sebelah kanan sekali, dua kali atau tiga kali kemudian yang sebelah kiri seperti itu pula. Membasuh kedua kaki itu dibarengi dengan menggosok dan menyela-nyela jari jemari kaki dengan jari kelingking dari tangan kiri.

Pembasuhan kedua kaki ini wajib dikerjakan secara sempurna termasuk membasuh tumit, karena jikalau tumit kering tidak tersentuh air maka wudlunya tidak sah dan mesti mengulang kembali wudlunya. Dan jika diketahui keringnya tumit itu setelah menunaikan sholat maka wajib mengulang wudlu dan sholat. Jika ada seseorang mengabaikan hal ini maka celakalah ia pada hari kiamat sebab akan disentuh api neraka.

Pembasuhan ini bukan pengusapan. Jadi pembasuhan kedua kaki sampai kedua mata kaki tersebut mesti tampak jelas basahnya dan mesti mengambil air baru setelah mengusap kepala atau sorban.

Ada sebahagian orang berpendapat bahwa penyebutan kaki itu mengiringi pengusapan kepala, jadi kedua kakipun termasuk diusap tidak dibasuh sebagaimana di dalam ayat,

وَ امْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى اْلكَعْبَيْنِ

 ((Dan usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki). [QS. Al-Ma’idah/ 5: 6)).

Maka ini adalah suatu pandangan yang keliru sebab jika ditinjau dari hadits-hadits yang telah lalu, maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam jelas telah membedakan antara mengusap kepala dan membasuh kedua kaki. Ditinjau dari sisi ilmu nahwu (sintaksis)pun jelas ada perbedaaan yang tampak mencolok yakni ketika Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut pengusapan kepala ((وَ امْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ)) dengan menggunakan huruf Jarr yaitu huruf ”ba”, dan kata رُءُوْسِ dibaca majrur yaitu kas-rah. Dan ketika menyebut kaki وَ أَرْجُلَكُمْ dengan dibaca manshub yaitu fat-hah. Maka dengan ini dipahami bahwa kaki itu athaf kepada pembasuhan wajah dan tangan bukan athaf kepada pengusapan kepala. Wallahu a’lam.

 33). Membasuh tumit

 Termasuk dari membasuh kedua kaki adalah membasuh tumit, yaitu tulang keras yang berada di bagian belakang kaki. Setiap muslim tidak boleh meremehkan pembasuhan kedua tumit tersebut. Sebab jika tidak terbasuh air maka, wudlunya tidak sah dan mesti mengulanginya. Apabila diketahui tumit itu tidak terkena basuhan air setelah selesai sholat maka wudlu dan sholatnya harus diulangi. Bahkan jika seseorang mengabaikan dan meremehkannya maka api neraka akan menjilatinya kelak pada hari kiamat. Hal ini telah dituturkan oleh beberapa hadits berikut ini,

عن عبد الله بن عمرو قَالَ: رَجَعْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ مَكَّةَ إِلىَ اْلمـَدِيْنَةِ حَتىَّ إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيْقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ اْلعَصْرِ فَتَوَضَّؤُوْا وَ هُمْ عِجَالٌ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِمْ وَ أَعْقَاُبهُمْ تَلُوْحُ لَهُمْ لَمْ يَمَسَّهَا اْلمـَاءُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ أَسْبِغُوْا اْلوُضُوْءَ

Dari Abdullah bin Amr radliyallahu anhu berkata, “Kami pernah kembali bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah sehingga apabila kami menjumpai air di jalan, sekelompok orang bersegera untuk sholat ashar lalu mereka berwudlu dalam keadaan tergesa-gesa. Lalu kami sampai kepada mereka sedangkan kaki mereka tampak jelas (masih kering) tidak tersentuh air (wudlu). Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka. Sempurnakanlah wudlu”. [HR Muslim: 241, Abu Dawud: 97, an-Nasa’iy: I/ 78, Ahmad: II/ 164, 193, 201, Ibnu Khuzaimah: 161 dan ad-Darimiy: I/ 179, dan meriwayatkan pula al-Bukhoriy: 165 secara mauquf dari Abu Hurairah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[42]

عن عائشة قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ”Celakalah tumit-tumit dari api neraka”. [HR Ibnu Majah: 451. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [43]

عن أبي سلمة قَالَ: رَأَتْ عَائِشَةُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ وَ هُوَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَتْ: أَسْبِغِ اْلوُضُوْءَ فَإِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: وَيْلٌ لِلْعَرَاقِيْبِ مِنَ النَّارِ

Dari Abu Salamah radliyallahu anhu berkata, ”Aisyah radliyallahu anha pernah melihat Abdurrahman sedang berwudlu. Aisyah berkata, ”Sempurnakanlah wudlu karena aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka”. [HR Ibnu Majah: 452. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[44]

عن أبي هريرة عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka”. [HR Ibnu Majah: 453 dan an-Nasa’iy: I: 77. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [45]

عن جابر بن عبد الله قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: وَيْلٌ لِلْعَرَاقِيْبِ مِنَ النَّارِ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, ”aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka”. [HR Ibnu Majah: 454. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [46]

عن خالد بن الوليد و يزيد بن أبي سفيان و شرحبيل بن حسنة و عمرو ابن العاص كُلُّ هَؤُلاَءِ سَمِعُوْا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: أَتِمُّوا اْلوُضُوْءَ وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

Dari Khalid bin al-Walid, Yazid bin Abi Sufyan, Syarhabil bin Hasanah dan Amr bin al-Ash radliyallahu anhum, semuanya mereka pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah wudlu! celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka”. [HR Ibnu Majah: 455. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[47]

عن جابر قَالَ: أَخْبَرَنيِ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوْءَكَ فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى

Dari Jabir radliyallahu anhu berkata, “Umar bin al-Khoththob radliyallahu anhu pernah mengkhabarkan kepadaku bahwasanya ada seorang lelaki yang berwudlu lalu ia meninggalkan sebesar kuku [48] pada kakinya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melihatnya lalu bersabda, “Kembalilah lalu perbaiki wudlumu lalu iapun kembali kemudian sholat”. [HR Muslim: 243. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [49]

عن أنس بن مالك أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ قَدَ تَوَضَّأَ وَ تَرَكَ عَلَى قَدَمَيْهِ مِثْلَ مَوْضِعِ الظُّفُرِ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وَضُوْءَكَ

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya ada seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang lelaki tersebut telah berwudlu namun meninggalkan pada kakinya sebesar kuku. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Kembalilah dan perbaikilah wudlumu !”. [HR Abu Dawud: 173 dan Ibnu Khuzaimah: 164. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [50]

عن بعض أصحاب النبي أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم رَأَى رَجُلاً يُصَلِّي وَ فىِ ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةً قَدْرَ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا اْلمـَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم أَنْ يُعِيْدَ اْلوُضُوْءَ وَ الصَّلاَةَ

Dari sebahagian shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam  pernah melihat seorang lelaki sholat namun pada punggung kakinya ada kilatan sebesar mata uang dirham yang tidak tersentuh air (wudlu). Lalu Nabi menyuruhnya untuk mengulangi wudlu dan sholat. [HR Abu Dawud: 175. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [51]

Demikian beberapa dalil hadits yang menerangkan tentang perintah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya agar memperhatikan pembasuhan tumit yang terletak di kaki bagian belakang. Sebab banyak di antara umat ini yang menyepelekan dan mengabaikannya. Seringkali dijumpai di antara mereka ketika membasuh kaki di saat berwudlu hanya dengan meletakkan kaki mereka di bawah keran air atau kucuran air lalu menggoyang-goyangkan kakinya sedikit ke kiri dan kanan, tanpa membasuhnya dengan tangan. Apalagi sampai menggosok-gosok kaki dengan tangan dan menyela-nyela jari jemarinya dengan kelingking (yang sebelah kiri). Sebagaimana akan datang dalil-dalilnya setelah bab ini.

Padahal boleh jadi, akibat mereka mengabaikan perbuatan tersebut maka sebahagian kaki mereka tidak terbasuh air, apakah di bagian jari jemari, tumit, mata kaki, telapak atau bahkan punggung kaki. Jika terjadi demikian maka mereka wajib mengulang wudlu bahkan mengulangi sholat apabila mereka mengetahuinya setelah menunaikan sholat. Namun bila mereka tidak memperdulikannya tanpa mau mengulangi wudlu dan sholat mereka, maka api neraka kelak akan menanti mereka pada hari kiamat untuk membakar bahagian anggota wudlu yang tidak terbasuh air.

34). Perintah menyela-nyela jari jemari kaki

 Yang perlu diperhatikan juga di dalam pembasuhan kedua kaki adalah menyela-nyela jari jemari kaki seperti yang telah diperintahkan pada jari jemari tangan.

 عن لقيط بن صبرة قَالَ: فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنيِ عَنِ اْلوُضُوْءِ! قَالَ: أَسْبِغِ اْلوُضُوْءَ وَ خَلِّلْ بَيْنَ اْلأَصَابِعِ وَ بَالِغْ فىِ اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

Dari Luqaith bin Shabrah radliyallahu anhu berkata, aku bertanya, “Wahai Rosulullah kabarkan kepadaku tentang wudlu!”. Beliau menjawab, “Sempurnakan wudlu, sela-selalah jari jemarimu dan bersungguh-sungguhlah di dalam istinsyaq kecuali jika kamu sedang shaum”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66, Abu Dawud: 142, Ibnu Majah: 407, Ibnu Khuzaimah: 150, 168, al-Hakim: 537 dan Ahmad: IV/ 33. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[52]

عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: إِذَا تَوَضَّأْتَ فَخَلِّلِ اْلأَصَابِعَ

Dari Luqaith bin Shabrah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila engkau wudlu maka sela-selalah jari-jemari”. [HR at-Turmudziy: 38, Ibnu Majah: 448 dan ad-Darimiy: I/ 179. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih].[53]

عن ابن عباس أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا تَوَضَّأْتَ فَخَلِّلْ بَيْنَ أَصَابِعِ يَدَيْكَ وَ رِجْلَيْكَ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau wudlu maka sela-selalah jari jemari kedua tangan dan kakimu”. [HR at-Turmudziy: 39, Ibnu Majah: 447 dan Ahmad: I: 287. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [54]

عنه يَقُوْلُ: سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم عَنْ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الصَّلاَةِ  فَقَالَ لَهُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: خَلِّلْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ وَ رِجْلَيْكَ يَعْنىِ إِسْبَاغَ اْلوُضُوْءِ وَ كَانَ فِيْمَا قَالَ لَهُ: إِذَا رَكَعْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ حَتىَّ تَطْمَئِنَّ وَ إِذَا سَجَدْتَ فَأَمْكِنْ جَبْهَتَكَ مِنَ اْلأَرْضِ حَتىَّ تَجِدَ حَجْمَ اْلأَرْضِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, pernah seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang sesuatu dari perkara sholat. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ”Sela-selalah jari jemari kedua tangan dan kakimu yaitu menyempurnakan wudlu”. Juga termasuk yang disabdakan kepadanya, ”Apabila engkau ruku maka letakkan kedua telapak tanganmu di atas kedua lututmu sehingga engkau tenang dan apabila engkau sujud maka mantapkan dahimu di tanah sehingga engkau dapatkan ratanya tanah”. [HR Ahmad: I/ 287. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [55]

عن المستورد بن شداد الفهري قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم إِذَا تَوَضَّأَ دَلَكَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصِرِهِ

Dari al-Mustawrid bin Syaddad al-Fahriy berkata, “Aku pernah melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila berwudlu Beliau menggosok-gosok jari jemari kakinya dengan jari kelingkingnya”. [HR at-Turmudziy: 40, Ibnu Majah: 446 dan Abu Dawud: 148. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [56]

Sama seperti pada jari jemari tangan, maka pada jari jemari kaki juga diperintahkan untuk menyela-nyelanya. Bagi yang kesulitan di dalamnya, misalnya karena sudah sepuh, badan gemuk sehingga agak susah membungkuk atau perempuan yang sedang hamil atau selainnya maka hendaklah ia tetap berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya. Namun jika ternyata ia tetap kesulitan di dalam melakukannya, maka Allah Azza wa Jalla telah berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [QS. al-Baqarah/ 2: 286].

35). Mengusap kedua terompah

 Termasuk di dalam membasuh kedua kaki adalah mengusap terompah, sepatu, sandal ataupun kaos kaki. Sebab terkadang seorang muslim itu dalam suatu perjalanan menggunakan terompah ataupun sepatu karena suatu keadaan, semisal udara dingin, menghindar dari gigitan ular berbisa atau selainnya. Maka dalam kondisi seperti ini, seorang muslim jika hendak berwudlu tidak perlu melepas terompah atau sepatunya, cukup baginya untuk mengusap bahagian punggung kedua terompah atau sepatunya sekali usap setelah mengerjakan amalan-amalan wudlu lainnya.

Namun perlu diperhatikan sebelum mengusap terompah, sepatu, sandal atau kaos kaki hendaklah alas-alas kaki tersebut mesti dalam keadaaan suci tiada ternoda oleh najis dan kaki sebelum dimasukkan ke dalam alas-alas kaki tersebut juga dalam keadaan bersih darinya.

عن بريدة أَنَّ النَّجَاشِيَّ أَهْدَى إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم خُفَّيْنِ سَاذِجَيْنِ فَلَبِسَهُمَا ثُمَّ تَوَضَّأَ وَ مَسَحَ عَلَيْهِمَا

Dari Buraidah radliyallahu anhu bahwasanya raja an-Najasyiy pernah menghadiahi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sepasang terompah sadzij (polos). [57] Lalu Beliau memakai keduanya kemudian wudlu dan mengusap keduanya. [HR Abu Dawud: 155 dan Ibnu Majah: 549. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [58]

عن حذيفة أَنِّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ وَ مَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ

Dari Hudzaifah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu dan mengusap kedua terompahnya. [HR Ibnu Majah: 544. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [59]

عن جعفر بن عمرو (بن أمية الضمري) عن أبيه قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ  صلى الله عليه و سلم يَمْسَحُ عَمَامَتَهُ وَ خُفَّيْهِ

Dari Ja’far bin Amr (bin Umayyah adl-Dlomiriy) dari ayahnya berkata, “Aku pernah melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengusap sorban dan kedua terompahnya”. [HR al-bukhoriy: 205, an-Nasa’iy: I/ 81, Ibnu Majah: 562, Ibnu Khuzaimah: 181 dan ad-Darimiy: I/ 180. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[60]

عن عوف بن مالك أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم أَمَرَ بِاْلمـَسْحِ عَلَى اْلخُفَّيْنِ فىِ غَزْوَةِ تَبُوْكَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيْهَا لِلْمَسَافِرِ وَ يَوْمًا وَ لَيْلَةً لِلْمُقِيْمِ

Dari Auf bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintah agar mengusap kedua teropah pada waktu perang Tabuk. Tiga hari dan malam untuk orang yang safar dan sehari semalam untuk orang yang mukim. [HR Ahmad: VI/ 27, ath-Thahawiy dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [61]

عن إبراهيم  عن همام بن الحارث  قَالَ: بَالَ جَرِيْرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ ثُمَّ تَوَضَّأَ وَ مَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقِيْلَ لَهُ: أَتَفْعَلُ هَذَا ؟ قَالَ: وَ مَا يَمْنَعُنىِ وَ قَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَفْعَلُهُ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ: وَ كَانَ يُعْجِبُهُمْ حَدِيْثُ جَرِيْرٍ لِأَنَّ إِسْلاَمَهُ بَعْدَ نُزُوْلِ اْلمـَائِدَةِ

Dari Ibrahim dari Hammam bin al-Harits berkata, “Jarir bin Abdullah radliyallahu anhu pernah buang air kecil kemudian wudlu dan mengusap kedua terompahnya”. Ditanyakan kepadanya, “Apakah engkau melakukan ini?”. Ia menjawab, ”Tiada mencegahku karena aku telah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukannya”. Berkata Ibrahim, ”hadits Jarir ini mengherankanku karena keislamannya adalah setelah diturunkannya surat al-Maidah”. [HR at-Turmudziy: 93, Ibnu Majah: 543, an-Nasa’iy: I: 81 dan Ibnu Khuzaimah: 186. Berkata ast-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [62]

عن أبي زرعة بن عمرو بن جرير: أَنَّ جَرِيْرًا بَالَ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى اْلخُفَّيْنِ وَ قَالَ: مَا يَمْنَعُنىِ أَنْ أَمْسَحَ وَ قَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَمْسَحُ؟ قَالُوْا: إِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ نُزُوْلِ اْلمـَائِدَةِ ؟ قَالَ: مَا أَسْلَمْتُ إِلاَّ بَعْدَ نُزُوْلِ اْلمـَائِدَةِ

Dari Abu Zar’ah bin Amr bin Amr bin jarir bahwasanya Jarir pernah buang air kecil kemudian wudlu lalu mengusap kedua terompahnya dan berkata, “Tiada yang mencegahku karena sungguh-sungguh aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengusap (kedua terompahnya)?”. Mereka bertanya, ”Hanyalah yang demikian itu setelah turunnya surat al-maidah?”. Ia menjawab, ”Aku tidaklah masuk Islam melainkan setelah turunnya surat al-Ma’idah”. [HR Abu Dawud:154 dan at-Turmudziy: 94 Syahr bin Hausyib. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [63]

عن المغيرة رضي الله عنه قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فىِ سَفَرٍ فَقَالَ: أَمَعَكَ مَاءٌ ؟ قُلْتُ: نَعَمْ فَنَزَلَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَمَشَى حَتىَّ تَوَارَى عَنىِّ فىِ سَوَادِ اللَّيْلِ ثُمَّ جَاءَ فَأَفْرَغْتُ عَلَيْهِ اْلإِدَاوَةَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ وَ عَلَيْهِ جُبَّةٌ مِنْ صَوْفٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُخْرِجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْهَا حَتىَّ أَخْرَجَهُمَا مِنْ أَسْفَلِ اْلجُبَّةِ فَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَهْوَيْتُ لِأَنْزَعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ: دَعْهُمَا فَإِنىِّ أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

Dari al-Mughirah radliyallahu anhu berkata, ”aku pernah bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam suatu malam di dalam safar”. Beliau bersabda, ”Apakah bersamamu ada air?”. Aku menjawab, ”Ya”. Kemudian Beliau turun dari kendaraannya lalu berjalan sehingga lenyap tersembunyi di kegelapan malam. Kemudian Beliau datang lalu aku menuangkan bejana atasnya. Maka Beliau membasuh wajah dan kedua tangannya sedangkan Beliau mengenakan jubah dari bulu yang Beliau tidak dapat mengeluarkan kedua lengannya darinya sehingga mengeluarkan keduanya dari bawah jubah lalu membasuh kedua lengannya. Kemudian mengusap kepalanya lalu aku menunduk untuk melepaskan kedua terompahnya tetapi Beliau bersabda, ”Biarkan keduanya karena aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci”. Lalu Beliau mengusap keduanya. [HR al-Bukhoriy: 5799, 182, 203, 206, 363, 388, 2918, 4421, 5798, Muslim: 274 (79), Abu Dawud: 151, Ahmad: IV/ 255 dan ad-Darimiy: I/ 181. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [64]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahm Alu Bassam rahimahullah,

”Disyariatkannya mengusap kedua terompah ketika berwudlu. Mengusap itu hanya sekali saja dengan tangan di bahagian atasnya tidak di bahagian bawahnya sebagaimana telah datang (keterangannya) di dalam beberapa atsar.

Untuk mengusap kedua terompah disyaratkan dalam keadaan bersih. Yang demikian itu, bahwa kedua kaki juga harus dalam keadaaan bersih sebelum memasukkan keduanya ke dalam terompah”. [65]

عن عبد المهيمن بن العباس بن سهل الساعدي عن أبيه عن جده أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَسَحَ عَلَى اْلخُفَّيْنِ وَ أَمَرَنَا بِاْلمـَسْحِ عَلَى اْلخُفَّيْنِ

Dari Abdulmuhaimin bin al-Abbas bin Sahl as-Sa’idiy dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengusap kedua terompahnya dan memerintahkan kami untuk mengusap kedua terompah. [HR Ibnu Majah: 547. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [66]

عن ابن عمر أَنَّهُ رَأَى سَعْدَ بْنَ مَالِكٍ وَ هُوَ يَمْسَحُ عَلَى اْلخُفَّيْنِ  فَقَالَ: إِنَّكُمْ لَتَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ؟ فَاجْتَمَعَا عِنْدَ عُمَرَ فَقَالَ سَعْدٌ لِعُمَرَ: أَفْتِ ابْنَ أَخِي فىِ اْلمـَسْحِ عَلَى اْلخُفَّيْنِ فَقَالَ عُمَرُ: كُناَّ وَ نَحْنُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم  نَمْسَحُ عَلِى خِفَافِنَا لاَ نَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَ إْنَ جَاءَ مِنَ اْلغَائِطِ ؟ قَالَ: نَعَمْ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya ia pernah melihat Sa’d bin Malik sedang mengusap kedua terompahnya. Ia bertanya, ”(apakah) kalian melakukan hal itu?”. Lalu keduanya berkumpul di sisi Umar (bin al-Khoththob). Sa’d berkata kepada Umar, ”Wahai putra saudaraku, berilah fatwa tentang mengusap kedua terompah!”. Umar menjawab, ”Kami dahulu pernah bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengusap terompah-terompah kami dan kami tidak melihat suatu halangan dengannya”. Ibnu Umar berkata, ”Meskipun baru keluar dari jamban (wc)?”. Umar menjawab, ”Ya”. [HR Ibnu Majah: 546 dan Ibnu Khuzaimah: 184. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [67]

عن أنس أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ وَ لَبِسَ خُفَّيْهِ فَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا وَ لْيَمْسَحْ عَلَيْهِمَا ثُمَّ لاَ يَخْلَعْهُمَا إِنْ شَاءَ إِلاَّ مِنَ اْلجَنَابَةِ

Dari Anas radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian wudlu dan memakai kedua terompahnya maka hedaklah ia sholat dengan mengenakan keduanya dan usaplah keduanya kemudian janganlah ia menanggalkan keduanya jika mau kecuali dari sebab janabah”. [HR ad-Daruquthniy: 770. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [68]

Dalil-dalil ini merupakan bukti yang jelas tentang berwudlu ketika mengenakan kedua terompah dengan cara mengusap keduanya dan tidak perlu menanggalkan keduanya maka tidak ada keraguan sedikitpun di dalam menerima dan mengamalkannya. Kendatipun kebanyakan dari awam kaum muslimin enggan dan berat hati di dalam melaksanakannya, dengan berbagai macam dalih. Padahal sesuatu hal yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya bahkan yang dianjurkan oleh Beliau maka sepatutnya bagi umatnya untuk menerima dengan sepenuhnya tanpa keraguan dan tiada pilihan lain dari perkara yang telah ditetapkan olehnya. Karena mengikuti jalannya adalah lebih selamat, lebih lurus dan lebih terjamin kebenarannya dari selainnya. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah, ”Tidak ada di dalam hatiku sedikitpun keraguan tentangnya (yaitu tentang membasuh terompah, sandal ataupun kaos kaki)”. [69]

 36). Mengusap kedua sandal dan kedua kaos kaki  [70]

Begitu pula jika seorang muslim menggunakan sandal maka tak terhalang baginya untuk mengusap keduanya karena hal tersebutpun telah disyariatkan di dalam dalil-dalil berikut ini,

عن أبي ظبيان أَنَّهُ رَأَى عَلِيًّا رضي الله عنه بَالَ قَائِمًا ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ وَ مَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ ثُمَّ دَخَلَ اْلمـَسْجِدَ فَخَلَعَ نَعْلَيْهِ ثُمَّ صَلَّى (زاد البيهقي: فَأَمَّ النَّاسَ)

            Dari Abu zhibyan bahwasanya ia pernah melihat Ali radliyallahu anhu buang air kecil dalam keadaan berdiri. Kemudian ia menyuruh diambilkan air. Lalu ia berwudlu dan mengusap kedua sandalnya. Kemudian ia masuk ke masjid dan menanggalkan kedua sandalnya kemudian sholat. Al-Baihaqiy menambahkan, ”lalu ia mengimami manusia”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Baihaqiy dan ath-Thohawiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Sanad keduanya shahih berdasarkan atas syarat dua syaikh (yaitu al-Bukhoriy dan Muslim)].

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, ”Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengusap kedua sandal”. [71]

Dan juga jika seorang muslim mengenakan kaos kaki maka pensyariatan mengusapnya juga ada, sebagaimana di dalam hadits dan atsar berikut ini,

عن المغيرة بن شعبة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ وَ مَسَحَ عَلىَ اْلجَوْرَبَيْنِ وَ النَّعْلَيْنِ

Dari al-Mughirah bin Syu’bah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wudlu dan mengusap kedua kaos kaki dan kedua sandal. [HR Abu Dawud: 159, Ibnu Majah: 559, Ibnu Khuzaimah: 198 dan Ahmad: IV/ 252. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [72]

عن أبي موسى الأشعري أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ وَ مَسَحَ عَلَى اْلجَوْرَبَيْنِ وَ النَّعْلَيْنِ

Dari Abu Musa al-Asy’ariy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wudlu dan mengusap kedua kaos kaki dan kedua sandal. [HR Ibnu Majah: 560. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [73]

Dari Ka’b bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, “aku pernah melihat Ali bin Abi Thalib karromahullah wajhah buang air kecil lalu mengusap kedua sandal dan kedua kaos kakinya”.

Dari Abu al-Julas dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya ia mengusap kedua kaos kaki dan kedua sandalnya.

Dari Isma’il dari ayahnya berkata, “Aku pernah melihat al-Barra’ bin Azib radliyallahu anhu mengusap kedua kaos kaki dan sandalnya”.

Dari Ibrahim bin Hammam bin al-Harits dari Abu Mas’ud al-Badriy radliyallahu anhu bahwasanya ia mengusap kedua kaos kaki dan kedua sandalnya.

Dari Ashim al-Ahwal berkata, ”aku pernah melihat Anas bin Malik radliyallahu anhu mengusap kedua kaos kakinya”.

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, ”Umar bin al-Khoththob radliyallahu anhu pernah buang air kecil pada hari Jum’at kemudian wudlu dan mengusap kedua kaos kaki dan sandal dan sholat jum’at bersama manusia”.

Dari Abu Wa’il dari Abu Mas’ud radliyallahu anhu bahwasanya ia mengusap kedua kaos kaki miliknya yang terbuat dari bulu.

Dari Yahya al-Bakkaa’ berkata, ”aku pernah mendengar Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, ”mengusap kedua kaos kaki sama seperti mengusap kedua terompah”.

[Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, ”Atsar-atsar ini dikeluarkan oleh Abdurrazzak di dalam al-Mushonnaf, Ibnu Abi Syaibah juga di dalam al-Mushonnaf dan al-Baihaqiy. Banyak dari sanad-sanadnya yang shahih dari mereka”]. [74]

Demikian beberapa dalil hadits dan atsar yang menerangkan tentang perilaku Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum yang mengusap kedua kaos kaki ketika berwudlu, sama seperti mengusap terompah atau sepatu.

 37). Bagaimanakah caranya mengusap ?

Setelah dipahami akan disyariatkannya berwudlu dengan menggunakan terompah, sandal atau kaos kaki, berikut ini akan diterangkan akan tata caranya agar setiap muslim dapat melakukannya dengan benar jikalau mereka suatu saat berwudlu dengan menggunakan salah satu darinya.

 عن المغيرة بن شعبة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم كَانَ يَمْسَحُ عَلَى اْلخُفَّيْنِ وَ قَالَ: عَلَى ظَهْرِ اْلخُفَّيْنِ

Dari al-Mughirah bin Syu’bah radliyallahu anhu bahwahsanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengusap kedua terompah dan berkata, “di atas punggung (atau permukaan) kedua terompah”. [HR Abu Dawud: 161, at-Turmudziy: 98, Ahmad: IV/ 254 dan ad-Daruquthniy: 744. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih].[75]

عن على رضي الله عنه قَالَ: لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ اْلخَفِّ أَوْلىَ بِاْلمـَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَ قَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, “seandainya agama itu (dipahami) dengan ro’yu (logika) niscaya bagian bawah terompah itu lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh-sungguh aku telah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengusap bagian permukaan kedua terompahnya”. [HR Abu Dawud: 162 dan ad-Daruquthniy: 859. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[76]

 عنه قَالَ: مَا كُنْتُ أَرَى بَاطِنَ اْلقَدَمَيْنِ إِلاَّ أَحَقَّ بِاْلغَسْلِ حَتىَّ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَمْسَحُ عَلَى ظَهْرِ خُفَّيْهِ

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, “Tadinya aku tidaklah memandang bagian dalam kedua kaki itu melainkan lebih berhak untuk dibasuh sehingga aku melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengusap permukaan kedua terompahnya”. [HR Abu Dawud: 163. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [77]

Beristidlal (berdalil) dengan dalil-dalil di atas maka diketahui tentang cara mengusap kedua terompah atau kaos kaki yaitu dengan mengusap bahagian atas atau bahagian permukaannya. Tiada bedanya mengusap dari bagian atas ke bawah atau dari bawah ke atas. Wallahu a’lam.

 38). Pembatasan waktu di dalam mengusap untuk mukim dan safar

 Namun di dalam pengusapan terompah dan yang lainnya tersebut ada pembatasan waktu yakni sehari semalam untuk orang yang mukim dan tiga hari untuk orang yang safar. Maksudnya ketika seorang muslim berkeinginan untuk menggunakan sepatu dalam suatu perjalanan misalnya, maka diperbolehkan baginya untuk tidak melepaskan sepatunya selama dalam perjalanan. Maka dalam keadaan itu, ia berwudlu seperti biasanya berwudlu, namun ketika dalam pembasuhan kakinya ia ganti dengan pengusapan sepatunya bagian atas sekali usap. Dan selama tiga hari, jika ia berwudlu karena hadats lalu ingin memperbaharui wudlunya maka ia berwudlu seperti itu, kecuali jika ia junub. Junub dengan sebab bermimpi atau berhubungan intim (jimak) dengan salah seorang dari istrinya)  mewajibkan baginya untuk mandi janabat yang ia mesti melepaskan sepatunya.

عن شريح بن هانئ قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنِ اْلمـَسْحِ عَلَى اْلخُفَّيْنِ فَقَالَتْ: ائْتِ عَلِيَّا فَسَلْهُ فَإِنَّهُ أَعْلَمُ بِذَلِكَ مِنيِّ فَأَتَيْتُ عَلِيًّا فَسَأَلْتُهُ عَنِ اْلمـَسْحِ فَقَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَأْمُرُنَا أَنْ نَمْسَحَ لِلْمُقِيْمِ يَوْمًا وَ لَيْلَةً وَ لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ

Dari Syuraih bin Hani berkata, ”Aku pernah bertanya kepada Aisyah mengenai mengusap kedua terompah”. Ia menjawab, ”Datanglah kepada Ali lalu tanyakanlah kepadanya karena ia lebih tahu dariku tentangnya”. Maka akupun mendatangi Alii lalu bertanya kepadanya tentang mengusap. Ia menjawab, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh kami untuk mengusap (terompah-terompah), untuk yang mukim sehari semalam sedangkan untuk yang safar tiga hari”. [HR Ibnu Majah: 552, Muslim: 276, an-Nasa’iy: I/ 84 dan juga Ibnu Khuzaimah: 194. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [78]

عن زر بن حبيش قَالَ: أَتَيْتُ رَجُلاً يُدْعَى صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ فَقَعَدْتُ عَلَى بَابِهِ فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا شَأْنُكَ؟ قُلْتُ: أَطْلُبُ اْلعِلْمَ قَالَ: إِنَّ اْلمـَلاَئِكَةَ تَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ اْلِعْلِم رِضًا بِمَا يَطْلُبُ فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ تَسْأَلُ؟ قُلْتُ: عَنِ اْلخُفَّيْنِ قَالَ: كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَمَرَنَا أَنْ لاَّ نَنْزِعَهُ ثَلاَثًا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ وَ لَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَ بَوْلٍ وَ نَوْمٍ

Dari Zurr bin Hubaisy berkata, ”Aku pernah mendatangi seorang lelaki yang dikenal bernama Shofwan bin Assal”. Akupun duduk di depan pintunya lalu ia keluar dan berkata, ”Apa keperluanmu?”. Aku jawab, ”mencari ilmu”. Ia berkata, ”Sesungguhnya para malaikat merendahkan sayapnya kepada pencari ilmu karena ridlo dengan apa yang ia cari”. Lalu ia bertanya, ”Apa yang hendak engkau tanyakan?”. Aku jawab, ”tentang dua khuff (sepatu)”. Ia menjawab, ”Dahulu apabila kami bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam suatu safar Beliau memerintahkan kami agar tidak melepasnya selama tiga (hari) dari sebab buang air besar, buang air kecil dan tidur (pulas) kecuali dari sebab janabat”. [HR an-Nasa’iy: I/ 98, 84, Ahmad: IV/ 239, 240, at-Turmudziy: 96, 3535, Ibnu Majah: 478 dan Ibnu Khuzaimah: 17, 196. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[79]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya terompah-terompah itu tidak perlu dilepas di dalam batas waktu yang ditentukan ini hanya lantaran sesuatu hadats kecuali dari sebab janabat”. [80]

عن خزيمة بن ثابت قَالَ: جَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثًا وَ لَوْ مَضَى السَّائِلُ عَلَى مَسْأَلَتِهِ لَجَعَلَهَا َخمْسًا

Dari Khuzaimah bin Tsabit berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menjadikan (batas waktu) bagi orang yang safar selama tiga hari dan jikalau si penanya melanjutkan pertanyaannya niscaya Beliau akan menjadikannya lima hari”. [HR Ibnu Majah: 553, 554 dan Abu Dawud: 157. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [81]

عن أبي هريرة قَالَ: قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الطَّهُوْرُ عَلَى اْلخَفَّيْنِ؟ قَالَ: لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيْهِنَّ وَ لِلْمُقِيْمِ يَوْمٌ وَ لَيْلَةٌ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, mereka bertanya, “Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apakah bersuci atas kedua terompah itu?”. Beliau menjawab, ”untuk orang yang safar selama tiga hari tiga malam dan untuk orang yang mukim selama sehari semalam”. [HR Ibnu Majah: 555. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [82]

عن عبد الرحمن بن أبي بكرة عن أبيه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم : أَنَّهُ رَخَّصَ لِلْمُسَافِرِ إِذَا تَوَضَّأَ وَ لَبِسَ خُفَّيْهِ ثُمَّ أَحْدَثَ وُضُوْءًا أَنْ يَمْسَحَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيْهِنَّ وَ لِلْمُقِيْمِ يَوْمًا وَ لَيْلَةً

Dari Abdurrahman bin Abi Bakroh dari ayahnya dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau memberi rukhshoh (keringanan) bagi yang safar apbila wudlu dan memakai kedua terompahnya kemudian memperbaharui wudlu untuk mengusapnya selama tiga hari tiga malam dan bagi yang mukim selama sehari semalam. [HR Ibnu Majah: 556 dan Ibnu Khuzaimah: 192. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [83]

Beberapa hadits di atas menunjukkan pembatasan waktu di dalam mengusap (terompah dan semisalnya) selama tiga hari bagi musafir dan sehari semalam bagi yang mukim. Yakni seorang muslim yang mengenakan terompah atau kaos kaki, diperbolehkan baginya ketika selesai mengusap kepala dan kedua telinganya saat berwudlu ia lalu mengusap kedua terompah atau kaos kakinya bahagian atasnya, selama sehari semalam bagi yang mukim dan tiga hari tiga malam bagi yang safar, sama saja apakah musim panas atau dingin. Dan setelah melewati batas waktu tersebut maka ia mesti berwudlu seperti biasanya lagi.

Namun ada juga atsar yang menunjukkan batasnya lebih dari itu yaitu dari jum’at sampai ke jum’at berikutnya yakni sebagaimana di dalam atsar berikut ini,

 39). Mengusap dengan pembatasan waktu lebih dari tiga hari

عن عقبة بن عامر الجهني أَنَّهُ قَدِمَ عَلَى عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ مِنْ مِصْرَ فَقَالَ: مُنْذُ كَمْ لَمْ تَنْزَعْ خُفَّيْكَ؟ قَالَ: مِنَ اْلجُمُعَةِ إِلىَ اْلجُمُعَةِ قَالَ: أَصَبْتَ السُّنَّةَ

Dari Uqbah bin Amir al-Juhniy bahwasanya ia mendatangi Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu dari Mesir. Umar berkata, “Sejak kapan engkau tidak menanggalkan kedua terompahmu?”. Ia menjawab, “Dari jum’at sampai jum’at”. Umar berkata, “engkau telah menepati sunnah”. [Telah mengeluarkan atsar ini Ibnu Majah: 558. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [84]

Oleh sebab itu setiap muslim harus mengerti tentang cara berwudlu khususnya tentang mengusap terompah, sandal ataupun kaos kaki agar senantiasa berpijak di jalan yang lurus lagi benar. Sebab bisa jadi suatu hari nanti ia akan dihadapkan kepada suatu kejadian yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Maka asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan syarat-syarat pengusapan tersebut menjadi tiga, yaitu, [85]

1. Hendaknya ketika ia hendak menggunakan kedua terompahnya itu harus dalam keadaan bersih atau suci. Sebagaimana hadits al-Mughirah bin Syu’bah radliyallahu anhu, “Biarkan keduanya karena aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci”. [86]

2. Hal tersebut dilakukan pada waktu yang dibatasi sesuai syar’iy. Yaitu sehari semalam untuk yang mukim dan tiga hari dan malam untuk yang sedang safar. Batas waktu itu dimulai dari awal mula pengusapan setelah hadats sampai akhir waktu pembatasan.

3. Pengusapan tersebut hanya terjadi pada hadats kecil tidak pada janabat. Jika terjadi pada janabat maka tidak ada pengusapan tetapi wajib baginya menanggalkan kedua terompahnya lalu membasuh sekujur tubuhnya (maksudnya mandi janabat), karena hadits Shofwan bin Assal radliyallahu anhu, “Dalam suatu safar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak melepasnya selama tiga (hari) dari sebab buang air besar, buang air kecil dan tidur (pulas), kecuali dari sebab janabat”. [87]

 40). Ucapan sesudah selesai dari wudlu

 Setelah selesai semua amalan-amalan wudlu dari awal sampai akhir, maka hendaklah seseorang yang berwudlu itu menutup amal tersebut dengan mengucapkan doa dari doa-doa yang telah diajarkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

عن عقبة بن عامر قَالَ: كَانَتْ عَلَيْنَا رِعَايَةُ اْلإِبِلِ فَجَاءَتْ نَوْبَتيِ فَرَوَّحْتُهَا بِعَشِيٍّ فَأَدْرَكْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَائِمًا يُحَدِّثُ النَّاسَ فَأَدْرَكْتُ مِنْ قَوْلِهِ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَ وَجْهِهِ إِلاَّ وَجَبَتْ لَهُ اْلجَنَّةُ قَالَ: فَقُلْتُ: مَا أَجْوَدُ هَذِهِ! فَإِذَا قَائِلٌ بَيْنَ يَدَيَّ يَقُوْلُ: الَّتيِ قَبْلَهَا أَجْوَدُ فَنَظَرْتُ فَإِذَا عُمَرُ قَالَ: إِنيِّ قَدْ رَأَيْتُكَ جِئْتَ آنِفًا قَالَ: مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ (أَوْ يُسْبِغُ) اْلوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ (و فى رواية: أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ) (و زاد الترمذي: َاللَّهُمَّ اجْعَلْنيِ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَ اجْعَلْنيِ مِنَ اْلمُتَطَهِّرِيْنَ) إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ  أَبْوَابُ اْلجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ

            Dari Uqbah bin Amir berkata, ”Tugas kami adalah menjaga unta lalu datanglah giliranku, maka bergegas aku pergi kepadanya di waktu senja hari. Lalu aku dapati Rosulullah sedang berdiri sambil berbicara kepada manusia maka aku jumpai sebahagian ucapannya, ”Tidaklah seorang muslim berwudlu lalu membaguskan wudlunya kemudian berdiri lalu sholat dua rakaat dalam keadaan menghadapkan hati dan wajahnya (kepada Allah) melainkan tetaplah surga baginya”. Ia (yaitu Uqbah) berkata, aku berkata, ”Alangkah bagusnya ucapan ini !”. Tiba-tiba ada yang berkata di hadapanku, ”yang sebelumnya lebih bagus lagi”. Lalu aku lihat, ternyata Umar. Ia berkata kepadaku, ”Aku melihatmu barusan datang”. Beliau bersabda, ”Tidaklah seseorang di antara kalian wudlu kemudian menyempurnakan wudlu lalu mengucapkan,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ

(Aku bersaksi bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu adalah hamba Allah dan utusan-Nya). Di dalam satu riwayat,

أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ

(Aku bersaksi bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah selain Allah saja tiada sekutu bagi-nya dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya).

At-Turmudziy menambahkan,

 اَللَّهُمَّ اجْعَلْنيِ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَ اجْعَلْنيِ مِنَ اْلمـُتَطَهِّرِيْنَ

(Ya Allah jadikanlah aku termasuk dari orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah pula aku termasuk orang-orang yang membersihkan diri). Melainkan dibukakan untuknya pintu-pintu surga yang delapan yang ia masuk kedalamnya dari pintu surga manapun yang ia suka”. [HR Muslim: 234, at-Turmudziy: 55, an-Nasa’iy: I/ 92-93, Abu Dawud:169, Ibnu Majah: 470, Ibnu Khuzaimah: 222, 223 dan Ahmad: IV/ 145-146, 153. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [88]

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ اْلكَهْفِ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا إِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ مِنْ مَقَامِهِ إِلىَ مَكَّةَ وَ مَنْ قَرَأَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ آخِرِهَا ثُمَّ خَرَجَ الدَّجَّالُ لَمْ يَضُرَّهُ وَ مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْكَ كُتِبَ لَهُ فىِ رِقٍّ ثُمَّ جُعِلَ فىِ طَابِعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi maka surat itu akan menjadi cahaya baginya sampai hari kiamat dari tempatnya sampai Mekah. Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari akhirnya kemudian Dajjal keluar maka Dajjal itu tidak dapat membahayakannya. Barangsiapa yang wudlu lalu membaca,

 سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْكَ

(Maha suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampun kepada-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu). Maka akan dicatat baginya di dalam riqq (kertas dari kulit tipis) kemudian diletakkan di dalam thabi’ (alat pencetak) sehingga tidak akan rusak sampai hari kiamat”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Awsath, al-Hakim: 2116, adl-Dliya’, an-Nasa’iy dan as-Sunniy di dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah halaman 37. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [89]

Dua hadits di atas menunjukan adanya bacaan atau doa di penghujung wudlu, yang disyariatkan bagi setiap muslim untuk senantiasa membaca salah satunya di setiap selesai dari berwudlu.


[1]  Aysar at-Tafasir: I/ 598.

[2] Shahih Sunan An-Nasa’iy: 143, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5804, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 181 dan Misykah al-Mashobih: 1042.

[3] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 91 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 102.

[4] Shahih Sunan Abi Dawud: 109 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 95, 97.

[5] Shahih Sunan Abi Dawud: 118.

[6] Nail al-Awthar: I/ 197.

[7] Shahih Sunan at-Turmudziy: 32, Shahih Sunan Abi Dawud: 111 dan Misykah al-Mashobih: 415.

[8] Silsilah al-Ahadits adl-Dlo’ifah: II/ 424.

[9] Shahih Sunan Ibni Majah: 349.

[10] Shahih Sunan Ibni Majah: 350.

[11] Shahih Sunan Abi Dawud: 106.

[12]  Shahih Sunan Ibni Majah: 351.

[13] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 98.

[14] Shahih Sunan at-Turmudziy: 31, Shahih Sunan Abi Dawud: 119, Shahih Sunan Ibni Majah: 352 dan Misykah al-Mashobih: 414.

[15] Tetapi asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah di dalam bukunya Tamam al-Minnah halaman 91 membolehkan mengusap kepala tiga kali karena ada riwayat yang memuat tentang itu yaitu Abu Dawud: 107 dan 110 kadua nya dari Utsman bin Affan radliyallahu anhu. Dan asy-Syaikh al-Albaniy menyatakan Hasan pada hadits yang pertama dan Hasan Shahih pada yang kedua di dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 98 dan 101.

[16]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 97.

[17]  Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, DR Mahmud Abdul Maqshud Afifiy, Dar Ibnu al-Haitsam halaman 12-13.

[18] Atau dalam keadaan sulit pada masa sekarang ini di antaranya adalah; sulit mendapatkan tempat wudlu yang tertutup sehingga ia terpaksa wudlu di tempat terbuka, atau ia terpaksa berwudlu di tempat wudlu yang kecil sehingga kaum lelaki dan perempuan tercampur baur, atau terkadang beberapa lelaki dari kaum awam ada yang suka masuk ke tempat wudlu wanita dan sebagainya.

[19]  Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah halaman 13 dan yang semakna di dalam kitab Majmu’ Fatawa: XXI/ 218.

[20] Shahih Sunan Abi Dawud: 99.

[21] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 99, Shahih Sunan Ibni Majah: 353, Shahih Sunan at-Turmudzy: 33, Irwa’ al-Ghalil: 90 dan Misykah al-Mashobih: 413.

[22]  Shahih Sunan Abi Dawud: 112 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 356.

[23] Shahih Sunan Ibni Majah: 355, Shahih Sunan Abi Dawud:121 dan Misykaah al-Mashobih: 414.

[24] Shahih Sunan Ibni Majah: 357, Irwa’ al-Ghalil: 84 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 36.

[25] Shahih Sunan at-Turmudziy: 34, Shahih Sunan Ibni Majah: 358, Shahih Sunan Abi Dawud: 122 dan Misykah al-Mashobih: 416 .

[26]  Shahih Sunan Ibni Majah: 359.

[27] Nail al-Awthar: I/ 203.

[28] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 115 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 456.

[29]  العصائب dengan difat-hahkan huruf ’ain bermakna sorban dan التساخين bermakna terompah. [Lihat al-Mas-hu ’ala al-Jaurobain halaman 23, ‘Aun al-Ma’bud: I/ 171 dan Nail al-Awthar: I/ 210].

[30] Shahih Sunan Abi Dawud: 133.

[31]  Aun al-Ma’bud: I/ 172.

[32]  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, الخمار bagi lelaki adalah sorban yang menutupi kepala. Dan yang tidak menutupi kepala bukanlah sorban. [Catatan kaki di dalam Shahih Sunan an-Nasa’iy: I/ 25].

[33] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 101, Shahih Ibni Majah: 455 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 88.

[34] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 104, Shahih Sunan at-Turmudziy: 87 dan Misykah al-Mashobih: 399.

[35] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 80, 105 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 135-136.

[36]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 106.

[37]  Aysar at-Tafasir: I/ 598.

[38] Mukhtashor Shahih Muslim: 130, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 105, Shahih Sunan Abi Dawud: 97, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 82, 83, 112, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6175, 6176 dan Misykah al-Mashobih: 287.

[39] Shahih Sunan An-Nasa’iy: 143, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5804, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 181 dan Misykah al-Mashobih: 1042.

[40] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 91 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 102.

[41] Mukhtashor Shahih Muslim: 128, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1489 dan Irwa’ al-Ghalil: 94.

[42] Shahih Sunan Abii Dawud: 88, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 108, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 872, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 217, Misykah al-Mashobih: 398 dan Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 108.

[43]  Shahih Sunan Ibni Majah: 364.

[44] Shahih Sunan Ibni Majah: 365.

[45] Shahih Sunan Ibni Majah: 366 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 107.

[46] Shahih Sunan Ibni Majah: 367.

[47] Shahih Sunan Ibni Majah: 368.

[48] Maksudnya tidak terkena air wudlu.

[49]  Mukhtashor Shahih Muslim: 135.

[50]  Shahih Sunan Abi Dawud: 158.

[51] Shahih Sunan Abi Dawud: 161.

[52] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 85, Shahih Sunan Abi Dawud: 129, Shahih Sunan Ibni Majah: 328, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 927 dan Misykah al-Mashobih: 405.

[53] Shahih Sunan at-Turmudziy: 35 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 362.

[54] Shahih Sunan at-Turmudziy: 36, Shahih Sunan Ibni Majah: 361, Silsilah al-Ahadits ash-Shahiiah: 1306 dan Misykah al-Mashobih: 406.

[55] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3239 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1349.

[56] Shahih Sunan at-Turmudziy: 37, Shahih Sunan Ibni Majah: 360, Shahih Sunan Abi Dawud: 134, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4700, Misykah al-Mashobih: 407 dan Shifat Sholat an-Nabiy halaman 49.

[57] Sadzij dengan difat-hahkan atau dikasrahkan huruf dzalnya yaitu terompah yang tidak dihias, tidak berbulu atau mempunyai satu warna saja yang warna hitamnya tidak bercampur dengan warna lainnya. (Catatan kaki pada kitab Shahih Sunan Abi Dawud: I/ 32).

[58]  Shahih Sunan Abi Dawud: 141, Shahih Sunan Ibni Majah : 446 dan Mukhtashor  asy-Syama’il al-Muhammadiyah: 58.

[59] Shahih Sunan Ibni Majah: 442.

[60]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 115 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 456.

[61]  Irwa’ al-Ghalil: 102.

[62] Shahih Sunan at-Turmudziy: 81, Shahih Sunan Ibni Majah: 441, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 114 dan Irwa’ al-Ghalil: 99.

[63] Shahih Sunan Abi Dawud: 140 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 83.

[64] Shahih Sunan Abi Dawud: 137 dan Irwa’ al-Ghalil: 97, 100.

[65]  Taysir al-Allam: I/ 69.

[66]  Shahih Sunan Ibni Majah: 445.

[67]  Shahih Sunan Ibni Majah: 444.

[68]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 448.

[69]  Fiq-h al-Ibadat halaman 95.

[70]  Untuk lebih jelasnya baca kitab “al-Mas-h ‘ala al-Jaurobain” (mengusap dua kaos kaki) susunan al-Allamah Muhammad Jamaluddin al-Qosimiy di Tahqiq oleh asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah cetakan al-Maktab al-Islamiy.

[71] Tamam al-Minnah halaman 115.

[72] Shahih Sunan Abi Dawud: 143, Shahih Sunan at-Turmudziy: 86, Shahih Sunan Ibni Majah: 453, Irwa’ al-Ghalil: 101 dan Misykah al-Mashobih: 523.

[73]  Shahih Sunan Ibni Maajah: 454.

[74] al-Mas-h ’ala al-Jaurabain (mengusap kedua kaos kaki ) halaman 53-54 .

[75] Shahih Sunan Abi Dawud: 146, Shahih Sunan at-Turmudziy: 85 dan Misykah al-Mashobih: 522.

[76] Shahih Sunan Abi Dawud: 147, Irwa’ al-Ghalil: 103 dan Misykah al-Mashobih: 525.

[77] Shahih Sunan Abi Dawud: 148.

[78]  Shahih Sunan Ibni Majah: 447 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 125.

[79]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 152, 153, 123, Shahih Sunan at-Turmudziy: 84, 2801, Shahih Sunan Ibni Majah: 387 dan Irwa’ al-Ghalil: 103, 106.

[80]  Nail al-Awthar: I/ 231.

[81]  Shahih Sunan Ibni Majah: 448, 449 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 142.

[82]  Shahih Sunan Ibni Majah: 450 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5189..

[83] Shahih Sunan Ibni Majah: 451, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3455 dan Misykah al-Mashobih: 519.

[84] Shahih Sunan Ibnu Maajah: 452.

[85]  Fiq-h al-Ibadat halaman 95-96.

[86]  HR al-Bukhoriy: 5799, 182, 203, 206, 363, 388, 2918, 4421, 5798, Muslim: 274 (79), Abu Dawud: 151, Ahmad: IV/ 255 dan ad-Darimiy: I/ 181. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 137 dan Irwa’ al-Ghalil: 97, 100.

[87] HR an-Nasa’iy: I/ 98, 84, Ahmad: IV/ 239, 240, at-Turmudziy: 96, 3535, Ibnu Majah: 478 dan Ibnu Khuzaimah: 17, 196. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih Sunan an-Nasa’iy: 152, 153, 123, Shahih Sunan at-Turmudziy: 84, 2801, Shahih Sunan Ibni Majah: 387 dan Irwa’ al-Ghalil: 103, 106.

.[88] Shahih Sunan at-Turmudziy: 48, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 144, Shahih Sunan Abi Dawud: 155, Shahih Sunan Ibni Majah: 380, Irwa’ al-Ghalil: 96, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5803, Misykah al-Mashobih: 289, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 219, Nail al-Awthar bitakhrij Ahadits Kitab al-Adzkar: 76, 77 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 339.

[89] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2333, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6170, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 220, Nail al-Awthar bi takhriij Ahadits Kitab al-Adzkar: 78 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 341.

AYO BERWUDLU SESUAI DENGAN CONTOH NABI Shallallahu alaihi wa sallam (2) !!!

SIFAT WUDLU NABI Shallallahu alaihi wa sallam (2)

بسم الله الرحمن الرحيمair keran 2

11). Niat.

Dalil tentang niat di bawah ini menerangkan tentang disyariatkannya niat ketika hendak mengerjakan suatu amalan dari beberapa amalan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Karena tanpa niat, amalan yang dikerjakan oleh seseorang dari kaum muslimin itu akan sia-sia dan tidak akan mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun untuknya di akhirat kelak. Niat itu berupa tujuan atau maksud hati dari mengerjakan amal tersebut yaitu mengharapkan dan mendambakan keridloan Allah Subhanahu wa ta’ala dan balasan kebaikan semata-mata dari-Nya.

Pun demikian di dalam wudlu, setiap muslim wajib menghadirkan niat di dalam hatinya tanpa melafazhkannya dengan lisannya. Tanpa menghadirkan niat di dalam hatinya maka wudlu yang dikerjakannya tersebut tidak ada nilainya di sisi Allah Azza wa Jalla.

عن علقمة  بن  وقاص الليثي يَقُوْلُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ رضي الله عنه (يَخْطُبُ ) عَلَى اْلمـِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا النَّاسُ) إِنمَّاَ اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ (و فى رواية: اْلعَمَلُ بِالنِّيَةِ) وَ إِنمَّاَ لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلىَ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا (و فى رواية: يَتَزَوَّجُهَا) فَهِجْرَتُهُ إِلىَ مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

 Dari Alqomah bin Waqqash al-Laitsiy berkata, aku pernah mendengar Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu berkhutbah di atas mimbar seraya berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niatnya (di dalam satu riwayat, “Amal itu tergantung dengan niat”). Dan tiap-tiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang (niat) hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rosul-Nya, tetapi barangsiapa yang (niat) hijrahnya kepada dunia yang ia peroleh atau seorang wanita yang ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang ia hijrahkan”. [HR al-Bukhoriy: 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953, Muslim: 1907, Abu Dawud: 2201. at-Turmudziy: 1647, an-Nasa’iy: I/ 58-60, Ibnu Majah: 4227, Ahmad: I/ 25, Ibnu Khuzaimah: 142, al-Humaidiy: 28 dan ad-Daruquthniy: 128. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

Berkata asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ikhlas karena Allah merupakan syarat diterimanya amal. Karena Allah tidak akan menerima suatu amal kecuali yang paling ikhlas dan yang paling benar. Adapun yang paling ikhlas adalah selama karena Allah dan yang paling benar adalah selama menyepakati alqur’an dan sunnah”. [2]

Berkata al-Fudloil bin ‘Iyadl rahimahullah mengenai firman Allah ta’ala ((Dialah yang telah menciptakan mati dan hidup, agar menguji kalian siapakah diantara kalian yang paling baik amalnya. QS. al-Mulk/67: 2)), dia berkata, “Yang paling ikhlash (murni) dan yang paling benar (tepat)”. Mereka bertanya, “Wahai Abu ‘Ali ! (maksudnya al-Fudloil) apakah yang paling benar dan yang paling ikhlash itu?. Dia menjawab, “Sesungguhnya amal itu apabila ikhlash tetapi tidak benar, amal tersebut niscaya tidak akan diterima. Dan apabila amal tersebut benar tetapi tidak ikhlash juga tidak akan diterima, sehingga amal tersebut ikhlash dan benar. Ikhlash itu adalah karena Allah, dan benar itu adalah di atas sunnah”. [3]

Jumhur ulama beristidlal atas disyaratkan niat di dalam wudlu dengan dalil-dalil shahih lagi jelas dengan bentuk dijanjikan balasan. Maka sudah semestinya berkehendak membedakannya dengan selainnya agar mendapatkan pahala yang dijanjikan. [4]

Berkata Ibnu Ajalan, “Tidak shalih amal itu kecuali dengan tiga hal, yaitu takwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, niat yang baik dan (amal yang) benar”. [5]

Berkata al-Hafizh Abu al-Hasan Thahir bin Mufawwiz al-Mu’arifiy, [6]

عمدة الدين عندنا كلمات            أربع من كلام خير البرية

اتق الشبهات و ازهد و دع ما       ليس يعنيكـ و اعملن بنية

Tiangnya agama di sisi kami ada empat

kalimat, dari ucapan sebaik-baiknya makhluk

Jagalah dirimu dari syubhat, zuhudlah, tinggalkan apa

yang tidak berguna bagimu dan beramallah dengan niat.

Namun perlu diperhatikan bahwasanya niat itu tempatnya di hati bukan dilafazhkan oleh lisan, karena ketiadaan dalil dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, perbuatan para shahabat radliyallahu anhum ataupun dari para imam kaum muslimin.

Berkata Ibnu Rajab rahimahullah, “Niat adalah merupakan kehendak hati dan tidak wajib melafazhkan apa yang ada di hati dan tidak pula di dalam sesuatupun dari ibadah”. [7]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, “Bahwasanya niat itu tempatnya adalah hati. Maka melafazhkannya adalah perbuatan bid’ah”. [8]

Dan telah shahih dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya ia pernah mendengar seorang lelaki pada waktu ihramnya mengucapkan, “Ya Allah, aku menghendaki haji dan umrah”. Lalu ia berkata kepada lelaki itu, “Apakah kamu hendak memberitahu kepada manusia (akan perbuatanmu)?. Bukankah Allah mengetahui apa yang ada pada hatimu?”. [9]

Berkata al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan di awalnya; nawaytu raf’al hadatsi (artinya, “Aku berniat menghilangkan hadats”) dan tidak pula memperbolehkan sholat (dengannya) dan tidak seorangpun para shahabat radliyallahu anhum (yang mengucapkannya pula). Tidak diriwayatkan satupun huruf tentang hal itu darinya, tidak dengan sanad yang shahih dan tidak pula yang dla’if”. [10]

Maksud dari beberapa penjelasan di atas, bahwa amal agar diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan mendapatkan balasan kebaikan dari-Nya kelak pada hari kiamat itu, mesti berdasarkan atas dua perkara yaitu; ikhlas dan ittiba’.

Ikhlas adalah mengerjakan sesuatu amalan yang diperintahkan semata-mata dengan niat mengharapkan keridloan Allah Subhanahu wa ta’ala dari dalam hatinya. Jadi niat adalah amalan hati bukan lisan.

Adapun ittiba’ adalah mengerjakan satu dari berbagai amal shalih yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam alqur’an dan juga Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang telah tsabit darinya.

12. Mengucapkan tasmiyyah ketika wudlu.

Setelah menghadirkan niat di dalam hati, maka seorang muslim yang hendak berwudlu mengawalinya dengan mengucapkan tasmiyyah yaitu ucapan  بسم الله dan ucapan itu tidak boleh ditambah misalnya menjadi بسم الله الرحمن الرحيم . Kendatipun ucapan tasmiyyah yang ada tambahannya itu tampaknya lebih baik atau sempurna, namun lantaran tidak pernah dicontohkan oleh pembawa syariat yaitu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka penambahan itu tetap tidak boleh dan tidak diperkenankan.

عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم : لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِ

 Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tiada sholat bagi orang yang tiada wudlu baginya dan tiada wudlu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ta’ala atasnya”. [HR Abu Dawud: 101, Ibnu Majah: 399 dan Ahmad: II/ 418 darinya, Ibnu Majah: 398, al-Hakim: 533 dan ad-Daruquthniy: 226 dari Sa’id bin Zaid. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [11]

عن أنس قَالَ: طَلَبَ بَعْضُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَضُوْءًا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: هَلْ مَعَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مَاءٌ؟ فَوَضَعَ يَدَهُ فىِ اْلمـَاءِ وَ يَقُوْلُ: تَوَضَّؤُوْا بِاسْمِ اللهِ فَرَأَيْتُ اْلمـَاءَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ حَتىَّ تَوَضَّؤُوْا مِنْ عِنْدِ آخِرِهِمْ قَالَ أَبُوْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ: قَالَ ثَابِتٌ: قُلْتُ لِأَنَسٍ: كَمْ تَرَاهُمْ؟ قَالَ: نَحْوًا مِنْ سَبْعِيْنَ

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, sebahagian para shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mencari air wudlu. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Apakah pada seseorang di antara kalian ada air?”. Lalu Beliau meletakkan tangannya pada air dan bersabda, ”Berwudlulah kalian dengan menyebut nama Allah!”. Aku melihat air keluar memancar dari sela-sela jari jemarinya sehingga mereka berwudlu sampai orang terakhir. Abu Abdurrahman berkata, berkata Tsabit, Aku bertanya kepada Anas, ”Berapakah jumlah mereka yang engkau lihat?”. Ia menjawab, ”Sekitar tujuh puluh orang”. [HR an-Nasa’iy: I/ 61-62 dan Ibnu Khuzaimah: 144. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih isnadnya ]. [12]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, (PERHATIAN),

“Sebahagian kaum muslimin secara sengaja membuat doa khusus untuk (pembasuhan) tiap anggota dari anggota wudlu. Ini adalah suatu bid’ah yang (wajib) diingkari. Sebab tidak ada satupun hadits yang shahih padanya. Jika al-Imam Nawawiy rahimahullah di dalam kitab ”al-Adzkarnya” telah menisbahkannya kepada sebahagian ahli ilmu, maka sungguh-sungguh al-Imam Nawawiy berkata di dalam kitabnya tersebut (dengan tahqiqku), ”Adapun doa bagi tiap-tiap anggota-anggota wudlu maka hal tersebut tidak pernah datang sedikitpun dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”.

Lalu al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata di dalam kitabnya ”Zad al-Ma’ad”, [13] ”Tidak terjaga dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau berdoa dengan sesuatupun atas wudlunya selain tasmiyah. Semua hadits tentang dzikir wudlu yang diucapkan (oleh kaum muslimin) adalah dusta yang dibuat-buat, yang tidak pernah diucapkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedikitpun darinya dan tidak pula diajarkan kepada umatnya”.  [14]

Jadi mengucapkan bacaan doa atau dzikir di awal wudlu sebagai syarat sahnya wudlu dan sebagaimana diperintahkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah hanya mengucapkan tasmiyah yakni membaca  بسم الله  tidak ada penambahan dan juga bacaan lainnya.

13. Membasuh kedua telapak tangan.

 Setelah mengucapkan tasmiyah, dilanjutkan dengan membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkan keduanya ke dalam bejana. Yaitu menuangkan air ke atas kedua telapak tangannya lalu mencucinya sebanyak dua atau tiga kali. Terlebih jika bangun tidur, dikarenakan orang yang baru bangun tersebut tidak mengetahui dimanakah kedua tangannya bermalam, boleh jadi tangan tersebut bermalam pada farji atau duburnya.

عن أبي هريرة عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ يُدْخِلْ يَدَهُ فىِ اْلإِنَاءِ حَتىَّ يُفْرِغَ عَلَيْهَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian bangun dari waktu malam, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana sehingga ia membasuhnya dua atau tiga kali. Karena ia tidak tahu dimanakah tangannya bermalam”. [HR at-Turmudziy: 24, al-Bukhoriy: 162, Muslim: 278, an-Nasa’iy: I/ 6-7, Abu Dawud: 94, 96, Ibnu Majah: 393, Ahmad: II/ 241, 253, 259, 265, 271, 284, 316, 382, 395, 403, 455, 465, 471, 500 dan Ibnu Khuzaimah: 99, 100, 145, 146. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

عن ابن عمر قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يُدْخِلْ يَدَهُ فىِ اْلإِنَاءِ حَتىَّ يَغْسِلَهَا

Dari Ibnu Umar berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana sehingga ia membasuhnya (atau mencucinya)”. [HR Ibnu Majah: 394. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [16]

عن الحارث قَالَ: دَعَا عَلِيٌّ بِمَاءٍ فَغَسَلَ يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهُمَا اْلإِنَاءَ ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم صَنَعَ

Dari al-Harits berkata, Ali radliyallahu anhu pernah menyuruh mengambilkan air, lalu ia membasuh kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana. Kemudian ia berkata, ”Demikianlah aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berbuat”. [Telah mengeluarkan atsar ini Ibnu Majah: 396. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [17]

عن ابن أبي أوس عن جده أوس قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ وَ اسْتَوْكَفَ ثَلاَثًا أَيْ غَسَلَ كَفَّيْهِ

Dari Abu Aus dari kakeknya yaitu Aus berkata, Aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wudlu dan mengucurkan (air) tiga kali yaitu membasuh kedua telapak tangannya”. [HR Ahmad: IV/ 9, an-Nasa;iy: I/ 64 dan ad-Darimiy: I/ 176. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih isnadnya]. [18]

عن حمران مولى عثمان أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ رضي الله عنه دَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ .. الخ

Dari Hamran maula (mantan budak)nya  Utsman, ia mengkhabarkan bahwasanya Utsman bin Affan radliyallahu anhu menyuruh mengambil air wudlu. Kemudian ia berwudlu, lalu ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, dan seterusnya hadits.  [HR Muslim: 226, al-Bukhoriy: 159, 164, 1934, Abu Dawud: 106, an-Nasa’iy: I/ 64, 65, 80, Ahmad: I/ 59, 64, Ibnu Khuzaimah: 3 dan ad-Darimiy: I/ 176. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

عن عمرو بن يحيى (المازني) عن أبيه قَالَ: كَانَ عَمِّي يُكْثِرُ مِنَ اْلوُضُوْءِ قَالَ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ: أَخْبِرْنىِ كَيْفَ رَأَيْتَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ؟ فَدَعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَكَفَأَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مِرَارٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فىِ التَّوْرِ فَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْثَرَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ غُرْفَةٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاغْتَرَفَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ إِلىَ اْلمـِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهِ مَاءً فَمَسَحَ رَأْسَهُ فَأَدْبَرَ بِهِ وَ أَقْبَلَ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ فَقَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ

Dari Amr bin Yahya al-Maziniy dari Ayahnya berkata, pamanku adalah orang yang banyak berwudlu, ia lalu berkata kepada Abdullah bin Zaid, “Khabarkan kepadaku bagaimana engkau melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wudlu?”. Lalu ia (yaitu Abdullah bin Zaid) menyuruh mengambil bejana yang ada airnya. Maka ia menuangkan (air) atas kedua tangannya lalu membasuhnya tiga kali. Kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana, lalu berkumur-kumur dan istintsar sebanyak tiga kali dari satu cidukan. Kemudian ia memasukkan tangannya (ke dalam bejana tersebut) lalu menciduk (air) dan membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian membasuh kedua tangannya sampai kedua siku dua kali dua kali, lalu mengambil air dengan tangannya maka ia mengusap kepalanya, mengebelakangkan dan mengedepankan. Kemudian ia membasuh kedua kakinya lalu berkata, ”Demikianlah aku melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wudlu”. [HR al-Bukhoriy: 199, 185, 186, 191, 192 dan Muslim: 235. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [20]

 14). Berkumur, Istinsyaq dan istintsar di dalam wudlu.

Di antara sunah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lainnya yang banyak dilupakan dan disepelekan oleh sebahagian besar kaum muslimin adalah berkumur (madlmadloh), istinsyaq dan istintsar. Terlebih-lebih akan tata caranya yaitu berkumur dan istinsyaq dengan satu cidukan yakni menjadikan separuhnya untuk mulut dan separuh lainnya untuk hidung dengan tangan kanannya lalu beristintsar dengan tangan kirinya.

Rincian makna, penjelasan dan dalil-dalilnya adalah sebagai berikut,

المضمضة (berkumur-kumur) adalah meletakkan air di dalam mulut lalu memutarnya dan membuangnya. [21]

الاستنشاق (istinsyaq) adalah memasukkan (atau menghirup) air ke dalam hidung. [22]

الاستنشار (istintsar) adalah membuang air yang dihirup (istinsyaq) oleh orang yang berwudlu, yaitu yang ditarik oleh angin hidungnya. [23]

 عن أبي أمامة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم قَالَ: أَيمُّاَ رَجُلٍ قَامَ إِلىَ وَضُوْئِهِ يُرِيْدُ الصَّلاَةَ ثُمَّ غَسَلَ كَفَّيْهِ نَزَلَتْ خَطِيْئَتُهُ مِنْ كَفَّيْهِ مَعَ أَوَّلِ قَطْرَةٍ فَإِذَا مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ اسْتَنْثَرَ نَزَلَتْ خَطِيْئَتُهُ مِنْ لِسَانِهِ وَ شَفَتَيْهِ مَعَ أَوَّلِ قَطْرَةٍ …إلخ

Dari Abu Umamah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapapun yang berdiri menuju air wudlunya dengan maksud mengerjakan sholat, kemudian ia membasuh kedua telapak tangannya, maka turun (keluar)lah dosanya dari kedua telapak tangannya bersama tetesan air. Apabila ia berkumur-kumur, beristinsyaq dan istintsar maka keluarlah dosanya dari lisan dan bibirnya bersama awalnya tetesan air, dan seterusnya”. [HR Ahmad: V/ 263. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [24]

عن أبي أمامة قَالَ: قَالَ عَمْرٌو بْنُ عَبَسَةَ السُّلَمِيُّ: فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ فَالْوُضُوْءُ؟ حَدِّثْنىِ عَنْهُ! قَالَ: مَا مِنْكُمْ رَجُلٌ يُقَرِّبُ وَضُوْءَهُ فَيَتَمَضْمَضُ وَ يَسْتَنْشِقُ فَيَنْتَثِرُ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ وَ فِيْهِ وَ خَيَاشِيْمِهِ

Dari Abu Umamah berkata, berkata Amr bin Abasah as-Sulamiy, Aku bertanya, “Wahai Nabiyullah apakah wudlu itu? Ceritakanlah kepadaku!”. Beliau menjawab, “Tidaklah seseorang di antara kalian yang mendekati air wudlunya lalu ia berkumur-kumur, beristinsyaq (menghirup air melalui hidung) lalu istintsar (menyemburkannya lewat hidung pula), melainkan gugurlah dosa-dosa wajah, mulut dan hidungnya”. [HR Muslim: 832, an-Nasa’iy: I/ 91-91 dan Ahmad: IV/ 112. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

عن حمران مولى عثمان أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ  رضي الله عنه أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِيْنَهُ فىِ اْلوَضُوْءِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ اسْتَنْثَرَ …إلخ

Dari Hamran maula (mantan budak)nya Ustman, ia mengkhabarkan bahwasanya pernah melihat Utsman bin Affan radliyallahu anhu menyuruh mengambil air wudlu. Kemudian menuangkan (air) atas kedua tangannya dari bejananya lalu membasuh keduanya tiga kali. Kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudlu lalu berkumur-kumur, istisyaq dan istintsar… dst. [HR al-Bukhoriy:159, 164, 1934, Muslim: 226, Abu Dawud: 106, an-Nasa’iy: I/ 64, 65, 80, Ahmad: I/ 59, 64, Ibnu Khuzaimah: 3 dan ad-Darimiy: I/ 176. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

عن عبد خير قَالَ: دَخَلَ عَلِيٌّ الرَّحْبَةَ بَعْدَمَا صَلَّى اْلفَجْرَ فَجَلَسَ فىِ الرَّحْبَةِ ثُمَّ قَالَ لِغُلاَمٍ لَهُ: ايْتِنىِ بِطَهُوْرٍ قَالَ: فَأَتَاهُ اْلغُلاَمُ بِإِنَاءٍ فِيْهِ مَاءٌ وَ طَسْتٍ قَالَ عَبْدُ خَيْرٍ: وَ نَحْنُ جُلُوْسٌ نَنْظُرُ إِلَيْهِ فَأَدْخَلَ يَدَهُ اْليُمْنىَ فَمَلَأَ فَمَهُ فَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ نَثَرَ بِيَدِهِ اْليُسْرَى فَعَلَ هَذَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلىَ طَهُوْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَهَذَا طَهُوْرِهِ

            Dari Abdu Khair berkata, Ali radliyallahu anhu pernah memasuki tanah lapang setelah menunaikan sholat fajar, lalu ia duduk di tanah lapang tersebut. Kemudian Ia berkata kepada bujangnya, “Bawakan kepadaku air (wudlu)!”. Ia berkata (yaitu Abdu Khair), “Lalu bujang tersebut membawakan kepadanya bejana yang terdapat air di dalamnya dan juga sebuah baskom”. Berkata Abdu Khair, “Kemudian kami duduk melihatnya, lalu ia memasukkan tangannya yang kanan serta memenuhi mulutnya (dengan air). Kemudian ia berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar (menyemburkan air tersebut) dengan tangannya yang kiri. Ia melakukannya sebanyak tiga kali, kemudian ia berkata, ”Barangsiapa yang ingin melihat cara bersucinya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka inilah cara bersucinya”. [HR ad-Darimiy: I/ 178. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: ini adalah sanadnya Hasan].[27]

عن علي: أَنَّهُ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ نَثَرَ بِيَدِهِ اْليُسْرَى فَفَعَلَ هَذَا ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ: هَذَا طَهُوْرُ نَبِيِّ اللهِ صلى الله عليه و سلم

Dari Ali radliyallahu anhu bahwasanya ia pernah menyuruh mengambil air wudlu lalu ia berkumur-kumur dan istinsyaq serta menyemburkan (air tersebut) dengan tangannya yang kiri. Ia melakukan hal tersbut tiga kali kemudian berkata, ”Beginilah cara bersucinya Nabiyullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR an-Nasa’iy: I/ 67. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih isnadnya]. [28]

Riwayat-riwayat hadits di atas menerangkan bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar di dalam berwudlu sebagaimana yang dipersaksikan oleh para shahabat. Dan bahkan Beliau menjelaskan akan keutamaan dari mengerjakan sunnah-sunnah tersebut yakni dengan keluarnya dosa-dosa dari lisan, bibirnya dan hidungnya bersama jatuhnya tetesan air. Oleh sebab itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh umatnya untuk bersungguh-sungguh di dalam melakukan kumur-kumur, istinsyaq dan istintsar ini, sebagaimana akan diungkap di dalam bab berikut ini.

15). Istinsyaq dan bersungguh-sungguh padanya.

عن أبي هريرة  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فىِ أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لِيَسْتَنْثِرْ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian wudlu maka hendaklah ia meletakkan air pada hidungnya (istinsyaq) kemudian keluarkanlah (istintsar)”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66, Abu Dawud: 140, Ahmad: II/ 242, al-Bukhoriy: 162 dan Muslim: 237. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, “Wajibnya istinsyaq dan istintsar”. Berkata al-Imam Nawawiy rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bahwa istintsar itu bukanlah istinsyaq”. [30]

عن لقيط بن صبرة قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنىِ عَنِ اْلوُضُوْءِ! قَالَ: أَسْبِغِ اْلوُضُوْءَ وَ بَالِغْ فىِ اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

            Dari Luqaith bin Shabrah berkata, aku bertanya, “Wahai Rosulullah kabarkan kepadaku tentang wudlu!”. Beliau menjawab, “Sempurnakan wudlu dan bersungguh-sungguhlah di dalam istinsyaq kecuali jika kamu sedang shaum”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66, Abu Dawud: 142, Ibnu Majah: 407, Ibnu Khuzaimah: 150, 168, al-Hakim: 537 dan Ahmad: IV/ 33. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahiih]. [31]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,

“Terdapat penjelasan tentang sunnah-sunnah wudlu berupa menyempurnakannya, menyela-nyela di antara jari jemari kedua kaki dan bersungguh-sungguh di dalam melakukan istinsyaq.

Bersungguh-sungguh di dalam melakukan istinsyaq itu adalah sunnah kecuali di dalam keadaan shaum. Karena dikhawatirkan masuknya air ke dalam rongga (mulut atau hidung)nya.

Orang yang shaum berkumur-kumur tapi tidak menjalankannya atas kedua bibirnya (dengan air) sebagaimana dilakukan oleh kaum awam. Perbuatan ini adalah suatu kekeliruan yang tidak cukup hanya berkumur-kumur, juga menyelisihi syariat dan membuat-buat bid’ah di dalam agama, yang tidak pernah didatangkan oleh salah seorangpun shahabat, tidak tabi’in dan juga tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. [32]

16). Perintah beristintsar.

 Setelah air dihirup setengah oleh mulut untuk berkumur-kumur lalu dikeluarkan dengan cara disemburkan oleh mulut. Dan setengah lagi dihisap oleh hidung untuk istinsyaq maka langkah selanjutnya adalah mengeluarkan air tersebut dengan cara menghembuskannya keluar melalui hidung yang disebut dengan istintsar. Berkumur-kumur dan istinsyaq itu dilakukan dalam waktu yang bersamaan, namun ketika mengeluarkan air melalui hidung dan mulut maka untuk lebih mudahnya adalah istintsar dahulu melalui hidung, baru kemudian menyemburkan air melalui mulut. Wallahu a’lam.

عن أبي هريرة عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَتَوَضَّأْ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيْتُ عَلَى خَيْشُوْمِهِ

            Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila seseorang diantara kalian bangun dari tidurnya maka berwudlulah lalu beristintsar tiga kali karena sesungguhnya setan bermalam di dalam lubang hidungnya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 67, al-Bukhoriy: 3295, Muslim: 238, Ibnu Khuzaimah: 149, Ahmad: II/ 352, Abu Uwanah dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [33]

عن أبي هريرة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ وَ مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِرْ

            Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang wudlu maka hendaklah beristintsar dan barangsiapa yang istinja’ maka hendaklah ganjil”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66-67, Ibnu Majah: 409, al-Bukhoriy: 161 dan ad-Darimiy: I/ 178. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [34]

عن سلمة بن قيس (الأشجعي) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا تَوَضَّأْتَ فَاسْتَنْثِرْ وَ إِذَا اسْتَجْمَرْتَ فَأَوْتِرْ

             Dari Salamah bin Qois al-Asyja’iy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam  bersabda, “Apabila engkau wudlu maka istintsarlah dan apabila engkau istinja’ maka ganjilkanlah”. [HR an-Nasa’iy: I/ 67, at-Turmudziy: 27, Ibnu Majah: 406 dan Ahmad: IV/ 339, 340. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[35]

عن ابن عباس قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: اسْتَنْثِرُوْا مَرَّتَيْنِ بَالِغَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam, ”Istintsarlah dua kali atau tiga kali secara bersungguh-sungguh”. [HR Abu Dawud: 141, Ibnu Majah: 408 dan Ahmad: I/ 228. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [36]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Hadits ini menunjukkan atas wajibnya istintsar”. [37]

Beberapa dalil  di atas dengan jelas dan gamblang menerangkan akan perintah istintsar yang banyak diabaikan dan bahkan disepelekan oleh sebahagian besar kaum muslimin. Tak sedikit dijumpai dari kaum muslimin yang memulai wudlu mereka dengan membasuh muka terlebih dahulu tanpa membasuh kedua telapak tangan, berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar.

Kondisi memprihatinkan tersebut boleh jadi mungkin disebabkan oleh ketiadaan waktu bagi mereka untuk menuntut ilmu dari ilmu-ilmu agama atau  mungkin ilmu yang berkaitan dengan perkara ini belum atau barangkali tidak diajarkan oleh ustadz-ustadz mereka padahal dalil-dalil haditsnya tidaklah satu dan banyak bertebaran di dalam kitab-kitab hadits dan fikih. Atau mungkin mereka tidak terlalu mempedulikan ajaran agama mereka lantaran mereka lebih terpesona dengan ilmu-ilmu dunia yang ditebar dan disebarkanluaskan oleh orang-orang kafir dalam rangka mengalihkan perhatian kaum muslimin dari ilmu akhirat kepada ilmu dunia.

17). Berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu telapak tangan.

عن ابن عباس أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ مِنْ غُرْفَةٍ وَاحِدَةٍ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam  berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu cidukan. [HR Ibnu Majah: 403. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [38]

عن علي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَمَضْمَضَ ثَلاَثًا وَ اسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا مِنْ كَفٍّ وَاحِدٍ

Dari Ali radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam  berwudlu lalu berkumur-kumur tiga kali dan istinsyaq tiga kali dari satu telapak tangan. [HR Ibnu Majah: 404. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [39]

عن عبد الله بن زيد الأنصاري قَالَ: أَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم فَسَأَلَنَا وَضُوْءًا فَأَتَيْتُهُ بِمَاءٍ فَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدٍ

Dari Abdullah bin Zaid al-Anshoriy radliyallahu anhu berkata, Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam  pernah datang kepada kami lalu meminta air wudlu kepada kami. Maka kami bawakan kepadanya air lalu Beliau berkumur-kumur dan beristinsyaq dari satu telapak tangan”. [HR Ibnu Majah: 405 dan at-Turmudziy: 28. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [40]

عن عمرو بن يحيى (المازني) عن أبيه قَالَ: شَهِدْتُ عَمْرَو بْنَ أَبيِ حَسَنٍ سَأَلَ عَبْدَ اللهِ بْنَ زَيْدٍ عَنْ وُضُوْءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَدعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَتَوَضَّأَ لَهُمْ فَكَفَأَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فىِ اْلإِنَاءِ فَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ اسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا بِثَلاَثِ غُرَفَاتٍ مِنْ مَاءٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فىِ اْلإِنَاءِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فىِ اْلإِنَاءِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلىَ اْلمـِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فىِ اْلإِنَاءِ فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَ أَدْبَرَ بِهِمَا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فىِ اْلإِنَاءِ فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ

 Dari Amr bin Yahya al-Maziniy dari ayahnya berkata, aku pernah menyaksikan Amr bin Abi Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid radliyallahu anhu tentang wudlunya Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam. Maka ia menyuruh mengambilkan bejana yang berisi air. Maka ia berwudlu untuk mereka lalu menuangkan atas kedua tangannya dan membasuh keduanya. Kemudian Beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar tiga kali dengan tiga cidukan dari air. Kemudian Beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu membasuh kedua tangannya sampai kedua siku dua kali dua kali. Kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu mengusap kepalanya dengan kedua tangannya ke depan dan ke belakang. Kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu membasuh kedua kakinya. [HR al-Bukhoriy: 192, 199, 185, 186,191 dan Muslim: 235. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [41]

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, ”Di dalam hadits ini terdapat bukti nyata bagi madzhab shahih lagi terpilih bahwasanya sunnah di dalam berkumur-kumur dan istinsyaq itu adalah tiga cidukan, berkumur-kumur dan istinsyaq masing-masing satu darinya”. [42]

Berkata asy-Syaikh al Albaniy rahimahullah, ”Ini adalah merupakan sunnah yang tetap dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam kaifiyat (cara) berkumur-kumur dan istinsyaq. Yaitu berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu cidukan yang ia mengambil separuhnya untuk mulut dan separuhnya lagi untuk hidung. Ia melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali. [43]

Beberapa dalil hadits dan penjelasan di atas menggambarkan tentang cara berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsarnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Yakni menciduk atau menampung air dengan menggunakan telapak tangan yang kanan lalu memasukkannya yang separuh ke mulut (berkumur-kumur) dan separuhnya yang lainnya ke hidung (istinsyaq). Lalu menyemburkannya melalui hidungnya (istintsar) dengan tangan kirinya serta mengeluarkan air yang ada di mulutnya. Dan beliau melakukan hal tersebut dengan tiga kali cidukan, namun boleh juga sekali atau dua kali cidukan”.

Namun yang pernah beliau lakukan tersebut, tidak atau belum dicontoh oleh sebahagian besar umatnya. Karena banyak dijumpai mereka tidak melakukan ketiganya, atau hanya berkumur-kumur saja, atau hanya berkumur-kumur lalu memasukkan ibu jari dan telunjuk ke lubang hidung untuk membersihkannya atau memisahkan antara berkumur-kumur dan membersihkan lubang hidung masing-masing dengan cidukan air yang berbeda atau selainnya. Maka perbuatan dan perilaku mereka yang seperti itu jelas suatu kesalahan dan kekeliruan lantaran tidak sesuai dengan apa yang disunnahkan oleh Nabi mereka Shallallahu alaihi wa sallam.

 18). Dengan tangan yang manakah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar ?.

 قَالَ عَبْدُ خَيْرٍ: وَ نَحْنُ جُلُوْسٌ نَنْظُرُ إِلَيْهِ فَأَدْخَلَ يَدَهُ اْليُمْنىَ فَمَلأَ فَمَهُ فَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ نَثَرَ بِيَدِهِ اْليُسْرَى فَعَلَ هَذَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى طَهُوْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَهَذَا طَهُوْرُهُ

Berkata Abdu Khair, Kemudian kami duduk melihatnya (yaitu Ali radliyallahu anhu), lalu ia memasukkan tangannya yang kanan serta memenuhi mulutnya (dengan air). Kemudian ia berkumur-kumur, istinsyaq dan menyemburkan (air tersebut) dengan tangannya yang kiri. Ia melakukannya sebanyak tiga kali, kemudian ia berkata, ”Barangsiapa yang ingin melihat cara bersucinya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka inilah cara bersucinya”. [HR ad-Darimiy: I/ 178.   Berkata asy-Syaikh al-Albany: ini adalah sanadnya Hasan].  [44]

عن حمران مولى عثمان أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ رضي الله عنه أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِيْنَهُ فىِ اْلوُضُوْءِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ اسْتَنْثَرَ …إلخ

Dari Hamran maula (mantan budak)nya Utsman, ia mengkhabarkan bahwasanya ia pernah melihat Utsman bin Affan radliyallahu anhu menyuruh mengambil air wudlu. Kemudian ia menuangkan (air) atas kedua tangannya dari bejananya lalu membasuh keduanya tiga kali. Kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudlu lalu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar … dst. [HR al-Bukhory: 159, 164, 1934, Muslim: 226, Abu Dawud: 106, an-Nasa’iy: I/ 64, 65, 80, Ahmad: I/ 59, 64, Ibnu Khuzaimah: 3 dan  ad-Darimiy: I: 176. Berkata asy-Syaikh al-Albany: Shahih]. [45]

عن علي رضي الله عنه أَنَّهُ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ نَثَرَ بِيَدِهِ اْليُسْرَى فَفَعَلَ هَذَا ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ: هَذَا طَهُوْرُ نَبِيِّ اللهِ صلى الله عليه و سلم

 Dari Ali radliyallahu anhu bahwasanya ia pernah menyuruh mengambil air wudlu lalu ia berkumur-kumur dan istinsyaq serta menyemburkan (air tersebut) dengan tangannya yang kiri. Ia melakukan hal tersebut tiga kali kemudian ia berkata, ”Beginilah cara bersucinya Nabiyullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR an-Nasa’iy: I/ 67. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih isnadnya]. [46]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Di dalam hadits ini bersama dalil yang sebelumnya menjadi dalil bahwasanya yang sunnah adalah beristinsyaq dengan tangan kanan dan istintsar dengan tangan kiri”. [47]

Jadi cara melakukannya adalah memasukkan air dengan satu cidukan ke mulut untuk berkumur-kumur dan ke hidung untuk beristinsyaq dengan tangan kanan dan menyemburkannya (istintsar) dengan tangan kiri.

19). Membasuh Wajah.

Setelah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar sebagaimana yang diperintahkan dan dicontohkan oleh Rosulullah  maka amalan selanjutnya adalah membasuh wajah dengan kedua tangan sampai batas-batas wajah yang telah ditentukan oleh syariat. Membasuh wajah ini dilakukan dengan sekali basuhan atau dua kali basuhan atau juga tiga kali basuhan, tidak boleh lebih.

قال الله سبحانه و تعالى ((فَاغْسِلُوْا وُجُوهَكُمْ))

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ((Maka basuhlah wajah-wajah kalian)).

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, ”Yaitu setelah membasuh kedua telapak tangan tiga kali, berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar tiga kali tiga kali karena penjelasan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang hal tersebut”. [48]

Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah, ”Batas wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut turun sampai ke ujung dagu dan melebar di antara dua daun telinga yang wajib membasuh semuanya di dalam wudlu”. [49]

عن عبد خير قَالَ: أَتَيْنَا عَلِيَّ ابْنَ أَبيِ طَالِبٍ  رضي الله عنه وَ قَدْ صَلَّى فَدَعَا بِطَهُوْرٍ فَقُلْنَا: مَا يَصْنَعُ بِهِ وَ قَدْ صَلَّى؟ مَا يُرِيْدُ إِلاَّ لِيُعَلِّمَنَا فَأُتِيَ بِإِنَاءٍ فِيْهِ مَاءٌ وَ طَسْتٍ فَأَفْرَغَ مِنَ اْلمـَاءِ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهَا ثَلاَثًا مِنَ اْلكَفِّ الَّذِى يَأْخُذُ بِهِ اْلمـَاءَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَ غَسَلَ يَدَهُ اْليُمْنىَ ثَلاَثًا وَ يَدَهُ الشِّمَالَ ثَلاَثًا وَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اْليُمْنىَ ثَلاَثًا وَ رِجْلَهُ الشِّمَالَ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَعْلَمَ وُضُوْءَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَهُوَ هَذَا

            Dari Abdu Khair berkata, kami pernah mendatangi Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu dan sungguh-sungguh ia telah menunaikan sholat. Lalu ia menyuruh mengambilkan air untuk bersuci. Maka kami bertanya, “Apa yang hendak ia lakukan padahal ia telah sholat?”. Tiada yang diinginkannya melainkan untuk memberi pengajaran kepada kami. Lalu didatangkan kepadanya sebuah bejana yang di dalamnya terdapat air dan juga sebuah baskom. Maka ia menuangkan air kepada kedua tangannya lalu ia membasuhnya tiga kali dari telapak tangan yang mengambil air tersebut. Kemudian ia membasuh wajahnya tiga kali, membasuh tangannya yang kanan tiga kali dan juga tangannya yang kiri tiga kali serta mengusap kepalanya sekali. Kemudian ia membasuh kakinya yang kanan tiga kali dan kakinya yang kiri tiga kali, kemudian berkata, ”Barangsiapa yang ingin memngetahui wudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka inilah dia”. [HR an-Nasa’iy: I/ 68 dan Abu Dawud: 111. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [50]

و عن حمران مولى عثمان أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ رضي الله عنه دَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَ اسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

Dari Hamran maula (mantan budak)nya Utsman, ia mengkhabarkan bahwasanya Utsman bin Affan radliyallahu anhu menyuruh mengambil air wudlu. Kemudian ia berwudlu, lalu ia membasuh kedua tangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur dan istintsar lalu membasuh wajahnya tiga kali. [HR Muslim: 226, al-Bukhoriy: 159, 164, 1934, Abu Dawud: 106, an-Nasa’iy: I/ 64, 65, 80, Ahmad: I/ 59, 64, Ibnu Khuzaimah: 3 dan ad-Darimiy: I/ 176. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [51]

Setelah orang yang sedang berwudlu itu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar maka dilanjutkan dengan membasuh wajah sebanyak tiga kali. Ukuran atau batas wajah adalah tempat tumbuhnya rambut lalu turun sampai ke ujung dagu dan melebar di antara dua daun telinga. Batas wajah tersebut wajib dibasuh merata dengan air wudlu.

Membasuh wajah itu dengan cara menggosok-gosokkan telapak tangan yang berisi air pada wajah secara merata. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebahagian mereka yang hanya menyirami wajahnya saja atau menekan-nekannya sedikit karena khawatir merusak atau menghapus riasan pada wajah mereka dengan kosmetika. Padahal menggunakan alat-alat kosmetik dengan tujuan berhias atau tabarruj itu jelas-jelas telah dilarang oleh banyak dalil. [52]

 20). Menyela-nyela jenggot.

 Bagi yang memiliki jenggot lebat [53] disyariatkan untuk menyela-nyela jenggotnya pada saat membasuh wajahnya. Hal ini selain mengikuti sunnah dan perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, juga agar air itu masuk meresap ke dalam kulit wajah.

Adapun dalil-dalil contoh dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika menyela-nyela jenggotnya adalah sebagai berikut,

عن عمار بن ياسر قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ

Dari Ammar bin Yasir berkata, ”Aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyela-nyela jenggotnya”. [HR Ibnu Majah: 429 dan at-Turmudziy: 29. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [54]

Berkata al-Imam al-Mubarakfuriy rahimahullah, ”Hadits ini menunjukkan disyariatkannya menyela-nyela jenggot di dalam wudlu”.  [55]

عن عثمان أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَخَلَّلَ لِحْيَتَهُ

Dari Utsman bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu lalu menyela-nyela jenggotnya. [HR Ibnu Majah: 430 dan ad-Darimiy: I/ 178-179. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [56]

عن أبي أيوب الأنصاري قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَخَلَّلَ لِحْيَتَهُ

Dari Abu Ayyub al-Anshoriy radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu lalu menyela-nyela jenggotnya”. [HR Ibnu Majah: 433. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [57]

عن أنس –يعني ابن مالك-: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَ قَالَ هَكَذَا أَمَرَنيِ رَبيِّ عز و جل

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila berwudlu mengambil satu telapak tangan air lalu memasukkannya ke bawah dagunya lalu menyela-nyela jenggotnya dengannya dan Beliau bersabda, “Demikianlah Rabb Azza wa Jalla telah memerintahku”. [HR Abu Dawud: 145. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [58]

Yaitu pada waktu membasuh wajah, memasukkan jari jemari tangan ke dalam sela-sela jenggot lalu menggosok-gosoknya.

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Dua hadits tersebut (yaitu hadits dari Utsman dan Anas radliyallahu anhuma) menjadi dalil atas disyariatkannya menyela-nyela jenggot”.[59]

Berkata asy-Syafi’iy, Abu Hanifah dan para shahabat keduanya, ats-Tsauriy, al-Awza’iy, al-Laitsiy, Ahmad bin Hambal, Ishaq, Abu Tsaur, Dawud, ath-Thabariy dan kebanyakan ahli ilmu, ”Menyela-nyela jenggot wajib pada waktu mandi janabat dan tidak wajib pada waktu wudlu”. [60]

21). Membasuh kedua tangan.

Selanjutnya adalah membasuh kedua tangan sampai kedua siku. Dimulai dari sebelah kanan dan kemudian sebelah kiri. Masing-masing dibasuh dengan sekali basuhan sekali basuhan atau dua kali basuhan dua kali basuhan atau juga tiga kali basuhan tiga kali basuhan, tidak boleh lebih darinya.

قال الله سبحانه و تعالى ((فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى اْلمـَرَافِقِ))

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ((Maka basuhlah wajah dan tangan kalian sampai siku)).

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, ”((Dan tangan kalian sampai siku)) yaitu meliputi pembasuhan kedua pergelangan tangan, dua lengan hasta sampai ke pangkal lengan atas. Kedua sikupun masuk ke dalam perintah pembasuhan”.[61]

عن الحسن بن علي قَالَ: دَعَانيِ أَبيِ عَلِيٌّ بِوَضُوْءٍ فَقَرَّبْتُهُ لَهُ فَبَدَأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهُمَا فىِ وَضُوْئِهِ ثُمَّ مَضْمَضَ ثَلاَثًا وَ اسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اْليُمْنىَ إِلىَ اْلمِرْفَقِ ثَلاَثًا ُثمَّ اْليُسْرَى كَذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ مَسْحَةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اْليُمْنىَ إِلىَ اْلكَعْبَيْنِ ثَلاَثًا ثُمَّ اْليُسْرَى كَذَلِكَ ثُمَّ قَالَ قَائِمًا فَقَالَ: نَاوِلْنىِ فَنَاوَلْتُهُ اْلإِنَاءَ الَّذِى فِيْهِ فَضْلُ وُضُوْئِهِ فَشَرِبَ مِنْ فَضْلِ وُضُوْئِهِ قَائِمًا فَعَجِبْتُ فَلَمَّا رَآنىِ قَالَ: لاَ تَعْجَبْ فَإِنيِّ رَأَيْتُ أَبَاكَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَصْنَعُ مِثْلَ مَا رَأَيْتَنيِ صَنَعْتُ يَقُوْلُ لِوُضُوْئِهِ هَذَا وَ شَرِبَ فَضْلَ وُضُوْئِهِ قَائِمًا

            Dari al-Hasan bin Ali berkata, ayahku Ali (bin Abi Thalib) menyuruhku mengambilkan air wudlu. Maka aku membawakannya untuknya. Maka ia mulai (berwudlu), lalu membasuh kedua telapak tangannya tiga kali sebelum memasukkan keduannya ke dalam air wudlu. Kemudian berkumur-kumur tiga kali dan istintsar tiga kali lalu membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian membasuh tangannya yang kanan sampai kedua siku tiga kali lalu yang kiri seperti itu pula. Kemudian mengusap kepalanya sekali usap lalu membasuh kakinya yang kanan sampai dua mata kaki tiga kali dan yang kiri seperti itu juga. Kemudian ia berdiri seraya berkata, ”Raihkan kepadaku!”. Lalu aku meraih bejana itu yang di dalamnya terdapat sisa air wudlu. Lalu ia minum dari sisa air wudlunya sambil berdiri. Aku merasa heran. Maka ketika ia melihatku, ia berkata, ”Janganlah engkau merasa heran karena sesungguhnya aku pernah melihat kakekmu yaitu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukan seperti yang engkau melihatku melakukannya. Beliau berbuat [62] kepada air wudlunya seperti ini dan meminum sisa air wudlunya sambil berdiri”. [HR an-Nasa’iy: I/ 69-70. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [63]

Di dalam riwayat yang lain dari Amr bin Yahya al-Maziniy, menceritakan tentang Abdullah bin Zaid radliyallahu anhu yang memperagakan cara berwudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلىَ اْلمـِرْفَقَيْنِ

            Kemudian membasuh tangannya dua kali dua kali sampai kedua siku. [HR Abu Dawud: 118, an-Nasa’iy: I/ 70-71, 71, Ibnu Majah: 434 dan at-Turmudzy: 32. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [64]

Juga dari diriwayatkan oleh Abdu Khair, menceritakan tentang Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu yang sedang memperagakan cara berwudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

وَ غَسَلَ يَدَهُ اْليُمْنىَ ثَلاَثًا وَ يَدَهُ الشِّمَالَ ثَلاَثًا

            Dan membasuh tangannya yang kanan tiga kali dan juga tangannya yang kiri tiga kali [HR an-Nasa’iy: I/ 68 dan Abu Dawud: 111. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [65]

Dan juga apa yang diriwayatkan oleh Hamran maulanya Utsman, menceritakan tentang Utsman bin Affan radliyallahu anhu yang mencontohkan cara berwudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اْليُمْنىَ إِلىَ اْلمـِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اْليُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ

Lalu membasuh tangannya yang kanan  sampai siku tiga kali dan membasuh tangannya yang kiri seperti itu pula. [HR Muslim: 226, al-Bukhoriy: 159, 164, 1934, Abu Dawud: 106, an-Nasa’iy: I/ 64, 65, 80, Ahmad: I/ 59, 64, Ibnu Khuzaimah: 3 dan ad-Darimiy: I/ 176. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [66]

Abu Umamah radliyallahu anhu telah bercerita bahwasanya Amr bin Abasah as-Sulamiy radliyallahu anhu bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang cara berwudlu. Lalu Beliau menjawab, di antaranya adalah,

ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلىَ اْلمـِرْفَقَيْنِ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا يَدَيْهِ مِنْ أَنَامِلِهِ مَعَ اْلمـَاءِ

            Lalu membasuh kedua tangannya sampai kedua siku melainkan akan gugurlah dosa-dosa tanganya dari jari jemarinya bersama tetesan air. [HR Muslim: 283, an-Nasa’iy: I/ 91-92 dan Ahmad IV/ 112. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [67]

Demikian beberapa dalil hadits tentang cara berwudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang dipersaksikan oleh para shahabat radliyallahu anhum. Yakni di antaranya adalah menyela-nyela jari jemari dan membasuh kedua tangan sampai kedua sikunya. Mengedarkan air atau menyiramkan air dari siku bagian atas, ke lengan bawah lalu ke telapak dan jari jemari tangan dengan menggosok-gosoknya secara merata, tidak meninggalkan dari pembasuhan kedua tangan tersebut meskipun hanya sebesar uang dirham.

22). Disukai memanjangkan belang putih di dalam wudlu.

عن نعيم بن عبد الله المجمر قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ فَأَسْبَغَ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اْليُمْنىَ حَتىَّ أَشْرَعَ فىِ اْلعَضُدِ ثُمَّ يَدَهُ اْليُسْرَى حَتىَّ أَشْرَعَ فىِ اْلعَضُدِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اْليُمْنىَ حَتىَّ أَشْرَعَ فىِ السَّاقِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى حَتىَّ أَشْرَعَ فىِ السَّاقِ ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ وَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: أَنْتُمُ اْلغُرُّ اْلمـُحَجَّلُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مِنْ إِسْبَاغِ اْلوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ فَلْيُطِلْ غُرَّتَهُ وَ تَحْجِيْلَهُ

            Dari Nu’aim bin Abdullah al-Mujmir berkata, aku pernah melihat Abu Hurairah wudlu maka ia membasuh wajahnya lalu menyempurnakan wudlu. Kemudian ia membasuh tangan kanannya sehingga masuk ke lengan atas lalu tangan kirinya sehingga masuk ke lengan atas. Kemudian mengusap kepalanya lalu membasuh kaki kananya sehingga ke betis dan membasuh kaki kirinya sehingga masuk ke betis. Kemudian berkata, ”Demikian aku melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu”. Ia berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ”Kalian adalah orang-orang belang putih (kaki, tangan dan wajahnya) pada hari kiamat dari sebab menyempurnakan wudlu. Maka barangsiapa yang mampu di antara kalian, hendaklah ia memperpanjang belangnya”. [HR Muslim: 246 dan Abu Uwanah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [68]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, ”Ucapannya di dalam hadits, ”Maka barangsiapa yang mampu… merupakan mudraj [69]dari seseorang di antara perawinya bukan dari ucapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana telah disebutkan oleh banyak hafizh, sebagaimana telah dikatakan oleh al-Mundziriy di dalam at-Targhib. Dan hadits ini menurut mereka adalah riwayat Nu’aim bin al-Mujmir dari Abu Hurairah. Al-Imam Ahmad telah menerangkan di dalam riwayatnya (II/ 334, 523) bahwasanya hadits ini mudraj. Ia juga berkata di akhir hadits, berkata Nu’aim, ”Aku tidak tahu ucapan, ”(Barangsiapa yang mampu memanjangkan belangnya, hendaklah ia melakukanya)”, apakah ini dari ucapan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam atau dari ucapan Abu Hurairah?”. [70]

Berkata al-Hafizh rahimahullah, ”Aku tidaklah melihat kalimat ini di dalam riwayat salah seorang dari yang meriwayatkan hadits ini dari para shahabat dan mereka itu ada sepuluh (orang) dan tidak juga dari orang yang meriwayatkan dari Abu Hurairah kecuali riwayat Nu’aim ini”. [71]

Berkata syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, ”Lafazh ini tidak mungkin dari ucapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam karena belang putih tidak berada di tangan, tidak ada kecuali di wajah. Dan memanjangkannya tidak mungkin karena masuk ke dalam bahagian kepala, maka hal tersebut tidak dinamakan belang, demikian dikatakan didalam kitab i’lam al-Muwaqqi’in”. [72]

عن جابر بن عبد الله قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ اْلمـَاءَ عَلَى مِرْفَقَيْهِ

            Dari Jabir bin Abdullah berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila berwudlu mengedarkan air ke atas kedua sikunya”. [HR ad-Daruquthniy: 268 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [73]

Jadi ringkasnya bahwasanya disyariatkan membasuh kedua tangan sampai ke dua siku dimulai dari yang kanan kemudian yang kiri dengan cara mengedarkan air ke atas kedua sikunya. Kedua tangan itu meliputi ke dua telapak tangan, kedua hasta dan kedua siku bahagian atas atau kedua pangkal lengan atas.

23). Perintah menyela-nyela jari jemari tangan.

Sunnah nabi lain yang kurang diperhatikan oleh umat ini adalah menyela-nyela jari jemari ketika berwudlu. Banyak di antara mereka yang dijumpai dalam keadaan memanjangkan kukunya,[74] mengecatnya dengan sesuatu yang menutupi kukunya (kutek misalnya) dan sebagainya. Sehingga tetesan air wudlu tidak meresap dan mencapai tempat-tempat yang seharusnya terbasahi yaitu kuku dan bahagian sekitar tumbuhnya kuku. Apalagi jikalau mereka tidak menyela-nyela jari jemarinya tentu kesempurnaan wudlu itu amat jauh dari yang diharapkan.

Adapun bukti-bukti di dalam hadits tentang diperintahkannya untuk menyela-nyela jari jemari adalah sebagai berikut,

عن لقيط بن صبرة قَالَ: فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنيِ عَنِ اْلوُضُوْءِ! قَالَ: أَسْبِغِ اْلوُضُوْءَ وَ خَلِّلْ بَيْنَ اْلأَصَابِعِ وَ بَالِغْ فىِ اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

Dari Luqaith bin Shabrah radliyallahu anhu berkata, aku bertanya, “Wahai Rosulullah kabarkan kepadaku tentang wudlu!”. Beliau menjawab, “Sempurnakan wudlu, sela-selalah jari jemarimu dan bersungguh-sungguhlah di dalam istinsyaq kecuali jika kamu sedang shaum”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66, Abu Dawud: 142, Ibnu Majah: 407, Ibnu Khuzaimah: 150, 168, al-Hakim: 537 dan Ahmad: IV/ 33. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahiih]. [75]

عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: إِذَا تَوَضَّأْتَ فَخَلِّلِ اْلأَصَابِعَ

Dari Luqaith bin Shabrah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila engkau wudlu maka sela-selalah jari-jemari”. [HR at-Turmudziy: 38, Ibnu Majah: 448 dan ad-Darimiy: I/ 179. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih].[76]

عن ابن عباس أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا تَوَضَّأْتَ فَخَلِّلْ بَيْنَ أَصَابِعِ يَدَيْكَ وَ رِجْلَيْكَ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau wudlu maka sela-selalah jari jemari kedua tangan dan kakimu”. [HR at-Turmudziy: 39, Ibnu Majah: 447 dan Ahmad: I/ 287. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [77]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Hadits-hadits ini menunjukkan atas disyariatkannya menyela-nyela jari jemari kedua tangan dan kedua kaki”. [78]

عنه يَقُوْلُ: سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم عَنْ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الصَّلاَةِ  فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: خَلِّلْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ وَ رِجْلَيْكَ يَعْنىِ إِسْبَاغَ اْلوُضُوْءِ وَ كَانَ فِيْمَا قَالَ لَهُ: إِذَا رَكَعْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ حَتىَّ تَطْمَئِنَّ وَ إِذَا سَجَدْتَ فَأَمْكِنْ جَبْهَتَكَ مِنَ اْلأَرْضِ حَتىَّ تَجِدَ حَجْمَ اْلأَرْضِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, pernah seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang sesuatu dari perkara sholat”. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ”Sela-selalah jari jemari kedua tangan dan kakimu yaitu menyempurnakan wudlu”. Juga termasuk yang disabdakan kepadanya, ”Apabila engkau ruku maka letakkan kedua telapak tanganmu di atas kedua lututmu sehingga engkau tenang dan apabila engkau sujud maka mantapkan dahimu di tanah sehingga engkau dapatkan ratanya tanah”. [HR Ahmad: I/ 287. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [79]

 Demikian beberapa dalil yang memerintahkan kaum kaum muslimin untuk menyela jari jemari tangan dan kaki. Tidak hanya membasuh apalagi hanya sekedar mengusapnya tanpa menyela-nyela jari jemari keduanya. Hendaklah setiap mereka itu memperhatikan perintah ini dan tidak meremehkannya. Agar tujuan mereka dengan wudlu dan sholat itu untuk mendapatkan pahala dan surga itu dapat terwujud, tiada sia-sia.

Bersambung


[1]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 1, Mukhtashor Shahih Muslim: 1080, Shahiih Sunan Abi Dawud: 1927, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1344, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 73, Shahih Sunan Ibni Majah: 3405, Irwa’ al-Ghalil: 22, Misykah al-Mashobih: 1 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 8.

[2] Bahjah an-Nazhirin: I/ 32.

[3] Iqtidlo’ ash-Shiroth al-Mustaqim, oleh syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah halaman 451-452, Majmu’ Fatawa: I/ 333, Madarij as-Salikin: II/ 93 dan al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 36.

[4]  Fat-h al-Bariy: I/ 135.

[5] Jami’ al-Ulu wa al-Hikam: I/ 32.

[6]  Jami’ al-Ulum wa al-Hikam: I/ 26.

[7] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam: I/ 49.

[8]  Taysir al-Allam: I/ 25.

[9] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam: I/ 49 dan Tazkiyah an-Nufuus halaman 20..

[10] Zad al-Ma’ad: I/ 196.

[11]Shahih Sunan Abi Dawud: 92, Shahih Sunan Ibni Majah: 320, 319, Irwa’ al-Ghalil: 81, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7514, Misykah al-Mashobih: 404, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 198, Nail al-Awthar bi takhrij Ahadits Kitab al-Adzkar: 75 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 337.

[12]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 76.

[13]  Zad al-Ma’ad: I/ 195 oleh al-Allamah Ibnu Qooyyim al-Jauziyyah.

[14]  Bahjah an-Nazhirin: II/ 250 dan baca juga kitab al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 343.

[15]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 23, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1, Shahih Sunan Abi Dawud: 103, 105, Shahih Sunan Ibni Majah: 314, Irwa’ al-Ghalil: 164, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 322 dan Misykah al-Mashobih: 391.

[16]  Shahih Sunan Ibni Majah: 315 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 331.

[17]  Shahih Sunan Ibni Majah: 317.

[18]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 81.

[19] Mukhtashor Shahih Muslim: 130, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 105, Shahih Sunan Abi Dawud: 97, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 82, 83, 112, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6175, 6176 dan Misykah al-Mashobih: 287.

[20] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 119, Mukhtashor Shahih Muslim: 125 dan Misykah al-Mashobih: 394.

[21]  Fat-h al-Bariy: I/ 266 dan Tuhfah al-Ahwadziy: I/ 106.

[22]  Tuhfah al-Ahwadziy: I/ 106 dan Taysir al-Allam: I/ 29.

[23]  Fat-h al-Bariy: I/ 262, Tuhfah al-Ahwadziy: I/ 107, Taysir al-Allam: I/ 28 dan catatan kaki di dalam Misykah al-Mashobih: I/ 111.

[24]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2724, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1756 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 182.

[25] Shahih Sunan An-Nasa’iy: 143, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5804, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 181 dan Misykah al-Mashobih: 1042.

[26] Mukhtashor Shahih Muslim: 130, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 105, Shahih Sunan Abi Dawud: 97, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 82, 83, 112, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6175, 6176 dan Misykah al-Mashobih: 287.

[27] Misykah al-Mashobih: 411.

[28] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 89.

[29] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 84, Shahih Sunan Abi Dawud: 127, Mukhtashor Shahih al-Imam al Bukhoriy: 107 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 443.

[30] Taysir al-Allam: I/ 30.

[31] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 85, Shahih Sunan Abi Dawud: 129, Shahih Sunan Ibni Majah: 328, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 927 dan Misykah al-Mashobih: 405.

[32]  Bahjah an-Nazhirin: II/ 380.

[33] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 88, Mukhtashor Shahih Muslim: 127, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 330 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3961.

[34] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 86, Shahih Sunan Ibni Majah: 330, Mukhtashor Shahih al Imam al-Bukhoriy: 106, Shahih al-Jami’ ash-Shagir: 6171 dan Misykah al-Mashobih: 341.

[35] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 87, Shahih Sunan Ibni Majah: 327, Shahih Sunan at-Turmudziy: 25, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah:1305 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 451.

[36] Shahih Sunan Abi Dawud:128, Shahih Sunan Ibni Majah: 329 dan Shahih al- Jami’ ash-Shaghir: 956.

[37]  Nail al-Awthar: I/ 186.

[38] Shahih Sunan Ibni Majah: 324.

[39] Shahih Sunan Ibni Majah: 325.

[40] Shahih Sunan Ibni Majah: 326, Shahih Sunan at-Turmudziy: 26 dan Misykah al-Mashobih: 412.

[41]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 119, Mukhtashor Shahih Muslim: 125 dan Misykah al-Mashobih: 394.

[42] Shahih Muslim bi Syarh al-Imam an-Nawawiy: III/ 122.

[43]  Catatan kaki dari Misykah al-Mashobih: I/ 126.

[44] Misykah al-Mashobih: 411.

[45] Mukhtashor Shahih Muslim: 130, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 105, Shahih Sunan Abi Dawud: 97, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 82, 83, 112, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6175, 6176 dan Misykah al-Mashobih: 287.

[46]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 89.

[47]  Nail al-Awthar: I/ 182.

[48] Aysar at-Tafasir: I/ 597.

[49] Tafsir al-Baghowiy:  II/ 15 dan juga semakna apa yang diterangkan oleh asy-Saikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy di dalam Aysar at-Tafasir:  I/ 598 dan yang dikatakan oleh al-Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim: II/ 31.

[50] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 91 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 102.

[51] Mukhtashor Shahih Muslim: 130, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 105, Shahih Sunan Abi Dawud: 97, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 82, 83, 112, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6175, 6176 dan Misykah al-Mashobih: 287.

[52] Baca kitab “Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitab wa as-Sunnah” oleh asy-Syaikh al-Albaniy cetakan Daar as-Salaam.

[53] Memanjangkan Jenggot diwajibkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam banyak dalil. Lihat kitab: Wujub i’faa al-Lihyah oleh al-Imam Muhammad Zakaria al-Kandahlawiy.

[54]  Shahih Sunan Ibni Majah: 344, Shahih Sunan at-Tumudziy: 27 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:4699.

[55] Tuhfah al-Ahwadziy: I/ 115.

[56] Shahih Sunan Ibni Majah: 345 dan Misykah al-Mashobih: 409.

[57]  Shahih Sunan Ibni Majah: 347.

[58]  Shahih Sunan Abi Dawud: 132, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4696, Irwa’ al-Ghalil: 92 dan Misykah al-Mashobih: 408.

[59]  Nail al-Awthar: I/ 190.

[60] Aun al-Ma’bud: I/ 171 dan Nail al-Awthar: I/ 190.

[61] Aysar at-Tafasir: I/ 598.

[62] Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, يقول di sini bermakna يفعل  (berbuat) dan hal ini banyak terdapat di dalam percakapan Arab. [Shahih Sunan an-Nasa’iy: 122 ].

[63] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 93.

[64]Shahih Sunan Abi Dawud: 109 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 95, 97.

[65]Shahih Sunan an-Nasa’iy: 91 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 102.

[66] Mukhtashor Shahih Muslim: 130, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 105, Shahih Sunan Abi Dawud: 97, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 82, 83, 112, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6175, 6176 dan Misykah al-Mashobih: 287.

[67]Shahih Sunan an-Nasa’iy: 143, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5804, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 181 dan Misykah al-Mashobih: 1042.

[68]  Mukhtashor Shahih Muslim: 128, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1489 dan Irwa’ al-Ghalil: 94.

[69] Idraj artinya sisipan, maksudnya sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang di dalamnya disisipkan perkataan salah seorang rawi, di dalam hadits ini adalah Abu Hurairah radliyallahu anhu .

[70]  Tamam al-Minnah halaman 92.

[71] Fat-h al-Bariy: I/ 236 dan Tamam al-Minnah halaman 92..

[72]  Tamam al-Minnah halaman 92 dan Irwa’ al-Ghalil: I/ 133.

[73]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4698 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2067.

[74] Padahal memotong kuku itu diwajibkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana di dalam beberapa dalil hadits. Di antaranya adalah, ”Fitrah (atau sunah) itu ada lima yaitu, Khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan menggunting kumis”. [HR al-Bukhoriy: 5889, 5891, 6297, dan di dalam al-Adab al-Mufrad: 1292,  Muslim: 257, Abu Dawud: 4198,  at-Turmudziy: 2756, an-Nasa’iy: I/ 14, 15, VII/ 128-129, 129, Ibnu Majah: 292, Ahmad: II/ 229, 239, 283, 410, 489 dari Abu Hurairah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih sebagaimana di dalam Shahih al-Adab al-Mufrad: 975, Shahih Sunan Abi Dawud: 3536, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2213, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 9, 10, 11, 4670, 4671, Shahih Sunan Ibni Majah: 237, Irwa’ al-Ghaliil: 73 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3250].

Bahkan Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, ”Kami diberi waktu di dalam menggunting kumis, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku tidak boleh lebih dari 40 hari”. [Telah mengeluarkan atsar ini Ibnu Majah: 295, an-Nasa’iy: I/ 15-16, Abu Dawud: 4200 dan asy-Syaikh al-Albaniy menshahihkannya di dalam Shahih Sunan Ibni Majah: 240, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 14 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 3538].

[75] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 85, Shahih Sunan Abi Dawud: 129, Shahih Sunan Ibni Majah: 328, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 927 dan Misykah al-Mashobih: 405.

[76] Shahih Sunan at-Turmudziy: 35 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 362.

[77] Shahih Sunan at-Turmudziy: 36, Shahih Sunan Ibni Majah: 361, Silsilah al-Ahadits ash-Shahiiah: 1306 dan Misykah al-Mashobih: 406.

[78]  Nail al-Awthar: I/ 195.

[79] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3239 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1349.

AYO BERWUDLU SESUAI DENGAN CONTOH NABI Shallallahu alaihi wa sallam (1) !!!

SIFAT WUDLU NABI Shallallahu alaihi wa sallam (1)

بسم الله الرحمن الرحيمair thaharah

Sebagaimana telah diketahui bahwasanya ibadah itu hanya ditujukan untuk mencari keridloan Allah ta’ala saja, sedangkan caranya adalah dengan mengikuti dan menteladani Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Maka di dalam wudlupun Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengisyaratkan untuk mengikuti tata cara Beliau di dalam melaksanakannya. Sebagaimana Beliau telah bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحْدِثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berwudlu seperti wudluku ini lalu berdiri sholat dalam keadaan tiada percakapan di dalam dirinya maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. [HR Muslim: 226, al-Bukhoriy: 159, 164, 1934, Abu Dawud: 106, an-Nasa’iy: I/ 64, 65, 80, Ahmad: I/ 59, 64, Ibnu Khuzaimah: 3 dan ad-Darimiy: I/ 176. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

Oleh sebab itu, di dalam pembahasan ini akan dipaparkan dengan singkat akan tata cara atau kaifiyat berwudlu yang pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum ajma’in dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

1). Perintah Menyempurnakan Wudlu

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak hanya sebatas memerintahkan wudlu kepada umatnya tetapi juga menyuruh mereka agar menyempurnakannya. Karena sebagaimana telah diketahui bahwasanya salah satu syarat dari sahnya sholat adalah berwudlu. Maka sebelum mereka menyempurnakan sholat hendaklah mereka menyempurnakan wudlu terlebih dahulu. Lalu jika ada seseorang dari kaum muslimin yang mengabaikan kesempurnaan wudlu, misalnya meninggalkan sedikit anggota wudlu, kering tidak terbasuh air maka tidak ada sholat baginya dan terancamlah dirinya dari api neraka. Dan ia mesti memperbaharui wudlu dan mengulangi sholatnya. Hal tersebut sebagaimana dalil-dalil berikut ini,

عن عبد الله بن عمرو قَالَ: رَجَعْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ مَكَّةَ إِلىَ اْلمـَدِيْنَةِ حَتىَّ إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيْقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ اْلعَصْرِ فَتَوَضَّؤُوْا وَ هُمْ عِجَالٌ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِمْ وَ أَعْقَاُبهُمْ تَلُوْحُ لَهُمْ لَمْ يَمَسَّهَا اْلمَاءُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ أَسْبِغُوْا اْلوُضُوْءَ

Dari Abdullah bin Amr radliyallahu anhuma berkata, kami pernah kembali bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah sehingga apabila kami menjumpai air di jalan, sekelompok orang bersegera untuk sholat ashar lalu mereka berwudlu dalam keadaan tergesa-gesa. Lalu kami sampai kepada mereka sedangkan kaki mereka tampak jelas (masih kering) tidak tersentuh air (wudlu). Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka. Sempurnakanlah wudlu!”. [HR Muslim: 241, Abu Dawud: 97, an-Nasa’iy: I/ 78, Ahmad: II/ 164, 193, 201, Ibnu Khuzaimah: 161 dan ad-Darimiy: I/ 179, dan meriwayatkan pula al-Bukhoriy: 165 secara mauquf dari Abu Hurairah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

عن ابن عباس قَالَ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم بِإِسْبَاغِ اْلوُضُوْءِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untuk menyempurnakan wudlu”. [HR Ibnu Majah: 426 dan ad-Darimiy: I/ 178. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

عن رفاعة بن رافع أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: إِنَّهَا لاَ تَتِمُّ صَلاَةٌ لِأَحَدٍ حَتىَّ يُسْبِغَ اْلوُضُوْءَ كَمَا أَمَرَهُ اللهُ تعالى يَغْسِلُ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ إِلىَ اْلمـِرْفَقَيْنِ وَ يَمْسَحُ بِرَأْسِهِ وَ رِجْلَيْهِ إِلىَ اْلكَعْبَيْنِ

Dari Rifa’ah bin Rafi’ radliyallahu anhu bahwasanya ia pernah duduk di sisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu Beliau bersabda, “Sesungguhnya tidaklah sempurna sholat seseorang sehingga ia menyempurnakan wudlu sebagaimana diperintahkan Allah ta’ala yaitu membasuh wajah dan kedua tangannya sampai kedua siku, mengusap kepalanya dan (membasuh) kedua kakinya sampai kedua mata kaki”. [HR Ibnu Majah: 460, an-Nasa’iy: II/ 226, Abu Dawud: 858 dan ad-Darimiy: I/ 305. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [4]

عن جابر قَالَ: أَخْبَرَنيِ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوْءَكَ فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى

Dari Jabir radliyallahu anhu berkata, Umar bin al-Khththab radliyallahu anhu pernah mengkhabarkan kepadaku bahwasanya ada seorang lelaki yang berwudlu lalu ia meninggalkan sebesar kuku [5] pada kakinya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melihatnya lalu bersabda, “Kembalilah lalu perbaiki wudlumu lalu iapun kembali kemudian sholat”. [HR Muslim: 243. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

عن أنس بن مالك أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ قَدْ تَوَضَّأَ وَ تَرَكَ عَلَى قَدَمَيْهِ مِثْلَ مَوْضِعِ الظُّفُرِ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوْءَكَ

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya ada seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang lelaki tersebut telah berwudlu namun meninggalkan pada kakinya sebesar kuku. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ”kembalilah dan perbaiki wudlumu!”. [HR Abu Dawud: 173 dan Ibnu Khuzaimah: 164. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

عن بعض أصحاب النبي أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم رَأَى رَجُلاً يُصَلِّي وَ فىِ ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةً قَدْرَ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا اْلمـَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم أَنْ يُعِيْدَ اْلوُضُوْءَ وَ الصَّلاَةَ

Dari sebahagian shahabat Nabi bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki sholat namun pada punggung kakinya ada kilatan sebesar mata uang dirham yang tidak tersentuh air (wudlu). Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengulangi wudlu dan sholat. [HR Abu Dawud: 175. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Dalil-dalil hadits di atas dengan jelas menerangkan akan perintah menyempurnakan wudlu dan tidak boleh meremehkannya. Sebab jika ada dari anggota-anggota wudlu yang tidak terkena air wudlu maka wudlunya tidak sah. Lalu jika ia sholat dalam keadaan seperti itu maka sholatnyapun tidak akan diterima. Oleh sebab itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah memerintahkan seseorang dari umatnya untuk mengulangi wudlu dan sholatnya lantaran ada bagian anggota wudlunya yakni bagian punggung kakinya yang tidak tersentuh air wudlu.

Maka apa yang dilakukan oleh sebahagian muslimin pada masa sekarang ini jelas keliru dan tidak sesuai dalil. Yakni ada sebahagian dari mereka yang hanya meletakkan kakinya yang kanan ataupun yang kiri di bawah kucuran air keran atau pancuran lalu menggoyang-goyangkannya sedikit ke arah kanan dan kiri, tanpa menggosok-gosokkan ataupun menyela-nyela jari jemari kakinya dengan tangan. Atau ketika membasuh tangan yang ada jam tangan, gelang perhiasan atau cincin sebahagian mereka hanya membasahinya saja tidak menggosok-gosokkan atau memutar-mutar benda-benda tersebut agar air wudlu bisa masuk meresap membasahi kulit tangan yang wajib terkena air wudlu. Atau ada juga yang kuku tangannya dicat dengan menggunakan cat yang tidak dapat meresap membasahi kuku jari jemari tangan atau kakinya. Dan bahkan ada yang kuku jari jemari tangannya yang panjang, sehingga air tidak dapat masuk meresap ke dalam celah-celah kuku jarinya. Atau juga ketika membasuh wajah yang telah dirias dengan alat kosmetik/ make up (yakni berupa lipstick, bedak, eye shadow dan selainnya) sebahagian mereka hanya mengusap atau menekan wajahnya sedikit sebab khawatir riasannya akan menjadi rusak atau terhapus, dan lain sebagainya. Maka semua perilaku di dalam wudlu tersebut jelas merupakan kekeliruan dan kesalahan yang tidak semestinya terjadi. Tidak sempurnalah wudlunya dan dengan itu pula tidak sah sholatnya, jika demikian maka api neraka akan menyentuhnya pada hari kiamat kelak sebagai balasan atas kelalaiannya di dalam melaksanakan kewajibannya di dalam berwudlu.

2). Wudlu itu sekali sekali (basuhan)

Ketika berwudlu, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mempraktekkan lalu mencontohkan untuk umatnya beberapa jenis jumlah pembasuhan dari anggota-anggota wudlu. Dan semuanya itu patut kita tiru sebagai bukti rasa cinta dan patuh kepadanya. Jumlah basuhan yang pernah dilakukan oleh beliau adalah sekali waktu, sekali sekali basuhan, di waktu yang lain dua kali dua kali basuhan dan adakalanya tiga kali tiga kali basuhan. [9] Dan tidak pernah melebihinya jika ada yang lebih dari itu maka ia telah berbuat melampaui batas. Hal ini sebagaimana di dalam dalil-dalil pada bab-bab berikut inI,

عن ابن عباس قَالَ: تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم مَرَّةً مَرَّةً

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu sekali sekali”. [HR al-Bukhoriy: 157, Abu Dawud: 138, at-Turmudziy: 42, an-Nasa’iy: I/ 62, Ibnu Majah: 411, Ahmad: II/ 38, 39, al-Hakim: 536 dan Ibnu Khuzaimah: 171. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

عن عمر قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ غَزْوَةِ تَبُوْكَ تَوَضَّأَ وَاحِدَةً وَاحِدَةً

Dari Umar radliyallahu anhu berkata, ”aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam perang Tabuk berwudlu sekali sekali”. [HR Ibnu Majah: 412. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Hasan]. [11]

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan wudlu dengan sekali basuhan sekali basuhah. Setiap anggota wudlu beliau basuh dengan sekali basuhan yang sebelah kanan lalu yang sebelah kiripun seperti itu.

3). Wudlu itu dua kali dua kali

عن عبد الله بن زيد رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

Dari Abdullah bin Zaid radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu dua kali dua kali. [HR al-Bukhoriy: 158, Ahmad: IV/ 41 dan Ibnu Khuzaimah: 170. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [12]

عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu dua kali dua kali. [HR at-Turmudziy: 43, Abu Dawud: 124 dan al-Hakim: 548. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [13]

Hadits di atas yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid dan Abu Hurairah radliyallahu anhuma memberikan gambaran lain dari jumlah basuhan yang pernah diamalkan dan diteladankan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk kaum muslimin, yakni dua kali basuhan dua kali basuhan. Yakni beliau membasuh setiap anggota wudlunya dua kali yang sebelah kanan dan demikian pula yang sebelah kiri, kecuali pengusapan kepala dan telinga yakni sekali usap, sebagaimana telah disepakati oleh beberapa dalil hadits dan juga oleh mayoritas kaum muslimin.

4). Wudlu itu tiga kali tiga kali

عن أبي أنس أَنَّ عُثْمَانَ تَوَضَّأَ بِاْلمـَقَاعِدِ فَقَالَ: أَلاَ أُرِيْكُمْ وُضُوْءَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم ؟ ثُمَّ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا

Dari Abu Anas bahwasanya Utsman (bin Affan) radliyallahu anhu berwudlu di almaqo’id [14] lalu berkata, “Maukah kuperlihatkan kepada kalian wudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ?. Kemudian ia berwudlu tiga kali tiga kali”.  [HR Muslim: 230 dan Ahmad: I/ 68. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

عن شقيق بن سلمة قَالَ: رَأَيْتُ عُثْمَانَ وَ عَلِيًّا يَتَوَضَّآنِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا وَ يَقُوْلاَنِ: هَكَذَا كَانَ وُضُوْءُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم

Dari Syaqiq bin Salamah berkata, aku pernah melihat Utsman (bin Affan) dan Ali radliyallahu anhuma berwudlu tiga kali tiga kali dan berkata, ”Demikianlah cara berwudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR Ibnu Majah: 413. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]

عن أبي حية قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا رضي الله عنه تَوَضَّأَ فَذَكَرَ وُضُوْءَهُ كُلَّهُ ثَلاَثًا ثَلاَثًا قَالَ: ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلىَ اْلكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَالَ: إِنمَّاَ أَحْبَبْتُ أَنْ أُرِيَكُمْ طُهُوْرَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم

Dari Abu Hayyah berkata, aku pernah melihat Ali radliyallahu anhu berwudlu maka ia menceritakan wudlunya seluruhnya tiga kali tiga kali kemudian mengusap kepalanya lalu membasuh kedua kakinya sampai kedua mata kaki kemudian berkata, “Aku ingin memperlihatkan kepada kalian cara berwudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR Abu Dawud: 116. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

عن عائشة و أبي هريرة أَنَّ النَّبِيَّ  صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا

Dari Aisyah radliyallahu anha dan Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu tiga kali tiga kali. [HR Ibnu Majah: 415. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

عن عبد الله بن أبى أوفى قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا وَ مَسَحَ رَأْسَهُ مَرَّةً

Dari Abdullah bin Abu Awfa radliyallahu anhu berkata, aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu tiga kali tiga kali dan mengusap kepalanya sekali”. [HR Ibnu Majah: 416. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

عن أبي مالك الأشعري قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ ثَلاَثًا ثَلاَثًا

Dari Abu Malik al-Asy’ariy radliyallahu anhu berkata, “Pernah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu tiga kali tiga kali”. [HR Ibnu Majah: 417. Berkata asy- Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

عن الربيع بنت معوذ بن عفراء أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأ َثَلاَثًا ثَلاَثًا

Dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Afra’ radliyallahu anha bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu tiga kali tiga kali. [HR Ibnu Majah: 418 dan Abu Dawud: 126. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [21]

 عن المطلب بن عبد الله بن حنطب أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا يُسْنِدُ ذَلِكَ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم

Dari al-Muththolib bin Abdullah bin Hanthob bahwasanya Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma berwudlu tiga kali tiga kali yang ia menyandarkannya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. [HR an-Nasa’iy: I/ 62-63 dadn Ibnu Majah: 414. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]

Demikian pula beberapa hadits shahih di atas, dengan jelas menggambarkan tentang jumlah basuhan yang telah di peragakan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yakni tiga kali basuhan tiga kali basuhan. Yakni membasuh anggota-anggota wudlu tiga kali basuhan yang sebelah kanan lalu yang sebelah kiri sebanyak itu pula, kecuali bagian kepala dan telinga yang diperagakan hanya dengan sekali usapan, hal itu dilakukan secara tertib. Beliau memperagakan tata cara dan jumlah basuhan dalam wudlu tersebut untuk diamalkan oleh setiap muslim.

Maka dengan beberapa jenis jumlah basuhan di atas, maka sudah semestinya setiap muslim untuk berusaha mengerjakan semuanya dalam rangka menteladani dan mentaati Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, panutan dan teladannya. Sekali waktu dengan mempraktekkan yang sekali basuhan, di waktu yang lain mengamalkan yang dua kali basuhan dan di waktu yang lainnya lagi mengerjakan yang tiga kali basuhan. Tidak boleh lebih dari tiga kali basuhan, sebab jika ia berbuat seperti itu maka ia telah berbuat melampaui batas di dalam berwudlu.

عن أبي رافع قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا وَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ وَ مَرَّةً مَرَّةً

Dari Abu Rafi’ radliyallahu anhu berkata, ”Aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu tiga kali tiga kali, dua kali dua kali dan sekali sekali”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Kabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [23]

5). Berwudlu sebahagian wudlunya dua kali dan sebahagian lainnya tiga kali

 Namun beberapa jenis jumlah basuhan yang telah diungkapkan oleh dalil-dalil di atas tidaklah baku, sebab di dalam dalil-dalil hadits berikut ini Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memperagakan jenis basuhan yang lainnya. Yakni di dalam satu waktu, Beliau pernah wudlu dengan jumlah basuhan yang bervariasi, misalnya membasuh wajah tiga kali basuhan, kedua tangan dengan dua kali basuhan, kepala dengan sekali usapan dan membasuh kaki dengan dua kali basuhan, atau juga ada beberapa contoh yang lainnya. Maka tidaklah Allah Subhanahu wa ta’ala mengutus Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam kepada umat ini melainkan untuk ditaati dan diteladani.

عن عبد الله بن زيد أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهَ ثَلاَثًا وَ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ وَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ غَسَلَ رِجْلَيْهِ مَرَّتَيْنِ

Dari Abdullah bin Zaid radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wudlu lalu membasuh mukanya tiga kali, membasuh kedua tangannya dua kali dua kali, mengusap kepalanya dan membasuh kedua kakinya dua kali. [HR at-Turmudziy: 47 dan Ibnu Khuzaimah 172. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[24]

عن عمرو بن يحيى المازني عن أبيه أَنَّهُ قَالَ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ -وَ هُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيىَ اْلمـَازِنِيِّ-: هَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تُرِيَنىِ كَيْفَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ زَيْدٍ: نَعَمْ فَدَعَا بِوَضُوْءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلىَ اْلمـِرْفَقَيْنِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَ أَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلىَ قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّ هُمَا حَتىَّ رَجَعَ إِلىَ اْلمـَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

Dari Amr bin Yahya al-Maziniy dari ayahnya bahwasanya ia berkata kepada Abdullah bin Zaid bin Ashim -dan dia adalah kakeknya Amr bin Yahya al-Maziniy-, “apakah engkau dapat memperlihatkan kepadaku bagaimana caranya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu?”. Abdullah bin Zaid berkata, “Ya”. Maka ia menyuruh mengambilkan air wudlu lalu menuangkan air ke kedua tangannya serta membasuh kedua tangannya kemudian berkumur-kumur dan istintsar. Lalu membasuh wajahnya tiga kali kemudian membasuh tangannya dua kali dua kali  sampai kedua siku. Lalu mengusap kepalanya dengan kedua tangannya ke depan dan ke belakang mulai dari depan kepalanya kemudian menggerakkannya sampai ke tengkuknya, lalu mengembalikannya ke tempat semula. Kemudian membasuh kedua kakinya. [HR Abu Dawud: 118, an-Nasa’iy: I/ 70-71, 71 dan Ibnu Khuzaimah: 173. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

عن الربيع بنت معوذ بن عفراء قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَأْتِيْنَا فَحَدَّثَتْنَا أَنَّهُ قَالَ: اسْكُبىِ لىِ وَضُوْءًا فَذَكَرَتْ وُضُوْءَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ فِيْهِ: فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا وَ وَضَّأَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَ مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ مَرَّةً وَ وَضَّأَ يَدَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا وَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّتَيْنِ  يَبْدَأُ بِمُؤَخَّرِ رَأْسِهِ ثُمَّ بِمُقَدَّمِهِ وَ بِأُذُنَيْهِ كِلْتَيْهِمَا ظُهُوْرِهُمَا وَ بُطُوْنِهِمَا وَ وَضَّأَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا

Dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Afra’ radliyallahu anhuma berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah datang kepada kami. Lalu ia menceritakan kepada kami bahwasanya Beliau bersabda, ”Tuangkan air wudlu untukku!”. Lalu ia menceritakan wudlunya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata di dalamnya, ”Lalu Beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, berkumur-kumur dan istinsyaq sekali, membasuh kedua tangannya tiga kali tiga kali, mengusap kepalanya dua kali yang dimulai dari bagian belakang kepalanya lalu bagian depannya dan kedua telinganya kedua-duanya bagian luar dan dalam, dan membasuh kedua kakinya tiga kali tiga kali”. [HR Abu Dawud: 126. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan ]. [26]

6. Melampaui batas di dalam wudlu

Penetapan jumlah basuhan air wudlu yang dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang telah lalu, berlaku untuk semua umat Islam di belahan bumi manapun, di waktu kapanpun dan dalam kondisi apapun. Yakni tidak boleh lebih dari tiga basuhan kendatipun kaum muslimin itu tinggal di belahan bumi yang sangat melimpah airnya, jernih laksana kaca dan bersih tiada noda. Sebab demikianlah yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bagi umatnya, tiada pengecualian bagi kaum tertentu lantaran kondisi yang berbeda. Bahkan sebaliknya, jika ada di antara kaum muslimin yang tiada memiliki air untuk berwudlu dan mandi, beliau telah memberi keringanan atau rukhshoh untuk bertayammum dengan menggunakan debu.

Air yang dipergunakan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga tidak seperti yang dipergunakan oleh kaum muslimin lainnya yakni sekitar satu mudd untuk berwudlu dan satu sha’ untuk mandi. Sedangkan satu mudd itu sekitar satu cidukan dua tangan orang dewasa yang dibentangkan yakni sekitar delapan ons. Sedangkan satu sha’ itu seukuran dengan empat mudd jadi sekitar tiga puluh dua ons, Sebagaimana akan datang penghitungannya.

Dengan jumlah air yang minim tersebut, terlintas di dalam pikiran seseorang; apakah dengan air seperti akan mencukupi. Hal tersebut telah dijawab oleh Aqil bin Abi Thalib radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang rambutnya indah dan lebat saja dapat melakukannya, apalagi selainnya.

Namun jika seorang muslim berwudlu atau mandi dari air yang mengalir seperti air sungai atau kucuran air yang mengalir dari gunung yang memang tidak pernah disumbat, dan semisalnya maka hal tersebut bukan termasuk berlebih-lebihan di dalam menggunakan air.

Tapi apa yang dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini yakni berbicara di saat berwudlu dengan membiarkan air keran mengalir deras dalam waktu yang cukup lama adalah suatu kekeliruan yang mesti dihindari. Sebab selain hal ini merupakan pemborosan di dalam menggunakan air juga karena telah menyalahi sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang tidak berlebihan di dalam pemakaiannya. Wallahu a’lam.

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَسَأَلَهُ عَنِ اْلوُضُوْءِ فَأَرَاهُ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ: هَذَا اْلوُضُوْءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ أَوْ تَعَدَّى أَوْ ظَلَمَ

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata, pernah datang seorang arab Baduwi kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu bertanya kepadanya tentang wudlu. Lalu Beliau memperlihatkan kepadanya tiga kali tiga kali kemudian bersabda, “Inilah wudlu, barangsiapa yang menambah-nambah atas ini maka ia telah keliru atau melampaui batas atau bertindak aniaya”. [HR Ibnu Majah: 422, an-Nasa’iy: I/ 88, Abu Dawud: 135 dan Ibnu Khuzaimah: 174. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih ]. [27]

عن أبي نعامة أن عبد الله بن مغفل سَمِعَ ابْنَهُ يَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ إِنىِّ أَسْأَلُكَ اْلقَصْرَ اْلأَبْيَضَ عَنْ يَمِيْنِ اْلجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ سَلِ اللهَ اْلجَنَّةَ وَ تَعَوَّذْ بِهِ مِنَ النَّارِ فَإِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّهُ سَيَكُوْنُ فىِ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فىِ الطَّهُوْرِ وَ الدُّعَاءِ

Dari Abu Nu’amah bahwasanya Abdullah bin Mughaffal pernah mendengar anaknya berdoa, “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu istana putih yang berada di sebelah kanan surga apabila aku memasukinya”. Ia (yaitu Abdullah bin Mughaffal) berkata, “Wahai anakku mintalah surga kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari neraka karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya akan ada suatu kaum pada umat ini yang melampaui batas didalam bersuci dan berdoa”. [HR Abu Dawud: 96 dan al-Hakim: 596. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [28]

عن سفينة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ يَتَوَضَّأُ بِاْلمـُدِّ وَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ

Dari Safinah radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wudlu dengan satu mudd dan mandi dengan satu sha’. [HR at-Turmudziy: 56 dan Ibnu Majah: 267. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]

عن عائشة قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ بِاْلمـُدِّ وَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu dengan satu mudd dan mandi dengan satu sha’”. [HR Ibnu Majah: 268 dan Abu Dawud: 92. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]

عن جابر أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يَتَوَضَّأُ بِاْلمـُدِّ وَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ

Dari Jabir radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wudlu dengan satu mudd dan mandi dengan satu sha’. [HR Ibnu Majah: 269 dan Abu Dawud: 93. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [31]

عن عبد الله بن محمد بن عقيل بن أبي طالب عن أبيه عن جده قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم:يُجْزِئُ مِنَ الْوُضُوْءِ مُدٌّ وَ مِنَ اْلغُسْلِ صَاعٌ فَقَالَ رَجُلٌ: لاَ يُجْزِئُنَا فَقَالَ: قَدْ كَانَ يُجْزِئُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ وَ أَكْثَرُ شَعْرًا (يَعْنيِ النَّبِيَّ  صلى الله عليه و سلم)

Dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil bin Abi Thalib dari ayahnya dari kakeknya berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Satu mudd mencukupi untuk wudlu dan satu sha’ mencukupi untuk mandi”. Seorang lelaki berkata, “Bagi kami tidak mencukupi”. Berkata (Aqil), “Sungguh-sungguh telah mencukupi bagi orang yang lebih baik darimu dan lebih lebat rambutnya (yaitu maksudnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam)”. [HR Ibnu Majah: 270 dan al-Hakim: 591. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]

Mudd adalah bentuk takaran yaitu sekitar 2 atau 1 1/3 pound (ritl). Atau juga seukuran dua telapak tangan manusia apabila memenuhi keduanya. [33]

1 mudd = 8 ons sedangkan jika satu ritl (pound)= 6 ons, maka 1 1/3 pound= 8 ons.

Sha’ adalah bentuk takaran yaitu sekitar 4 mudd, jika 1 mudd= 1 1/3 pound, maka 1 mudd= 5 1/3 pound atau 32 ons. Wallahu a’lamu.

7. Mendahulukan kanan di dalam wudlu

Tata cara berwudlu yang telah dicontohkan dan diperintahkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan mendahulukan anggota-anggota wudlu yang sebelah kanan. Kendatipun ada di antara umat ini yang kidal yakni terbiasa menggunakan tangan atau kakinya yang sebelah kiri maka mesti ia merubahnya dengan yang kanan apalagi di dalam berwudlu ia wajib mendahulukannya dari sebelah kanan.

عن عائشة قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم يُحِبُّ التَّيَمُّنَ مَا اسْتَطَاعَ فىِ شَأْنِهِ كُلِّهِ فىِ طَهُوْرِهِ وَ تَرَجُّلِهِ وَ تَنَعُّلِهِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyukai mendahulukan kanan apa yang Beliau sanggupi di dalam keadaan seluruhnya, di dalam bersuci, bersisir dan menggunakan sandal”. [HR al-Bukhoriy: 168, 426, 5380, 5854, 5926, Muslim: 268 dan Ibnu Khuzaimah: 179. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [34]

عن عائشة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ فىِ الطَّهُوْرِ إِذَا تَطَهَّرَ وَ فىِ تَرَجُّلِهِ إِذَا تَرَجَّلَ وَ فىِ انْتِعَالِهِ إِذَا انْتَعَلَ

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyukai mendahulukan kanan di dalam bersuci apabila Beliau bersuci, bersisir apabila Beliau bersisir dan bersandal apabila Beliau menggunakan sandal. [HR Ibnu Majah: 401, Muslim: 268, Abu Dawud: 4140 dan an-Nasa’iy: I/ 78. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]

عن عائشة قَالَتْ: كَانَتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم اْليُمْنىَ لِطَهُوْرِهِ وَ طَعَامِهِ وَ كَانَتْ يَدُهُ اْليُسْرَى ِلخَلاَئِهِ وَ مَا كَانَ مِنْ أَذًى

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Tangan kanannya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk bersuci dan makan sedangkan tangannya yang kiri untuk ke kamar kecil dan apa yang terdapat kotoran”. [HR Abu Dawud: 33. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [36]

 عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: صلى الله عليه و سلم إِذَا لَبِسْتُمْ وَ إِذَا تَوَضَّأْتُمْ فَابْدَؤُوْا بِأَيَامِنِكُمْ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, ”telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ”Apabila kalian berpakaian dan berwudlu maka mulailah dari sebelah kanan”. [HR Abu Dawud: 4141, Ibnu Majah: 402, Ibnu Khuzaimah: 178 dan Ahmad: II/ 354. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [37]

Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwasanya di dalam berwudlu mesti mendahulukan membasuh anggota-anggota wudlu yang sebelah kanan, begitu pula ketika makan, minum, memberi atau menerima sesuatu, memakai pakaian, mengenakan sandal, khuff (terompah) atau sepatu, bersisir dan lain sebagainya kecuali yang dikecualikan. [38]

8. Tertib dan Muwalah di dalam wudlu

Hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap muslim yang ingin menyempurnakan wudlunya adalah menjaga tertib dan muwalah di dalam berwudlu. Sebagaimana dalil dan penjelasan berikut ini,

عن المقدام بن معديكرب الكندي قَالَ: أُتِيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا وَ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا  ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثاً  ثُمَّ  تَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا  ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ أُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَ بَاطِنِهِمَا

Dari miqdam bin Ma’diykarib al-Kindiy radliyallahu anhu berkata, “Pernah didatangkan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam air wudlu, lalu Beliau berwudlu. Maka Beliau membasuh kedua telapak yangannya tiga kali dan membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian membasuh kedua lengannya tiga kali tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali lalu mengusap kepala dan kedua telinga bahagian luarnya dan dalamnya”. [HR Abu Dawud: 121, Ahmad: IV/ 132 dan Ibnu Majah: 442. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [39]

Berkata al-Imam as-Suyuthiy rahimahullah, ”Orang yang berpendapat tertib di dalam wudlu adalah tidak wajib, berhujjah dengan dalil ini karena mengakhirkan berkumur-kumur dan istinsyaq daripada membasuh dua lengan dan mengikutinya dengan kata “tsumma” (kemudian)”. [40]

Sedangkan al-Allamah Abu ath-Thayyib rahimahullah penyusun kitab ‘Aun al-Ma’bud berkata, ”Ini adalah riwayat yang ganjil (tidak biasa) namun tidak menyelisihi riwayat yang terjaga yang mendahulukan berkumur-kumur dan istinsyaq atas pembasuhan wajah”. [41]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, ”Maka hadits ini menunjukkan bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak  menetapkan tertib (wudlu) di sebahagian waktu. Maka hal ini merupakan dalil bahwa tertib itu tidaklah wajib. Dan menjaganya dikebanyakan keadaan merupakan dalil atas kesunahannya”. [42]

Berdasarkan dalil di atas dan keterangannya, maka tertib wudlu antara berkumur-kumur dan istinsyaq dengan membasuh wajah dan kedua tangan tidaklah wajib. Adapun urutan tertib wudlu di dalam alqur’an  yaitu membasuh wajah, kedua tangan, mengusap kepala dan membasuh kedua kaki lebih baik kita menertibkannya dan juga sebagaimana telah diungkapkan oleh kebanyakan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Begitu pula dengan muwalah yaitu memperturut-turutkan anggota wudlu yang satu dengan yang lain tanpa diputus dengan sesuatu amalan. Hal ini kendatipun tidak ada keterangan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentangnya namun contoh dan praktek Beliau di dalam berwudlu menunjukkan adanya ketentuan muwalah. Maka dari itu, meskipun ada perilaku Ibnu Umar yang tidak bermuwalah, [43] tetapi sepatutnya kita lakukan wudlu itu secara tertib dan muwalah. Apalagi ada keterangan yang berdasarkan dalil berikut ini,

عن بعض أصحاب النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم رَأَى رَجُلاً يُصَلِّي وَ فىِ ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمـْـعَةً قَدْرَ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا اْلمـَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم أَنْ يُعِيْدَ اْلوُضُوْءَ وَ الصَّلاَةَ

Dari sebahagian shahabat Nabi bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki sholat namun pada punggung kakinya ada kilatan sebesar mata uang dirham yang tidak tersentuh air (wudlu). Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengulangi wudlu dan sholat. [HR Abu Dawud: 175. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44]

Berkata al-Allamah Abu ath-Thayyib rahimahullah, “Hadits ini merupakan dalil yang jelas atas wajibnya muwalah. Karena perintah mengulangi wudlu lantaran meninggalkan kilatan (yaitu punggung kaki yang tidak tersentuh air) tidaklah ada melainkan untuk melazimkan muwalah. Ini adalah madzhab al-Imam Malik, al-Awza’iy, Ahmad bin Hambal dan asy-Syafi’iy tentang pembicaraannya”. [45]

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan orang yang jelek dan tidak sempurna wudlunya untuk mengulangi wudlu dan bahkan sholatnya dan tidak menyuruhnya untuk hanya membasuh bahagian anggota wudlu yang kering tidak tersentuh air. Inilah yang menjadikan ketetapan pensyariatan muwalah. Wallahu a’lam.

9. Bersiwak sebelum wudlu

Untuk menjaga kesempurnaan wudlu, maka dianjurkan bagi muslim yang hendak berwudlu untuk bersiwak (gosok gigi) terlebih dahulu. Sebab bersiwak ini selain mengikuti sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga dapat menimbulkan kebersihan dan kesehatan pada gigi dan mulut.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتىِ لَأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ أَوْ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ سِوَاكٌ وَ لَأَخَّرْتُ عِشَاءَ اْلآخِرَةِ إِلىَ ثُلُثِ اللَّيْلِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Andaikan aku tidak menyusahkan umatku niscaya aku perintahkan mereka berwudlu setiap kali sholat, bersiwak setiap kali wudlu dan menangguhkan sholat isya terakhir hingga mencapai sepertiga malam”. [HR Ahmad: II/ 259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [46]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, ”Terdapat penganjuran bersiwak dan keutamaan di dalamnya. Yang telah mencapai derajat wajib di dalam pahala (ganjaran)”. [47]

عن عبد الله بن عباس  قَالَ: بِتُّ لَيْلَةً عِنْدَ النَّبِيِّ  صلى الله عليه و سلم فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ أَتَى طَهُوْرَهُ فَأَخَذَ سِوَاكَهُ فَاسْتَاكَ ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ اْلآيَاتِ (إِنًّ فِى خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَ اْلأَرْضِ وَ اخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ لَأَيَاتٍ لِّأُوْلِى اْلأَلْبَابِ # سورة آل عمران: 190) حَتىَّ قَارَبَ أَنْ يَخْتِمَ السُّوْرَةَ أَوْ خَتَمَهَا ثُمَّ تَوَضَّأَ فَأَتَى مُصَلاَّهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَجَعَ إِلىَ فِرَاشِهِ فَنَامَ مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ فَفَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ رَجَعَ إِلىَ فِرَاشِهِ فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ فَفَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ كُلُّ ذَلِكَ يَسْتَاكُ وَ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ

Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma berkata, aku pernah bermalam suatu malam di sisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ketika Beliau terbangun dari tidurnya, Beliau mendatangi air wudlunya lalu mengambil siwaknya dan bersiwak kemudian membaca ayat ini ((Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta perselisihan siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang memiliki pikiran. Q.S. Ali Imran/3: 190)) sehingga mendekati selesainya surat atau bahkan sampai selesai. Lalu Beliau berwudlu kemudian mendatangi tempat sholatnya lalu sholat dua rakaat. Kemudian Beliau kembali ke tempat tidurnya lalu tidur apa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian bangun kembali lalu berbuat seperti itu lagi kemudian kembali ke tempat tidurnya lalu tidur. Kemudian bangun kembali lalu berbuat seperti itu lagi, semuanya itu bersiwak dan sholat dua rakaat kemudian sholat witir”. [HR Abu Dawud: 58 dan Muslim: 256. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [48]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كُنَّا نُعِدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ فَيَبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَّأُ وَ يُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ  يَجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فىِ الثَّامِنَةِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, kami yang selalu mempersiapkan untuk Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam siwak dan air wudlunya. Lalu Allah Subhanahu wa ta’ala membangunkannya apa yang Allah hendak membangunkannya pada waktu malam. Lalu Beliau bersiwak, wudlu dan sholat sembilan rakaat, tidak duduk padanya kecuali pada rakaat ke delapan”. [HR Muslim: 746]. [49]

Berkata asy-Syaikh Sallim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Adanya penganjuran bersiwak sebelum wudlu, sebelum sholat dan ketika bangun dari tidur”. [50]

عن عائشة عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Dari Aisyah radliyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “siwak itu pembersih bagi mulut dan diridloi oleh Rabb”. [HR an-Nasa’iy: I/ 10, Ahmad: VI/ 47, 62, 124, 238, ad-Darimiy: I/ 174 dan Ibnu Khuzaimah: 135. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [51]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Bersiwak adalah penyebab mendapatkan ridlo Rabb Azza wa Jalla. Siwak adalah alat untuk membersihkan mulut. Allah Subhanahu wa ta’ala menyukai kebersihan dan mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri, oleh karena itulah Allah telah mensyariatkan sesuatu untuk mereka yang dapat membantu mereka untuk mendapatkan ridlo-Nya”. [52]

عن زيد بن خالد الجهني قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتىِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ وَ لَأَخَّرْتُ صَلاَةَ اْلعِشَاءِ إِلىَ ثُلُثِ اللَّيْلِ قَالَ: فَكَانَ زَيْدُ بْنُ خَالِدٍ يَشْهَدُ الصَّلَوَاتِ فىِ اْلمـَسْجِدِ وَ سِوَاكُهُ عَلَى أُذُنِهِ مَوْضِعَ اْلقَلَمِ مِنْ أُذُنِ اْلكَاتِبِ لاَ يَقُوْمُ إِلىَ الصَّلاَةِ إِلاَّ اسْتَنَّ ثُمَّ رَدَّهُ إِلىَ مَوْضِعِهِ

Dari Zaid bin Kholid al-Juhniy radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan aku tidak memberatkan umatku niscaya aku suruh mereka bersiwak di setiap kali sholat dan aku tangguhkan sholat isya sampai sepertiga malam”. Ia (yaitu Abu Salamah) berkata, ”Zaid bin Khalid banyak menyaksikan sholat di masjid sedangkan siwaknya menempel di telinganya seperti pena di telinga penulis (sekretaris). Tidaklah ia berdiri menuju sholat melainkan ia menggunakan siwaknya kemudian mengembalikan ke tempatnya”. [HR at-Turmudziy: 23 dan Abu Dawud: 47. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [53]

 عن عائشة قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم :عَشْرٌ مِنَ اْلفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارَبِ وَ إِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَ السِّوَاكُ وَ اسْتِنْشَاقُ اْلمـَاءِ وَ قَصُّ اْلأَظْفَارِ وَ غَسْلُ اْلبَرَاجِمِ وَ نَتْفُ اْلإِبْطِ وَ حَلْقُ اْلعَانَةِ وَ انْتِقَاصُ اْلمـَاءِ قَالَ زَكَرِيَّاءُ (بْنُ أَبيِ زَائِدَةٍ): قَالَ مُصْعَبُ (بْنُ شَيْبَةَ): وَ نَسِيْتُ اْلعَاشِرَةَ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ اْلمـَضْمَضَةَ زاد قتيبة (بن سعيد): قَالَ وَكِيْعٌ: انْتِقَاصُ اْلمـَاءِ يَعْنىِ اْلاِسْتِنْجَاءُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Ada sepuluh perkara yang termasuk fitrah (sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam), yaitu memotong kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, menghirup air melalui hidung (istinsyaq), memotong kuku, membasuh rusa-ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan istinja’”. Berkata Zakaria (bin Zaidah), “berkata Mush’ab (bin Syaibah), “Aku lupa yang ke sepuluh, kemungkinan adalah berkumur-kumur”. Qutaibah (bin Sa’id) menambahkan, berkata Waki’, “intiqoshul maa’ yaitu beristinja’”. [HR Muslim: 261, Abu Dawud: 53, at-Turmudziy: 2757, an-Nasa’iy: VIII/ 126-127, Ibnu Majah: 293 dan Ahmad: IV/ 264. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [54]

Sunah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang banyak dilupakan oleh kaum muslimin adalah bersiwak ketika hendak berwudlu dan sholat atau bangun dari tidur, padahal bersiwak itu dapat menimbulkan keridloan Allah Subhanahu wa ta’ala. Hal tersebut disebabkan ketidakpahaman mereka terhadap sunah Nabi mereka atau mereka memandang rendah sunnah tersebut dan bahkan mereka lebih banyak disibukkan dengan membaca nyaring lafazh niat berwudlu, membaca doa di setiap basuhan atau juga membaca lafazh niat sholat yang tiada asalnya.

10. Menggunakan handuk atau kain setelah wudlu dan mandi

Jika selesai dari berwudlu maka dibolehkan bagi seseorang untuk mengeringkan air wudlu dari badan atau anggota-anggota wudlunya itu dengan handuk kecil atau sapu tangan.

عن ميمونة قَالَتْ: وَضَعْتُ (وفى رواية: صَبَبْتُ) لِلنَّبِيِّ مَاءً لِلْغُسْلِ [مِنَ اْلجَنَابَةِ] [وَ سَتَرْتُهُ] فَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَفْرَغَ [بِيَمِيْنِهِ] عَلَى شِمَالِهِ فَغَسَلَ مَذَاكِيْرَهُ (و فى رواية: فَرْجَهُ وَ مَا أَصَابَهُ مِنَ اْلأَذَى) ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ بِاْلأَرْضِ (و فى رواية: ثُمَّ دَلَكَ بِهَا اْلحَائِطَ و فى أخرى: بِاْلأَرْضِ أَوِ اْلحَائِطِ) [مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا] [ثُمَّ غَسَلَهَا] ثُمَّ مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ غَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ [وَ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا] (و فى رواية: تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ) ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى جَسَدِهِ ثُمَّ تَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ [ثُمَّ أُتِيَ بِمِنْدِيْلٍ فَلَمْ يَنْفُضْ بِهَا (و فى رواية: فَنَاوَلْتُهُ خِرْقَةً فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَ لَمْ يُرِدْهَا) (و فى أخرى: فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ فَانْطَلَقَ وَ هُوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ)] فَجَعَلَ يَنْفُضُ بِيَدِهِ

 Dari Maimunah radliyallahu anha berkata, aku yang meletakkan (di dalam satu riwayat: yang menuangkan) air untuk Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk mandi (dari janabat). Aku menutupinya (dari pandangan manusia), maka Beliau membasuh kedua tangannya, dua atau tiga kali kemudian menuangkan (air) dengan tangan kanannya atas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya (di dalam satu riwayat: farjinya dan apa yang terkena kotoran). Lalu mengusap tangannya ke tanah ( di dalam satu riwayat, “lalu menggosok-gosokkan tangannya ke dinding”, di dalam riwayat yang lain, “ke tanah atau dinding”), dua atau tiga kali. Kemudian membasuhnya, lalu berkumur-kumur, beristinsyaq, membasuh wajah, kedua tangan (dan membasuh kepalanya tiga kali) (di dalam satu riwayat, berwudlu seperti wudlunya untuk sholat kecuali kedua kakinya”). Lalu menuangkan (air) ke seluruh tubuhnya, kemudian berpindah dari tempatnya lalu membasuh kedua kakinya. Lalu di datangkan kepadanya handuk kecil tetapi Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak mengibaskan kain tersebut ke tubuhnya (di dalam satu riwayat, “lalu aku ambilkan untuknya secarik kain”, maka Beliau berkata dengan tangannya, “begini dan Beliau tidak menginginkannya”). (Di dalam riwayat yang lain, “lalu aku mengambilkan sepotong tetapi Beliau tidak mengambilnya kemudian pergi sedangkan Beliau sedang mengibas-ngibaskan kedua tangannya). Maka Beliau mengibas-ngibaskan tangannya”. [HR al-Bukhoriy: 249, 257, 259, 260, 265, 266, 274, 276, 281, Muslim: 317, Abu Dawud: 245, at-Turmudziy: 103, an-Nasa’iy: I/ 137, 138 dan Ibnu Majah: 573. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [55]

Sunnah sesudah mandi atau wudlu adalah mengibas-ngibaskan kedua tangan untuk mengeringkan air dari tubuh. Dari sebab itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menolak secarik kain atau handuk yang disodorkan oleh istrinya Maimunah radliyallahu anha untuk mengeringkan air dari tubuhnya. Tetapi penolakan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam terhadap pemberian secarik kain dari istrinya Maimunah radliyallahu anha tersebut bukan berarti terlarang seseorang mengeringkan tubuhnya dengan kain atau handuk sesudah wudlu dan mandi karena di dalam beberapa riwayat lain Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukannya. Misalnya di dalam beberapa riwayat di bawah ini,

عن سعيد بن أبي هند أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلىَ عَقِيْلٍ حَدَّثَهُ أَنَّ أُمَّ هَانِئِ بِنْتَ أَبيِ طَالِبٍ حَدَّثَتْهُ أَنَّهُ لَمــَّا كَانَ عَامُ اْلفَتْحِ أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِلىَ غُسْلِهِ فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ فَاطِمَةُ ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَالْتَحَفَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى

 Dari Sa’id bin Abi Hindin bahwasanya Abu Murrah maulanya Aqil menceritakan kepadanya bahwasanya Ummu Hani’ binti abi Thalib radliyallahu anha menceritakan kepadanya bahwasanya ketika Fat-hu Makkah (penaklukan kota Mekkah), ia datang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan Beliau berada di atas kota Mekkah. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berdiri untuk mandi, lalu Fathimah menutupinya, kemudian Beliau mengambil kainnya lalu berselimut dengannya kemudian sholat dluha delapan rakaat. [HR Muslim: 336 (71), al-Bukhoriy: 280, 357, 3171, 6158, an-Nasa’iy: I/ 126 dan Ibnu Majah: 465, 614. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[56]

عن سلمان الفارسي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَقَلَّبَ جُبَّةَ صَوْفٍ كَانَتْ عَلَيْهِ فَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ

Dari Salman al-Farisiy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu lalu membalikkan jubah bulu yang ada padanya. Lalu Beliau mengusap wajahnya dengannya. [HR Ibnu Majah: 379. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [57]

عن عائشة قَالَتْ: كَانَ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم خِرْقَةٌ يُنَشِّفُ بِهَا بَعْدَ اْلوُضُوْءِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memiliki secarik kain yang Beliau mengeringkan (dirinya) dengannya sesudah wudlu”. [HR at-Turmudziy: 53, Ibnu Adiy, al-Hakim: 566 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: maka hadits ini menurutku hasan dengan sekumpulan jalannya]. [58]

 Bersambung


[1] Mukhtashor Shahih Muslim: 130, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 105, Shahih Sunan Abi Dawud: 97, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 82, 83, 112, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6175, 6176 dan Misykah al-Mashobih: 287.

[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 88, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 108, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 872, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 217, Misykah al-Mashobih: 398 dan Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 108.

[3]  Shahih Sunan Ibni Majah: 341.

[4] Shahih Sunan Ibni Majah: 373, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1088, Shahih Sunan Abi Dawud: 764, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2420 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 218, 537.

[5] Maksudnya tidak terkena air wudlu.

[6] Mukhtashor Shahih Muslim: 135.

[7]  Shahih Sunan Abi Dawud: 158.

[8]  Shahih Sunan Abi Dawud: 161.

[9]  Maksudnya; sekali basuhan yang sebelah kanan lalu sekali basuhan yang sebelah kiri. Atau dua kali basuhan yang sebelah kanan dan dua kali basuhan yang sebelah kiri. Atau tiga kali basuhan yang sebelah kanan dan yang sebelah kiri seperti itu pula.

[10]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 103, Shahiih Sunan Abi Dawud: 126, Shahih Sunan at-Turmudziy: 39, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 78, Shahih Sunan Ibni Majah: 331 dan Misykah al-Mashobih: 395.

[11]  Shahih Sunan Ibni Majah: 332.

[12]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 104 dan Misykah al-Mashobih: 396.

[13]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 40 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 124

[14]  Bentuk jamak dari Maq’ad yaitu nama satu tempat di Madinah. [Misykah al-Mashobih: I/ 126].

[15]  Misykah al-Mashobih: 397.

[16]  Shahih Sunan Ibni Majah: 333.

[17]  Shahih Sunan Abi Dawud: 107.

[18]  Shahih Sunan Ibni Majah: 335.

[19]  Shahih Sunan Ibni Majah: 336.

[20]  Shahih Sunan Ibni Majah: 337.

[21]  Shahih Sunan Ibni Majah: 338 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 117.

[22]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 79 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 334.

[23]   Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2122 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4909.

[24] Shahih Sunan at-Turmudziy: 43.

[25]  Shahih Sunan Abi Dawud: 109 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 95, 97.

[26] Shahih Sunan Abi Dawud: 117.

[27] Shahih Sunan Ibni Majah: 339, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 136, Shahih Sunan Abi Dawud: 123 dan Misykah al-Mashobih: 417.

[28]  Shahih Sunan Abi Dawud: 87.

[29]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 49 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 214.

[30]  Shahih Sunan Ibni Majah: 215 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 83.

[31]  Shahih Sunan Ibni Majah: 216 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 84.

[32] Shahih Sunan Ibni Majah: 217, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8023 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1991, 2447.

[33]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: V/ 577.

[34]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 110, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4918 dan Misykah al-Mashobih: 400.

[35] Shahih Sunan Ibni Majah: 322, Mukhtashor Shahih Muslim: 124, Shahih Sunan Abi Dawud: 3487, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 109, Irwa’ al-Ghalil: 93 dan Mukhtashor asy-Syama’il al-Muhammadiyyah: 69

[36] Shahih Sunan Abi Dawud: 26.

[37] Shahih Sunan Abi Dawud: 3488, Shahih Sunan Ibni Majah: 323, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 454, 787 dan Misykah al-Mashobih: 401.

[38]  Yang dikecualikan misalnya; beristinja’, memegang atau mencuci farji, masuk kamar mandi atau jamban dan lain sebagainya.

[39] Shahih Sunan Abi Dawud: 112 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 356.

[40]  ‘Aun al-Ma’bud: I/ 146.

[41]  ‘Aun al-Ma’bud: I/ 146.

[42]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 468 dan Tamam al-Minnah halaman 86.

[43]  Dari Nafi’ bahwasanya Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma pernah buang air kecil di pasar. Kemudian beliau berwudlu, lalu membasuh wajah dan kedua tangannya serta mengusap kepalanya. Kemudian beliau dipanggil kepada suatu jenazah untuk menyolatkannya, ketika hendak memasuki masjid, lalu beliau mengusap kedua terompahnya dan menyolatkannya. [Atsar ini diriwayatkan oleh al-Imam Malik bin Anas di dalam kitab al-Muwaththo’: I/ 60 (42)].

[44]  Shahih Sunan Abi Dawud: 161.

[45] ‘Aun al-Ma’bud: I/ 205 dan Nail al-Awthar: I/ 220-221.

[46] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5318 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 200.

[47] Taysiir al-Allam: I/ 63.

[48] Shahih Sunan Abi Dawud: 52 dan Mukhtashor Shahih Muslim: 122.

[49]  Mukhtashor Shahih Muslim: 390. Kalimat, “Sholat sembilan rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke delapan”. Adalah sholat malam yang Beliau kerjakan sebanyak sembilan rakaat sekaligus dan Beliau tidak duduk (tahiyyat) padanya kecuali pada rakaat ke delapan (tahiyyat awal) dan ke sembilan (tahiyyat akhir).

[50]  Bahjah an-Nazhirin: II/ 341.

[51] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5, Irwa’ al-Ghalil: 66, Misykah al-Mashobih: 381 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3695

[52]  Bahjah an-Nazhirin: II/ 342.

[53] Shahih Sunan at-Turmudziy: 22 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 37.

[54]  Mukhtashor Shahih Muslim: 182, Shahih Sunan Abi Dawud: 43, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2214, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4667, Shahih Sunan Ibni Majah: 238, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4009 dan Misykah al-Mashobih: 379.

[55] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 153, Shahih Sunan Abi Dawud: 224, Shahih Sunan at-Turmudziy: 90, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 404, 405, 406, Shahih Sunan Ibni Majah: 465 dan Irwa’ al-Ghalil: 131.

[56] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 219 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 377, 498.

[57]  Shahih Sunan Ibni Majah: 379.

[58]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2099 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4830.

MASIH UTUHKAH WUDLU ANDA 2 ???..

tempat wudlu2YANG BUKAN PEMBATAL WUDLU

 بسم الله الرحمن الرحيم

Pada pembahasan ini akan dipaparkan beberapa hal yang dianggap oleh sebahagian kaum muslimin sebagai pembatal-pembatal wudlu namun pada hakikatnya tidaklah demikian. Sebab setiap muslim jika meyakini sesuatu itu benar atau salah, boleh atau tidak, sunnah atau bid’ah dan selainnya dari perkara-perkara agama maka sudah semestinya ia mendatangkan hujjah atau dalil yang shahih untuk menguatkan keyakinannya tersebut.

Pun demikian ketika ia menganggap sesuatu perkara itu termasuk yang membatalkan wudlu atau bukan. Ia mesti memiliki alasan kuat dan dalil akurat dari alqur’an, hadits tsabit ataupun atsar para shahabat yang dapat mendukung anggapan dan keyakinannya itu. Ia tidak hanya asal meletakkan itikad, melontarkan pendapat dan menantang berdebat, namun semuanya itu harus dilandasi ilmu syar’iy dengan sandaran manhaj nabawiy.

1)). Meninggalkan wudlu seorang lelaki yang menyentuh istrinya tanpa syahwat.

Banyak kaum muslimin yang berpandangan akan batalnya wudlu dari sebab bersentuhan atau berpegangan dengan lawan jenisnya, baik mahram ataupun bukan, pasangan hidup ataupun bukan apalagi dengan orang yang tidak berkaitan. Namun mudah-mudahan dari beberapa contoh hadits Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama bisa mengubah pandangan mereka atau paling tidak menjadi bahan pertimbangan mereka di dalam mencari dan menetapkan kebenaran.

عن أبي هريرة عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: فَقَدْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَجَعَلْتُ أَطْلُبُهُ بِيَدِي فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى قَدَمَيْهِ وَ هُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَ هُوَ سَاجِدٌ يَقُوْلُ: أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Aku pernah kehilangan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam suatu malam lalu aku mencarinya dengan tanganku.Tiba-tiba tanganku tersangkut kedua kakinya yang terhunjam sebab dalam keadaan sujud seraya berdoa,

أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَـا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

(artinya; aku berlindung dengan Ridlo-Mu dari kemurkaan-Mu, dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu dan dengan-Mu dari-Mu. Aku tidak dapat membilang pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji atas diri-Mu sendiri)”. [HR an-Nasa’iy: I/ 102-103, Muslim: 486, Abu Dawud: 879, Ibnu Majah: 3841 dan at-Turmudziy: 3493. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: إِنْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لَيُصَلِّي وَ إِنيِّ لمِـُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتِرَاضَ اْلجَنَازَةِ حَتىَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوْتِرَ مَسَّنيِ بِرِجْلِهِ (و فى رواية لمسلم: فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوْتِرَ أَيْقَظَنىِ فَأَوْتَرْتُ)

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Sesungguhnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan sholat sedangkan aku terbentang dihadapannya sebagaimana terbentangnya jenazah. Maka apabila ingin witir Beliau menyentuhku dengan kakinya”. (Di dalam satu riwayat Muslim: maka apabila ingin witir Beliau membangunkanku lalu akupun witir). [HR an-Nasa’iy: I/ 101-102 dan Muslim: 512. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

عنها قَالَتْ: لَقَدْ رَأُيْتُمُوْنىِ مُعْتَرِضَةً بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُصَلِّى فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ غَمَزَ رِجْلِى فَضَمَمْتُهَا إِليَّ ثُمَّ يَسْجُدُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sungguh-sungguh kalian melihatku berbaring terbentang di hadapan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan sholat. Apabila ingin sujud Beliau meraba kakiku lalu aku melipatnya kemudian Beliau sujud”. [HR an-Nasa’iy: I/ 102 dan al-Bukhoriy: 1209. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

عنها قَالَتْ: كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ رِجْلاَيَ فىِ قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنىِ فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا وَ اْلبُيُوْتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيْهَا مَصَابِيْحُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Aku pernah tidur di hadapan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di kiblatnya. Apabila ingin sujud Beliau merabaku lalu aku melipat kakiku. Ketika Beliau berdiri aku membentangkannya kembali. Dan rumah-rumah pada waktu itu tidak memiliki lentera”. [HR an-Nasa’iy: I/ 102, al-Bukhoriy: 382, 513 dan Muslim: 512 (272). Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, ”Berdalil dengan perkataan Aisyah radliyallahu anha (yaitu, merabaku) bahwa menyentuh perempuan itu tidaklah membatalkan wudlu”. [5]

Menyentuh, meraba dan memegang perempuan baik sebahagian istri atau mahramnya secara sengaja ataupun tidak, hal itu tidaklah membatalkan wudlu sebagaimana sangkaan masyarakat awam. Hal ini berlaku bagi yang menyentuh ataupun yang disentuh, kedua golongan tersebut tidak batal wudlu mereka dan diperkenankan untuk mengerjakan sholat. Sebagaimana dalil hadits di atas, bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tetap melanjutkan sholat hingga selesai padahal di dalam sholat tersebut beliau secara sengaja meraba kaki istrinya agar melipat kedua kakinya, lalu beliau sujud. Ketika beliau selesai sujud, Aisyah radliyallahu anha kembali membentangkan kedua kakinya seperti sediakala, dan demikian seterusnya sampai selesai dari sholat. Hal tersebut disebabkan rumah atau tempat tinggal beliau bersama istrinya itu sempit dan kecil.

Namun tidaklah demikian dengan itikad dan pemahaman sebahagian besar dari umatnya yang beranggapan bahwa yang menyentuh atau disentuh oleh lawan jenisnya meskipun pasangannya sendiri adalah membatalkan wudlu. Sehingga sering dijumpai seorang lelaki atau perempuan yang selalu memperbaharui atau mengulangi wudlunya dari sebab bersenggolan atau bersentuhan dengan lawan jenisnya, baik pasangannya, mahramnya ataupun bukan. Akibatnya dapat dijumpai perbuatan bersentuhan ini menjadi bahan gurauan sebahagian kaum muda yang sedang menunaikan sholat tarawih berjamaah di masjid, misalnya. Yakni sebahagiannya berusaha menyentuh atau memegang sebahagian lainnya yang berbeda jenis kelaminnya agar batal wudlunya lalu orang yang disentuh itu mengulang dan memperbaharui wudlunya. Hal itu dikerjakan berulang-ulang dengan penuh canda dan tawa. Subhanallah amat buruk perilaku seperti itu.

2)). Meninggalkan wudlu dari sebab mencium.

Setelah dijelaskan bahwa menyentuh lawan jenis itu tidaklah membatalkan wudlu, maka berikut ini akan dituangkan pula dua hadits berserta penjelasannya bahwa mencium lawan jenis yang dihalalkan semisal mencium istri atau anak, ataupun kebalikannya mencium suami dan anak maka hal tersebutpun tidak membatalkan wudlu.

عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّى وَ لاَ يَتَوَضَّأُ

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mencium sebahagian istrinya kemudian sholat dan tidak berwudlu lagi. [HR an-Nasa’iy: I/ 103. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Hadits ini menunjukkan bahwasanya menyentuh perempuan itu tidak membatalkan wudlu”. [7]

عن عروة بن الزبير عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلىَ الصَّلاَةِ وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ قُلْتُ: مَا هِيَ إِلاَّ أَنْتِ فَضَحِكَتْ

Dari Urwah bin az-Zubair dari Aisyah adliyallahu anha bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mencium sebahagian istrinya kemudian keluar untuk sholat dan tidak berwudlu lagi. Aku (yaitu Urwah) berkata, ”Tidak lain ia itu melainkan engkau maka Aisyahpun tertawa”. [HR Ibnu Majah: 502, Abu Dawud: 178, 179, at-Turmudziy: 86 dan Ahmad: VI/ 210. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Berkata al-Allamah Abu ath-Thayyib rahimahullah, ”Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa menyentuh perempuan itu tidak membatalkan wudlu. Karena mencium termasuk bagian dari menyentuh dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak berwudlu lagi dari sebabnya. Ali, Ibnu Abbas, Atho, Thowus, Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauriy berpendapat dengan pendapat ini”. [9]

Asy-Syaikh Muhammad bin shalih Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, ”Apakah menyentuh perempuan itu membatalkan wudlu?”. Beliau menjawab, ”Yang benar bahwa menyentuh perempuan itu tidak membatalkan wudlu secara mutlak. Kecuali jika keluar sesuatu darinya (misalnya mani atau madzi). Dalil hal ini adalah apa yang telah shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau pernah mencium sebahagian dari istri-istrinya lalu Beliau keluar untuk sholat dan tidak berwudlu lagi. Karena asalnya adalah tidak batal sehingga tegaknya dalil jelas lagi shahih atas batalnya (wudlu). Sebab seorang lelaki telah menyempurnakan bersucinya sesuai dengan ketetapan dalil sya’iy dan apa yang telah tetap dengan keputusan dalil syar’iy. Tidak mungkin ditolak ketetapan itu melainkan dengan dalil syar’iy pula. Namun jika dikatakan ((أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَـــاءَ artinya atau kamu menyentuh perempuan))[10], jawabannya adalah bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di dalam ayat tersebut adalah jimak (hubungan intim)”. [11]

Maka berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan di atas dapatlah dimengerti bahwa menyentuh perempuan dan bahkan menciumnya itu tidaklah membatalkan wudlu. Karena menyentuh itu sendiri bukan termasuk hadats tetapi batalnya itu dikarenakan keluarnya mani atau madzi yang ditimbulkan oleh syahwat.

Dan menyentuh perempuan yang bukan mahram itu mempunyai hukum tersendiri yaitu diharamkan, di antaranya adalah sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

لَأَنْ يُطْعَنَ فىِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

”((Benar-benar ditikamkan ke kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besar dari besi itu adalah lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya))”. [HR ath-Thabraniy dari Ma’qil bin Yasar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [12]

Atau sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

إِنىِّ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan kaum perempuan”. [HR an-Nasa’iy: VII/ 149, at-Turmudziy: 1597, Ibnu Majah: 2874, Ahmad: VI/ 357, Ibnu Hibban dan Abdurrazzak dari Umaimah binti Ruqaiqah radliyallahu anha. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

3)). Meninggalkan wudlu dari sebab mengeluarkan darah.

Demikian pula mengeluarkan darah lantaran terluka, mimisan, pecahnya bisul dan sebagainya tidaklah membatalkan wudlu.

عن جابر قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه و سلم- يَعْنىِ فىِ غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ- فَأَصَابَ رَجُلٌ امْرَأَةَ رَجُلٍ مِنَ اْلمـُشْرِكِيْنَ فَحَلَفَ: أَنْ لاَ أَنْتَهِيَ حَتىَّ أُهْرِيْقَ دَمًا فىِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ فَخَرَجَ يَتْبَعُ أَثَرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَنَزَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم  مَنْزِلاً فَقَالَ: مَنْ رَجُلٌ يَكْلَأُناَ؟ فَانْتُدِبَ رَجُلٌ مِنَ اْلمـُهَاجِرِيْنَ وَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ: كُوْنَا بِفَمِ الشِّعْبِ قَالَ: فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلاَنِ إِلىَ فَمِ الشِّعْبِ اضْطَجَعَ اْلمـُهَاجِرِيُّ وَ قَامَ اْلأَنْصَارِيُّ يُصَلِّي وَ أَتَى الرَّجُلُ فَلَمَّا رَأَى شَخْصَهُ عَرَفَ أَنَّهُ رَبِيْئَةً لِلْقَوْمِ فَرَمَاهُ بِسَهْمٍ فَوَضَعَهُ فِيْهِ فَنَزَعَهُ حَتىَّ رَمَاهُ بِثَلاَثَةِ أَسْهُمٍ ثُمَّ رَكَعَ وَ سَجَدَ ثُمَّ انْتَبَهَ صَاحِبُهُ فَلَمَّا عَرَفَ أَنَّهُمْ قَدْ نُذِرُوْا بِهِ هَرَبَ وَ لَمـَّا رَأَى اْلمـُهَاجِرِيُّ مَا بِاْلأَنْصَارِ مِنَ الدِّمَاءِ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ أَلاَ أَنْبَهْتَنيِ أَوَّلَ مَا رَمَى قَالَ: كُنْتُ فىِ سُوْرَةٍ أَقْرَأُهَا فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ أَقْطَعَهَا

Dari Jabir radliyallahu anhu berkata, kami pernah keluar bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam -yaitu dalam perang Dzaturriqo’-. Lalu seorang lelaki (muslim) membunuh istri dari seorang lelaki kaum musyrikin. Lalu ia bersumpah, ”Aku tidak akan berhenti sehingga menumpahkan darah di kalangan para shahabat Muhammad, maka ia keluar mengikuti jejak Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam singgah di suatu tempat persinggahan dan bersabda, ”siapakah yang akan  menjaga kita?”. Tak lama kemudian seorang lelaki dari golongan Muhajirin dan Anshor menerima tawarannya. Beliau bersabda, ”Berjagalah di mulut jalan!”. Berkata (Jabir), ”Ketika kedua lelaki itu telah keluar menuju mulut jalan, lelaki dari golongan Muhajirin berbaring tidur dan lelaki dari golongan Anshor berdiri sholat. Lelaki musyrik itu datang, ketika ia melihat penampilannya iapun mengetahui bahwasanya ia adalah pengintai suatu kaum. Lalu iapun memanahnya dengan anak panah lalu tepat mengenainya. Maka ia (lelaki Ansor) itupun mencabutnya sehingga ia memanahnya dengan tiga anak panah, kemudian ia ruku dan sujud. Tak lama berselang shahabatnya terjaga (dari tidurnya), ketika lelaki musyrik mengetahui bahwa mereka telah waspada iapun lari. Dan begitu Lelaki Muhajirin melihat apa yang terjadi pada lelaki anshor dari mengucurkan darah, ia berkata, ”Subhanallah, mengapakah engkau tidak membangunkan diriku pada awal panah itu dilepaskan?”. Ia menjawab, ”Aku dalam keadaan membaca surat yang aku tidak berkeinginan untuk memutuskannya”. [HR Abu Dawud: 198. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [14]

عن المسور بن مخرمة أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رضي الله عنه مِنَ اللَّيْلَةِ الَّتىِ طُعِنَ فِيْهَا فَأَيْقَظَ عُمَرَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ  فَقَالَ عُمَرُ: نَعَمْ وَ لاَ حَظَّ فىِ اْلإِسْلاَمِ ِلمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَصَلَّى عُمَرُ وَ جُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا

Dari al-Miswar bin Makhromah, ia mengkhabarkan bahwasanya ia pernah masuk (menemui) Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu dari malam yang ia ditikam pada malam tersebut. Lalu ia membangunkan Umar untuk menunaikan sholat Shubuh. Umar berkata, “Ya, dan tiada bagian di dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan sholat”. Lalu Umar sholat sedangkan lukanya mengalirkan darah. [Telah mengeluarkan atsar ini Malik: I/ 62. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [15]

Dari al-Hasan berkata, ”Kaum Muslimin senantiasa melakukan sholat dengan luka-luka mereka”.

Berkata Thowus, Muhammad bin Ali, Atho’ dan penduduk Hijaz, ”Tiada wudlu lantaran darah”.

Ibnu Umar memencet bisulnya dan keluarlah darahnya tetapi ia tidak berwudlu lagi.

Ibnu Abi Awfa’ meludahkan darah tetapi ia tetap melanjutkan sholatnya. [16]

Maka berdasarkan beberapa atsar di atas dapat dipahami bahwasanya meneteskan darah dari sebab terluka, mimisan, pecahnya bisul dan semisalnya tidak membatalkan wudlu dan sholat.

4)). Meninggalkan wudlu dari sebab menyentuh daging mentah.

 Begitu pula dengan menyentuh daging mentah, apakah lantaran seorang ibu yang sedang mengolah daging untuk dimasak, penjual daging yang memotong-motongnya untuk para pembeli atau penjagal binatang ternak yang memotong, menguliti kulit dari dagingnya, memotong-motong tulangnya, mengiris-iris dagingnya dan sebagainya, semuanya itu tidaklah membatalkan wudlu.

عن أبي سعيد : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم مَرَّ بِغُلاَمٍ وَ هُوَ يَسْلُخُ شَاةً فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: تَنَحَّ حَتىَّ أُرِيَكَ فَأَدْخَلَ يَدَهُ بَيْنَ اْلجِلْدِ وَ اللَّحْمِ فَدَحَسَ بِهَا حَتىَّ تَوَارَتْ إِلىَ اْلإِبْطِ ثُمَّ مَضَى فَصَلَّى لِلنَّاسِ وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Abi Sa’id radliyallahu anhu, ”Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melewati seorang anak yang sedang menguliti seekor kambing. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ”Menyingkirlah sehingga aku perlihatkan kepadamu”. Lalu Beliau memasukkan tangannya ke antara kulit dan daging. Beliau menyusupkannya sehingga menutup sampai ke ketiak. Kemudian Beliau berlalu dan sholat dengan manusia dalam keadaan tidak berwudlu lagi”. [HR Abu Dawud: 185. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

Perilaku Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika memberi contoh kepada seorang anak tentang cara menguliti seekor kambing merupakan salah satu bukti keteladanan beliau di dalam sifat tawadlu’, rasa kasih sayang dan perhatiannya beliau kepada umatnya dan juga pemberian contoh nyata darinya yang tidak hanya bicara saja. Dan hal ini juga merupakan bukti bahwa menyentuh atau memegang daging mentah itu tidaklah membatalkan wudlu.

Semoga pembahasan ini bermanfaat untuk umat Islam umumnya dan keluargaku khususnya. Wallahu a’lamu bi ash-Showab.


[1] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 163, Shahih Sunan Abi Dawud: 782, Shahih Sunan Ibni Majah: 3098, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2779 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1280.

[2]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 160.

[3]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 161.

[4]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 162.

[5]  Fat-h al-Bariy: I/ 492.

[6] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 164, Misykah al-Mashobih: 323 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4906.

[7] Nail al-Awthar: I/ 247.

[8] Shahih Sunan Ibni Majah: 406, Shahih Sunan Abi Dawud: 164, 165 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 75.

[9]  Aun al-Ma’bud Syar-h Sunan Abi Dawud: I: 207.

[10] QS. an-Nisa’/ 4: 43 atau al-Ma’idah/ 5: 6.

[11]  Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah halaman 19.

[12]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5045 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 226.

[13] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3897, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1300, Shahih Sunan Ibni Majah: 2323 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 529.

[14]  Shahih Sunan Abii Dawud: 182.

[15]  Irwa’ al-Ghalil: 209.

[16]  Fat-h al-Bariy: I/ 280 dan Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: I/ 116.

[17]  Shahih Sunan Abi Dawud: 170.

MASIH UTUHKAH WUDLU ANDA 1 ???..

tempat wudlu1PEMBATAL-PEMBATAL WUDLU

بسم الله الرحمن الرحيم

Di dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang pembatal-pembatal wudlu yang juga merupakan pembatal-pembatal sholat. Sebab batalnya wudlu itu menjadi penyebab akan batalnya sholat, sebagaimana telah diketahui bahwa tiada sholat bagi orang yang tidak berwudlu.

Bab ini merupakan perkara pokok yang wajib diketahui oleh setiap muslim, sebab banyak di antara mereka yang menyangka bahwa sesuatu itu tidak membatalkan wudlu padahal termasuk yang membatalkan. Atau kebalikannya mereka menyangka sesuatu itu termasuk yang membatalkan wudlu padahal bukan. Biasanya sangkaan tersebut lahir lantaran ketidaktahuan mereka akan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perkara-perkara agama yang berlandaskan dan bersandarkan kepada alqur’an, hadits-hadits shahih dan atsar para salafus shalih. Atau boleh jadi juga karena mereka sudah terbiasa taklid dan fanatik terhadap ucapan atau fatwa dari para ustadz mereka, sehingga kebenaran seterang apapun atau setegas apapun tiada guna dan manfaat bagi mereka yang sudah diibaratkan laksana kerbau dicocok hidungnya.

1)). Batal wudlu sebab buang air besar dan kecil.

Setiap kaum muslimin niscaya mengetahui bahwa buang air besar dan buang air kecil itu membatalkan wudlu. Maka jika ada seseorang di antara mereka yang melakukan salah satunya, lalu ia ingin mengerjakan sholat maka ia bergegas untuk berwudlu terlebih dahulu. Hal inipun telah tersurat di dalam ayat di bawah ini,

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ اْلغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَـــاءَ

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ((atau kembali dari tempat buang air (jamban) atau menyentuh perempuan)). [QS. Al-Ma’idah/ 5: 6 dan QS. An-Nisa’/ 4: 43].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, ”Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam kalimat pertama menyebutkan pembatal wudlu secara global yaitu sesuatu yang keluar dari dua jalan, [1] berupa kotoran manusia , fusa (buang angin yang tidak berbunyi), dlurath (buang angin yang berbunyi), air seni dan madzi”. [2]

عن زر بن حبيش قَالَ: أَتَيْتُ رَجُلاً يُدْعَى صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ فَقَعَدْتُ عَلَى بَابِهِ فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا شَأْنُكَ؟ قُلْتُ: أَطْلُبُ اْلعِلْمَ قَالَ: إِنَّ اْلمـَلاَئِكَةَ تَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ اْلِعْلِم رِضًا بِمَا يَطْلُبُ فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ تَسْأَلُ؟ قُلْتُ: عَنِ اْلخُفَّيْنِ قَالَ: كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَمَرَنَا أَنْ لاَّ نَنْزِعَهُ ثَلاَثًا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ وَ لَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَ بَوْلٍ وَ نَوْمٍ

Dari Zurr bin Hubaisy berkata, ”Aku pernah mendatangi seorang lelaki yang dikenal bernama Shofwan bin Assal. Akupun duduk di depan pintunya lalu ia keluar dan berkata, ”Apa keperluanmu?”. Aku jawab, ”mencari ilmu”. Ia berkata, ”Sesungguhnya para malaikat merendahkan sayapnya kepada pencari ilmu karena ridlo dengan apa yang ia cari”. Lalu ia bertanya, ”Apa yang hendak engkau tanyakan ?”. Aku jawab, ”tentang dua khuff (sepatu)”. Ia menjawab, ”Dahulu apabila kami bersama Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam dalam suatu safar Beliau memerintahkan kami agar tidak melepasnya selama tiga (hari) dari sebab buang air besar, buang air kecil dan tidur (pulas), kecuali dari sebab janabat”. [HR an-Nasa’iy: I/ 98, 84, Ahmad: IV/ 239, 240, at-Turmudziy: 96, 3535 dan Ibnu Majah: 478, Ibnu Khuzaimah: 17. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[3]

Maksudnya; tidak perlu melepaskan khuff (sendal) jikalau batal wudlu dari sebab buang air besar atau buang air kecil ataupun tidur pulas. Tetapi cukup di dalam berwudlu mengusap khuff bagian atas permukaannya. Maka buang air besar, buang air kecil dan tidur pulas adalah membatalkan wudlu yang harus diperbaharui jika hendak menunaikan sholat.

2)). Batal wudlu dari sebab buang angin.

Begitu pula termasuk yang membatalkan wudlu adalah buang angin, baik yang bersuara ataupun tidak. Sebab buang angin ini termasuk dari yang keluar dari dua jalan yakni dari dubur.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ يَزَالُ اْلعَبْدُ فىِ صَلاَةٍ مَا كَانَ فىِ اْلمـَسْجِدِ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ مَا لَمْ يُحْدِثْ فَقَالَ رَجُلٌ أَعْرَبِيٌّ: مَا اْلحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ؟ قَالَ: الصَّوْتُ (يَعْنىِ الضُّرْطَةَ)

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata: telah bersabda Nabi Shallalahu alaihi wa sallam , “Senantiasa seorang hamba itu di dalam sholat selama ia di dalam masjid menunggu sholat sepanjang ia tidak berhadats”. Seorang Arab Baduwi bertanya, “Apakah hadats itu wahai Abu Hurairah?. Ia menjawab: Keluar suara (yaitu buang angin)”. [HR al-Bukhoriy: 176, 445, 477, 547, 648, 659, 2119, 3229, 4717, Abu Dawud: 471, at-Turmudziy: 330 dan Ibnu Majah: 799. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

عن عائشة زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: أَتَتْ سَلْمَى مَوْلاَةُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم -أوِ مَرَأَةُ أِبىِ رَافِعٍ مَوْلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم – إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَسْتَأْذِنُهُ عَلىَ أَبىِ رَافِعٍ قَدْ ضَرَبَهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِأَبىِ رَافِعٍ: مَا لَكَ وَلَهَا يَا أَبَا رَافِعٍ؟ قَالَ: تُؤْذِيْنىِ يَا رَسُوْلَ اللهِ! فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: بِمَ أَذَيْتِيْهِ يَا سَلْمَى ؟ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَذَيْتُهُ بِشَيْءٍ وَ لَكِنَّهُ أَحْدَثَ وَ هُوَ يُصَلِّى فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا رَافِعٍ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَدْ أَمَرَ اْلمـُسْلِمِيْنَ إِذَا خَرَجَ مِنْ أَحَدِهِمُ الرِّيْحُ أَنْ يَتَوَضَّأَ (وَ قَالَ الطَّبْرَانِىُّ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ خَرَجَ مَنْهُ رِيْحٌ فَلْيُعِدِ اْلوُضُوْءَ فَقَامَ فَضَرَبَنىِ فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَضْحَكُ وَ يَقُوْلُ: يَا أَبَا رَافِعٍ إِنَّهَا لَمْ تَأْمُرْكَ إِلاَّ بِخَيْرٍ أَيْ بِالْوُضُوْءِ مِنَ الرِّيْحِ

Dari Aisayah radliyallahu anha istri Nabi Shallalahu alaihi wa sallam berkata, “Salma mantan budak perempuannya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam -atau istrinya Abu Rafi’ mantan budaknya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam -pernah datang kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam meminta idzin kepada beliau lantaran Abu Rafi’ (suaminya itu) memukulnya”. Berkata Aisyah, “Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bertanya, “wahai Abu Rafi’ apa yang telah terjadi denganmu dan istrimu?”. Ia menjawab, “Ya Rosulullah, ia telah menyakitiku”. Beliau bertanya kepada Salma, “Wahai Salma, dengan apa engkau menyakitinya?”. Ia menjawab, “aku tidak pernah menyakitinya sedikitpun, tetapi ia pernah hadats ketika sedang sholat, lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Rafi’ sesungguhnya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk berwudlu apabila keluar angin dari seseorang dari mereka”. (Berkata ath-Thabraniy, “Sesungguhnya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “barangsiapa yang keluar angin darinya maka hendaklah ia mengulangi wudlunya)”. Lalu ia berdiri dan memukulku. Maka perilaku Abu Rafi’ itu membuat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam tertawa dan beliau bersabda, “Wahai Abu Rafi’ sesungguhnya tidaklah ia menyuruhmu melainkan kebaikan, yaitu berwudlu dari sebab buang angin”. [HR Ahmad: VI/ 72, al-Bazzar dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini sanadnya hasan].[5]

عن عائشة قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم  : إِذَا أَحْدَثَ أَحَدُكُمْ فىِ صَلاَتِهِ فَلْيَأْخُذْ بِأَنْفِهِ ثُمَّ لِيَنْصَرِفْ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Telah bersabda Nabi Shallalahu alaihi wa sallam, ”Apabila seseorang di antara kalian berhadats di dalam sholatnya maka hendaklah ia memegang hidungnya dan pergilah”. [HR Abu Dawud: 1114, Ibnu Majah: 1222, Ibnu Khuzaimah: 1019, Ibnu Hibban dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

عن عباد بن تميم عن عمه ( عبد الله بن زيد بن عاصم المازنى الأنصاري) أَنَّهُ شَكَا إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم الرَّجُلَ الَّذِى يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فىِ الصَّلاَةِ فَقَالَ: لاَ يَنْتَقِلُ –أَوْ لاَ يَنْصَرِفُ- حَتىَّ يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا

Dari Ubad bin Tamim dari pamannya (yaitu Abdullah bin Zaid bin Ashim al-Maziniy al-Anshoriy) bahwasanya ia mengadukan kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam seorang lelaki yang mengkhayalkan (membayangkan) bahwa ia mendapatkan sesuatu di dalam sholat. Beliau menjawab, “Janganlah ia berpindah atau pergi (dari sholatnya)[7] sehingga ia mendengar suara atau mencium bau (yaitu buang angin)”. [HR al-Bukhoriy: 137, 177, 2056, Muslim: 361, Abu Dawud: 176 dan Ibnu Majah: 513. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[8]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, “Diharamkan berpaling dari sholat tanpa penyebab yang jelas. Bahwa angin yang keluar dari dubur baik bersuara ataupun tidak, merupakan pembatal wudlu”. [9]

عن أبي سعيد الخدري قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم عَنِ التَّشَبُّهِ فىِ الصَّلاَةِ قَالَ: لاَ يَنْصَرِفُ حَتىَّ يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدُ رِيْحًا

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, ”Nabi Shallalahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang kesamaran di dalam sholat. Beliau menjawab, ”Janganlah ia pergi (dari Sholat) sehingga ia mendengar suara atau mencium bau”. [HR Ibnu Majah: 514. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [10]

عن أبي هريرة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ وُضُوْءَ إِلاَّ مِنْ صَوْتٍ أَوْ رِيْحٍ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “tidak ada wudlu (lagi) kecuali dari sebab suara dan bau”. [HR at-Turmudziy: 74, Ibnu Majah: 515 dan Ahmad: II/ 410, 435, 471. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم : إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فىِ بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ اْلمـَسْجِدِ حَتىَّ يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ وَجَدَ رِيْحًا

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang di antara kalian mendapatkan sesuatu di dalam perutnya lalu ia samar-samar atasnya apakah telah keluar sesuatu darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau”. [HR Muslim: 362, Abu Dawud: 177, at-Turmudziy: 75, Ahmad: II/ 414, Ibnu Khuzaimah: 24, 28 dan ad-Darimiy: I/ 183. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan agar membuang keraguan yang muncul bagi orang yang sedang berada di dalam sholat, melenyapkan rasa waswas yang telah dijadikan oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam termasuk dari godaan setan dan tidak boleh berpindah (keluar) kecuali untuk berdiri pindah yang penuh keyakinan seperti mendengar suara, mencium bau atau menyaksikan yang keluar (dari dubur atau qubul)”. [13]

Maka dengan dalil-dalil di atas, buang angin baik berbunyi ataupun tidak itu membatalkan wudlu. Berbunyi karena terdengar suaranya yang keras atau perlahan dan tidak berbunyi karena hanya tercium baunya saja.

Namun jika merasakan keluarnya angin itu dengan samar, yaitu ia tidak yakin merasakannya antara keluar atau tidak, maka janganlah ia menganggapnya batal sehingga ia mencium bau atau mendengar suaranya.

3)). Batal wudlu dari sebab keluar madzi.

Yang juga termasuk batalnya wudlu adalah keluarnya madzi dari arah qubul yaitu salah satu dari dua jalan. Madzi biasanya keluar lantaran berkobarnya syahwat namun keluarnya tidak memancar sebagaimana mani.

عن علي قَالَ: كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً [فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسْأَلَ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم] فَأَمَرْتُ اْلمِقْدَادَ [بْنَ اْلأَسْوَدِ] أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم  [لمِـَكَانِ ابْنَتِهِ] فَسَأَلَهُ فَقَالَ: فِيْهِ اْلوُضُوْءُ (و فى رواية: تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ)

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, ”Aku adalah seorang lelaki yang suka keluar madzi. Aku malu bertanya kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Lalu aku menyuruh al-Miqdad (bin al-Aswad) untuk bertanya kepada Nabi Shallalahu alaihi wa sallam karena kedudukan putrinya. Lalu bertanyalah ia kepada Beliau, maka sabdanya, ”Padanya (ada) wudlu”. Di dalam satu riwayat, ”berwudlulah dan cucilah farji (kemaluan)mu”. [HR al-Bukhoriy: 132, 178, 269, Muslim: 303, Abu Dawud: 206,  an-Nasa’iy: I/ 96, 97, 111, 112 dan Ibnu Khuzaimah: 19, 21. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, ”Bahwasanya madzi itu termasuk dari pembatal wudlu karena ia keluar dari salah satu dari dua jalan (yakni kubul dan dubur)”. [15]

عن علي قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلمـَذْيِ فَقَالَ: فِيْهِ اْلوُضُوْءُ وَ فىِ اْلمـَنِيِّ اْلغُسْلُ

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, ”Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang madzi, maka Beliau bersabda, ”Padanya ada wudlu dan pada mani ada mandi”. [HR Ibnu Majah: 504 dan at-Turmudziy: 114, Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [16]

عن سهل بن حنيف قَالَ: كُنْتُ أَلْقَي مِنَ اْلمـَذْيِ شِدَّةً وَ كُنْتُ أَكْثَرُ مِنْهُ اْلاِغْتِسَالَ فَسَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم  عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنَّمَا يُجْزِيْكَ مِنْ ذَلِكَ اْلوُضُوْءُ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَكَيْفَ بِمَا يُصِيْبُ ثَوْبيِ مِنْهُ؟ قَالَ: يَكْفِيْكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحُ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تَرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ

Dari Sahl bin Hunaif radliyallahu anhu berkata, ”Aku mendapatkan (diriku) banyak mengeluarkan mani maka jadilah aku orang yang banyak mandi dari sebabnya. Aku bertanya kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam tentang hal tersebut”. Beliau bersabda, ”Cukuplah bagimu wudlu dari sebab itu”. Aku bertanya, ”Wahai Rosulullah bagaimana dengan madzi yang mengenai bajuku?”. Beliau menjawab, ”Cukup bagimu mengambil air dengan telapak tanganmu lalu engkau memerciki bajumu dengannya di tempat yang engkau yakini terkena madzi”. [HR Abu Dawud: 210, Ibnu Majah: 506 dan at-Turmudziy: 115. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [17]

عن عبد الله بن سعد الأنصاري قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَمَّا يُوْجِبُ اْلغُسْلَ وَ عَنِ اْلمـَاءِ يَكُوْنُ بَعْدَ اْلمـَاءِ فَقَالَ: ذَاكَ اْلمـَذْيُ وَ كُلُّ فَحْلٍ يُمْذِي فَتَغْسِلُ مِنْ ذَلِكَ فَرْجَكَ وَ أُنْثَيَيْكَ وَ تَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ

Dari Abdullah bin Sa’d al-Anshoriy radliyallahu anhu berkata, “aku pernah bertanya kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam tentang yang mewajibkan mandi dan tentang air yang ada setelah air (maksudnya: keluar mani)”. Beliau menjawab, “Itu adalah madzi, dan semua pria itu keluar madzi. Maka engkau mencuci farji dan kantung dzakarmu dari sebabnya dan berwudlulah seperti wudlu untuk sholat”. [HR Abu Dawud: 211. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

Beberapa dalil di atas menerangkan bahwasanya setiap atau kebanyakan lelaki itu mengeluarkan madzi dan keluarnya madzi itu menyebabkan batalnya wudlu. Maka jika seorang lelaki keluar madzi padahal ia telah berwudlu maka hendaklah ia memperbaharui wudlu dengan mencuci farji (atau kemaluan) dan kedua kantung dzakarnya dari kotoran lalu berwudlu kembali untuk sholat.

Berbeda dengan mani yang mewajibkan mandi janabat, maka madzi tidak mewajibkan mandi tapi cukup mencuci kotoran darinya lalu berwudlu untuk sholat. Sebab madzi itu adalah yang mengalir keluar dari dzakar (kemaluan lelaki) ketika berkobarnya syahwat. Madzi itu keluar tanpa memancar, tanpa merasakan kelezatan dan tanpa diikuti oleh rasa letih. Terkadang seseorang tidak merasakan keluarnya. Hal tersebut dapat terjadi pada lelaki dan perempuan. [19]

4)). Batal wudlu dari sebab menyentuh farji.

عن طلق بن علي قَالَ: خَرَجْنَا وَفْدًا حَتىَّ قَدِمْنَا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه و سلم فَبَايَعْنَاهُ وَ صَلَّيْنَا مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ جَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا تَرَى فىِ رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فىِ الصَّلاَةِ ؟ قَالَ: وَ هَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ – أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ-

Dari Thalq bin Ali radliyallahu anhu berkata, “Kami pernah keluar sebagai utusan sehingga kami datang kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, lalu kami berbaiat (berjanji setia) kepadanya dan sholat bersamanya. Ketika selesai sholat datanglah seorang lelaki seolah-olah dia seorang Arab Baduwi lalu bertanya, “Wahai Rosulullah begaimana pandanganmu terhadap seseorang yang menyentuh farjinya di dalam sholat ?”. Beliau menjawab, “Ia hanya sepotong daging darimu”. [HR an-Nasa’iy: I/ 101, at-Turmudziy: 85, Abu Dawud: 182 dan Ibnu Majah: 483. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Sabdanya Shallalahu alaihi wa sallam (ia hanyalah sepotong daging darimu) di dalamnya terdapat isyarat halus bahwasanya menyentuh yang tidak mewajibkan wudlu adalah yang tidak berkaitan dengan syahwat, karena di dalam keadaan ini memungkinkan menyerupakan menyentuh sepotong daging tersebut dengan sepotong daging yang lain dari tubuh. Berbeda dengan keadaan yang apabila menyentuhnya dengan syahwat maka ketika itu tidak mungkin menyerupakan menyentuhnya dengan menyentuh potongan daging lain, karena  biasanya penyentuhan ini tidak berkaitan dengan syahwat. Ini adalah perkara yang jelas sebagaimana engkau lihat. Hadits ini tidak dapat menjadi dalil bagi golongan Hanafiy yang berpendapat bahwa menyentuh (farji) secara mutlak tidak membatalkan wudlu, tetapi hadits ini menjadi dalil bagi orang yang berpendapat bahwa menyentuh (farji) dengan tanpa syahwat tidak membatalkan wudlu. Dan adapun menyentuhnya dengan syahwat maka hal itu dapat membatalkan wudlu dengan dalil dari Busrah. [21] Dengan hal ini terhimpun (pengertian) antara dua hadits dan inilah yang dipilih Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah di sebahagian kitabnya sebagaimana yang telah aku sebutkan. Wallahu a’lam”. [22]

Katanya lagi, ”Sanadnya shahih, dan sungguh benar perkataan tentangnya dari sekelompok para shahabat di antaranya Ibnu Abbas dan Ammar bin Yasir radliyallahu anhum. Oleh sebab itu, Imam Ahmad rahimahullah memilih antara mengambil hadits ini dan yang sebelumnya.[23] Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menggabungkan (atau mengkompromikan) di antara keduanya yaitu yang pertama sentuhan dengan syahwat dan yang lainnya sentuhan tanpa syahwat. Dan di dalamnya terdapat ungkapan makna tersebut yaitu sabdanya, ((“bahagian darimu”)). [24]

عن عروة بن الزبير قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ اْلحَكَمِ فَذَكَرْنَا مَا يَكُوْنُ مِنْهُ اْلوُضُوْءُ فَقَالَ مَرْوَانُ: مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ اْلوُضُوْءُ فَقَالَ عُرْوَةٌ: مَا عَلِمْتُ ذَلِكَ فَقَالَ مَرْوَانُ: أَخْبَرَتْنىِ بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ أَنهَّاَ سَمِعَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Urwah bin az-Zubair radliyallahu anhu berkata, ”Aku pernah masuk ke (rumah) Marwan bin al-Hakam. Lalu kami bercerita apa yang menyebabkan berwudlu”. Marwan berkata, ”wudlu itu dari sebab menyentuh farji”. Berkata Urwah, ”Aku tidak mengetahui hal itu”. Berkata Marwan, ”Busrah binti Shofwan telah mengkhabarkan kepadaku bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila seseorang di antara kalian menyentuh farjinya maka hendaklah ia berwudlu”. [HR an-Nasa’iy: I/ 100, 100-101, 216, at-Turmudziy: 82, Abu Dawud: 181, Ibnu Majah: 479, Ahmad: VI/ 406, 407, Ibnu Khuzaimah: 33 dan ad-Darimiy: I/ 184-185. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

عن بسرة بنت صفوان أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلىَ فَرْجِهِ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Busrah binti Shofwan adliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian menyentuh farjinya maka berwudlulah”. [HR an-Nasa’iy: I/ 216. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : مَنْ أَفْضَى بِيَدِهِ إِلىَ ذَكَرِهِ لَيْسَ دُوْنَهُ سِتْرٌ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ اْلوُضُوْءُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menyentuh farjinya dengan tangannya sedangkan tiada pembatas di hadapannya maka wajiblah wudlu atasnya”. [HR Ahmad: II/ 333, asy-Syafi’iy, Ibnu Hibban, as-Daruquthniy: 525, al-Hakim dan al-Baihaqiy. Telah berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

عن جابر بن عبد الله قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَعَلَيْهِ اْلوُضُوْءُ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang di antara kalian menyentuh farjinya maka wajiblah wudlu atasnya”. [HR Ibnu Majah: 480. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]

عن أم حبيبة قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Ummu Habibah radliyallahu anha berkata, ”aku pernah mendengar Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, ”barangsiapa menyentuh farjinya maka hendaklah ia berwudlu”. [HR Ibnu Majah: 481 dan 482 dari Abu Ayyub. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]

عن ابن عمرو قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ وَ أَيمُّاَ امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ

Dari Ibnu Amr radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “barangsiapa yang menyentuh farjinya maka berwudlulah dan siapapun perempuan yang menyentuh farjinya maka berwudlulah”. [HR Ahmad: II/ 223. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[30]

Jelaslah bagi kita bahwasanya menyentuh farji itu termasuk dari pembatal wudlu dengan syarat adanya syahwat ketika menyentuhnya. Tetapi jika tidak, lantaran tidak sengaja menyentuhnya ketika memakai pakaian misalnya, maka hal tersebut tidak membatalkan wudlu. Karena dalam keadaan tersebut Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam telah menyerupakan farji dengan potongan daging lainnya dari tubuh.

Begitu pula jika menyentuh farji anaknya, tidak membatalkan wudlu. Sebagaimana pernah ditanya kepada asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Seorang perempuan apabila memandikan anaknya sedangkan ia dalam keadaan suci, apakah wajib baginya untuk berwudlu kembali?”. Lalu Beliau menjawab, “Apabila seorang perempuan memandikan anak lelaki atau anak perempuannya lalu memegang farjinya, maka tidak wajib wudlu baginya. Ia hanya cukup mencuci kedua tangannya saja. Sebab menyentuh farji tanpa syahwat tidaklah mewajibkan wudlu. Sebagaimana telah diketahui bahwa perempuan yang memandikan anak-anaknya tidaklah terlintas adanya syahwat padanya. Apabila ia memandikan anak lelaki atau perempuannya maka cukup baginya mencuci kedua tangannya saja dari najis yang menimpanya dan tidak wajib wudlu baginya”. [31]

5)). Batal wudlu dari sebab makan daging unta.

Berbeda dengan memakan daging-daging selain daging unta yang tidak mewajibkan wudlu. Maka memakan daging unta meskipun sedikit itu membatalkan wudlu dan wajib orang yang memakannya untuk memperbaharui wudlunya jika ingin menunaikan sholat.

Daging unta itu telah diketahui oleh manusia, hak Rosul Shallalahu alaihi wa sallam adalah memberikan penjelasan dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan kewajiban kita sebagai umatnya adalah mengimani, mengamini dan menerimanya tanpa keraguan dan bantahan.

عن جابر بن سمرة أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلغَنَمِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَ إِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ؟ قَالَ: نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ قَالَ: أُصَلِّي فىِ مَرَابِضِ اْلغَنَمِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: أُصَلِّي فىِ مَبَارِكِ اْلإِبِلِ؟ قَالَ: لاَ

Dari Jabir bin Samurah radliyallahu anhu bahwasanya ada seorang lelaki bertanya kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Apakah saya berwudlu dari sebab (makan) daging kambing?. Beliau menjawab, “Jika engkau mau, berwudlulah dan jika mau, tidak usah berwudlu”. Ia bertanya, ”Apakah saya berwudlu dari sebab (makan) daging unta?”. Beliau menjawab, ”Ya, berwudlulah dari sebab (makan) daging unta”. Ia bertanya, ”Bolehkah saya sholat di tempat pembaringan kambing?”. Beliau menjawab, ”Ya”. Ia bertanya, ”Bolehkah saya sholat di tempat pembaringan unta?”. Beliau menjawab, ”tidak”. [HR Muslim: 360, Ibnu Majah: 495, Ahmad: V/ 86, 88, 92, 93, 98, 100, 102, 105, 106, 108 dan Ibnu Khuzaimah: 31, 32. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”hadits ini menunjukkan bahwasanya makan daging unta itu termasuk di dalam jajaran yang membatalkan wudlu”. [33]

عن البراء بن عازب قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلوُضُوْءِ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ فَقَالَ: تَوَضَّؤُوْا مِنْهَا وَ سُئِلَ عَنْ لُحُوْمِ اْلغَنَمِ فَقَالَ: لاَ تَتَوَضَّؤُوْا مِنْهَا وَ سُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ فىِ مَبَارِكِ اْلإِبِلِ فَقَالَ: لاَ تُصَلُّوْا فىِ مَبَارِكِ اْلإِبِلِ فَإِنهَّاَ مِنَ الشَّياَطِيْنِ وَ سُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ مِنْ مَرَابِضِ اْلغَنَمِ فَقَالَ: صَلُّوْا فِيْهَا فَإِنهَّاَ بَرَكَةٌ

Dari al-Barra’ bin Azib radliyallahu anhu berkata, ”Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang berwudlu dari sebab (makan) daging unta”. Beliau menjawab, ”berwudlulah kalian dari sebabnya”. Dan juga ditanya tentang berwudlu dari sebab (makan) daging kambing. Beliau menjawab, ”janganlah kalian berwudlu dari sebabnya”. Beliau ditanya tentang sholat di tempat pembaringan unta. Beliau menjawab, ”janganlah kalian sholat di tempat pembaringan unta, karena sesungguhnya ia dari syaitan”. Dan juga ditanya tentang sholat di tempat pembaringan kambing. Beliau menjawab, ”Sholatlah kalian padanya, karena sesungguhnya ia merupakan berkah”. [HR Abu Dawud: 184, at-Turmudziy: 81, Ibnu Majah: 494 dan Ahmad: IV/ 288. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [34]

عن جابر بن سمرة رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا نَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ وَ لاَ نَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلغَنَمِ

Dari Jabir bin Samurah radliyallahu anhu berkata, ”Kami berwudlu dari sebab (makan) daging unta dan tidak berwudlu dari sebab (makan) daging kambing”. [Telah mengeluarkan atsar ini Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf dengan sanad yang shahih darinya sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Tamam al-Minnah]. [35]

Dalil-dalil di atas menunjukkan batalnya wudlu seseorang yang memakan daging unta yang ia wajib memperbaharui wudlunya ketika hendak menunaikan sholat. Dan tidak batal ketika memakan daging selainnya, misalnya; kambing, sapi, ayam dan yang lainnya. Tetapi hanya dianjurkan saja jika ia mau (telah berlalu pembahasannya). [36] Daging unta itu termasuk binatang yang halal untuk dimakan maka ia termasuk binatang ternak yang menjadi binatang kurban,[37] namun Nabi Shallalahu alaihi wa sallam telah membedakan daging unta dari yang lainnya dalam perkara ini. Maka kewajiban kita adalah mengimani dan mentaatinya tanpa keraguan dan bantahan sedikitpun. Sebagai bentuk ketundukkan kepada kerosulan Beliau Shallalahu alaihi wa sallam yang telah diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

6)). Batal wudlu dari sebab tidur pulas.

Pembatal wudlu berikutnya adalah tidur pulas, yang dengan tidur itu ia tidak mengetahui dan menyadari apakan telah keluar sesuatu dari duburnya atau tidak. Tetapi jika tidur itu tidak sampai nyenyak dan orang yang tidur tersebut masih sadar dan tahu jika ada sesuatu yang keluar dari duburnya maka tidur tersebut tidak membatalkan wudlunya. Karena yang dikhawatirkan dari tidur pulas tersebut adalah keluarnya sesuatu dari duburnya sedangkan ia tidak menyadarinya.

عن زر بن حبيش قَالَ: أَتَيْتُ رَجُلاً يُدْعَى صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ فَقَعَدْتُ عَلَى بَابِهِ فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا شَأْنُكَ؟ قُلْتُ: أَطْلُبُ اْلعِلْمَ قَالَ: إِنَّ اْلمـَلاَئِكَةَ تَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ اْلعِلْمَ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ تَسْأَلُ؟ قُلْتَ: عَنِ اْلخُفَّيْنِ قَالَ: كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَمَرَنَا أَنْ لاَ نَنْزِعَهُ ثَلاَثًا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ وَ لَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَ بَوْلٍ وَ نَوْمٍ

Dari Zurr bin Hubaisy berkata, ”Aku pernah mendatangi seorang lelaki yang dikenal bernama Shofwan bin Assal. Akupun duduk di depan pintunya lalu ia keluar dan berkata, ”Apa keperluanmu?”. Aku jawab, ”mencari ilmu”. Ia berkata, ”Sesungguhnya para malaikat merendahkan sayapnya kepada pencari ilmu karena ridlo dengan apa yang ia cari”. Lalu ia bertanya, ”Apa yang hendak engkau tanyakan?”. Aku jawab, ”tentang dua khuff (sepatu)”. Ia menjawab, ”Dahulu apabila kami bersama Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam dalam suatu safar Beliau memerintahkan kami agar tidak melepasnya selama tiga (hari) dari sebab buang air besar, buang air kecil dan tidur (pulas). kecuali dari sebab janabat”. [HR an-Nasa’iy: I/ 98, 84, Ahmad: IV/ 239, 240, at-Turmudziy: 96, 3535 dan Ibnu Majah: 478. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [38]

عن علي بن أبي طالب أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اْلعَيْنُ وِكَاءُ السُّهِّ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Mata itu penyumbat dubur maka barang siapa yang tidur maka berwudlulah”. [HR Ibnu Majah: 477, Abu Dawud: 203 dan Ahmad: I/ 111. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [39]

عن عائشة قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَنَامُ حَتىَّ يَنْفُخَ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّي وَ لاَ يَتَوَضَّأُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam tidur sehingga mendengkur kemudian Beliau bangun lalu sholat dan tidak berwudlu”. [HR Ibnu Majah: 474, 475 dari Abdullah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [40]

عن عبد الله بن عمر أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم شُغِلَ عَنْهَا لَيْلَةً فَأَخَّرَهَا حَتىَّ رَقَدْنَا فىِ اْلمـَسْجِدِ ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ رَقَدْنَا ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ُثمَّ رَقَدْنَا ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: لَيْسَ أَحَدٌ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ غَيْرَكُمْ

Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam suatu malam pernah disibukkan. Lalu ia menundanya[41] sehingga kami tidur di dalam masjid. Kemudian kami bangun, lalu kami berbaring tidur kemudian kami bangun lalu kami tidur kemudian Beliau keluar kepada kami lalu bersabda, “Tiada seorangpun yang menunggu sholat selain kalian”. [HR Abu Dawud: 199. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [42]

عن ابن عباس قَالَ: بِتُّ لَيْلَةً عِنْدَ خَالَتىِ مَيْمُوْنَةَ بِنْتِ اْلحَارِثِ فَقُلْتُ لَهَا: إِذَا قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَأَيْقِظِيْنيِ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقُمْتُ إِلىَ جَنْبِهِ اْلأَيْسَرِ فَأَخَذَ بِيَدِي فَجَعَلَنيِ مِنْ شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ فَجَعَلْتُ إِذَا أَغْفَيْتُ يَأْخُذُ بِشَحْمَةِ أُذُنيِ قَالَ: فَصَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ احْتَبىَ حَتىَّ إِنيِّ لَأَسْمَعُ نَفَسَهُ رَاقِدًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ اْلفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, ”aku pernah bermalam di rumah bibiku Maimunah binti al-Harits”. Aku berkata kepadanya, ”Jika Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bangun maka bangunkan aku. Lalu Berdirilah Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam dan akupun berdiri di sebelah kirinya. Beliau memegang tanganku lalu menjadikanku sebelah kanannya. Maka jika aku mengantuk Beliau memegang cuping (ujung telinga bawah)ku”. Berkata Ibnu Abbas, ”Lalu Beliau sholat sebelas rakaat kemudian Beliau duduk (memeluk lututnya) sehingga aku mendengar desah nafasnya dalam keadaan tidur. Ketika telah nampak jelas fajar baginya, Beliau sholat dua rakaat yang ringan”. [HR Muslim: 763 juz I sholat al-Musaafiriin dan Abu Dawud: 1364. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [43]

عن أنس قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَنْتَظِرُوْنَ اْلعِشَاءَ الآخِرَةَ حَتىَّ تُخْفِقَ رُؤُوْسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَ لاَ يَتَوَضَّؤُوْنَ

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, “Adalah para shahabat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam menanti sholat isya terakhir sehingga terangguk-angguk kepala-kepala mereka (karena tidur) kemudian mereka sholat dan tidak berwudlu lagi”. [HR Abu Dawud: 200, 201, at-Turmudziy: 78, Muslim: 376, Ahmad: III/ 160 dan ad-Daruquthniy: 469. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44]

عنه قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَضَعُوْنَ جُنُوْبُهُمْ فَيَنَامُوْنَ فَمِنْهُمْ مَنْ يَتَوَضَّأُ وَ مِنْهُمْ مَنْ لاَ يَتَوَضَّأُ

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, ”Adalah para shahabat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam meletakkan lambung mereka lalu mereka tidur. Di antara mereka ada yang berwudlu dan ada pula di antara mereka yang tidak berwudlu”. [HR Abu Dawud di dalam kitab Masa’il al-Imam Ahmad. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dan sanadnya shahih berdasarkan atas syarat dua syaikh yaitu al-Bukhoriy dan Muslim]. [45]

عنه قَالَ: لَقَدْ رَأَيْتُ أَصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُوْقِظُوْنَ لِلصَّلاَةِ حَتىَّ أَنيِّ لَأَسْمَعُ لِأَحَدِهِمْ غَطِيْطًا ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَ لاَ يَتَوَضَّؤُوْنَ

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, “Sungguh-sungguh aku melihat para shahabat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bangun untuk sholat sehingga aku benar-benar mendengar dengkuran seseorang di antara mereka kemudian mereka sholat dan tidak berwudlu lagi”. [HR ad-Daruquthniy: 468. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy dan hadits ini adalah Shahih]. [46]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Maka yang benar adalah bahwasanya tidur itu membatalkan (wudlu) secara mutlak dan tidak ada dalil yang benar  untuk menguatkan hadits Shofwan (bin Assal), bahkan dikuatkan oleh hadits Ali secara marfu’, “Sumbatan dubur itu adalah kedua mata lalu barangsiapa yang tertidur maka berwudlulah”. Isnad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh al-Mundziriy, an-Nawawiy dan Ibnu ash-Shilah dan sungguh aku telah jelaskan hadits ini di dalam Shahiih Sunan Abii Daawuud: 188. Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam telah memerintahkan semua orang yang tidur untuk wudlu dan tidak mengacaukan atas keumumannya, sebagaimana diduga oleh sebahagian orang. Tetapi hadits ini mengisyaratkan bahwasanya tidur itu bukanlah penyebab yang membatalkan (wudlu) tetapi diduga karena keluarnya sesuatu dari manusia didalam keadaan ini. Kami katakan, “ketika perkara seperti itu maka Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam menyuruh semua orang yang tidur untuk berwudlu walaupun dalam keadaan duduk kokoh (menempel tanah) karena Beliau Alaihi as-Salam telah mengkhabarkan bahwasanya kedua mata itu adalah penyumbat dubur lalu jika kedua mata telah tertidur maka terbukalah sumbat tersebut sebagaimana di dalam hadits lain. Dan orang yang duduk menempel tanah itu tidur maka kadang-kadang sumbatannya terbuka walaupun di dalam sebahagian keadaan ia seolah-olah bergerak miring ke kanan atau kiri. Maka (dengan hal ini) telah tetaplah hikmah diperintahkannya wudlu bagi setiap orang yang tidur. Wallahu a’lam”. [47]

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang tidur dalam keadaan duduk, apakah membatalkan wudlu?. Beliau menjawab, ”Adapun tidur ringan dari sebab duduk (menempel) di tempat duduknya maka hal ini tidak membatalkan wudlu, menurut kebanyakan para ulama dari empat imam dan selain mereka. Karena menurut pandangan mereka, tidur itu bukanlah hadats tetapi di duga (keluarnya) hadats. Sebagaimana ditunjukkan oleh hadits yang terdapat di dalam as-Sunan, ((mata itu adalah sumbatan dubur, jika kedua mata tidur terlepaslah sumbatannya)), di dalam satu riwayat, ((maka barangsiapa yang tidur, maka berwudlulah))”. [48]

Maka yang menjadi penyebab batalnya wudlu dari tidur adalah dugaan keluarnya hadats dari arah dubur. Maka jika seseorang itu memejamkan kedua matanya dalam keadaan tertidur pulas, maka terlepaslah sumbatan duburnya yaitu matanya, karena telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bahwasanya kedua mata itu adalah sumbatan dubur. Dan ketika itu pula ia tidak dapat mengendalikan dirinya sehingga ia tidak mengetahui apakah telah keluar hadats atau tidak dari arah duburnya. Maka ketika itulah wajib wudlu baginya, namun jika tidurnya tidak pulas atau cuma terkantuk-kantuk yang ia masih dapat menjaga duduknya dan dapat pula merasakan keluar atau tidaknya sesuatu dari duburnya maka tidaklah wajib wudlu baginya. Sebab pada dasarnya tidur itu bukanlah hadats tetapi diduga telah keluarnya hadats atau dikhawatirkan keluarnya hadats tanpa disadari.

 7)). Batal wudlu sebab hilangnya akal.

Mereka (yakni para ulama rahimahumullah) bersepakat bahwasanya hilangnya akal dengan sebab gila, pingsan dan mabuk karena minum khamer, arak, biusan atau obat dapat membatalkan wudlu sedikit ataupun banyak. Karena dalam keadaan itu kacaunya pikiran lebih sangat daripada tidur. [49]

Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin umumnya dan keluargaku khususnya. Wallahu a’lam bi ash-Showab.


[1]  Yaitu dubur dan qubul.

[2]  Aysar at-Tafasir: I/ 599-600.

[3]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 152, 153, 123, Shahih Sunan at-Turmudziy: 84, 2801, Shahih Sunan Ibni Majah: 387 dan Irwa’ al-Ghalil: 103, 106.

[4] Shahih Sunan Abi Dawud: 446, Shahih Sunan at-Turmudziy: 271, Shahih Sunan Ibni Majah: 651, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7690 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 442.

[5]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3070.

[6]  Shahih Sunan Abi Dawud: 985, Shahih Sunan Ibni Majah: 1007, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 286 dan Misykah al-Mashobih: 1007.

[7] Karena ia mengira telah batal.

[8]  Shahih Sunan Abi Dawud: 162, Shahih Sunan Ibni Majah: 414 dan Irwa’ al-Ghalil: 107.

[9] Taysir al-Allam: I/ 74.

[10]  Shahih Sunan Ibni Majah: 415.

[11] Shahih Sunan at-Turmudziy: 64, Shahih Sunan Ibni Majah: 416, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7572 dan Misykah al-Mashobih: 310.

[12]  Shahih Sunan Abi Dawud: 163, Shahih Sunan at-Turmudziy: 65 dan Irwa’ al-Ghalil: 119.

[13]  Nail al-Awthar: I/ 256.

[14] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 87 lafazh ini baginya, Shahih Sunan Abi Dawud: 190, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 148, 149, 150, 151, 187, 188, Irwa’ al-Ghalil: 47, 109, 125, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 562 dan Misykah al-Mashobih: 302.

[15]  Taysir al-Allam: I/ 73.

[16]  Shahih Sunan Ibni Majah: 407, Shahih Sunan at-Turmudziy: 99, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5910 dan Misykah al-Mashobih: 311.

[17]  Shahih Sunan Abi Dawud: 195, Shahih Ibni Majah: 409 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 100.

[18]  Shahih Sunan Abi Dawud: 196.

[19]  Taysir al-Allam: I/ 71.

[20] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 159, Shahih Sunan At-Turmudziy: 74, Shahih Sunan Abi Dawud: 167, Shahih Sunan Ibnu Majah: 392 dan Misykah al-Mashobih: 320.

[21] Akan datang takhrijnya, Insya Allah.

[22] Tamam al-Minnah halaman 103.

[23]  Yaitu hadits-hadits tentang batalnya wudlu sebab menyentuh farji.

[24]  Catatan kaki dari kitab Misykah al-Mashobih: I/ 104 komentar hadits nomor 320.

[25]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 157, 158, 431, 433, 434, Shahih Sunan at-Turmudziy: 71, Shahih Sunan Abi Dawud: 166, Shahih Sunan Ibni Majah: 388, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6554, Irwa’ al-Ghalil: 116 dan Misykah al-Mashobih: 319.

[26]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 432, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 361 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1235.

[27]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 362, SIlsilah al-Ahadits ash-Shahihah: III/ 238 dan Misykah al-Mashobih: 321.

[28]  Shahih Sunan Ibni Majah: 379.

[29]  Shahih Sunan Ibni Majah: 390, 391, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6555 dan Irwa’ al-Ghalil: 117.

[30] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2725 dan Irwa’ al-Ghalil: I: 151.

[31] Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah halaman 15.

[32] Mukhtashor Shahih Muslim: 146, Shahih Sunan Ibni Majah: 402, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3006, Irwa’ al-Ghalil: 118 dan Silsilah al-Ahadiits ash-Shahihah: V/ 415-416.

[33] Nail al-Awthar: I/ 253.

[34] Shahih Sunan Abi Dawud: 169, Shahih Sunan at-Turmudziy: 70, Shahih Sunan Ibni Majah: 401 dan Irwa’ al-Ghalil: I/ 152, 194.

[35] Tamam al-Minnah halaman 106.

[36] Lihat pembahasan; Apa yang dianjurkan berwudlu, dianjurkan wudlu dari sebab memakan yang disentuh api.

[37] Iihat QS. al-Hajj/ 22: 36-37.

[38] Telah berlalu haditsnya di dalam bab Batal wudlu sebab buang air besar dan kecil.

[39]  Shahih Sunan Ibni Majah: 386, Shahih Sunan Abi Dawud: 188, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4149, Irwa’ al-Ghalil: 113 dan Misykah al-Mashobih: 316.

[40]  Shahih Sunan Ibni Majah: 384, 385.

[41] Yaitu menunda sholat isya karena Beliau Shallalahu alaihi wa sallam disibukkan oleh persiapan mengirim pasukan. [‘Aun al-Ma’bud: I/ 233].

[42]  Shahih Sunan Abi Dawud: 183.

[43]  Shahih Sunan Abi Dawud: 1215 dan Irwa’ al-Ghalil: 115.

[44] Shahih Sunan Abi Dawud: 184, 185, Shahih Sunan at-Turmudziy: 67, Mukhtashor Shahih Muslim: 145 dan Irwa’ al-Ghalil: 114.

[45] Tamaa al-Minnah halaman 100 dan Irwa’ al-Ghalil: I/ 149.

[46]  Irwa’ al-Ghalil: I/ 149.

[47]  Tamam al-Minnah halaman 100-101.

[48]  Majmu’ Fatawa: XXI/ 228-229.

[49]  Baca Shahih Muslim bi Syarh al-Imam Muslim: IV/ 74 dan Fiq-h as-Sunnah: I/ 40.

UNTUK APA ANDA BERWUDLU (2) ??…

masjid nabawi2Apa yang dianjurkan berwudlu

بسم الله الرحمن الرحيم

Ada amalan yang mewajibkan berwudlu seperti sholat baik yang wajib ataupun yang sunnah atau melakukan thawaf di ka’bah. Demikian pula, selain itu ada beberapa anjuran dari Islam bagi para pemeluknya untuk berwudlu ketika hendak melakukan suatu amalan di dalam Islam atau juga setelah selesai dari menunaikan suatu perbuatan.

Berikut ini uraiannya,

1)). Dianjurkan wudlu ketika hendak tidur

Apabila seorang muslim hendak membaringkan tubuhnya untuk tidur, sebelum melakukan beberapa kegiatan ibadah semisal membaca surat al-Mulk, membaca doa tidur dan selainnya, maka dianjurkan kepadanya untuk berwudlu seperti wudlunya untuk sholat.

Namun jika kondisinya muslim tersebut dalam keadaan junub maka cukuplah baginya mencuci farji (kemaluan)nya, berwudlu dan membaca salah satu dari doa hendak tidur.

عن البراء بن عازب رضي الله عنها قَالَ: قَالَ ليِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ اْلأَيْمَنِ وَ قُلْ: اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَ فَوَّضْتُ أَمْرِى إِلَيْكَ وَ أَلجْـَأْتُ ظَهْرِى إِلَيْكَ رَغْبَةً وَ رَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَ لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى أَنْزَلْتَ وَ بِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ فَإِنْ مُتَّ مُتَّ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ فَقُلْتُ: أَسَتَذْكُرُهُنَّ : وَ بِرَسُوْلِكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ قَالَ: لاَ وَ بِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ

Dari al-Barra’ bin ‘Azhib radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepadaku, “Apabila engkau mendatangi pembaringanmu, hendaklah engkau berwudlu seperti wudlumu untuk sholat  kemudian berbaringlah atas sisimu yang sebelah kanan dan ucapkanlah,

 اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَ فَوَّضْتُ أَمْرِى إِلَيْكَ وَ أَلجْـَأْتُ ظَهْرِى إِلَيْكَ رَغْبَةً وَ رَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَ لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى أَنْزَلْتَ وَ بِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ

“(Ya Allah aku menundukkan diriku kepada-Mu, menguasakan urusanku kepada-Mu dan mempercayakan diriku kepada-Mu dengan penuh harap dan cemas karena tiada tempat berlindung dan tiada pula tempat selamat dari (siksa)Mu melainkan kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan juga kepada nabi-Mu yang telah Engaku utus).  Maka seandainya engkau mati, engkau mati dalam keadaan fithrah, dari sebab itu jadikanlah doa tersebut sebagai akhir dari ucapanmu”. Aku bertanya, “Apakah yang engkau ingat, “dan kepada rosul-Mu yang telah Engkau utus” (و برسولك الذى أرسلت). Ia menjawab, “Tidak, dan kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus”  (و بنبيك الذى أرسلت). [HR al-Bukhoriy: 247, 6311, Muslim: 2710, Abu Dawud: 5046, at-Turmudziy: 3394, 3574 dan Ibnu Majah: 3876. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

عن معاذ بن جبل t عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ عَلىَ ذِكْرٍ طَاهِرٍ فَيَتَعَارُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tiadalah seorang muslim bermalam dalam keadaan bersuci lalu ia terjaga (terbangun) di waktu malam kemudian ia memohon kepada Allah kebaikan dari dunia dan akhirat melainkan Allah akan memberikannya kepada orang tersebut”. [HR Abu Dawud: 5042 dan Ahmad: V/ 235, 341, 344. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

عن ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ بَاتَ طَاهِرًا بَاتَ فىِ شِعَارِهِ مَلَكٌ فَلاَ يَسْتَيْقِظُ إِلاَّ قَالَ اْلمـَلَكُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلاَنٍ فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang bermalam dalam keadaan suci bermalamlah seorang malaikat di rambutnya. Tidaklah ia bangun melainkan malaikat itu berdoa, ”Ya Allah ampunilah hamba-Mu si Fulan karena ia bermalam dalam keadaan suci”. [HR Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

عن ابن عباس رضي الله عنهما  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: طَهِّرُوْا هَذِهِ اْلأَجْسَادَ طَهَّرَكُمُ اللهُ فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَبِيْتُ طَاهِرًا إِلاَّ بَاتَ مَعَهُ فىِ شِعَارِهِ مَلَكٌ لاَ يَنْقَلِبُ سَاعَةً مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَالَ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

Dari Ibnu Abbas  radliyallahu anhuma  bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bersihkanlah tubuh ini niscaya Allah akan mensucikan kalian. Karena tiada seorang hamba bermalam dalam keadaan suci melainkan bermalam seorang malaikat bersamanya di rambutnya yang tidaklah ia terbangun sesaat di waktu malam melainkan malaikat itu berdoa, “Ya Allah ampunilah hamba-Mu karena ia bermalam dalam keadaan suci”. [HR ath-Thabraniy dan di selainnya dari Ibnu Umar dengan lafazh ini. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [4]

عن ابن عباس رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ ثُمَّ نَامَ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah bangun di waktu malam lalu ia menunaikan hajatnya kemudian membasuh muka dan tangannya lalu tidur. [HR Muslim: 304, Abu Dawud: 5043 dan Ibnu Majah: 508. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

Menguatkan hal demikian mengenai haknya orang yang junub,

عن ابن عمر رضي الله عنهما أَنَّهُ قَالَ: ذَكَرَ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّا بِ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم  أَنَّهُ تُصِيْبُهُ اْلجَنَابَةُ مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : تَوَضَّأْ وَ اغْسِلْ ذَكَرَكَ ثُمَّ نَمْ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya ia berkata, “Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu menceritakan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya ia tertimpa janabat di waktu malam. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Berwudlulah dan cucilah farji (kemaluan)mu kemudian tidurlah!”. [HR al-Bukhoriy: 290, an-Nasa’iy: I/ 140, Abu Dawud: 221, Ibnu Khuzaimah: 214 dan Ibnu Majah: 586 dari Abu Sa’id al-Khudriy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila ingin tidur sedangkan ia junub maka ia mencuci farjinya dan berwudlu seperti wudlunya untuk sholat”. [HR al-Bukhoriy: 286, 288, Muslim: 305, an-Nasa’iy: I/ 139, Abu Dawud: 222 dan Ibnu Majah: 584. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

عنها قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَشْرِبَ قَالَتْ: غَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَأْكُلُ أَوْ يَشْرِبُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila ingin tidur sedangkan ia dalam keadaan junub maka ia berwudlu”. Dan apabila ia ingin makan atau minum, Aisyah berkata, ”Beliau mencuci kedua tangannya lalu makan atau minum”. [HR an-Nasa’iy: I/ 138, 139, Muslim: 305, Abu Dawud: 223, 224, Ibnu Majah: 591, 592, 593 dari Jabir bin Abdullah dan Ahmad: VI/ 118-119, 119. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

 عن ابن عمر أَنَّ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَيَرْقُدُ  أَحَدُنَا وَ هُوَ جُنُبٌ؟ قَالَ: نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَ هُوَ جُنُبٌ (و فى رواية: إِذَا شَاءَ)

Dari Ibnu Umar adliyallahu anhuma bahwasanya Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu pernah bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah seseorang diantara kami (boleh) tidur dalam keadaan junub?”. Beliau menjawab, “Ya, apabila seseorang diantara kalian berwudlu maka bolehlah ia tidur dalam keadaan junub (di dalam satu riwayat; apabila ia mau)”. [HR al-Bukhoriy: 287, 289, Muslim: 306, at-Turmudziy: 160, an-Nasa’iy: I/ 139, Ibnu Majah: 585, Ibnu Khuzaimah: 212. Tambahan ini dari Muslim: 306 (24), Ibnu Khuzaimah: 211 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Ini merupakan dalil yang jelas atas tidak wajibnya wudlu sebelum tidur bagi orang yang junub, berbeda dengan golongan zhahiriyah”. [10]

Menguatkan penjelasan tersebut, hadits di bawah ini,

عن عائشة قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يُجْنِبُ ثُمَّ يَنَامُ وَ لاَ يَمَسُّ مَاءً حَتىَّ يَقُوْمَ بَعْدَ ذَلِكَ فَيَغْتَسِلَ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Pernah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan junub lalu tidur dan tidak menyentuh air sehingga bangun setelah itu kemudian mandi”. [HR Ibnu Majah: 581, 583, Abu Dawud: 228 dan at-Turmudziy: 118. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

عنها قَالَتْ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِنْ كَانَتْ لَهُ إِلىَ أَهْلِهِ حَاجَةٌ قَضَاهَا ثُمَّ يَنَامُ كَهَيْئَتِهِ لاَ يَمَسُّ مَاءً

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila mempunyai hajat kepada istrinya ia segera menunaikannya kemudian tidur seperti keadaannya, tidak menyentuh air”. [HR Ibnu Majah: 582. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

عنها أَنَّهُ  صلى الله عليه و سلم كَانَ إِذَا أَجْنَبَ فَأَرَادَ أَنْ يَنَامَ تَوَضَّأَ أَوْ تَيَمَّمَ

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila junub lalu ingin tidur maka Beliau berwudlu atau tayammum. [HR al-Baihaqiy. Berkata al-Hafizh: isnadnya hasan. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Meriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Itsam secara mauquf mengenai seorang lelaki yang terkena junub di waktu malam lalu berbaring untuk tidur. Aisyah berkata, ”Hendaknya ia wudlu atau tayammum”. Sanadnya Shahih]. [13]

 Kesimpulannya, Bahwasanya setiap muslim itu dianjurkan dan disukai agar berwudlu ketika hendak menuju pembaringannya untuk tidur seperti wudlunya hendak sholat, lalu berbaring dengan sisi sebelah kanan dan berdoa dengan doa yang disyariatkan. Terlebih jika ia dalam keadaan junub yaitu ia telah melakukan jimak (atau hubungan intim) dengan salah seorang dari istrinya dan enggan untuk mandi. Tetapi penganjuran itupun tidak sampai memberatkan umatnya dengan dihukumkan wajib sebab Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah tidur dalam keadaan junub dan tidak berwudlu atau hanya bertayammum.

2)). Dianjurkan wudlu ketika junub.

Begitu pula jika seorang muslim dalam keadaan junub sedangkan ia ingin berbaring tidur maka dianjurkan baginya untuk berwudlu terlebih dahulu apabila ia merasa berat untuk mandi junub.

عن عمار بن ياسر قَالَ: قَدِمْتُ عَلَى أَهْلِى لَيْلاً وَ قَدْ تَشَقَّقَتْ يَدَايَ فَخَلَّقُوْنىِ بِزَعْفَرَانَ فَغَدَوْتُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ وَ لَمْ يُرَحِّبْ بىِ فَقَالَ: اذْهَبْ فَاغْسِلْ هَذَا عَنْكَ! فَذَهَبْتُ فَغَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ وَ قَدْ بَقِيَ عَلَيَّ مِنْهُ رِدْعٌ فَسَلَّمْتُ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ وَ لَمْ يُرَحِّبْ بىِ وَ قَالَ: اذْهَبْ فَاغْسِلْ هَذَا عَنْكَ! فَذَهَبْتُ فَغَسَلْتُهُ ثُمَّ جِئْتُ فَسَلَّمْتُ فَرَدَّ عَلَيَّ وَ رَحَّبَ بىِ وَ قَالَ: إِنَّ اْلمـَلاَئِكَةَ لاَ تَحْضُرُ جَنَازَةَ اْلكَافِرِ بِخَيْرٍ وَ لاَ اْلمـُتَضَمِّخُ بِالزَّعْفَرَانِ وَ لاَ اْلجُنُبُ قَالَ: وَ رَخَّصَ لِلْجُنُبِ إِذَا نَامَ أَوْ يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبَ أَنْ يَتَوَضَّأَ

Dari Ammar bin Yasir radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah datang kepada keluargaku suatu malam dan kedua tanganku terluka belah (sobek), lalu mereka melumuriku dengan za’faran. Di waktu pagi aku pergi (menemui) Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam lalu aku mengucapkan salam kepadanya tetapi Beliau tidak menjawabnya dan tidak menyambut kedatanganku. Beliau bersabda, “Pergilah dan cucilah (za’faran) ini darimu”. Lalu aku pergi dan mencucinya kemudian datang (kembali kepadanya) dan masih tersisa padaku bekas (warna)nya. Aku mengucapkan salam kembali kepadanya tetapi Beliau tetap tidak menjawabnya dan tidak menyambut kedatanganku dan bersabda, “Pergilah dan cucilah (za’faran) ini darimu”. Lalu aku pergi dan mencucinya, kemudian datang (kembali) dan mengucapkan salam kepadanya. Beliau menjawab salamku dan menyambut kedatanganku dan bersabda, ”Sesungguhnya para malaikat tidak akan datang kepada jenazah orang kafir dengan membawa kebaikan, tidak pula kepada orang yang melumuri dirinya dengan za’faran dan tidak juga kepada orang yang junub”. Berkata Ammar, ”Beliau memberi keringanan (rukhshoh) kepada orang yang junub apabila tidur, makan atau minum untuk berwudlu”. [HR Abu Dawud: 4176 dan Ahmad: IV/ 320. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[14]

عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ تُقَرِّبُهُمُ اْلمـَلاَئِكَةُ: جِيْفَةُ اْلكَافِرِ وَ اْلمـُتَضَمِّخُ بِاْلخَلُوْقِ وَ اْلجُنُبُ إِلاَّ أَنْ يَتَوَضَّأَ

Dari Ammar bin Yasir radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan yang tidak akan didekati oleh para malaikat, yaitu; bangkainya orang kafir, orang yang melumuri dirinya dengan za’faran dan orang yang junub kecuali ia berwudlu”. [HR Abu Dawud: 4180. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [15]

عن ابن عبـاس عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ تُقَرِّبُهُمُ اْلمـَلاَئِكَةُ: اْلجُنُبُ وَ السُّكْرَانُ وَ اْلمـُتَضَمِّخُ بِاْلخَلُوْقِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan yang tidak akan didekati oleh para malaikat, yaitu; orang yang junub, orang mabuk dan yang melumuri dirinya dengan za’faran”. [HR al-Bazzar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [16]

Dalil-dalil di atas menerangkan bahwa ada beberapa golongan manusia yang tidak akan didekati oleh para malaikat rahmat yang datang membawa kebaikan-kebaikan yakni bangkai (mayat)nya orang kafir, orang yang melumuri dirinya dengan za’faran (wewangian khusus perempuan yang nampak jelas warnanya namun tiada nampak baunya), orang yang mabuk lantaran minum khomer dan orang yang junub kecuali berwudlu.

Para malaikat alaihim as-Salam tidak akan mendekat kepada orang yang junub kecuali berwudlu, hal ini jelas menunjukkan anjuran untuk berwudlu agar tidak dijauhi oleh para malaikat. Meskipun dengan wudlu tersebut ia tetap tidak dapat mengerjakan sholat sehingga ia mandi janabat. Namun faidahnya sangat jelas bahwa ia tidak akan dijauhi oleh para malaikat rahmat alaihim as-Salam yang boleh jadi akan memberikan kepadanya beberapa kebaikan dari berbagai kebaikan dunia dan akhirat.

3)). Dianjurkan wudlu ketika hendak mengulang jimak.

Setelah menjimak salah seorang dari istrinya lalu timbul keinginan lagi untuk mengulanginya maka dianjurkan baginya untuk mencuci farjinya terlebih dahulu dan berwudlu.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه  قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ و فى رواية: فَإِنَّهُ أَنْشَطُ لِلْعَوْدِ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang diantara kalian mendatangi istrinya kemudian ingin mengulanginya maka hendaklah ia berwudlu. Di dalam satu riwayat: karena hal itu lebih memberi semangat untuk mengulang”. [HR Muslim: 308, at-Turmudziy: 141, an-Nasa’iy: I/ 142, Abu Dawud: 220, Ibnu Majah: 587, Ahmad: III/ 21 dan Ibnu Khuzaimah: 219, 220. Tambahan hadits ini bagi Ibnu Khuzaimah: 221, Ibnu Hibban, al-Baihaqiy dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

Mendatangi istrinya yang dimaksud adalah menjimaknya atau berhubungan intim dengannya lalu jika ingin mengulanginya kembali maka dianjurkan untuk berwudlu terlebih dahulu. Karena hal tersebut dapat menambah semangat di dalam mengulanginya itu. Dan hal ini jelas lebih bersih dan disukai oleh keduanya.

4)). Dianjurkan wudlu sebelum mandi janabat.

Di dalam mengerjakan mandi janabat, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memulainya dengan membasuh kedua telapak tangannya dengan air lalu berwudlu seperti wudlunya untuk sholat. Maka dengan dalil yang bermuatan contoh dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ini hendaknya setiap muslim berpijak yakni mengawali mandi janabat dengan berwudlu sebelum mengguyur air ke seluruh tubuh. Sebab banyak di antara mereka yang belum tahu dan tidak mengerti akan kaifiyat atau tata cara di dalam mandi janabat. Penjelasan ini telah tertera di dalam dalil hadits berikut ini,

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم  أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ اْلجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ تَوَضَّأَ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فىِ اْلمـَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُوْلَ شَعْرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ (و فى رواية: حَتىَّ إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ) عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيْضُ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila mandi dari janabat beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya kemudian berwudlu seperti wudlunya untuk sholat. Lalu memasukkan jemarinya ke air kemudian menyela-nyela ujung rambutnya lalu menuangkan (dalam satu riwayat; sehingga apabila ia telah yakin telah mengairi kulit kepalanya, ia menuangkan) air atas kepalanya tiga cidukan dengan kedua tangannya kemudian ia menuangkan air ke seluruh kulitnya. [HR al-Bukhoriy: 248, 262, 272 dan lafazh hadits ini di dalam Mukhtashor Shahih al-Imaam al-Bukhoriy, Muslim: 316, Abu Dawud: 242, 243, at-Turmudziy: 104, an-Nasa’iy: I/ 134 dan Ahmad: I/ 307, 330. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [18]

 و عن ميمونة قَالَتْ: وَضَعْتُ (وفى رواية: صَبَبْتُ) لِلنَّبِيِّ مَاءً لِلْغُسْلِ [مِنَ اْلجَنَابَةِ] [وَ سَتَرْتُهُ] فَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَفْرَغَ [بِيَمِيْنِهِ] عَلَى شِمَالِهِ فَغَسَلَ مَذَاكِيْرَهُ (و فى رواية: فَرْجَهُ وَ مَا أَصَابَهُ مِنَ اْلأَذَى) ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ بِاْلأَرْضِ (و فى رواية:  ثُمَّ دَلَّكَ بِهَا اْلحَائِطَ و فى أخرى: بِاْلأَرْضِ أَوِ اْلحَائِطِ) [مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا] [ثُمَّ غَسَلَهَا] ثُمَّ مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ غَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ [وَ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا] (و فى رواية: تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ) ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى جَسَدِهِ ثُمَّ تَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ [ثُمَّ أَتيَ بِمِنْدِيْلٍ فَلَمْ يَنْفُضْ بِهَا (و فى رواية: فَنَاوَلْتُهُ خِرْقَةً فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَ لَمْ يُرِدْهَا) (و فى أخرى: فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ فَانْطَلَقَ وَ هُوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ)] فَجَعَلَ يَنْفُضُ بِيَدِهِ

Dari Maimunah radliyallahu anha berkata, ”Aku yang meletakkan (di dalam satu riwayat; yang menuangkan) air bagi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk mandi (dari janabat). Aku menutupinya (dari pandangan manusia), maka Beliau membasuh kedua tangannya dua atau tiga kali kemudian menuangkan (air) dengan tangan kanannya atas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya (di dalam satu riwayat; farjinya dan apa yang terkena kotoran). Lalu mengusap tangannya ke tanah (di dalam satu riwayat; ”lalu menggosok-gosokkan tangannya ke dinding”, di dalam riwayat yang lain; ”ke tanah atau dinding”), dua atau tiga kali. Kemudian membasuhnya, lalu berkumur-kumur, beristinsyaq, membasuh wajah, kedua tangan (dan membasuh kepalanya tiga kali) (di dalam satu riwayat, ”berwudlu seperti wudlunya untuk sholat kecuali kedua kakinya”). Lalu menuangkan (air) ke seluruh tubuhnya kemudian berpindah dari tempatnya lalu membasuh kedua kakinya. Lalu didatangkan kepadanya handuk kecil tetapi Beliau tidak mengibaskan kain tersebut ke tubuhnya (di dalam satu riwayat; lalu aku ambilkan untuknya secarik kain, maka Beliau berkata dengan tangannya; begini dan Beliau tidak menginginkannya). (Di dalam riwayat yang lain; lalu aku mengambilkan sepotong kain tetapi Beliau tidak mengambilnya kemudian pergi sedangkan Beliau sedang mengibas-ngibaskan kedua tangannya). Maka Beliau mengibas-ngibaskan tangannya”. [HR al-Bukhoriy: 249, 257, 259, 260, 265, 266, 274, 276, 281 dan lafazh hadits ini dari Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy, Muslim: 317, Abu Dawud: 245, at-Turmudziy: 103, an-Nasa’iy: I/ 137, 138 dan Ibnu Majah: 573. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[19]

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memperagakan untuk umatnya cara mandi janabat dengan sempurna sebagaimana yang telah dituturkan oleh kedua istrinya yaitu Aisyah dan Maimunah radliyallahu anha. Hal ini beliau lakukan agar dicontoh dan ditiru oleh mereka sebagai bentuk rasa kasih sayang beliau kepada mereka, supaya mandi yang mereka lakukan tersebut dapat mendatangkan nilai pahala dari sisi Allah Azza wa Jalla. Dan diharapkan kepada kaum muslimin untuk senantiasa mencontoh dan meniru Nabi mereka Shallallahu alaihi wa sallam dalam setiap amal dan khususnya di dalam masalah thaharah ini sebagai bentuk pengagungan dan ketaatan kepadanya.

Di dalam mandi tersebut, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengawalinya dengan berwudlu terlebih dahulu sebelum mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya. Tidak seperti yang mereka lakukan selama ini yang masih memahami mandi janabat itu hanya mengguyurkan air ke seluruh tubuh tanpa mengawalinya dengan wudlu. Mudah-mudahan dengan penjelasan ini, mereka paham dan berusaha untuk merubah kebiasaan tersebut kepada yang lebih baik dan benar.

5)). Dianjurkan wudlu dari sebab muntah.

عن أبي الدرداء رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَاءَ فَأَفْطَرَ فَتَوَضَّأَ فَلَقِيْتُ ثَوْبَانَ فىِ مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: صَدَقَ أَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوْءَهُ

Dari Abu ad-Darda radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam muntah maka Beliau berbuka (dari shoum) dan wudlu. Lalu aku bertemu dengan Tsauban di masjid Damasyqus maka aku cerikan kepadanya hal tersebut. Ia menjawab, ”Benar, karena akulah yang menuangkan air wudlunya kepada Beliau”. [HRat-Turmudziy: 87, Ahmad: VI/ 443, Abu Dawud: 2381 dan ad-Darimiy: II/ 14. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

Di dalam hadits di atas, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah muntah sedangkan beliau sedang mengerjakan shaum (puasa). Lalu Beliau berbuka dari shaum tersebut dengan sebabnya, kemudian berwudlu untuk menunaikan sholat.

Meskipun muntah itu bukan termasuk dari pembatal-pembatal wudlu, namun Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukannya sebagai bentuk anjuran untuk umatnya.

6)). Dianjurkan wudlu dari sebab menggotong mayat.

Menggotong mayat ke tempat pemakaman umum setelah ikut memandikan, mengafani dan menyolatkannya bersama kaum muslimin itu amat dianjurkan oleh syariat karena banyaknya faidah dari melakukannya. Setelah ikut menggotongnya maka dianjurkan untuk berwudlu seperti wudlunya untuk sholat.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ غَسَّلَ اْلمـَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memandikan mayat maka hendaklah ia mandi dan barangsiapa yang menggotongnya maka hendaklah berwudlu”. [HR Abu Dawud: 3161, at-Turmudziy: 993 dan al-Imam Ahmad: II/ 280, 433, 454, 472. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

Di dalam hadits di atas, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk berwudlu setelah selesai dari menggotong mayat dan mengantarkannya ke tempat pemakaman. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan keutamaan dari mengurus jenazah, berupa memandikan, mengafani, menyolatkan lalu menguburkannya. Jika ada seorang muslim ikut memandikan, mengafani lalu menyolatkan jenazah salah seorang dari shahabatnya yang muslim, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan balasan kebaikan untuknya pahala sebesar satu qirath (yaitu sebesar gunung Uhud). Lalu jika ia melanjutkannya dengan menggotong mayatnya ke pemakaman kemudian menyaksikan penguburannya maka ia akan mendapatkan pahala sebesar satu qirath lagi. Dengan sebab dalil inilah hendaknya setiap muslim tidak menyia-nyiakan pahala-pahala qirath yang telah ditawarkan oleh Allah Azza wa Jalla. [22]

Namun janganlah ia melupakan penganjuran dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, setelah ikut menggotong jenazah shahabatnya itu yaitu berwudlu. Meskipun menggotong mayat itu bukan termasuk dari pembatal-pembatal wudlu, namun jika dikerjakan akan lebih mendatangkan kebaikan untuknya kelak di dunia ataupun akhirat. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan pernah menyia-nyiakan pahala amal kebaikan sekecil dan seringan apapun.

7)). Dianjurkan wudlu dari sebab (memakan daging) yang disentuh api.

 Berikut ini beberapa dalil hadits yang menganjurkan wudlu setelah memakan daging yang dimasak dengan api meskipun sebelumnya ia masih dalam keadaan suci lantaran berwudlu,

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, ”aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Berwudlulah kalian dari sesuatu (makanan) yang disentuh api”. [HR an-Nasa’iy: I/ 105, 106, Abu Dawud: 194 dan at-Turmudziy: 79. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]

عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: اْلوُضُوْءُ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Dari Zaid bin Tsabit radliyallahu anhu berkata, Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Wudlu itu dari apa yang disentuh api”. [HR Muslim: 351 dan an-Nasa’iy: I/ 107. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]

عن عبد الله بن إبراهيم بن قارظ أخبره أَنَّهُ وَجَدَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ عَلَى اْلمـَسْجِدِ فَقَالَ: إِنمَّاَ يَتَوَضَّأُ مِنْ أَثْوَارِ أَقَطٍّ أَكَلْتُهَا لِأَنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم  يَقُوْلُ: تَوَضَّؤُوْا  مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Dari Abdullah bin Ibrahim bin Qorizh mengkhabarkan bahwasanya ia menjumpai Abu Hurairah sedang berwudlu di Masjid. Ia berkata, ”Hanyalah berwudlu dari sebab sepotong keju yang aku makan, karena aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Berwudlulah kalian dari apa yang disentuh api”. [HR Muslim: 352 dan an-Nasa’iy: I/ 105. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

و عن أبي سفيان ابن سعيد الأخنس بن شريق أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أُمِّ حَبِيْبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ هِيَ خَالَتُهُ فَسَقَتْهُ سَوِيْقًا ثُمَّ قَالَتْ لَهُ: تَوَضَّأْ يَا ابْنَ أُخْتيِ فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Dari Abu Sufyan bin Sa’id al-Akhnas bin Syariq bahwasanya ia pernah masuk ke rumah Ummu Habibah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan ia adalah bibinya. Lalu menghidangkan semangkuk gandum. Lalu ia berkata kepada Abu Sufyan, “Berwudlulah wahai kemenakanku, karena sesungguhnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Berwudlulah dari apa yang disentuh api”. [HR an-Nasa’iy: I/ 107 dan Abu Dawud: 195. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

 عن القاسم مولى معاوية قَالَ: دَخَلْتُ مَسْجِدَ دِمَشْقَ فَرَأَيْتُ أُنَاسًا مُجْتَمِعِيْنَ وَ شَيْخًا يُحَدِّثُهُمْ قُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوْا: سَهْلُ بْنُ اْلحَنْظَلِيِّةِ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله  صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ أَكَلَ لَحْمًا فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari al-Qosim maulanya Mu’awiyah berkata, “Aku pernah memasuki masjid Damasyqus lalu aku melihat banyak manusia berkumpul dan ada seorang syaikh sedang berbicara. Aku bertanya, ”Siapakah dia?”. Mereka menjawab, ”Sahl bin al-Hanzholiyah”. Lalu aku mendengar ia berkata, ”Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang makan daging maka hendaklah ia berwudlu”.  [HR Ahmad: IV/ 180, V/ 289. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [27]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Perintah di dalam hadits ini adalah untuk penganjuran (disukai) kecuali daging unta karena wajib. Terdapat ketetapan perbedaan antaranya dan daging selainnya. Mereka pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang berwudlu dari sebab (memakan) daging unta. Beliau bersabda, ”berwudlulah”. Dan juga ditanya tentang daging kambing. Beliau menjawab, ”jikalau kalian mau”.[28]

Jadi perintah berwudlu di dalam beberapa dalil di atas hanyalah berisi anjuran dan tidak wajib sebagaimana telah dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albaniy ahimahullah di atas dan juga karena beberapa dalil di bawah ini,

عن ابن عباس أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَكَلَ كَتِفَ شَاةٍ ثُمَّ صَلَّى وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah makan bahu seekor kambing kemudian sholat dan tidak berwudlu lagi. [HR Muslim: 354, al-Bukhoriy: 207, 5404, 5405, Ibnu Majah: 488 dan Ibnu Khuzaimah: 41. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]

عن عمرو بن أمية الضمري قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَحْتَزُّ مِنْ كَتِفِ شَاةٍ فَأَكَلَ مِنْهَا فَدُعِيَ إِلىَ الصَّلاَةِ فَقَامَ وَ طَرَحَ السِّكِّيْنَ وَ صَلَّى وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Amr bin Umayyah adl-Dlomiriy radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memotong bahu seekor kambing lalu memakannya. Kemudian Beliau diseru untuk sholat lalu berdiri, membuang(meletakkan) pisau, sholat dan tidak berwudlu lagi”. [HR Muslim: 355, al-Bukhoriy: 208, 2923, 5408, 5422, 5462, Ibnu Majah: 490, ad-Darimiy: I/ 185 dan Ahmad: V/ 288. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]

عن ميمونة زوج النبي صلى الله عليه و سلم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم أَكَلَ عِنْدَهَا كَتِفًا ثُمَّ صَلَّى وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Maimunah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah makan bahu (kambing) di sisinya kemudian sholat dan tidak berwudlu lagi. [HR Muslim: 356 dan al-Bukhoriy: 210. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [31]

عن جابر بن عبد الله قَالَ: أَكَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَ أَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ خُبْزًا وَ لَحْمًا وَ لَمْ يَتَوَضَّؤُوْا

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar pernah makan roti dan daging dan mereka tidak berwudlu lagi”. [HR Ibnu majah: 489 dan Ahmad: III/ 307. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]

عنه قَالَ: قَرَّبْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم خُبْزًا وَ لَحْمًا فَأَكَلَ ثُمَّ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ دَعَا بِفَضْلِ طَعَامِهِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَامَ إِلىَ الصَّلاَةِ وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, ”aku pernah menghidangkan roti dan daging untuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, lalu Beliau makan. Kemudian Beliau menyuruh mengambilkan air wudlu lalu berwudlu dan sholat zhuhur. Kemudian Beliau menyuruh mengambil sisa makanannya dan Beliau makan. Kemudian Beliau berdiri menuju sholat dan tidak berwudlu lagi”. [HR Abu Dawud: 191, at-Turmudziy: 80 dan Ahmad: III/ 322. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [33]

عنه قَالَ: كَانَ آخِرُ اْلأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَرْكَ اْلوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, “Adalah akhir dari dua perkara (wudlu dan tidak) dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah meninggalkan berwudlu dari apa yang disentuh api”. [Telah mengeluarkan atsar ini an-Nasa’iy: I/ 108, Abu Dawud: 192 dan Ibnu Khuzaimah: 43. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [34]

 Kesimpulannya adalah bahwasanya berwudlu dari sebab memakan daging yang dimasak dengan menggunakan api itu hanyalah berupa anjuran, bukan kewajiban. Sebab makan daging yang dimasak dengan api itu bukan termasuk pembatal-pembatal wudlu. Dari sebab itu setiap muslim yang baru selesai menyantap daging yang dimasak dengan api, diberi keleluasaan baginya untuk berwudlu kembali atau meninggalkannya ketika hendak mengerjakan sholat meskipun sebelumnya ia masih dalam keadaan suci karena telah berwudlu. Kecuali memakan daging unta, karena memakannya itu jelas-jelas membatalkan wudlu, yang tidak akan sah dan diterima sholat seseorang tanpa berwudlu kembali setelah memakannya. Akan datang beberapa dalil dan penjelasannya insya Allah, di dalam bab tersendiri.

 8)). Dianjurkan wudlu setiap kali hadats.

Hal lain yang dianjurkan berwudlu adalah setiap kali hadats, apakah dari sebab buang air besar, buang air kecil, buang angin ataupun selainnya.

عن بريدة (بن الحصيب) قَالَ: أَصْبَحَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَدَعَا بِلاَلاً فَقَالَ: يَا بِلاَلُ بِمَ سَبَقْتَنىِ إِلىَ اْلجَنَّةِ؟ مَا دَخَلْتُ اْلجَنَّةَ قَطٌّ إِلاَّ سَمِعْتُ خَشْخَشَتَكَ أَمَامِى دَخَلْتُ اْلبَارِحَةَ اْلجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْخَشَتَكَ أَمَامِى فَأَتَيْتُ عَلَى قَصْرِ مُرَبَّعٍ مُشْرَفٍ مِنْ ذَهَبٍ فَقُلْتُ: ِلمَنْ هَذَا اْلقَصْرُ؟ قَالُوْا: لِرَجُلٍ مِنَ اْلعَرَبِ فَقُلْتُ: أَنَا عَرَبِيٌّ لمِـَنْ هَذَا اْلقَصْرُ؟ قَالُوْا: لِرَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَقُلْتُ: أَنَا قُرَيْشٌ لمِـَنْ هَذَا اْلقَصْرُ؟ قَالُوْا: لِرَجُلٍ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم فَقُلْتُ: أَنَا مُحَمَّدٌ لمِـَنْ هَذَا اْلقَصْرُ؟ قَالُوْا: لِعُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ فَقَالَ بِلاَلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَذَّنْتُ قَطٌّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَ مَا أَصَابَنىِ حَدَثٌ قَطٌّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ عِنْدَهَا وَ رَأَيْتُ أَنَّ لِلَّهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: بِهِمَا

Dari Buraidah (bin al-Hushaib) radliyallahu anhu berkata, “Di waktu pagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menyuruh memanggil Bilal, lalu berkata, “Wahai Bilal, dengan apakah engkau mendahuluiku ke surga?. Aku tidaklah memasuki surga sedikitpun melainkan aku mendengar bunyi derap sendalmu di hadapanku. Lalu aku mendatangi sebuah istana berbentuk persegi empat yang tinggi yang terbuat dari emas”. Aku bertanya, ”Siapakah  pemilik istana ini?”. Mereka (yaitu para malaikat) menjawab, ”Milik seseorang dari bangsa Arab”. Aku jawab, ”Aku orang Arab, siapakah pemilik istana ini?”. Mereka menjawab, ”Milik  seseorang dari suku Quraisy”. Aku jawab, ”Aku orang Quraisy, siapakah pemilik istana ini?”. Mereka menjawab, ”Milik seseorang dari umat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam”. Aku menjawab, ”Aku Muhammad, siapakah pemilik istana ini?”. Mereka menjawab, ”Milik Umar bin al-Khaththab”. Bilal berkata, ”Wahai Rosulullah tidaklah aku beradzan sedikitpun melainkan aku sholat dua raka’at dan tidaklah hadats menimpaku sedikitpun melainkan aku berwudlu padanya dan aku berpandangan bahwasanya tetap bagiku sholat dua raka’at bagi Allah”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Dengan keduanya (inilah engkau mendahuluiku)”. [HR at-Turmudziy: 3689, Ahmad: V/ 360, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim: 1220, 5296. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]

Meskipun hal ini merupakan amal perbuatan Bilal bin Rabah radliyallahu anhu yang selalu berwudlu setiap kali hadats atau senantiasa memelihara wudlu di setiap keadaan, tetapi hal ini juga berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya. Karena hadits atau sunnah itu sebagaimana telah diketahui, bukan hanya yang dilakukan dan diucapkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tetapi juga yang didiamkan (taqrir) oleh Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sebagai tanda persetujuannya kepada amalan para shahabat radliyallahu anhum. Bahkan di dalam hadits tersebut, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menampakkan kekaguman terhadap amal perbuatan Bilal radliyallahu anhu yang menyebabkan bunyi terompahnya didengar oleh Beliau di surga padahal Bilal radliyallahu anhu waktu itu masih hidup di dunia.

Lalu sunnah atau kebiasaan Bilal radliyallahu anhu yang telah diakui dan dikagumi oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tersebut diperbolehkan untuk dijadikan sebagai amalan kaum muslimin lainnya. Sebab suatu amalan jika telah tsabit dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selama tidak dikhususkan untuk seseorang maka amalan tersebut juga diperkenankan untuk umat Beliau yang lainnya untuk mengamalkannya. Amal kebiasaan Bilal tersebut adalah berwudlu setiap kali berhadats, yaitu hadats dengan sebab buang air besar, buang air kecil atau buang angin ataupun selainnya.

9)). Dianjurkan wudlu setiap kali sholat.

Penganjuran selanjutnya adalah memperbaharui wudlu setiap kali hendak menunaikan sholat meskipun masih dalam keadaan memiliki wudlu dan tidak berhadats. Sebagaimana dalil dan penjelasan berikut ini,

عن عمرو بن عامر الأنصاري قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُوْلُ: كَانَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ قُلْتُ: فَأَنْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَصْنَعُوْنَ؟ قَالَ: كُنَّا نُصَلِّي الصَّلَوَاتِ كُلَّهَا بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ مَا لَمْ نُحْدِثْ

Dari Amr bin Amir al-Anshoriy radliyallahu anhu berkata, ”Aku pernah mendengar Anas bin Malik berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu di setiap kali sholat”. Aku bertanya, ”Apa yang kalian lakukan?”. Ia menjawab, ”Kami menunaikan seluruh sholat dengan sekali wudlu selama tidak berhadats”. [HR at-Turmudziy: 60, al-Bukhoriy: 214, Abu Dawud: 171, an-Nasa’iy: I/ 85 dan Ibnu Majah: 509. Berkata asy-Syaikh al-Abaniy: Shahih]. [36]

عن بريدة  قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلاَةٍ فَلَمَّا كَانَ عَامَ اْلفَتْحِ صَلَّى الصَّلَوَاتِ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ وَ مَسَحَ خُفَّيْهِ فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ فَعَلْتَهُ ؟ قَالَ: عَمْدًا فَعَلْتُهُ

Dari Buraidah radliyallahu anhu berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasanya berwudlu di setiap kali sholat. Ketika tahun penaklukan kota Mekkah (Fat-hu Makkah), Beliau menunaikan beberapa sholat dengan satu wudlu dan mengusap khuff (sepatu)nya”. Maka Umar bertanya, ”Sesungguhnya engkau telah melakukan sesuatu yang belum pernah engkau lakukan?”. Beliau menjawab, ”Aku dengan sengaja melakukannya”. [HR at-Turmudziy: 61, Muslim: 277, an-Nasa’iy: I/ 86, Ibnu Majah: 510, Abu Dawud: 172 dan Ibnu Khuzaimah: 12. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [37]

 عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  : لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتىِ لَأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ أَوْ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ سِوَاكٌ وَ لَأَخَّرْتُ عِشَاءَ اْلآخِرَةِ إِلىَ ثُلُثِ اللَّيْلِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Andaikan aku tidak menyusahkan umatku niscaya aku perintahkan mereka berwudlu setiap kali sholat, bersiwak setiap kali wudlu dan menangguhkan sholat isya terakhir hingga mencapai sepertiga malam”. [HR Ahmad: II/ 259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [38]

عن عبد الله بن عبد الله بن عمر قَالَ: قُلْتُ أَرَأَيْتَ تَوَضُّؤَ ابْنِ عُمَرَ لِكُلِّ صَلاَةٍ طَاهِرًا وَ غَيْرَ طَاهِرٍ عَمَّ ذَاكَ؟ فَقَالَ: حَدَّثَتْنِيْهِ أَسمَاءُ بِنْتُ زَيْدِ بْنِ اْلخَطَّابِ: أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ حَنْظَلَةَ بْنَ أَبيِ عَامِرٍ حَدَّثَهَا: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم أَمَرَ بِاْلوُضُوْءِ لِكُلِّ صَلاَةٍ طَاهِرًا وَ غَيْرَ طَاهِرٍ فَلَمَّا شَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ أَمَرَ بِالسِّوَاكِ لِكُلِّ صَلاَةٍ فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَى: أَنَّ بِهِ قُوَّةً فَكَانَ لاَ يَدَعُ اْلوُضُوْءَ لِكُلِّ صَلاَةٍ

Dari Abdullah bin Abdullah bin Umar berkata, “aku pernah berkata, “Bagaimana pandanganmu tentang wudlunya Ibnu Umar di setiap kali sholat dalam keadaan suci atau tidak, tentang apa?”. Ia menjawab, “Telah menceritakan kepadaku Asma binti Zaid bin al-Khaththab bahwasanya Abdullah bin Hanzholah bin Abi Amir menceritakan kepadanya bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh berwudlu setiap kali sholat dalam keadaan suci ataupun tidak”. Ketika yang demikian itu dirasakan berat maka Beliau menyuruh bersiwak di setiap kali sholat. Ibnu Umar berpendapat, ”Bahwasanya ia mempunyai kesanggupan (maksudnya; berwudlu di setiap sholat) maka ia tidak pernah meninggalkan wudlu di setiap kali sholat”. [HR Abu Dawud: 48 dan Ahmad: V/ 225. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [39]

Dalil-dalil di atas pada awalnya menunjukkan contoh dan anjuran dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang berwudlu setiap kali hendak menunaikan sholat, meskipun masih dalam keadaan suci. Kemudian suatu waktu, Beliau memperlihatkan secara sengaja kepada Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu berwudlu dengan sekali wudlu untuk mengerjakan beberapa sholat selama tidak berhadats. Namun Beliau menggantikannya dengan menyuruh mereka untuk selalu bersiwak di setiap kali hendak menunaikan sholat. Perilaku Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tersebut bertujuan untuk tidak memberatkan umatnya yang berwudlu setiap kali hendak menegakkan sholat, tetapi juga tidak berkehendak untuk menghapusnya.

Maka dengan beberapa dalil hadits di atas, diperbolehkan bagi setiap muslim untuk berwudlu dengan sekali wudlu untuk mengerjakan beberapa kali sholat selama tidak berhadats. Namun juga terdapat penganjuran untuk selalu memperbaharui wudlu setiap kali hendak menunaikan sholat.

10)). Dianjurkan wudlu ketika menyebut nama Allah Azza wa Jalla.

عن المهاجر بن قنفذ أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ يَبُوْلُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتىَّ يَتَوَضَّأَ ثُمَّ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ: إِنىِّ كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ  عز و جل إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ: عَلَى طَهَارَةٍ

Dari al-Muhajir bin Qanfadz radliyallahu anhu bahwasanya ia pernah mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan Beliau sedang buang air kecil. Lalu ia mengucapkan salam kepadanya tetapi tidak menjawabnya sehingga berwudlu. Kemudian Beliau memberi alasan kepadanya seraya berkata, “Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah Azza wa Jalla kecuali dalam keadaan suci”, atau Beliau bersabda, “dalam keadaan bersuci”. [HR Abu Dawud: 17, an-Nasa’iy: I/ 37, Ibnu Majah: 350, ad-Darimiy: II/ 287 dan Ahmad: V/ 80. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [40]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy  rahimahullah, “Ketika  السلام  merupakan satu nama dari nama-nama Allah ta’ala maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak suka  menyebut-Nya kecuali dalam keadaan suci. Maka hal ini menunjukkah bahwasanya membaca alqur’an tanpa bersuci adalah makruh (tidak disukai) dari bab yang lebih utama. Maka tidak pantas memutlakkan ucapan tentang bolehnya membaca alqur’an bagi orang yang hadats sebagaimana yang dilakukan oleh sebahagian saudara kita dari ahli hadits”. [41]

Beliau berkata di tempat lainnya, “Dan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “(Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah Azza wa Jalla kecuali dalam keadaan suci atau Beliau bersabda, “dalam keadaan bersuci), merupakan dalil jelas mengenai makruhnya membaca (alqur’an) bagi orang junub. Karena hadits tersebut datang mengenai salam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya dengan sanad yang shahih. Maka alqur’an lebih utama dari mengucapkan salam sebagaimana zhahirnya, tetapi tidak menafikan bolehnya sebagaimana yang telah dikenal maka pendapat tentangnya karena hadits shahih ini adalah wajib. Dan inilah seadil-adilnya pendapat Insyaa Allah ta’ala “.  [42]

عن أبي هريرة قَالَ: مَرَّ رَجُلٌ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ يَبُوْلُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ فَلَمَّا فَرَغَ ضَرَبَ بِكَفَّيْهِ اْلأَرْضَ فَتَيَمَّمَ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, ”Seorang lelaki pernah melewati Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang sedang buang air kecil. Lalu ia mengucapkan salam kepada Beliau tetapi tidak dijawab. Setelah Beliau selesai (darinya) maka Beliau memukul tanah dengan kedua telapak tangannya lalu bertayammum kemudian menjawab salamnya”. [HR Ibnu Majah: 351, al-Bukhoriy: 337 dan Muslim 369 kedua-duanya dari Abu al-Juhaim bin al-Harits.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih].[43]

Hal ini hanyalah jalan afdloliyah (keutamaan) dan anjuran saja, jika tidak maka menyebut nama Allah Subhanahu wa ta’ala boleh bagi yang suci, berhadats dan yang junub karena hadits di bawah ini,

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Adalah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyebut nama Allah di segala keadaannya”. [HR Muslim: 373, Abu Dawud: 18, at-Turmudziy: 3384, Ibnu Majah: 302 dan Ahmad: VI/ 70, 153. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah , ”Di dalam hadits ini terdapat dalil (bukti) bolehnya membaca alqur’an bagi orang yang junub karena alqur’an adalah dzikir (Dan Kami telah turunkan dzikir yakni alqur’an. QS. An-Nahl/16: 44) maka ayat ini masuk ke dalam keumuman ucapan Aisyah radliyallahu anha (yaitu menyebut nama Allah). Ya, yang paling utama adalah membaca alqur’an dalam keadaan bersuci karena sabdanya Shallallahu alaihi wa sallam ketika menjawab salam sesudah bertayammum (sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan bersuci. –Telah berlalu takhrijnya)-”. [45]

Katanya lagi, ”Kebanyakan yang aku sebutkan tentang hal yang berkaitan dengan ini adalah hadits dari Aisyah radliyallahu anha ketika menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka singgah di suatu tempat yang bernama Saraf dekat dengan kota Mekkah. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjumpai istrinya yang sedang menangis lantaran haidl. Lalu Beliau bersabda kepadanya, ”Lakukanlah apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang berhaji kecuali thowaf dan jangan pula kamu melakukan sholat”. [46] Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak melarangnya dari membaca alqur’an dan memasuki masjid al-Haram”.[47]

Wallahu a’lam bi ash-Showab.


[1] Mukhtashor Shahih Muslim: 1896, Shahih Sunan Abi Dawud: 4219, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2703, 2828, Shahih Sunan Ibni Majah: 3126, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 276 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 602.

[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 4216, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5754, Misykah al-Mashobih: 1215 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 597.

[3] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 596.

[4]  Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 598 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3936.

[5]  Shahih Sunan Abi Dawud: 4218 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 410.

[6]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 254, Shahih Sunan Abi Dawud: 205 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 476.

[7]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 252, Shahih Sunan Abi Dawud: 206, Shahih Sunan Ibni Majah: 474 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4660.

[8]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 249, 250, 251, Mukhtashor Shahih Muslim: 162, Shahih Sunan Abi Dawud: 207, 208, Shahih Sunan Ibni Majah: 481, 482, 483, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4659 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 390.

[9]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 104, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 253 dan Shahih Ibni Majah: 475

[10]  Adab az-Zifaf fi as-Sunnah al-Muthahharah oleh asy-Syaikh al-Albaniy halaman 116.

[11]  Shahih Sunan Ibni Majah: 471, 473, Shahih Sunan Abi Dawud: 210 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 103.

[12]  Shahih Sunan Ibni Majah: 472.

[13]  Fat-h al-Bariy: I/ 394 dan Adab az-Zifaf halaman 118.

[14]  Shahih Sunan Abi Dawud: 3519 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1959, 1960.

[15]  Shahih Sunan Abi Dawud: 3522, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3061 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 168.

[16]  Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 169, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3060 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1804.

[17]  Mukhtashor Shahih Muslim: 164, Shahih Sunan at-Turmudziy: 122, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 255, Shahih Sunan Abi Dawud: 204, Shahih Sunan Ibni Majah: 477, Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 263 dan Adab az-Zifaf halaman 107.

[18]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 147, Shahih Sunan Abi Dawud: 222, 223, Shahih Sunan at-Turmudziy: 91, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 241 dan Irwa’ al-Ghalil: 132

[19] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 153, Shahih Sunan Abi Dawud: 224, Shahih Sunan at-Turmudziy: 90, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 404, 405, 406, Shahih Sunan Ibni Majah: 465 dan Irwa’ al-Ghalil: 131.

[20]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 76, Shahih Sunan Abi Dawud: 2085, Irwa’ al-Ghalil: 111 dan Tamam al-Minnah halaman 111.

[21]  Shahih Sunan Abi Dawud: 2707, Shahih Sunan at-Turmudziy: 791, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6402, Irwa’ al-Ghalil: 144, Tamam al-Minnah halaman 112 dan  Ahkam al-Jana’iz halaman 71.

[22]  Lihat keterangan lebih lanjut di dalam kitab “Ahkam al-Jana’iz” susunan asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah di dalam bab “menggotong dan mengiringi jenazah” halaman 87-90 poin ke 44 dan 45.

[23]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 165, 166, 168, 169, Shahih Sunan Abi Dawud: 178, Shahih Sunan at-Turmudziy: 68, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3007, 7153 dan Misykah al-Mashobih: 303.

[24]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 173 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7154.

[25]  Mukhtashor Shahih Muslim: 147 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 167.

[26]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 174, 175 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 179.

[27]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6087 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2322.

[28]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: V/ 415-416. [HR Muslim: 360, Ibnu Majah: 495, Ahmad: V/ 86, 88, 92, 93, 98, 100, 102, 105, 106, 108 dan Ibnu Khuzaimah: 31, 32 dari Jabir bin Samurah radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 146, Shahih Sunan Ibni Majah: 402, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3006, Irwa’ al-Ghalil: 118 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: V: 415-416].

[29]  Shahih Sunan Ibni Majah: 395 dan Misykah al-Mashobih: 304.

[30]  Mukhtashor Shahih Muslim: 148, Shahih Sunan Ibni Majah: 397 dan Irwa’ al-Ghalil: 1962.

[31]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 126.

[32]  Shahih Sunan Ibni Majah: 396.

[33]  Shahih Sunan Abi Dawud: 176 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 69.

[34]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 179 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 177.

[35]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 2912, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7893, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 196 dan Tamam al-Minnah halaman 111.

[36]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 50, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 130, Shahih Sunan Abi Dawud: 156, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 127, Shahih Sunan Ibni Majah: 411 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4907.

[37]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 51, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 129, Shahih Sunan Ibni Majah: 412 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 157.

[38] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5318 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 200.

[39]  Shahih Sunan Abi Dawud: 38.

[40] Shahih Sunan Abi Dawud: 13, Shaiih Sunan an-Nasa’iy: 37, Shahih Sunan Ibni Majah: 280, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 834, Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 2472 dan Nail al-Awthar bi takhriij Ahadits Kitab al-Adzkar: 71 .

[41]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 511 dan Irwa’ al-Ghalil: I/ 92-93.

[42]  Irwa’ al-Ghalil: II/ 245.

[43]  Shahih Sunan Ibni Majah: 281.

[44] Mukhtashor Shahih Muslim: 169, Shahih Sunan Abi Dawud: 14, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2695, Shahih Sunan Ibni Majah: 245, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 406 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4943.

[45] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 691.

[46]  Dikeluarkan oleh al-Bukhoriy: 294, 305, 1650, 5559, Muslim: 1211 (120), Abu Dawud: 1786 dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Mukhtashor Shahih Muslim: 660, Shahih Sunan Abi Dawud: 1570, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2254, 2255 dan Misykah al-Mashobih: 2572.

[47]  Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah halaman 14-15.

UNTUK APA ANDA BERWUDLU (1) ??…

masjid nabawi1Apa yang mewajibkan wudlu

بسم الله الرحمن الرحيم

Telah banyak dalil dan penjelasan tentang beberapa keutamaan wudlu sebagaimana telah diabadikan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang shahih. Di samping itu pula, wudlu mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam Islam terutama di dalam ibadah-ibadah yang tertentu. Dan tidak boleh terwujud ibadah tersebut dan tidak akan pula mendapatkan balasan kebaikan kecuali dengannya. Misalnya sholat, maka sholat tidak boleh dilaksanakan tanpa berwudlu. Dan jikapun sholat dikerjakan tanpa wudlu lantaran kebodohan orang yang menunaikannya maka sholat itu tidak sah, tidak akan diterima dan tidak pula diberi balasan kebaikan oleh Allah Azza wa Jalla. Dari sebab itu wudlu adalah merupakan salah satu syarat penting dan pokok di dalam ibadah sholat.

1)). Sholat secara mutlak, yang wajib ataupun yang sunah.

Secara ijmak seluruh kaum muslimin di belahan bumi manapun, di era kapanpun dan di kondisi alam apapun, mereka memahami akan kewajiban wudlu ketika hendak mereka hendak menunaikan sholat, yang wajib ataupun yang sunnah. Tiada bedanya kaum perempuan atau kaum lelakinya, kaum tua ataupun kaum mudanya, golongan kaya ataupun golongan miskinnya, kalangan terpelajar ataupun kalangan biasanya dan seterusnya. Semuanya mereka meyakini akan wajibnya wudlu untuk menunaikan sholat baik yang wajib maupun yang sunnah.

Hal ini berdasarkan kepada dalil-dalil berikut ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى اْلمـَرَافِقِ وَ امْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى اْلكَعْبَيْنِ

Wahai orang-orang yang beriman apabila engkau hendak mengerjakan sholat maka basuhlah wajah dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. ((Q.S. al-Ma’idah/5: 6)).

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat ini memerintahkan berwudlu ketika berdiri untuk mengerjakan sholat  tetapi bagi orang yang berhadats hukumnya adalah wajib sedangkan yang masih suci hukumnya dianjurkan. Dan dikatakan juga bahwa perintah berwudlu setiap kali sholat adalah wajib di awal Islam kemudian mansukh (dihapus)”. [1]

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,

“Terdapat perintah untuk bersuci dan juga terdapat penjelasan tentang kaifiyat (cara) berwudlu, mandi dan tayammum.

Terdapat penjelasan tentang udzur (alasan) bagi mukmin untuk mengganti wudlu dengan tayammum.

Terdapat penjelasan akan kewajiban wudlu dan mandi”. [2]

عن علي قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ وَ تَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَ تَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam , “pembuka sholat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah ucapan salam”. [HR Abu Dawud: 61, at-Turmudziy: 3, Ahmad: I/ 123, 129, ad-Darimiy: I/ 175 dari Ali, at-Turmudziy: 4, Ahmad: III/ 340 dari Jabir bin Abdullah dan Ibnu Majah: 275 dari Muhammad bin al-Hanafiyyah dari ayahnya, 276 dari Abu Sa’id al-Khudriy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [3]

عن ابن عباس أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم خَرَجَ مِنَ اْلخَلاَءِ فَقُرِّبَ إِلَيْهِ طَعَامٌ فَقَالُوْا: أَلاَ نَأْتِيْكَ بِوَضُوْءٍ؟ قَالَ: إِنمَّاَ أُمِرْتُ بِاْلوُضُوْءِ إِذَا قُمْتُ إِلىَ الصَّلاَةِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar dari jamban (wc). Lalu disodorkan kepadanya makanan. Mereka berkata, ”Bolehkah kami bawakan kepadamu air wudlu?”. Beliau menjawab, ”Aku hanyalah diperintahkan berwudlu apabila hendak berdiri mengerjakan sholat”. [HR at-Turmudziy: 1847, an-Nasa’iy: I/ 85-86 dan Abu Dawud: 3760. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

 عن أبي هريرة يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتىَّ يَتَوَضَّأَ قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتٍ: مَا اْلحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, ”telah bersbda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ”Tidak akan diterima sholat orang yang berhadats”. Seorang lelaki dari Hadlromaut bertanya, ”apakah hadats itu wahai Abu Hurairah?”. Ia menjawab, ”fusa’ (buang angin yang tidak berbunyi) dan dlurath (buang angin yang berbunyi)”. [HR al-Bukhoriy: 135, 6954, Muslim: 225, Abu Dawud: 60, at-Turmudziy: 76, Ibnu Khuzaimah: 11 dan Ahmad: II/ 308, 318. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [5]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah,

”Bahwa sholat orang yang berhadats itu tidak akan diterima sehingga ia suci dari dua hadat yaitu yang besar dan yang kecil.

Bahwasanya hadats itu merupakan penggugur wudlu dan pembatal sholat jika terjadi di dalamnya.

Yang dimaksud dengan tidak diterima (sholatnya) di sini adalah tidak benar sholatnya dan tidak mendapatkan balasan.

Hadits tersebut menunjukkan bahwasanya bersuci itu adalah merupakan salah satu dari syarat sahnya sholat”. [6]

عن مصعب بن سعد قَالَ: دَخَلَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى ابِنْ عَامِرٍ يَعُوْدُهُ وَ هُوَ مَرِيْضٌ فَقَالَ: أَلاَ تَدْعُوا اللهَ ليِ يَا ابْنَ عُمُرُ ؟ قَالَ: إِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَ لاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ وَ كُنْتَ عَلَى اْلبَصْرَةِ

Dari Mush’ab bin Sa’d berkata, ”Ibnu Umar radliyallahu anhuma pernah masuk menjenguk Ibnu Amir yang sedang sakit”. Ibnu Amir berkata, ”Tidakkah engkau mendoakan kebaikan kepada Allah untukku wahai Ibnu Umar?”. Ibnu Umar menjawab, ”Sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Sholat tidak akan diterima tanpa bersuci dan shodakoh tidak akan diterima dari hasil  khianat sedangkan engkau (adalah penguasa) atas Bashrah”. [HR Muslim: 224, at-Turmudziy: 1 dan Ahmad: II/ 39, 57. Mengeluarkan hadits ini juga Abu Dawud: 59, an-Nasa’iy: 1/ 88, ad-Darimiy: I/ 175 dari Abi al-Malih dari ayahnya, Ibnu Khuzaimah: 9, 10 dan Ibnu Majah: 271, 272 dari Usamah bin Umair al-Hadzliy, 273 dari Anas bin Malik, 274 dari Abi Bakrah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

 عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  :لاَ صَلاَةَ لِمـَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam , “Tiada sholat bagi orang yang tiada wudlu baginya dan tiada wudlu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ta’ala atasnya”. [HR Abu Dawud: 101, Ibnu Majah: 399 dan Ahmad: II/ 418 darinya, Ibnu Majah: 398 dan ad-Daruquthniy: 226 dari Sa’id bin Zaid. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[8]

عَنْ سَعْدِ بْنِ عَمَّارَةَ أَخِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ – وَ كَانَتْ لَهُ صُحْبَة ٌ– أَنَّ رَجُلاً قَالَ لَهُ: عِظْنيِ فىِ نَفْسِى يَرْحَمُكَ اللهُ قَالَ: إِذَا أَنْتَ قُمْتَ إِلىَ الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ اْلوُضُوْءَ فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمـَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ إِيْمَانَ لِمـَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ ثُمَّ قَالَ: إِذَا أَنْتَ صَلَّيْتَ فَصَلِّ صَلاَةَ مُوَدَّعٍ وَ اتْرُكْ طَلَبَ كَثِيْرٍ مِنَ اْلحَاجَاتِ فَإِنَّهُ فَقْرٌ حَاضِرٌ وَ اجْمَعِ اْليَأْسَ مِمَّا فىِ أَيْدِي النَّاسِ فَإِنَّهُ هُوَ اْلغَنِيُّ وَ انْظُرْ إِلىَ مَا يَعْتَذِرُ مِنْهُ مِنَ اْلقَوْلِ وَ اْلِفْعِل فَاجْتَنِبْهُ

Dari Sa’d bin ‘Imarah saudaranya Sa’d bin Bakr – dan ia memiliki pershahabatan (dengannya)- bahwasanya ada seorang lelaki berkata kepadanya, “Nasihatilah aku mengenai diriku, semoga Allah merahmatimu”. Ia berkata, “Apabila engkau berdiri untuk sholat maka sempurnakanlah wudlu, karena tiada sholat bagi orang yang tiada wudlu baginya dan tiada iman bagi orang yang tiada sholat baginya”. Kemudian ia berkata lagi, “Apabila engkau sholat maka sholatlah dengan sholat muwadda’ (perpisahan), tinggalkan banyak permohonan dari berbagai keperluan karena hal tersebut merupakan kefakiran yang selalu ada, himpunlah keputusasaan dari apa yang ada pada tangan manusia kerena hal itu merupakan kekayaan dan perhatikan apa yang menjadi alasan dari ucapan dan tindakan lalu jauhilah”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini isnadnya hasan]. [9]

Beberapa dalil dari alqur’an dan hadits di atas mengungkapkan dengan jelas akan wajibnya wudlu bagi orang yang berhadats apabila ingin menunaikan ibadah sholat baik yang wajib ataupun yang sunnah. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada kaum muslimin apabila hendak menunaikan sholat agar mereka berwudlu terlebih dahulu. Dan bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengabadikan bahwasanya bersuci itu adalah kunci pembuka sholat yang tanpa kunci itu seorang muslim tidak boleh membuka dan memulai sholat. Dari sebab itu siapapun yang menunaikannya dalam keadaan hadats maka tidak akan diterima sholatnya sampai ia berwudlu dengan wudlu yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.

2)). Thawaf di Baitullah.

Hal lainnya yang mewajibkan wudlu adalah thawaf di baitullah atau ka’bah. Sebab thawaf itu telah diserupakan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan sholat, hanyasaja thawaf itu diperbolehkan untuk berbicara, meskipun sedikit dan hanya mengandung kebaikan. Maka sebagaimana sholat diwajibkan wudlu atasnya maka thawafpun demikian pula, apalagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri melakukannya. Hal ini telah dipaparkan di dalam beberapa dalil hadits berikut ini,

عن ابن عباس رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: الطَّوَافُ حَوْلَ اْلبَيْتِ مِثْلُ الصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّكُمْ تَتَكَلَّمُوْنَ فِيْهِ فَمَنْ تَكَلَّمَ فِيْهِ فَلاَ يَتَكَلَّمُ إِلاَّ بِخَيْرٍ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Thawaf di sekitar baitullah (Ka’bah) adalah seperti sholat hanya saja kalian boleh berbicara padanya. Maka barangsiapa yang (ingin) berbicara maka janganlah ia berbicara melainkan kebaikan”. [HR at-Turmudziy: 960, ad-Darimiy: II/ 44, Ibnu Khuzaimah: 2739, al-Baihaqiy dan al-Hakim: 1729, 3110. Berkata asy-Syaikh al-Alabniy: Shahih]. [10]

عن طاووس عَنْ رَجُلٍ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: الطَّوَافُ بِاْلبَيْتِ صَلاَةٌ فَأَقِلُّوْا مِنَ اْلكَلاَمِ

Dari Thowus dari seorang lelaki yang bertemu Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Thawaf di Ka’bah  itu adalah sholat maka sedikitlah berbicara”. [Telah mengeluarkan atsar ini an-Nasa’iy: V/ 222 dan Ahmad: III/ 414, IV/ 64, V/ 377. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Hadits ini menunjukkan bahwasanya sepatutnya thawaf itu dalam keadaan bersuci sebagaimana bersucinya sholat”. [12]

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قَالَ: أَقِلُّوا اْلكَلاَمَ فىِ الطَّوَافِ فَإِنمَّاَ أَنْتُمْ فىِ الصَّلاَةِ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, ”Persedikit berbicara pada waktu thawaf karena kalian dalam sholat”. [Telah mengeluarkan atsar ini an-Nasa’iy: V/ 222. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih isnadnya mauquf ]. [13]

عن عروة قَالَ: أَخْبَرَتْنيِ عَائِشَةُ رضي الله عنها أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِيْنَ قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ ثُمَّ لَمْ تَكُنْ عُمْرَةً ثُمَّ حَجَّ أَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ رضي الله عنهما مِثْلَهُ

Dari Urwah berkata, “Aisyah radliyallahu anha mengkhabarkan kepadaku bahwasanya sesuatu yang pertama-tama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mulai ketika datang (ke Mekkah) adalah berwudlu lalu thowaf kemudian tidak menjadikannya sebagai umrah. Lalu Abu Bakar dan Umar radliyallahu anhuma berhaji sepertinya”. [HR al-Bukhoriy: 1614, 1641 dan Muslim: 1235. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[14]

Di dalam beberapa dalil hadits di atas, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mendudukkan thawaf di ka’bah sama seperti menunaikan ibadah sholat, hanya saja di dalam thawaf diperbolehkan berbicara. Maka jika seseorang sedang melakukan thawaf dan keadaannya mengharuskan berbicara hendaklah ia mempersedikit bicara atau ia tidak berbicara melainkan kebaikan. Di samping itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang wanita yang sedang haidl dan nifas untuk melakukan thawaf [15] di dalam menunaikan ibadah haji atau umrah, sama seperti dilarangnya mereka dari mengerjakan sholat. Dengan dasar inilah maka diwajibkan berwudlu ketika menunaikan ibadah thawaf, apalagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah melakukannya sebagaimana di dalam hadits dari Aisyah radliyallahu anha di atas.

Wallahu a’lam.



[1] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 29.

[2]  Aysar at-Tafasir: I/ 601.

[3]  Shahih Sunan Abi Dawud: 55, Shahih Sunan at-Turmudziy: 3, 4, Shahih Sunan ibni Majah: 222, 223, Irwa’ al-Ghalil: 301, Sifat sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 59, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5885 dan Misykah al-Mashobih: 312, 313.

[4] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1506, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 128, Shahih Sunan Abi Dawud: 3197, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2337 dan Mukhtashor asy-Syama’il al-Muhammadiyyah: 158.

[5] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 90, Shahih Sunan Abi Dawud: 53, Shahih Sunan at-Turmudziy: 66, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7382, 7745 dan Misykah al-Mashobih: 300.

[6]  Taysir al-Allam: I/ 26.

[7] Mukhtshor Shahih Muslim: 104, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1, Shahih Sunan Abi Dawud: 53, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 135, Shahih Sunan Ibni Majah: 219, 218, 220, 221, Irwa’ al-Ghalil: 120, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7284, 7746 dan Misykah al-Mashobih: 301.

[8]  Shahih Sunan Abi Dawud: 92, Shahih Sunan Ibni Majah: 320, 319, Irwa’ al-Ghalil: 81, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7514, Misykah al-Mashobih: 404, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 198, Nail al-Awthar bi takhriij Ahadits Kitab al-Adzkar: 75 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 337.

[9]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: IV/ 545-546.

[10] Shahih Sunan at-Turmudziy: 767, Irwa’ al-Ghalil: 121, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3954, 3955, 3956 dan Misykah al-Mashobih: 2576.

[11] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2735 dan Irwa’ al-Ghalil: I: 156.

[12] Nail al-Awthar: I/ 261

[13] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2736.

[14] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 809 dan Irwa’ al-Ghalil: 1093.

[15] Untuk lebih jelasnya, baca kitab Hajjah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam kama rowaha anhu Jabir radliyallahu anhu halaman 68-69 nomor 54 dan Irwa’ al-Ghalil: 191. Kedua kitab yang sangat berkwalitas tersebut disusun oleh asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah.

SEMPURNAKAN WUDLU ANDA AGAR BERNILAI !!…

KEUTAMAAN WUDLU

بسم الله الرحمن الرحيم

1). Merupakan bukti air meneteskeimanan.

Bersuci itu sangat dianjurkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam dan bahkan di dalam hal-hal tertentu diwajibkan. Mandi, wudlu dan tayammum adalah merupakan bentuk nyata dari bersuci sehingga beliau Shallalahu alaihi wa sallam menggolongkannya ke dalam bentuk perwujudan dari keimanan seseorang. Tidak sah sholat seseorang jika tidak disertai dengan bersuci, apakah dengan wudlu atau tayammum apalagi jika orang yang sholat itu dalam keadaan junub. Maka wudlu dan tayammumnya itu tidaklah mencukupi kecuali bila didahului oleh mandi janabat. Begitu pula perempuan yang telah lewat masa haidl atau nifasnya, lalu ia sholat tanpa mandi haidl atau nifas maka tertolak pulalah sholatnya.

Namun hal tersebut dapat ditolerir jika orang yang junub atau perempuan yang telah lewat masa haidl atau nifasnya tersebut tidak mendapati air untuk mandi atau akan binasa jika mandi maka bolehlah baginya untuk berwudlu saja atau bahkan bertayammum. Maka dari sebab itu seorang mukmin selalu menjaga dirinya agar selalu suci dan bersih baik secara lahiriyah dan bathiniyah.

عن أبي مالك الأشعري قَالَ: قَالَ رَسُـوُلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم :الطَّهُوْرُ شَطْرُ اْلإِيمْانِ وَاْلحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ اْلمـِيْزَانَ وَسُبْحَانَ اللهِ وَاْلحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلآنِ (أَوْ تَمْلَأُ) مَا بَيْنَ السَّمَوَاتِ وَ اْلأَرْضِ وَ الصَّلاَةُ نُوْرٌ وَ الصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَ الصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَ اْلقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايَعَ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا

Dari Abu Malik al-Asy’ariy radliyallahu anhu berkata, “telah bersabda Rosululllah Shallalahu alaihi wa sallam, “Bersuci adalah separuh iman, alhamdu lillah  memenuhi timbangan, subhanallah dan alhamdu lillah memenuhi apa yang ada antara langit dan bumi, sholat adalah cahaya, shodakoh merupakan bukti, sabar merupakan sinar penerang dan alqur’an adalah hujjah yang menguntungkan atau merugikan bagimu. Semua manusia berangkat di waktu pagi lalu ia memperniagakan dirinya apakah ia dapat membebaskan dirinya (dari kebinasaan) ataukah malah menghancurkannya”. [HR Muslim: 223, Ibnu Majah: 280 dan Ahmad: V/ 342, 343, 344. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [1]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,,,, “Terdapat keutamaan wudlu di dalam Islam. Yakni merupakan syarat shahnya sholat maka hal ini seperti diibaratkan seperti separuh. Namun bukan tetap darinya menjadi setengah yang hakiki”.[2]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Ini adalah bersuci yang manusia kerapkali bersuci secara hissiyah (nyata) dan maknawiyah (abstrak) dari segala kotoran. Oleh sebab itulah Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam telah menjadikannya menjadi separuh iman”. [3]

Katanya lagi di dalam kitabnya yang lain, “Dikatakan, sesungguhnya maknanya adalah bahwa bersuci untuk sholat itu separuh dari iman. Karena sholat itu adalah merupakan keimanan dan sholat itu tidaklah sempurna kecuali dengan bersuci”. [4]

عن ثوبان قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : اسْتَقِيْمُوْا وَ لَنْ تُحْصُوْا وَ اعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ وَ لاَ يُحَافِظُ عَلَى اْلوُضُوْءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ

Dari Tsauban berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, ”Istikomahlah kalian, dan kalian tiada dapat menghitung. Ketahuilah bahwasanya sebaik-baik amal kalian adalah sholat dan tiada yang dapat memelihara wudlu kecuali seorang mukmin”. [HR Ibnu Majah: 277, 278 dari Abdullah bin Amr, Ahmad: V/ 276-277, 282, al-Hakim: 459, ad-Darimiy: I/ 168 dan Malik: I/ 58. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [5]

2). Merupakan bukti keislaman.

Hadits berikut ini menjelaskan bahwa mandi janabat dan menyempurnakan wudlu sebagaimana diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam termasuk dari ajaran Islam yang disejajarkan dengan rukun-rukun Islam yang lainnya. Maka seorang muslim itu mesti menjaga rukun-rukun tersebut jika ia ingin sempurna keislamannya.

عن عمر بن الخطاب قَالَ: بَيْنَمَا َنحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ أُنَاسٍ إِذْ جَاءَ رَجُلٌ لَيْسَ عَلَيْهِ سَحْنَاءُ سَفَرٍ وَ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ اْلبَلَدِ يَتَخَطَّى حَتىَّ وَرَدَ فَجَلَسَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ مَا اْلإِسْلاَمُ؟ قَالَ: اْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ وَ أَنْ تُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَ تُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَ تَحُجَّ اْلبَيْتَ وَ تَعْتَمِرَ وَ تَغْتَسِلَ مِنَ اْلجَنَابَةِ وَ أَنْ تُتِمَّ اْلوُضُوْءَ وَ تَصُوْمَ رَمَضَانَ قَالَ: فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنَا مُسْلِمٌ ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: صَدَقْتَ

Dari Umar bin al-Khoththob radliyallahu anhu berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di sisi Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam di tengah-tengah manusia, tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang tiada padanya bekas perjalanan dan tiada pula seorang penduduk yang mengenalnya. Sehingga ia datang dan duduk di hadapan Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Ia berkata, “Ya Muhammad ! apakah Islam itu?”. Beliau menjawab, “Islam itu ialah engkau mempersaksikan bahwasanya tiada sesembahan yang pantas disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu adalah utusan Allah, engkau menegakkan sholat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji, berumrah, mandi janabah, menyempurnakan wudlu dan shoum di bulan Ramadlan”. Ia bertanya lagi, ”Apakah jikalau aku mengerjakannya maka aku seorang muslim?”. Beliau menjawab, ”Ya”. Ia berkata, ”engkau benar”. [HR  Ibnu Khuzaimah: 1 di dalam kitab shahihnya dan hadits ini ada di dalam kitab al-Bukhariy, Muslim dan selain keduanya yang semisalnya dengan selain sitiran ini. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

 3). Merupakan penghapus dosa dan pengangkat derajat.

Di antara manfaat dan keutamaan lain dari wudlu yang telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam adalah dapat menghapuskan dosa-dosa kecil yang pernah dikerjakan oleh orang tersebut sebelum ia berwudlu. Maka keutamaan wudlu ini jelas sangat diharapkan dan didambakan oleh setiap manusia yang niscaya selalu bergelimang dengan dosa-dosa, kesalahan dan kekeliruan. Apalagi jika penghapusan dosa tersebut diiringi dengan pengangkatan derajat, yang amat disukai oleh mereka.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ اْلخَطَايَا وَ يَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ اْلوُضُوْءِ عَلَى اْلمـَكَارِهِ وَ كَثْرَةُ اْلخُطَا إِلىَ اْلمـَسَاجِدِ وَ انْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan kepada kalian sesuatu yang dengannya, Allah akan menghapuskan dosa-dosa dan mengangkat beberapa derajat”. Mereka menjawab, “Ya wahai Rosulullah”. Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudlu pada saat yang tidak disukai, banyak langkah menuju masjid dan menunggu sholat setelah mengerjakan sholat maka itulah persiapan”. [HR Muslim: 251, at-Turmudziy: 51, an-Nasa’iy: I/ 89-90, Ibnu Majah: 428, Ibnu Khuzaimah: 5 dan Ahmad: II/ 235, 277, 301, 438. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilali hafizhohullah, “Terdapat motivasi untuk senantiasa menyempurnakan anggota-anggota wudlu dengan membasuh, mengusap, dan membaguskannya kendatipun di dalam hal tersebut terdapat kesulitan dan kepayahan”. [8]

Jikalau diperhatikan dengan seksama, ternyata Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam telah menerangkan salah satu faidah dan keutamaan menyempurnakan wudlu adalah dapat menghapuskan dosa-dosa kecil yang pernah dikerjakan oleh seseorang dan dengan itu pulalah terangkat derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka tiada yang mencegah setiap orang yang selalu mendambakan terhapusnya dosa dan terangkatnya derajat melainkan dengan senantiasa menyempurnakan wudlunya sesuai dengan tuntunan syariat meskipun pada waktu-waktu yang tidak menyenangkan lagi menyulitkan. Misalnya; pada waktu udara yang amat dingin, hujan turun dengan sangat lebat, angin bertiup kencang, malam yang gelap gulita lantaran lampu penerangan padam dan lain sebagainya.

4). Merupakan penambah kebaikan.

Tak hanya sebagai penghapus dosa dan pengangkat derajat, tetapi juga dapat menambah kebaikan-kebaikan bagi orang yang melakukannya. Apalagi jika diiringi dengan melangkahkan kakinya menuju masjid untuk menunaikan sholat secara berjamaah, misalnya.

عن أبي سعيد الخدري أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يُكَفِّرُ اللهُ بِهِ اْلخَطَايَا وَ يَزِيْدُ بِهِ فىِ اْلحَسَنَاتِ ؟ قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ اْلوُضُوْءِ عَلَى اْلمـَكَارِهِ وَ كَثْرَةُ اْلخُطَا إِلىَ اْلمـَسَاجِدِ وَ انْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kutunjukkan kepada kalian sesuatu yang dapat menghapuskan dosa dan menambah kebaikan dengannya?”. Mereka menjawab, “Ya, wahai Rosulullah”. Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudlu pada saat yang tidak disukai, banyak langkah menuju masjid dan menunggu sholat setelah mengerjakan sholat”. [HR Ibnu Majah: 427 dan Ahmad: III/ 3. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [9]

عن ابن عمر رضي الله عنهما أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلىَ اْلمـَسْجِدِ لاَ يَنْزِعُهُ إِلاَّ الصَّلاَةَ لَمْ تَزَلْ رِجْلُهُ اْليُسْرَى تَمْحُوْ سَيِّئَةً وَ تَكْتُبُ اْلأُخْرَى حَسَنَةً حَتىَّ يَدْخُلَ اْلمـَسْجِدِ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang diantara kalian berwudlu lalu ia membaguskan wudlunya kemudian keluar menuju masjid yang tidaklah ia pergi melainkan untuk mengerjakan sholat maka senantiasa kakinya yang kiri itu menghapuskan satu kesalahan dan kakinya yang lain mencatat satu kebaikan sehingga ia memasuki masjid”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Kabiir dan al-Hakim: 821. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

عن سعيد بن المسيب قَالَ: حَضَرَ رَجُلاً مِنَ اْلأَنْصَارِ اْلمـَوْتُ فَقَالَ: إِنيِّ مُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا مَا أُحَدِّثُكُمُوْهُ إِلاَّ احْتِسَابًا سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلىَ الصَّلاَةِ لَمْ يَرْفَعْ قَدَمَهُ اْليُمْنىَ إِلاَّ كَتَبَ اللهُ  عز و جل لَهُ حَسَنَةً وَ لَمْ يَضَعْ قَدَمَهُ اْليُسْرَى إِلاَّ حَطَّ اللهُ عز و جل عَنْهُ سَيِّئَةً فَلْيُقَرِّبْ أَحَدُكُمْ أَوْ لِيُبَعِّدْ فَإِنْ أَتَى اْلمـَسْجِدَ فَصَلَّى فىِ جَمَاعَةٍ غُفِرَ لَهُ فَإِنْ أَتَى اْلمـَسْجِدَ وَ قَدْ صَلَّوْا بَعْضًا وَ بَقِيَ بَعْضٌ صَلَّى مَا أَدْرَكَ وَ أَتَمَّ مَا بَقِيَ كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ أَتَى اْلمـَسْجِدَ وَ قَدْ صَلَّوْا فَأَتَمَّ الصَّلاَةَ كَانَ كَذَلِكَ

Dari Sa’id bin al-Musayyab radliyallahu anhu berkata, Pernah datang kematian kepada seorang lelaki dari golongan Anshor. Ia berkata, ”Aku akan ceritakan kepada kalian suatu hadits yang tiadalah aku ceritakan kepada kalian melainkan dalam rangka mencari pahala. Aku pernah mendengar Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila seseorang diantara kalian berwudlu lalu ia membaguskan wudlunya kemudian keluar menuju masjid tidaklah ia mengangkat kakinya yang kanan melainkan Allah Azza wa Jalla mencatat untuknya satu kebaikan. Tidaklah ia meletakkan kakinya yang kiri melainkan Allah Azza wa Jalla menghapus satu kesalahan darinya. Maka mendekatlah seseorang dari kalian atau menjauhlah (darinya). Jika ia datang ke masjid lalu sholat bersama jama’ah maka diampunilah (dosa-dosa)nya. Apabila ia mendatangi masjid dan manusia telah sholat sebahagian dan tersisa sebahagian  maka ia sholat apa yang ia dapat dan menyempurnakan yang tersisa, maka (pahalanya juga) seperti itu. Jika ia mendatangi masjid dan manusia telah selesai menunaikan sholat lalu ia tetap menyempurnakan sholat maka (pahalanya) seperti itu pula”. [HR Abu Dawud: 563. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

Beberapa dalil hadits di atas menerangkan tentang keutamaan wudlu yaitu menghapuskan dosa dan dapat menambah kebaikan kepada orang yang mengerjakannya. Lalu jika diiringi dengan melangkahkan kaki ke masjid untuk menunaikan sholat maka setiap langkah kakinya yang kanan akan menambahkan kebaikan baginya dan setiap langkah dari kakinya yang kiri akan menghapuskan dosa atau kesalahan darinya.

5). Merupakan kifarat (penghapus dosa).

عن ابن عباس قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم :أَتَانِيَ اللَّيْلَةَ رَبيِّ تَبَارَكَ وَ تَعَالىَ فىِ أَحْسَنَ صُوْرَةٍ –قَالَ: أَحْسَبُهُ فىِ اْلمـَنَامِ- فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ هَلْ تَدْرِي فِيْمَ يَخْتَصِمُ اْلمـَلَأُ اْلأَعْلَى؟ قَالَ: قُلْتُ: لاَ قَالَ: فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيَّ حَتىَّ وَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثُدَيَّي –أَوْ قَالَ: فىِ نَحْرِي- فَعَلِمْتُ مَا فىِ السَّمَوَاتِ وَ مَا فىِ اْلأَرْضِ قَالَ: يَا ُمحَمَّدُ هَلْ تَدْرِي فِيْمَ يَخْتَصِمُ اْلمَلأُ اْلأَعْلَى؟ قُلْتُ: نَعَمْ قَالَ: فىِ اْلكَفَّارَاتِ وَ اْلكَفَّارَاتُ اْلمـَكْثُ فىِ اْلمـَسَاجِدِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ وَ اْلمـَشْيُ عَلَى اْلأَقْدَامِ إِلىَ اْلجَمَاعَاتِ وَ إِسْبَاغُ اْلوُضُوْءِ فىِ اْلمـَكَارِهِ وَ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَاشَ بِخَيْرٍ وَ مَاتَ بِخَيْرٍ وَ كَانَ مِنْ خَطِيْئَتِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ وَ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِذَا صَلَّيْتَ فَقُلْ: اَللَّهُمَّ إِنيِّ أَسْأَلُكَ فِعْلَ اْلخَيْرَاتِ وَ تَرْكَ اْلمـُنْكَرَاتِ وَ حُبَّ اْلمـَسَاكِيْنِ وَ إِذاَ أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبِضْنىِ إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُوْنٍ قَالَ: وَ الدَّرَجَاتُ إِفْشَاءُ السَّلاَمِ وَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَ الصَّلاَةُ بِاللَّيْلِ وَ النَّاسُ نِيَامٌ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, “Telah bercerita Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Pada suatu malam Rabb-ku Tabaroka wa ta’ala pernah mendatangiku di dalam seelok-eloknya rupa”. Ia berkata, ”-Aku menduganya di dalam tidur-. Allah berfirman, ”Ya Muhammad, apakah engkau tahu karena apakah para malaikat  yang tertinggi itu berselisih?”. Beliau menjawab, ”aku berkata, ”tidak”. Beliau bersabda, ”Lalu Allah meletakkan tangannya di antara dua pundakku sehingga aku dapati rasa dingin di antara dadaku. Lalu aku mangetahui apa yang ada di langit dan bumi”. Allah berfirman, ”Ya Muhammad apakah engkau tahu karena apakah para malaikat yang tertinggi itu berselisih?”. Aku menjawab, ”Ya”. Kemudian Beliau bersabd, ”tentang kifarat”. Kifarat adalah berdiam di masjid  setelah menunaikan sholat, melangkahkan kaki menuju jama’ah dan menyempurnakan wudlu di saat yang tidak disukai. Barangsiapa yang melakukan yang demikian itu maka ia hidup dengan kebaikan dan mati dengan kebaikan pula, dan dosanya laksana dilahirkan oleh ibunya”. Allah berfirman, “Ya Muhammad, apabila engkau sholat maka ucapkanlah,

 اَللَّهُمَّ إِنيِّ أَسْـأَلُكَ فِعْلَ اْلخَيْرَاتِ وَ تَرْكَ اْلمـُنْكَرَاتِ وَ حُبَّ اْلمـَسَاكِيْنِ وَ إِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبِضْنىِ إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُوْنٍ

(artinya; Ya Allah aku memohon kepada-Mu mengerjakan kebaikan, meninggalkan kemungkaran dan mencintai kaum miskin. Dan apabila Engkau menghendaki fitnah kepada para hamba-Mu maka wafatkanlah aku dalam keadaan tiada terfitnah).  Beliau bersabda, ”(mereka berselisih juga) tentang derajat, yaitu menyebarluaskan salam, memberi makan dan sholat di waktu malam sedangkan manusia dalam keadaan terlelap”. [HR  at-Turmudziy: 3233, 3234 dan Ahmad: I/ 368. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Di dalam riwayat yang lain dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, ”Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda,

(اْلكَفَّارَاتُ) مَشْيُ اْلأَقْدَامِ إِلىَ اْلحَسَنَاتِ وَ اْلجُلُوْسُ فىِ اْلمـَسَاجِدِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ وَ إِسْبَاغُ اْلوُضُوْءِ حِيْنَ اْلكَرِيْهَاتِ

“(Kifarat itu adalah) melangkahkan kaki menuju kebaikan, duduk di dalam masjid setelah menunaikan sholat dan menyempurnakan wudlu di saat yang tidak disukai”. [HR at-Turmudziy: 3235 dan Ahmad: V/ 243. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

Ada juga riwayat yang lainnya dari jalan Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda,

وَ أَمَّا اْلكَفَّارَاتُ فَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ وَ إِسْبَاغُ اْلوُضُوْءِ فىِ السَّبُرَاتِ  وَ نَقْلُ اْلأَقْدَامِ إِلىَ اْلجَمَاعَاتِ

“Dan adapun kifarat itu adalah menunggu sholat setelah menunaikan sholat, menyempurnakan wudlu ketika cuaca sangat dingin dan melangkahkan kaki menuju jama’ah”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Awsath dan diriwayatkan juga dari Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Abdullah bin Abi Afwa. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Maka hadits ini dengan sekumpulan jalannya insyaa Allah sedikitnya adalah hasan]. [14]

عن عمرو بن سعيد بن العاص قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عُثْمَانَ فَدَعَا بِطَهُوْرٍ فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوْبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهَا وَ خُشُوْعَهَا وَ رُكُوْعَهَا إَلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمـَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ مَالَمْ يُؤْتِ كَبِيْرَةً وَ ذَلِكَ الدَّهْرُ كُلُّهُ

Dari Amr bin Sa’id bin al-Ash berkata, “aku pernah di sisi Utsman radliyallahu anhu, lalu ia menyuruh mengambil air untuk bersuci”. Lalu berkata, “aku pernah mendengar Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “tiada seseorang yang kedatangan waktu sholat wajib lalu ia membaguskan wudlu, khusyu dan rukunya melainkan sebagai kifarat apa yang sebelumnya dari dosa-dosa selama ia tidak mengerjakan kaba’ir (dosa besar).Dan itulah masa seluruhnya”. [HR Muslim: 228. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

عن حمران بن أبان قَالَ: كُنْتُ أَضَعُ لِعُثْمَانَ طَهُوْرَهُ فَمَا أَتَى عَلَيْهِ يَوْمٌ إِلاَّ وَ هُوَ يُفِيْضُ عَلَيْهِ نُطْفَةً وَ قَالَ عُثْمَانُ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عِنْدَ انْصِرَافِنَا مِنْ صَلاَتِنَا هَذِهَ (قَالَ مِسْعَرٌ: أَرَاهَا اْلعَصْرَ) فَقَالَ: مَا أَدْرِي أُحَدِّثُكُمْ بِشَيْءٍ أَوْ أَسْكُتُ؟ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ كَانَ خَيْرًا فَحَدِّثْنَا وَ إِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ فَاللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَطَهَّرُ فَيُتِمُّ الطَّهُوْرَ الَّذِى كَتَبَ اللهُ عَلَيْهِ فَيُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَوَاتِ اْلخَمْسَ إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَاتٍ لمِـَا بَيْنَها

Dari Hamran bin Aban berkata, ”Aku adalah orang yang meletakkan air untuk bersuci bagi Utsman. Tidaklah datang atasnya suatu hari melainkan ia menuangkan air atas maninya”. Utsman berkata, ”Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam pernah menceritakan sesuatu kepada kami ketika selesainya beliau dari sholat (berkata Mas’ar, yaitu sholat ashar)”. Beliau bersabda, ”Aku tidaklah mengetahui apakah akan kuceritakan sesuatu kepada kalian atau aku diam?”. Kami menjawab, ”Wahai Rosulullah jikalau hal itu suatu kebaikan maka ceritakanlah kepada kami tetapi jika tidak Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda, ”Tidaklah seorang muslim bersuci lalu menyempurnakan bersucinya sebagaimana yang ditetapkan Allah lalu mengerjakan sholat yang lima (waktu) melainkan sebagai kifarat bagi apa yang di antaranya”. [HR Muslim: 231. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]

Perhatikan betapa indah dan eloknya ajaran Islam yang telah mendudukkan dan menempatkan thaharah di tempat yang teramat penting. Tanpa iming-imingpun, setiap manusia biasanya mempunyai keinginan untuk selalu membersihkan dan mensucikan dirinya, karena hal itu merupakan salah satu kebutuhan mereka. Tetapi ajaran Islam telah menambahkan semangat untuk melakukannya, meskipun hanya sekedar menjaga kesempurnaan wudlu. Wudlu telah dijuluki oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam dengan sebutan kiffarat yaitu penghapus dosa. Maka itulah yang sebenarnya terjadi dan benar tiada keraguan jika dikerjakan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, terlebih-lebih apabila disambung dengan menunaikan sholat.

6). Merupakan penggugur dosa.

Di antara keutamaannya lagi adalah menggugurkan dosa dan kesalahan, yakni ketika seorang muslim berwudlu maka air wudlu itu akan menetes membawa dosa-dosa yang telah dikerjakan oleh anggota-anggota wudlu muslim tersebut.

عن أبي أمامة قَالَ: قَالَ عَمْرٌو بْنُ عَبَسَةَ السُّلَمِيُّ: فَقُلْتُ: يَا نَبِيِّ اللهِ فَالْوُضُوْءُ؟ حَدِّثْنىِ عَنْهُ! قَالَ: مَا مِنْكُمْ رَجُلٌ يُقَرِّبُ وَضُوْءَهُ فَيَتَمَضْمَضُ وَ يَسْتَنْشِقُ فَيَنْتَثِرُ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ وَ فِيْهِ وَ خَيَاشِيْمِهِ ثُمَّ إِذاَ غَسَلَ وَجْهَهُ كَمَا أَمَرَهُ اللهُ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ مِنْ أَطْرَافِ لِحْيَتِهِ مَعَ اْلمَاءِ ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلىَ اْلمـِرْفَقَيْنِ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا يَدَيْهِ مِنْ أَنَامِلِهِ مَعَ اْلمَاءِ ثُمَّ يَمْسَحُ رَأْسَهُ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا رَأْسِهِ مِنْ أَطْرَافِ رَأْسِهِ مَعَ اْلمَاءِ ُثمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ إِلىَ اْلكَعْبَيْنِ إِلاَّ خَرَّتْ خَطَايَا رِجْلَيْهِ مِنْ أَنَامِلِهِ مَعَ اْلمَاءِ فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللهَ وَ أَثْنىَ عَلَيْهِ وَ مَجَّدَهُ بِالَّذِى هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَ فَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ إِلاَّ انْصَرَفَ مِنْ خَطِيْئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

 Dari Abu Umamah berkata, berkata Amr bin Abasah as-Sulamiy, “Aku bertanya, “wahai Nabiyullah apakah wudlu itu?, ceritakanlah kepadaku!”. Beliau menjawab, “Tidaklah seseorang di antara kalian yang mendekati air wudlunya lalu ia berkumur-kumur, beristinsyaq (menghirup air melalui hidung) lalu istintsar (menyemburkannya lewat hidung pula), melainkan gugurlah dosa-dosa wajah, mulut dan hidungnya. Kemudian membasuh muka sebagaimana diperintahkan Allah melainkan gugurlah dosa-dosa wajahnya dari ujung-ujung jenggotnya bersama tetesan air. Lalu membasuh kedua tangannya sampai kedua siku melainkan akan gugurlah dosa-dosa tangannya dari jari jemarinya bersama tetesan air. Lalu mengusap kepalanya melainkan gugurlah dosa-dosa kepalanya dari ujung-ujung kepalanya bersama tetesan air. Lalu membasuh kedua kakinya sampai kedua mata kaki melainkan gugurlah dosa-dosa kakinya dari jari jemarinya bersama tetesan air. Maka jika ia berdiri, menunaikan sholat dan memuji, menyanjung dan mengagungkan Allah yang memang Ia adalah Pemiliknya, serta mengosongkan hatinya hanya bagi Allah melainkan ia pergi berpaling dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ia dilahirkan oleh ibunya”. [HR Muslim: 832, an-Nasa’iy: I/ 91-91 dan Ahmad: IV/ 112. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

عن عمرو بن عبسة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم :إِنَّ اْلعَبْدَ إِذَا تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ يَدَيْهِ فَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ وَجْهِهِ فَإِذَا غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ ذِرَاعَيْهِ وَ رَأْسِهِ فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ رِجْلَيْهِ

Dari Amr bin Abasah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya seorang hamba itu apabila berwudlu, lalu mencuci kedua tangannya maka gugurlah dosa-dosanya dari kedua tangannya. Apabila ia membasuh wajahnya gugurlah dosa-dosanya dari wajahnya. Apabila ia membasuh kedua lengannya dan mengusap kepalanya maka gugurlah dosa-dosanya dari kedua lengan dan kepalanya. Dan apabila ia membasuh kedua kakinya maka gugurlah dosa-dosanya dari kedua kakinya”. [HR Ibnu Majah: 283. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

 عن أبي هريرة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا تَوَضَّأَ اْلعَبْدُ اْلمـُسْلِمُ (أَوِ اْلمـُؤْمِنُ) فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيْئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ اْلمـَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ اْلمـَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيْئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ اْلمـَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ اْلمـَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيْئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ اْلمـَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ اْلمـَاءِ) حَتىَّ يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوْبِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang hamba muslim (atau mukmin) berwudlu, lalu ia membasuh wajahnya maka keluarlah dari wajahnya segala dosa yang ia memandang dengan kedua matanya bersama tetesan air (atau bersama akhir tetesan air), Apabila ia membasuh kedua tangannya maka keluarlah dari kedua tangannya semua dosa yang dipegang oleh kedua tangannya bersama tetesan air. Dan apabila ia membasuh kedua kakinya maka keluarlah seluruh dosa yang kedua kakinya melangkah kepadanya bersama tetesan air sehingga ia keluar dalam keadaan bersih dari dosa”. [HR Muslim: 244, at-Turmudziy: 2, Ahmad: II/ 303, ad-Darimiy: I/ 183, Ibnu Khuzaimah: 4 dan Malik: I/ 56-57. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, ”Terdapat keutamaan wudlu dan bahwasanya melanggengkannya itu merupakan sarana untuk diampuninya dosa-dosa. Setiap anggota dari anggota wudlu manusia itu niscaya terjatuh ke dalam sebahagian perbuatan maksiat. Mata dengan melihat dan tangan dengan memegang, mencuri dan semisal itu. Oleh sebab itu dosa-dosa itu senantiasa mengikuti setiap anggota badan yang melakukannya. Dan keluar dari setiap anggota badan yang bertaubat darinya”. [20]

Katanya lagi, “Tiap-tiap anggota (tubuh) pada manusia itu ada dosa-dosa yang dikerjakannya. Maka sudah seharusnya seorang hamba itu membentengi anggota-anggota (tubuh)nya dari segenap perbuatan maksiat. Wudlu itu dapat menghapuskan dosa dari anggota-anggota (tubuh) yang mengalir air atasnya”.  [21]

عن عثمان بن عفان رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ اْلوُضُوْءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتىَّ تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ

Dari Utsman bin Affan radliyallahu anhu berkata, “telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang berwudlu lalu ia membaguskan wudlunya, maka keluarlah dosa-dosanya dari tubuhnya sehingga keluar dari celah-celah kukunya”. [HR Muslim: 245 dan Ahmad: I/ 66. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [22]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, [23]

“Terdapat penjelasan akan keutamaan wudlu, bahwasanya ia adalah penghapus dari dosa-dosa.

Terdapat penjelasan akan syarat keluarnya dosa-dosa itu adalah dengan membaguskan wudlu dan melakukannya sesuai dengan arahnya sebagaimana telah diterangkan oleh Nabi Shallalahu alaihi wa sallam kepada umatnya.

Dosa-dosa itu dapat dijumpai pada tubuh dan tubuh itu adalah merupakan wadah tempatnya.

Terdapat penjelasan akan pengaruh wudlu atas tubuh sehingga wudlu itu dapat mengeluarkan dosa-dosa dari tubuh seukuran dengan bagusnya wudlu tersebut sehingga dosa-dosa itu keluar dari celah-celah kukunya”.

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Keluar dosa-dosanya dari sebab wudlu sehingga (keluar) dari bawah celah kukunya. Atas dasar inilah, maka wudlu itu menjadi penyebab akan terhapusnya dosa-dosa sehingga dari tempat yang paling kecil (halus) yaitu yang berada di bawah kuku. Hadits-hadits ini dan yang semisalnya menunjukkan bahwasanya wudlu itu adalah termasuk dari seutama-utama ibadah. Bahwa ibadah itu sudah sepatutnya bagi manusia agar berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengannya. Yaitu ia menghadirkan (niat) sedangkan ia sedang berwudlu untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sebagaimana bila ia melakukan sholat”. [24]

عن عبد الله الصنابحي عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ تَوَضَّأَ فَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ فِيْهِ وَ أَنْفِهِ فَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ وَجْهِهِ حَتىَّ تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَشْفَارِ عَيْنَيْهِ فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ يَدَيْهِ فَإِذَا مَسَحَ بِرَأْسِهِ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ رَأْسِهِ حَتىَّ تَخْرُجَ مِنْ أُذُنَيْهِ فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ رِجْلَيْهِ حَتىَّ تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِ رِجْلَيْهِ وَ كَانَتْ صَلاَتُهُ وَ مَشْيُهُ إِلىَ اْلمـَسْجِدِ نَافِلَةً

Dari Abdullah ash-Shonabihiy radliyallahu anhu dari Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berwudlu lalu berkumur-kumur dan beristinsyaq keluarlah dosa-dosanya dari mulut dan hidungnya. Apabila ia membasuh wajahnya maka keluarlah dosa-dosanya dari wajahnya sehingga keluar dari bawah ujung kedua matanya. Apabila ia membasuh kedua tangannya keluarlah dosa-dosanya dari kedua tangannya. Apabila ia mengusap kepalanya keluarlah dosa-dosanya dari kepalanya sehingga keluar dari kedua telinganya. Dan apabila ia membasuh kedua kakinya keluarlah dosa-dosanya dari kedua kakinya sehingga keluar dari kuku kedua kakinya. Adapun sholat dan melangkahnya ia menuju masjid merupakan satu tambahan saja”. [HR Ibnu Majah: 282, an-Nasa’iy: I/ 74-75, Ahmad: IV/ 349, al-Hakim: 458 dan Malik: I/ 56. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[25]

عن أبي أمامة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: أَيمُّاَ رَجُلٍ قَامَ إِلىَ وَضُوْئِهِ يُرِيْدُ الصَّلاَةَ ثُمَّ غَسَلَ كَفَّيْهِ نَزَلَتْ خَطِيْئَتُهُ مِنْ كَفَّيْهِ مَعَ أَوَّلِ قَطِرَةٍ فَإِذَا مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ اسْتَنْثَرَ نَزَلَتْ خَطِيْئَتُهُ مِنْ لِسَانِهِ وَ شَفَتَيْهِ مَعَ أَوَّلِ قَطِرَةٍ فَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ نَزَلَتْ خَطِيْئَتُهُ مِنْ سَمْعِهِ وَ بَصَرِهِ مَعَ أَوَّلِ قَطِرَةٍ فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ إِلىَ اْلمـِرْفَقَيْنِ وَ رِجْلَيْهِ إِلىَ اْلكَعْبَيْنِ سَلِمَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ هُوَ لَهُ وَ مِنْ كُلِّ خَطِيْئَةٍ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ قَالَ: فَإِذَا قَامَ إِلىَ الصَّلاَةِ رَفَعَ اللهُ بِهَا دَرَجَتَهُ وَ إِنْ قَعَدَ قَعَدَ سَاِلمًا

Dari Abu Umamah bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapapun yang berdiri menuju air wudlunya dengan maksud mengerjakan sholat, kemudian ia membasuh kedua telapak tangannya maka turun (keluar)lah dosanya dari kedua telapak tangannya bersama awalnya tetesan air. Apabila ia berkumur-kumur, beristinsyaq dan istintsar maka keluarlah dosanya dari lisan dan kedua bibirnya bersama awalnya tetesan air. Apabila ia membasuh wajahnya maka keluarlah dosanya dari pendengaran dan penglihatannya bersama awalnya tetesan air. Dan apabila ia membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya dan kedua kakinya sampai kedua mata kakinya maka selamatlah ia dari seluruh dosa miliknya dan dari semua kesalahan seperti keadaannya pada hari ia dilahirkan oleh ibunya”. Beliau bersabda, ”Apabila ia berdiri menuju sholat niscaya Allah akan mengangkat derajatnya dan jikalau ia duduk (maksudnya: tidak mengerjakan sholat) niscaya ia duduk dalam keadaan selamat”. [HR Ahmad: V/ 263. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[26]

Jika semua orang, khususnya kaum muslimin menyadari betapa banyak dosa dan kesalahan yang mereka telah perbuat, tentu mereka akan berputus asa untuk mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan diri dari siksaan-Nya. Tak terbilang banyaknya dosa yang dilakukan oleh semua anggota badan mereka dari mata, hidung, mulut, telinga, tangan, kaki, hati dan lain sebagainya yang mereka kumpulkan dari hari ke hari. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menampakkan sifat pengampun dan pengasih-Nya kepada mereka dengan mengutus Rosul-Nya Shallalahu alaihi wa sallam untuk menjelaskan kepada mereka jalan menuju rahmat dan keselamatan. Lalu Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka amalan-amalan yang dapat menghapuskan dan menggugurkan dosa-dosa mereka. Di antaranya adalah berwudlu. Beliau Shallalahu alaihi wa sallam telah merinci dengan jelas bagaimana dosa itu keluar berguguran dari seorang muslim bersama tetesan air dari telapak tangan, mulut, hidung, wajah, jari jemari tangan, kepala, kedua telinga dan jari jemari kaki. Sehingga ia keluar dari wudlu tersebut dalam keadaan selamat dari dosa laksana seorang bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.

7). Merupakan penyebab diampuni dosa-dosa.

عن حمران مولى عثمان أخبره أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ رضي الله عنه دَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَ اسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اْليُمْنىَ إِلىَ اْلمـِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اْليُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اْليُمْنىَ إِلىَ اْلكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ اْليُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحْدِثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Hamran maula (mantan budak)nya  Utsman, ia mengkhabarkan bahwasanya Utsman bin Affan radliyallahu anhu menyuruh mengambil air wudlu. Kemudian ia berwudlu, lalu ia membasuh kedua tangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur dan istintsar lalu membasuh wajahnya tiga kali. Lalu membasuh tangannya yang kanan sampai siku tiga kali dan membasuh tangannya yang kiri seperti itu pula. Kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kakinya yang kanan sampai kedua mata kaki tiga kali dan membasuh kakinya yang kiri seperti itu pula. Kemudian berkata, ”Aku bernah melihat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam berwudlu seperti wudluku ini kemudian Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang berwudlu seperti wudluku ini lalu berdiri sholat  dalam keadaan tiada percakapan di dalam dirinya maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. [HR Muslim: 226, al-Bukhoriy: 159, 164, 1934, Abu Dawud: 106, an-Nasa’iy: I/ 64, 65, 80, Ahmad: I/ 59, 64, Ibnu Khuzaimah: 3 dan ad-Darimiy: I/ 176. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “”Barangsiapa yang berwudlu seperti wudluku ini..” menjelaskan akan perintah bahwa mengerjakan wudlu itu wajib mencontoh dan menteladani Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dan dengannya itu akan terhapus dosa-dosanya dan diterima sholatnya.

عن حمران مولى عثمان قَالَ: سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ وَ هُوَ بِفِنَاءِ اْلمـَسْجِدِ فَجَاءَهُ اْلمـُؤَذِّنُ عِنْدَ اْلعَصْرِ فَدَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَالَ: وَ اللهِ لَأُحَدِّثَنَّكُمْ حَدِيْثًا لَوْ لاَ آيَةً فىِ كِتَابِ اللهِ مَا حَدَّثْتُكُمْ إِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: لاَ يَتَوَضَّأُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَيُحْسِنُ اْلوُضُوْءَ فَيُصَلِّي صَلاَةً إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الصَّلاَةِ الَّتيِ تَلِيْهَا

Dari Hamran maulanya Utsman berkata, ”Aku pernah mendengar Utsman bin Affan sedangkan ia berada di halaman masjid. Datanglah mu’adzin ketika ashar. Utsman menyuruh mengambil air wudlu lalu berwudlu, kemudian berkata, ”Demi Allah, aku akan ceritakan kepada kalian suatu hadits yang kalaulah bukan karena suatu ayat dari kitab Allah[28] niscaya aku tidak akan menceritakannya kepada kalian. Aku pernah mendengar Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, ”Tidaklah berwudlu seorang muslim lalu ia membaguskan wudlunya lalu ia sholat satu sholat melainkan Allah akan mengampuninya apa yang  diantaranya dan antara sholat berikutnya”. [HR Muslim: 227, al-Bukhoriy: 160 dan Malik: I/ 55-56. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]

عن حمران مولى عثمان قَالَ: أَتَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ نَاسًا يَتَحَدَّثُوْنَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَحَادِيْثَ لاَ أَدْرِي مَا هِيَ؟ إِلاَّ أَنيِّ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ مِثْلَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ: مَنْ تَوَضَّأَ هَكَذَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَ كَانَتْ صَلاَتُهُ وَ مَشْيُهُ إِلىَ اْلمـَـسْجِدِ نَافِلَةً

Dari Hamran maulanya Utsman berkata, ”Aku pernah mendatangkan (membawakan) air kepada Utsman bin Affan lalu ia berwudlu. Kemudian berkata, ”Sesungguhnya manusia menceritakan tentang Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam beberapa hadits yang aku tidak mengetahui apakah itu? hanyasaja aku pernah melihat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam berwudlu seperti wudluku ini, kemudian bersabda, ”barangsiapa yang berwudlu seperti ini maka diampunilah dosanya yang telah lalu. Sholat dan langkahnya menuju masjid hanyalah merupakan tambahan”. [HR Muslim: 229. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, ”Wudlu itu termasuk dari penghapus-penghapus dosa. Wudlu itu tidak akan dapat menghapuskan dosa-dosa kecuali jika sesuai dengan shifat wudlunya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam”. [31]

عن حمران مولى عثمان قَالَ: تَوَضَّأَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانٍ يَوْمًا وُضُوْءًا حَسَنًا ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ قَالَ: مَنْ تَوَضَّأَ هَكَذَا ثُمَّ خَرَجَ إِلىَ اْلمـَسْجِدِ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةَ غُفِرَ لَهُ مَا خَلاَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Hamran maulanya Utsman berkata, ”Suatu hari Utsman bin Affan radliyallahu anhu pernah berwudlu dengan suatu wudlu yang bagus. Kemudian ia berkata, ”Aku pernah melihat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam berwudlu  lalu membaguskan wudlu, kemudian bersabda, ”barangsiapa yang berwudlu seperti ini lalu keluar menuju masjid yang ia tiada mendekati masjid itu melainkan untuk sholat diampunilah baginya dosanya yang telah lalu”. [HR Muslim 232. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]

عن عاصم بن سفيان الثقفي: أَنَّهُمْ غَزَوْا غَزْوَةَ السَّلاَسِلِ فَفَاتَهُمُ اْلغَزْوُ فَرَابَطُوْا ثُمَّ رَجَعُوْا إِلىَ مُعَاوِيَةَ وَ عِنْدَهُ أَبُوْ أَيُّوْبَ وَ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ فَقَالَ عَاصِمٌ: يَا أَبَا أَيُّوْبَ فَاتَنَا اْلغَزْوُ اْلعَامَ وَ قَدْ أُخْبِرْنَا أَنَّهُ مَنْ صَلَّى فىِ اْلمـَسَاجِدِ اْلأَرْبَعَةِ غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ فَقَالَ: يَا ابْنَ أَخِي أَدُلُّكَ عَلَى أَيْسَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ تَوَضَّأَ كَمَا أُمِرَ وَ صَلَّى كَمَا أُمِرَ غُفِرَ لَهُ مَا قَدَّمَ مِنْ عَمَلٍ أَكَذَلِكَ يَا عُقْبَةُ ؟ قَالَ: نَعَمْ

Dari Ashim bin Sufyan ats-Tsaqofiy, “Bahwasanya kaum muslimin telah menunaikan perang ghozwah as-Salasil. Tetapi perang itu terluput dari (sebahagian) mereka dan mereka selalu siap sedia. Lalu mereka kembali kepada Mu’awiyah yang di sisinya ada Abu Ayyub dan Uqbah bin Amir”. Ashim berkata, ”wahai Abu Ayyub tahun ini perang telah luput dari kami dan sungguh telah dikabarkan kepada kami bahwasanya barangsiapa yang sholat di empat masjid [33] diampuni baginya dosa-dosanya”. Ia berkata, ”Wahai anak saudaraku maukah kutunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih mudah dari itu. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang berwudlu sebagaimana diperintahkan dan sholat sebagaimana diperintahkan, akan diampuni baginya apa yang telah berlalu dari amalnya. Bukankah demikian wahai Uqbah?”. Ia menjawab, ”Ya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 90-91, Ibnu Majah: 1396,  Ahmad: V/ 423 dan ad-Darimiy: I/ 182. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [34]

Kaum muslimin di masa generasi awal sudah dikenal sebagai generasi yang sangat berambisi untuk mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah Azza wa Jalla sebagaimana dituturkan oleh Ashim bin Sufyan ats-Tsaqofiy radliyallahu anhu. Maka ketika mereka luput dari menghadiri perang as-Salasil, yang telah mereka pahami sebagai salah satu jalan menuju kepada surga dan ampunan-Nya, lalu mereka segera berusaha mendapatkannya dengan cara lain yang disyariatkan yaitu sholat di empat masjid. Tetapi Abu Ayyub radliyallahu anhu menegaskan kepada mereka ada cara lain yang lebih mudah untuk mendapatkan pengampunan dosa yang telah lalu dari Allah Subhanahu wa ta’ala yaitu dengan mengerjakan wudlu dan sholat sesuai dengan yang diperintahkan dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam.

8). Merupakan penyebab dikenal oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam pada hari kiamat nanti.

 عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَتَى اْلمـَقْبَرَةَ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ وَدِدْتُ أَناَّ قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوْا:أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: أَنْتُمْ أَصْحَابيِ وَ إِخْوَانُنَا الَّذِيْنَ لَمْ يَأْتُوْا بَعْدُ فَقَالُوْا: كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلاً لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ  بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ  أَلاَ يَعْرِفُ خَيْلَهُ؟ قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: فَإِنَّهُمْ يَأْتُوْنَ غُرًّا مُحَجَّلَةً مِنَ اْلوُضُوْءِ وَ أَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى اْلحَوْضِ أَلاَ يُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ اْلبَعِيْرُ الضَّالُّ أُنَادِيْهِمْ أَلاَ هَلُمَّ ! فَيُقَالُ: إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوْا بَعْدَكَ فَأَقُوْلُ: سُحْقًا سُحْقًا

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam pernah mendatangi pekuburan lalu berkata,

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ

”(Artinya; Semoga keselamatan bagi kalian wahai penghuni kubur dari kaum mukminin  dan Insya Allah kami akan menyusul kalian). Aku sangat berkeinginan sekiranya kita dapat mengetahui (keadaan) ikhwan (saudara) kita”. Mereka berkata, ”bukankah kami ini ikhwanmu wahai Rosulullah?”. Beliau bersabda, ”kalian adalah para shahabatku sedangkan ikhwan kita adalah orang-orang yang datang kemudian, dan aku menanti mereka di telaga”. Mereka bertanya, ”Wahai Rosulullah bagaimana engkau mengenali orang yang datang kemudian di antara umatmu?”. Beliau menjawab, ”Bagaimana pendapat kalian, jika ada seseorang yang mempunyai seekor kuda yang belang putih kening dan kakinya diantara kuda-kuda yang berwarna hitam legam, bukankah ia mengenali kudanya?”. Mereka menjawab, ”benar wahai Rosulullah”. Beliau bersabda, ”Mereka nanti akan datang pada hari kiamat dalam keadaan belang putih (wajah, kaki dan tangan mereka) dari sebab bekas wudlu, dan aku telah mendahului mereka di telaga. Ingatlah sesungguhnya akan ada banyak orang di antara kalian yang dihalau dari telagaku sebagaimana dihalaunya unta yang sesat. Aku menyeru mereka, ”kemarilah !”. Dikatakan kepadaku, ”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merubah (agama) sepeninggalmu”. Lalu aku berkata, ”menjauhlah, menjauhlah”. [HR Muslim: 249, an-Nasa’iy: I/ 94-95, Ibnu Majah: 4306, Ahmad: II/ 300, 408, Ibnu Khuzaimah: 6 dan Malik: I/ 54. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, ”Allah Subhanahu wa ta’ala memuliakan umat ini, yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan untuk mereka tanda-tanda yang dapat membedakannya dari (umat) selain mereka. Yakni mereka dalam keadaan belang putih (wajah, kaki dan tangan mereka)”. [36]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Mereka nanti akan datang pada hari kiamat dalam keadaan belang putih (wajah, kaki dan tangan mereka), yaitu dari bekas wudlu. Di dalam hadits ini terdapat dalil atas keutamaan wudlu. Bahwa umat ini akan datang pada hari kiamat dalam keadaan belang putih dari sebab bekas wudlu. Manusia akan mengenali mereka pada hari kiamat pada hari persaksian yang besar ini. Umat Nabi Shallalahu alaihi wa sallam yang mulia ini akan dikenali dengan tanda  dan alamat yang tidak ada pada selain mereka”. [37]

عن نعيم (بن عبد الله) المجمر قَالَ: رَقِيْتُ مَعَ أَبيِ هُرَيْرَةَ عَلَى ظَهْرِ اْلمـَسْجِدِ فَتَوَضَّأَ فَقَالَ: إِنيِّ سَمِعْتُ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ أُمَّتيِ يُدْعَوْنَ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ اْلوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ

Dari Nu’aim bin Abdullah al-Mujmir berkata, “Aku pernah naik bersama Abu Hurairah ke atas punggung masjid, lalu ia berwudlu. Ia berkata, “sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan belang putih (wajah, tangan dan kaki mereka) dari sebab bekas wudlu. Maka barangsiapa yang ingin memanjangkan belangnya maka hendaklah ia lakukan”. [HR al-Bukhoriy: 136, Muslim: 246 dan Ahmad: II/ 334, 362, 400, 523. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [38]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, ”Bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan bagi Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam tanda-tanda (pada umatnya) yang Beliau akan mengenali umatnya dengannya. Adapun anak-anak maka mereka akan mengikuti ayah-ayah mereka”. [39]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Yaitu tanda-tanda yang dengannya umat Muhammad Shallalahu alaihi wa sallam tampak jelas pada hari yang dipersaksikan (hari kiamat) ini. Hal ini merupakan dalil atas keutamaan wudlu, bahwa anggota-anggota wudlu itu akan datang dalam keadaan putih pada hari kiamat  yang tampak bersinar dari sebab cahaya”. [40]

عن أبي الدرداء قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: أَنَا أَوَّلُ مَنْ يُؤْذَنُ لَهُ بِالسُّجُوْدِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَ أَنَا أَوَّلُ مَنْ يُؤْذَنُ لَهُ أَنْ يَرْفَعَ رَأْسَهُ فَأَنْظُرُ إِلىَ بَيْنَ يَدَيَّ فَأَعْرِفُ أُمَّتيِ مِنْ بَيْنِ اْلأُمَمِ وَ مِنْ خَلْفِي مِثْلَ ذَلِكَ وَ عَنْ يَمِيْنيِ مِثْلَ ذَلِكَ وَ عَنْ شَمَاليِ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَعْرِفُ أُمَّتَكَ مِنْ بَيْنِ اْلأُمَمِ فِيْمَا بَيْنَ نُوْحٍ إِلىَ أُمَّتِكَ قَالَ: هُمْ غُرٌّ مُحَجَّلُوْنَ مِنْ أَثَرِ اْلوُضُوْءِ  لَيْسَ أَحَدٌ كَذَلِكَ غَيْرُهُمْ وَ أَعْرِفُهُمْ أَنَّهُمْ يُؤْتَوْنَ كُتُبَهُمْ بِأَيْمَاِنهِمْ وَ أَعْرِفُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ ذُرِّيَّتُهُمْ

Dari Abu Darda’ radliyalllahu anhu berkata, ”telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam , ”Saya adalah orang yang pertama-tama diidzinkan untuk sujud pada hari kiamat. Saya adalah orang yang pertama-tama diidzinkan untuk mengangkat kepala. Lalu aku memandang ke hadapanku maka aku mengenali umatku di antara umat-umat (yang lain), di belakang, di sebelah kanan dan kiriku seperti itu pula”. Bertanya seorang lelaki kepadanya, ”Wahai Rosulullah, bagaimana engkau mengenali umatmu di antara umat-umat yang lain yang ada di antara nabi Nuh alaihi as-Salam sampai kepada umatmu?”. Beliau menjawab, ”Mereka dalam keadaan belang putih (yaitu wajah, kaki dan tangan mereka) dari sebab bekas wudlu. Tiada seseorangpun yang seperti mereka. Aku dapat mengenali mereka bahwasanya mereka akan diberikan kitab catatan mereka dengan tangan kanan mereka dan aku juga dapat mengenali mereka yaitu anak keturunan mereka bergerak di hadapan mereka”. [HR Ahmad: V/ 199. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Isnadnya shahih]. [41]

Wudlu jika dikerjakan sesuai dengan perintah akan membawa jejak peninggalan pada hari kiamat berupa warna putih lantaran bekas wudlu. Wajah, tangan dan kaki akan berwarna putih dan akan terlihat belang pada anggota tubuh yang lainnya. Dari sebab itulah Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam akan dengan jelas mengenali umatnya di antara umat-umat lainnya dengan tanda-tanda tersebut. Sebagaimana seseorang akan dapat dengan jelas mengenali kudanya yang berwarna belang putih di antara kuda-kuda lain yang berwarna hitam legam.

9). Merupakan penyebab masuk surga.

عن عقبة بن عامر الجهني قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ يَقْبَلُ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَ وَجْهِهِ وَجَبَتْ لَهُ اْلجَنَّةُ

Dari Uqbah bin Amir al-Juhniy radliyallahu anhu berkata, “telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa berwudlu lalu membaguskan wudlu kemudian sholat dua rakaat dalam keadaan menghadapkan hati dan wajahnya  (kepada Allah) maka tetaplah surga baginya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 95, Abu Dawud: 169, 906 dan Muslim: 234. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [42]

Masuk surga adalah merupakan idaman dan dambaan setiap muslim bahkan umat manusia seluruhnya meskipun banyak di antara mereka yang tidak berhasil mendapatkannya. Hal tersebut dikarenakan kebodohan dan kemasabodohan mereka terhadap cara dan jalan untuk menempuhnya. Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa ta’ala membantu mereka untuk dapat mewujudkannya lalu memerintahkan Rosul-Nya Shallalahu alaihi wa sallam agar menjelaskan kepada mereka akan cara dan jalan yang mesti mereka tempuh dan jalani. Membaguskan wudlu dan sholat dalam keadaan ikhlas yaitu menghadapkan wajah dan hatinya hanya kepada Allah Azza wa Jalla adalah merupakan salah satu cara dan jalan untuk mewujudkan keinginan dan harapan mereka masuk ke dalam surga, yang di dalamnya terdapat banyak kenikmatan dan kehidupan abadi.

Wallahu a’lam bi ash-Showab.


[1] Mukhtashor Shahih Muslim: 120, Shahih Sunan Ibnu Majah: 226, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3957 dan Misykah al-Mashobih: 281.

[2]  Bahjah an-Nazhirin: I/ 81.

[3]  Syar-h Riyadl ash-Shalihin: I/ 89.

[4]  Syar-h Arba’in an-Nawawiyyah halaman 243.

[5] Shahih Sunan Ibnu Majah: 224, 225, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 952, Irwa’ al-Ghalil: 412, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 192 dan Misykah al-Mashobih: 292.

[6]  Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 170.

[7]  Mukhtashor Shahih Muslim: 133, Shahih Sunan at-Turmudziy: 46, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 139, Shahih Sunan Ibni Majah: 343, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2618, Misykah al-Mashobih: 282 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 187.

[8]  Bahjah an-Nazhirin: I/ 210.

[9] Shahih Sunan Ibnu Majah: 342, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2617 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 188.

[10] Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 441 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1296.

[11]  Shahih Sunan Abi Dawud: 527.

[12] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2580, 2581, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 59 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib:189, 405, 451.

[13]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 2582 dan Mukhtashor al-‘Uluw halaman 119.

[14] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3045, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 1802 dan Misykah al-Mashobih: 5122.

[15] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5606 dan Misykah al-Mashobih: 286.

[16]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5755.

[17]  Shahih Sunan An-Nasa’iy: 143, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5804, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 181 dan Misykah al-Mashobih: 1042.

[18] Shahih Sunan Ibni Majah; 229.

[19] Mukhtashor Shahih Muslim: 121, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 450, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 176 dan Tahqiq Riyadl ash-Shalihin: 131.

[20]  Bahjah an-Nazhirin: I/ 208-209.

[21]  Bahjah an-Nazhirin: II/ 248.

[22]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6169 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 177.

[23] Bahjah an-Nazhirin: II/ 247.

[24]  Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 331.

[25] Shahih Sunan Ibni Majah: 228, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 100, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 449, Misykah al-Mashobih: 297 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 180.

[26] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2724, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1756 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 182.

[27] Mukhtashor Shahih Muslim: 130, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 105, Shahih Sunan Abi Dawud: 97, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 82, 83, 112, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6175, 6176 dan Misykah al-Mashobih: 287.

[28] Berkata Urwah, “ayat itu adalah surat al-Baqarah/2: 159”.

[29]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 105 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7615.

[30] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6178.

[31]  Bahjah an-Nazhirin: II/ 247.

[32] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6177.

[33] Yaitu Masjid al-Haram di Mekkah, Masjid an-Nabawiy di Madinah al-Munawwarah, Masjid al-Aqsho di Palestina (Bait al-Maqdis) dan Masjid Quba.

[34] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 140, Shahih Sunan Ibni Majah: 1145, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6172 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 191.

[35] Mukhtashor Shahih Muslim: 129, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 146, Shahih Sunan Ibni Majah: 3475, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3698, Ahkam al-Jana’iz halaman 240-241 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 172.

[36]  Bahjah an-Nazhirin: II/ 249.

[37]  Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 335.

[38] Mukhtashor Shahih Muslim: 128, Irwa’ al-Ghalil: 94 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1489, 2005.

[39]  Bahjah an-Nazhirin: II/ 246.

[40]  Syar-h Riyadl ash-Sholihin: III/ 330.

[41] Misykah al-Mashobih: 299.

[42] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 841, Shahih Sunan Abi Dawud: 155, 801, Mukhtashor Shahih Muslim: 143, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir dan Misykah al-Mashobih: 288.