AMALAN-AMALAN PADA HARI JUM’AT SESUAI SUNNAH NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
Hari Jum’at adalah hari mulia yang pada hari itu seluruh kaum muslimin di seluruh dunia berkumpul padanya untuk memuliakannya. Karena di dalamnya terdapat banyak faidah dan keutamaan yang besar. Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rosulullah dan para shahabatnya, bagaimana seharusnya menyambut hari tersebut agar amal tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Berikut ini, ada beberapa adab dan amalan yang harus diperhatikan bagi setiap muslim yang ingin menghidupkan syariat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari Jumat untuk mendapatkan banyak keutamaan dan pahala. Amalan tersebut ada yang hukumnya wajib dan ada juga yang sunnah, di antaranya,
1). Disunnahkan pada sholat Shubuh di hari Jum’at, imam membaca surat as-Sajdah dan al-Insan secara sempurna.
Hal ini sebagaimana yang telah dikerjakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, karenanya tidak diperbolehkan untuk memotong sebagiannya seperti yang banyak dilakukan oleh para imam sholat.
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَقْرَأُ فِى اْلجُمُعَةِ فِى صَلَاةِ اْلفَجْرِ ((الم تنزيل- السجدة)) وَ ((هل أتى على الإنسان- الإنسان)) -الحديث
Adalah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membaca di dalam sholat fajar pada hari Jum’at, “Aliif Laam Miim Tanziil (Surat al-Sajdah pada rakaat pertama) dan (pada rakaat kedua) Surat al-Insan”. [HR. al-Bukhoriy: 891, 1068, Muslim: 880, ad-Darimiy: I/ 362, an-Nasa’iy: I/ 151, Ibnu Majah: 823, Ahmad: II/ 430, 472, al-Baihaqiy dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]
Dari Ibnu Abbas radliyallah anhuma berkata, Adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam membaca dalam shalat Shubuh pada hari Jum’at, “Aliif Laam Miim Tanziil (Surat al-Sajdah) dan Surat al-Insan”. [HR Ibnu Majah: 821, an-Nasa’iy: I/ 151, 209-210, Abu Dawud: 1074, Ahmad: I/ 328, 340, 354, al-Baihaqiy, ath-Thoyalisiy dan ath-Thohawiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]
Dua dalil hadits di atas menerangkan amalan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika menunaikan sholat Shubuh bersama para shahabat radliyallahu anhum pada hari Jum’at. Yaitu setelah membaca surat al-Fatihah, Beliau membaca surat as-Sajadah (surat ke 32) hingga selesai pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua membaca surat al-Insan atau surat ad-Dahr (surat ke 76) hingga selesai. Namun hal ini hanyalah mustahabbah (dianjurkan) bagi imam sholat yang telah hafal kedua surat tersebut, dan membacanya sebaiknya secara menyeluruh sampai selesai dan tidak memotongnya.
2).Membaca Surat al-Kahfi
Amalan selanjutnya adalah melazimkan membaca surat al-kahfi (surat ke 18) setia hari Jum’at. Hal ini sangat dianjurkan bagi setiap muslim, terlebih yang mempunyai waktu luang karena di dalamnya terdapat kebaikan.
Diantara kebaikannya adalah bagi setiap muslim yang melazimkan membacanya kelak pada hari kiamat akan diberikan cahaya dari tempat ia berada sampai Mekkah dan iapun akan diterangi oleh cahaya di antara dua Jum’at.
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, dia akan disinari cahaya antara dia dan Ka’bah”. [HR Ibnu Hibban dan ad-Darimiy: II/ 454. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ اْلكَهْفِ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا إِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ مِنْ مَقَامِهِ إِلىَ مَكَّةَ وَ مَنْ قَرَأَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ آخِرِهَا ثُمَّ خَرَجَ الدَّجَّالُ لَمْ يَضُرَّهُ
“Barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi maka surat itu akan menjadi cahaya baginya sampai hari kiamat dari tempatnya sampai Mekah. Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari akhirnya kemudian Dajjal keluar maka Dajjal itu tidak dapat membahayakannya”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Awsath, al-Hakim: 2116, adl-Dliya’, an-Nasa’iy dan as-Sunniy di dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah halaman 37. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
“Barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, maka Allah akan menyinarinya dengan cahaya di antara dua Jum’at”. [HR al-Hakim dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]
3). Memperbanyak Sholawat Nabi
Dari Aus bin Aus radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ
“Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan, dan pada hari itu juga ditiup sangkakala dan akan terjadi kematian seluruh makhluk. Oleh karena itu perbanyaklah sholawat di hari Jum’at, karena sholawat akan disampaikan kepadaku.”
Para shahabat berkata, “Ya Rosulullah, bagaimana sholawat kami atasmu akan disampaikan padamu sedangkan kelak engkau telah lebur dengan tanah?”.
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi”. [HR Abu Dawud: 1047, an-Nasai’y: III/ 91-92, Ibnu Majah: 1085, 1636, Ahmad: IV/ 8, dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Hari Jum’at adalah penghulunya hari dan yang paling utama. Yaitu paling utama di sisi Allah dari pada hari Adl-ha dan hari Fith-ri. Terdapat dorongan atau motivasi untuk memperbanyak mengucapkan sholawat atas Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pada hari Jum’at. Para Nabi itu hidup di dalam kubur mereka. Sholawat atas nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan sampai ke dalam kuburnya sebagai bentuk pemuliaan dari Allah ta’ala kepada Rosulullah Shallallahu alihi wa sallam dan penghormatan dari Allah ta’ala kepada hamba-Nya yang mengikuti washiyat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [7]
Dalil dan penjelasannya di atas menegaskan akan anjuran bagi setiap muslim untuk membiasakan diri mengucapkan sholawat dengan sholawat-sholawat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang telah disyariatkan pada hari Jum’at, sebab di dalamnya banyak terdapat kebaikan dan keutamaan.
4). Melaksanakan sholat Jum’at bagi laki-laki muslim, merdeka, mukallaf, dan tinggal di negerinya.
Berkata DR Abdul Azhim bin Badawiy hafizhohullah, “Menyaksikan sholat Jum’at itu merupakan wajib ain bagi setiap muslim kecuali lima golongan yaitu hamba sahaya, wanita, anak-anak, orang yang sedang sakit (keras) atau musafir”. [8]
Atas mereka sholat Jum’at hukumnya wajib. Sementara bagi budak, wanita, anak kecil dan musafir, maka sholat Jum’at tidak wajib atas mereka. Namun, jika mereka menghadirinya, maka tidak apa-apa dan sudah gugur kewajiban Zhuhurnya. Dan kewajiban menghadiri sholat Jum’at menjadi gugur disebabkan beberapa sebab, di antaranya sakit dan rasa takut. [9]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. [QS al-Jumu’ah/ 62: 9].
Dari Thariq bin Syihab radliyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اْلجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’at itu adalah perkara yang hak lagi diwajibkan bagi setiap muslim di dalam berjamaah kecuali empat golongan yaitu hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sedang sakit (keras)”. [HR Abu Dawud: 1067 dan al-Hakim: 1101. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]
Dari Hafshah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
رَوَاحُ اْلجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Berangkat Jum’at itu wajib bagi setiap yang telah baligh”. [HR an-Nasa’iy: III/ 89. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]
Dalil-dalil hadits shahih diatas menegaskan bahwa setiap muslim telah diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk menunaikan sholat Jum’at secara berjamaah di masjid jami’ dan hukumnya adalah fardlu ain. Maka barangsiapa yang menunaikannya dengan baik dan benar maka ia berhak untuk mendapatkan ganjaran kebaikan kelak pada hari kiamat. Namun barangsiapa yang meninggalkannya secara sengaja dan tanpa udzur syar’iy maka iapun kelak berhak mendapatkan ganjaran keburukan pada hari kiamat. Dan di duniapun ia akan dikunci mati hatinya sehingga ia tidak akan lagi mendapatkan hidayah-Nya dan ia digolongkan sebagai kaum munafikin. Al-Iyadzu billah.
Dari Abu al-Ja’d adl-Dlomriy, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa yang meninggalkan tiga kali sholat Jum’at dalam keadaan meremehkannya maka Allah akan mengunci mati hatinya”. [HR Abu Dawud: 1052, Ibnu Majah: 1125, at-Turmudziy: 500, an-Nasa’iy: III/ 88, Ibnu Khuzaimah: 1857. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [12]
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban,
مَنْ تَرَكَ اْلجُمُعَةَ ثَلَاثًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَهُوَ مُنَافِقٌ
“Barangsiapa yang meninggalkan Jum’at sebanyak tiga kali tanpa udzur maka dia adalah seorang munafik”.
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radliyallahu anhuma bahwasanya mereka mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda di atas kayu mimbarnya,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ اْلجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ اْلغَافِلِيْنَ
“Hendaklah orang-orang yang sering meninggalkan sholat Jum’at segera menghentikan kebiasaan mereka itu, atau Allah akan mengunci mati hati mereka sehingga mereka termasuk golongan orang-orang yang lalai”. [HR Muslim: 865, an-Nasa’iy: III/ 88-89 dan Ibnu Khuzaimah: 1855. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Sholat Jum’at itu hukumnya fardlu ain dan tidak boleh ditunaikan kecuali dengan berjamaah. Terdapat ancaman keras bagi orang yang meninggalkan sholat Jum’a sebanyak tiga kali Jum’at dalam keadaan meremehkannya dan tanpa ada udzur yang syar’iy dengan ancaman akan dikunci mati hatinya (yaitu tidak akan mendapatkan hidayah)”. [14]
5). Mandi Jumat
Mandi pada hari Jum’at itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang telah baligh berdasarkan dalil-dalil hadits shahih berikut ini. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabat biasa.
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata,
اْلغُسْلُ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi pada hari jum’at itu wajib bagi setiap orang yang telah bermimpi (atau baligh)”. [HR al-Bukhoriy: 858, 879, 880, 895, 2665, Muslim: 846, Abu Dawud: 341, 344, an-Nasa’iy: III/ 92, 93, Ibnu Majah: 1089, Ahmad: III/ 6 dan ad-Darimiy: I/ 361. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Mandi jum’at itu wajib pada hak setiap orang yang telah sampai kewajiban melakukan jum’at baginya”. [16]
Dari Hafshah radliyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ رَوَاحُ اْلجُمُعَةِ وَ عَلَى كُلِّ مَنْ رَاحَ إِلىَ اْلجُمُعَةِ اْلغُسْلُ
“Wajib bagi tiap yang telah bermimpi untuk berangkat jum’at dan wajib bagi yang berangkat jum’at untuk mandi”. [HR Abu Dawud: 342. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ اْلجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ
“Apabila seseorang di antara kalian hendak mendatangi jum’at maka mandilah”. [HR al-Bukhoriy: 877, 893, 919, Muslim: 844, an-Nasa’iy: III/ 93 dan Ibnu Majah: 1088. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajibnya mandi untuk hari jum’at”. [19]
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ غُسْلَ اْلجَنَابَةِ
“Barangsiapa mandi hari jum’at seperti mandi janabat, …”. [HR al-Bukhoriy: 881, Muslim: 850, an-Nasa’iy: III/ 99 dan Abu Dawud: 351. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[20]
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ”Di dalam hadits ini bukan menafikan (meniadakan) mandi karena sungguh-sungguh telah datang dari arah yang lain di dalam dua kitab shahih dengan lafazh, ((”barangsiapa mandi”)) maka hal tersebut mengandung penyebutan wudlu bagi orang yang telah terdahulu mandinya untuk pergi. Maka ia membutuhkan pengulangan wudlu”. [21]
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, ”Kesimpulannya adalah bahwa hadits-hadits yang menerangkan wajib mandi jum’at, di dalamnya merupakan hukum tambahan atas hadits-hadits yang bersifat penganjuran, dan hal tersebut tidak saling bertentangan. Dan menjadi suatu kewajiban adalah mengambil yang mengandung tambahan darinya” (Yaitu yang menetapkan hukum wajib mandi bagi yang pergi berangkat jum’at). [22]
Kesimpulannya, mandi hari Jum’at itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang hendak berangkat menunaikan sholat Jum’at. [23]
6). Menggunakan Minyak Wangi.
Amalan yang dianjurkan ketika hendak menunaikan sholat Jum’at adalah mengenakan pakaiannya yang terbaik dan memakai harum-haruman. Sebab memakai pakaian lusuh, kotor dan berbau dan tubuhpun mengeluarkan keringat dan bau yang tak sedap jelas akan mengganggu ketenangan dan kekhusu’an orang-orang yang menghadiri Jum’at di antara manusia dan para Malaikat.
Oleh sebab itu, setiap muslim disyariatkan untuk mengenakan pakaian yang terbaik dan memakai wewangian. Bahkan jika tidak ada, diperbolehkan baginya untuk memakai wewangian wanita, yakni yang nampak warnanya dan tidak nampak baunya.
Dari Abu Dzarr al-Ghifariy radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَأَحْسَنَ غُسْلَهُ وَ تَطَهَّرَ فَأَحْسَنَ طَهُوْرَهُ وَ لَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَ مَسَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ مِنْ طِيْبِ أَهْلِهِ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ وَ لَمْ يَلْغُ وَ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ غُفِرَ لَهُ مِنْ بَيْنِهِ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى
“Barangsiapa mandi pada hari jum’at lalu ia membaguskan mandinya, bersuci lalu ia membaguskan bersucinya, memakai dari pakaian yang terbagusnya, menggunakan wewangian keluarganya yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya. Kemudian ia mendatangi jum’at, tidak berbicara dan tidak pula memisahkan antara dua orang (yang sedang duduk) maka diampuni baginya (dosa-dosanya) antaranya dan antara jum’at berikutnya”. [HR Ibnu Majah: 1097. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [24]
Dari Salman al-Farisiy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ يَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَ يَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ طِيْبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يُخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى
“Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at, bersuci apa yang ia sanggupi dari bersuci, menyemprotkan wewangian dari wewangiannya atau menggunakan harum-haruman rumahnya kemudian ia keluar serta tidak memisahkan antara dua orang lalu ia sholat apa yang telah ditetapkan untuknya kemudian ia diam ketika imam berbicara melainkan diampuni baginya apa yang di antaranya dan antara jum’at berikutnya”. [HR al-Bukhoriy: 883, 910. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيْدٍ جَعَلَهُ اللهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ فَمَنْ جَاءَ إِلىَ اْلجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ وَ إِنْ كَانَ طِيْبٌ فَيَمَسَّ مِنْهُ وَ عَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ
“Sesungguhnya ini adalah hari raya yang telah dijadikan oleh Allah bagi kaum muslimin. Barangsiapa yang datang kepada jum’at maka mandilah, jika ia memiliki harum-haruman maka kenakanlah dan wajib bagi kalian agar bersiwak”. [HR Ibnu Majah: 1098. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [26]
Memakai wewangian, bersiwak dan mengenakan pakaian terbagusnya merupakan adab menghadiri sholat Jum’at yang mesti diperhatikan oleh setiap muslim.
Dari Abu Sa’id al-Khudriy dan Abu Hurairah radliyallahu anhuma berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَلَمْ يَتَخَطَّ أَعْنَاقَ النَّاسِ ثُمَّ صَلَّى مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ كَانَتْ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهَا وَ بَيْنَ جُمْعَتِهِ الَّتِى قَبْلَهَا
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at, lalu memakai pakaiannya yang terbagus dan memakai wewangian, jika punya. Kemudian berjalan menuju sholat Jum’at. Lalu tidak melangkahi pundak-pundak manusia dan sholat sebagaimana yang ditetapkan Allah baginya, kemudian ia diam ketika imam keluar sehingga selesai dari sholatnya. Maka sholatnya itu menjadi kiffarat (penghapus dosa) di antara Jum’at itu dengan Jum’at sebelumnya”. [HR Abu Dawud: 343. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [27]
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اْلغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَالسِّوَاكُ وَ يَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قُدِّرَ لَهُ وَ لَوْ مِنْ طِيْبِ اْلمـَرْأَةِ
“Mandi hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang baligh. Begitu pula dengan bersiwak dan memakai wewangian, jika mampu (atau ada), meskipun dari wewangian wanita”. [HR Abu Dawud: 344, Muslim: 846 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]
7). Bersegera Untuk Berangkat ke Masjid.
Yang banyak diremehkan kaum muslimin pada umumnya adalah suka menunda-nunda waktu untuk berangkat sholat Jum’at, padahal tidak ada alasan syar’iy yang menjadi pernybabnya.
Jika mereka tahu faidah dan keutamaan di dalam menyegerakan diri berangkat ke masjid untuk sholat Jum’at niscaya mereka tidak akan melakukannya. Untuk itulah di bawah ini akan dituangkan beberapa dalil perintah dan keutamaan di dalam menyegerakan diri berangkat menuju masjid untuk menunaikan sholat Jum’at.
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ غُسْلَ اْلجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَدَنَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَقَرَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ دَجَاجَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ اْلخَامِسَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ اْلمـَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa mandi hari jum’at seperti mandi janabat kemudian berangkat maka seolah-olah ia berkurban seekor unta. Barangsiapa yang berangkat pada saat yang kedua maka seolah-olah ia berkurban seekor sapi. Barangsiapa berangkat pada saat yang ketiga maka seolah-olah ia berkurban seekor kambing yang dewasa. Barangsiapa yang berangkat pada waktu yang keempat maka seolah-olah ia berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang berangkat pada saat yang kelima maka seolah-olah ia berkurban sebutir telur. Maka apabila imam telah keluar maka para malaikat hadir untuk mendengarkan khutbah”. [HR al-Bukhoriy: 881, Muslim: 850, an-Nasa’iy: III: 99 dan Abu Dawud: 351. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat isyarat untuk melakukan jimak (hubungan suami istri) pada hari Jum’at agar dapat mandi janabat. Dan hikmahnya sangat jelas yaitu agar jiwa menjadi tenang ketika berangkat untuk sholat dan matanya tidak jelalatan kepada sesuatu yang ia lihat. Terdapat keutamaan bersegera berangkat menuju masjid pada hari Jum’at”. [30]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلَائِكَةُ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Apabila hari Jum’at tiba, pada pintu-pintu masjid terdapat para Malaikat yang mencatat urutan orang datang, yang pertama dicatat pertama. Jika imam duduk, merekapun menutup buku catatan, dan ikut mendengarkan khutbah”. [HR Ibnu Majah: 1092 dan an-Nasa’iy: III/ 98. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [31]
Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata,
كُــنَّا نُبَكِّرُ بِاْلجُمُعَةِ وَ نُقِيْلُ بَعْدَ اْلجُمُعَةِ
“Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat”. [HR al-Bukhoriy: 905, 940].
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Makna hadits ini yaitu para shahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang (qaylulah), berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zhuhur ketika panas, sesungguhnya para shahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya”. [32]
8). Sholat Sunnah Ketika Menunggu Imam atau Khotib
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّى مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَ فَضْلُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Barangsiapa mandi (untuk Jum’at) lalu mendatangi sholat Jum’at kemudian sholat semampunya dan diam mendengarkan khutbah hingga selesai. Lalu sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari”. [HR Muslim: 857 (26). Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [33]
Maka kalimat “kemudian sholat semampunya”, hal ini menunjukkan dianjurkannya sholat (mutlaq) semampunya sehingga imam/ khatib datang memulai khutbahnya.
9). Wajib mendengarkan khutbah yang disampaikan imam dengan seksama, tidak boleh sibuk sendiri sehingga tidak memperhatikannya. Akibatnya, Jum’atannya akan sia-sia.
Dari Abu Hurairah radliyallahuanhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ : أَنْصِتْ وَ اْلإِمَامُ َيخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila engkau berkata kepada kawanmu, “diam”, sedangkan imam sedangberkhutbah maka sungguh-sungguh engkau telah sia-sia”. [HR al-Bukhoriy: 394,Muslim: 851, Abu Dawud: 1112, at-Turmudziy: 512, an-Nasa’iy: III/ 104, Ibnu Majah: 1110, Ahmad: II/ 272, 393, 396, 474, 485, 518, 532, ad-Darimiy: I/ 364 dan Ibnu Khuzaimah: 1805. Berkata asy-Syaikhal-Albaniy: shahih]. [34]
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhuberkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ فَدَنَا وَ اسْتَمَعَ وَ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ وَ زِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَ مَنْ مَسَّ اْلحَصَى فَقَدْ لَغَى
“Barangsiapa berwudlu lalu membaguskan wudlunya kemudian mendatangi jum’at lalu mendekat (kepada imam), menyimak dan diam maka diampunilah (dosa)nya antaranya dan antara jum’at (berikutnya) serta ada tambahan tiga hari. Barangsiapa yang menyentuh (memain-mainkan) kerikil maka sungguh-sungguh telah sia-sia”. [HR at-Turmudziy: 498, Muslim: 857 (27), Abu Dawud: 1050 dan Ibnu Majah: 1090. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]
Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Dalam hadits ini terdapat larangan dari mempermainkan batu-batu kerikil dan bentuk-bentuk permainan lainnya disaat imam sedang berkhutbah. Hadits tersebut juga memberikan isyarat keharusan menghadirkan hati dan anggota tubuh dikala mendengarkan khutbah. Sedangkan makna lagha (perbuatan sia-sia) adalah perbuatan batil yang tercela dan hilang pahalanya”. [36]
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَكَلَّمْتَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَقَدْ لَغَوْتَ وَ أَلْغَيْتَ يعنى : وَاْلإِمَامُ َيخْطُبُ
“Apabila engkau berbicara pada hari jum’at maka sungguh-sungguh engkau telah sia-sia dan menggugurkan”. Yakni ketika imam sedang berkhutbah. [HR Ibnu Khuzaimah: 1804. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [37]
Beberapa dalil di atas menegaskan perintah untuk diam dan menyimak khutbah yang disampaikan oleh khatib sepanjang khutbahnya. Dan juga terdapat larangan dari melakukan beberapa perbuatan yang dapat membatalkan nilai pahala (Jum’at) semisal berbicara, bersenda gurau, bermain batu kerikil, membaca buku atau buletin dakwah, membaca sms-an, buka fesbuk dan selainnya. Hal ini selain menggugurkan pahala jum’atan juga akan mengganggu ketenangan dan kekhusyu’an orang lain. [38]
10). Tidak Duduk dengan Memeluk Lutut Ketika Khatib Sedang Berkhutbah.
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنِ اْلحُبْوَةِ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ اْلإِمَامُ يَخْطُبُ
“Bahwasanya Rosulullah melarang dari ihtiba’/ hubwah (duduk sambil memegang lutut) pada saat sholat Jumat ketika imam sedang berkhotbah”. [HR Abu Dawud: 1110, at-Turmudziy: 514, Ibnu Majah: 1134 dan Ibnu Khuzaimah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [39]
Dalil di atas menegaskan akan larangan duduk dalam keadaan ihtiba’/ hubwah yaitu duduk dengan memeluk lutut pada hari Jum’at di saat imam sedang berkhutbah. Sebab duduk seperti itu dapat membuat orang tersebut tertidur dan juga dapat menyingkap auratnya bagi yang hanya mengenakan sarung atau sehelai pakaian saja.
11). Jika sudah selesai melaksanakan sholat Jum’at, disunnahkan mengerjakan sholat sunnah sesudahnya.
Amalan sunnah yang banyak dikerjakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam setelah selesai dari sholat Jum’at adalah sholat empat rakaat. Atau jika tergesa-gesa, Beliau sholat dua rakaat di masjid lalu dua rakaat lagi di rumahnya.
Dalam menunaikan sholat sunnah tersebut dianjurkan agar tidak dilaksanakan secara langsung setelah selesai sholat Jum’at namun menyelanginya dengan berbicara kepada seseorang atau keluar dari masjid lalu sholat.
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ اْلجُمُعَةَ فَيْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
“Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat”. [HR Muslim: 881 (67), Abu Dawud: 1131, at-Turmudziy: 522, an-Nasa’iy: III/ 113, Ibnu Majah: 1132, Ahmad: II/ 249, 443, 499, ad-Darimiy: I/ 370, al-Baihaqiy dan ath-Thahawiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [40]
Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata,
فَإِنْ عَجِلَ بِكَ شَيْءٌ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ فِى اْلمـَسْجِدِ وَ رَكْعَتَيْنِ إِذَا رَجَعْتَ
“Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang”. [HR Muslim: 881 (68)]. [41]
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma, bahwasanya ia menjelaskan tentang sholat sunnahnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata,
فَكَانَ لَا يُصَلَّى بَعْدَ اْلجُمُعَةِ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ
“Adalah Beliau tidak pernah sholat setelah Jum’at sehingga ia kembali lalu sholat dua rakaat di rumahnya”. [HR Muslim: 882 (71), al-Bukhoriy: 937, 1165, 1172, 1180, an-Nasa’iy: III/ 113, Abu Dawud: 1132 dan Ibnu Majah: 1130. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [42]
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, bahwasanya ia pernah melihat seseorang sedang sholat dua rakaat (setelah sholat Jum’at) pada hari Jum’at di tempatnya. Maka iapun mendorongnya dan berkata, “Apakah engkau sholat Jum’at itu empat rakaat?”. Adalah Ibnu Umar sholat pada hari Jum’at (setelah sholat Jum’at) dua rakaat di rumahnya. Lalu ia berkata,
هَكَذَا فَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
“Demikianlah yang dilakukan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR Abu Dawud: 1127. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [43]
Dari Umar bin Atha bin Abu al-Khuwar menceritakan bahwa Nafi’ bin Jubair pernah mengutusnya kepada as-Sa’ib bin Yazid bin Ukhti Namir untuk menanyakan tentang pengalamannya sholat bersama Mu’awiyah radliyallahu anhu. As-Sa’ib berkata, “Ya, aku pernah mengerjakan sholat Jum’at bersamanya di al-Maqshurah. Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung bangkit untuk mengerjakan sholat (sunnah). Setelah keluar, ia menyuruh seseorang untuk memanggilkanku. Ia berkata (kepadaku),
لَا تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ إِذَا صَلَّيْتَ اْلجُمُعَةَ فَلَا تُصَلِّهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وَ سلم أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوْصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Jangan engkau ulangi perbuatanmu seperti itu. Jika engkau telah mengerjakan sholat Jum’at, maka janganlah menyambungnya dengan sholat sunnah hingga engkau berbicara atau keluar dari masjid. Karena Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kami agar tidak menyambung sholat (fardlu) dengan sholat (sunnah) hingga memutusnya dengan berbicara atau keluar dari masjid”. [HR Muslim: 883 dan Abu Dawud: 1129. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44]
Dalil di atas menjelaskan akan larangan bagi setiap muslim dari menyambung sholat Jum’at dengan sholat sunnah hingga ia berpindah tempat yang ia mengerjakan sholat Jum’atnya ke tempat lainnya atau memisahkan antara keduanya dengan berbicara kepada seseorang atau keluar masjid lalu masuk lagi ke dalamnya untuk menunaikan sholat sunnah.
12). Memperbanyak doa di penghujung hari Jum’at, karena termasuk waktu mustajab untuk dikabulkannya doa.
Bagi setiap muslim yang selalu berharap kebaikan dan keutamaan, ia tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu sekejappun untuk mendapatkannya. Ketika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menetapkan akan adanya waktu yang mustajab pada hari Jum’at dengan terkabulnya doa, maka ia akan segera dan selalu berusaha memanfaatkan sebaik mungkin waktu tersebut untuk mendapatkannya. Dan waktu yang paling tepat itu adanya setelah ashar, sebagaimana akan datang dalilnya.
Dari Abu Hurairah radliyallah anhu berkata, Abu al-Qasim (Rosulullah) Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
“Sesungguhnya pada hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya”. Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, yang kami pahami, untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat). [HR al-Bukhoriy: 935, 5294, 6400, Muslim: 852 (14), Ibnu Majah: 1137, an-Nasa’iy: III/ 115, 116, Ahmad dan Malik. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [45]
Banyak pendapat yang menjelaskan tentang waktunya sebagaimana dijelaskan oleh al-Allamah Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah sehingga mencapai 11 pendapat. Dan yang paling rajih adalah “Waktu yang diijabah (dikabulkannya doa) pada hari Jum’at itu ada pada akhir waktu setelah Ashar”. [46]
Al-Allamah Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Ini merupakan pendapat yang paling rajih (kuat) dari dua pendapat yang ada. Ini merupakan pendapat Abdullah bin Salam, Abu Hurairah dan beberapa ulama selain mereka”. [47]
Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu, dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَوْمُ اْلجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لَا يُوْجَدُ فِيْهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلَّا ءَاتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوْهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ اْلعَصْرِ
“Hari Jum’at itu terdiri dari dua belas jam )yang di dalamnya terdapat suatu waktu, yang tidaklah seorang muslim memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Maka carilah waktu tersebut di akhir waktu setelah Ashar”. [HR an-Nasa’iy: III/ 99-100, as-Sunan al-Kubra: 1760, Abu Dawud: 1048 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [48]
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْتَمِسُوْا السَّاعَةَ الَّتِى تُرْجَى فِى يَوْمِ اْلجُمُعَةِ بَعْدِ اْلعَصْرِ إِلَى غَيْبُوْبَةِ الشَّمْسِ
“Carilah waktu yang diharapkan (terkabulnya doa) pada hari Jum’at itu setelah Ashar sampai terbenamnya matahari”. [HR at-Turmudziy: 489. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [49]
Demikian sekelumit pembahasan tentang amalan-amalan yang dapat dikerjakan oleh kaum muslimin pada setiap hari Jum’at dengan berdasarkan kepada dalil-dalil shahih yang telah tsabit dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Dan semoga dengan pembahasan ini, Allah Subhanahu wa ta’ala dapat memudahkan diriku, memudahkan istri, putra-putri dan keturunanku, para kerabat dan shahabatku dan semua kaum muslimin untuk mengamalkannya dan menghiasi diri kita semua dengan amalan-amalan tersebut sampai akhir hayat.
Wallahu a’lam bish showab.
[1] Mukhtashor Shahih Muslim: 403 dari Ibnu Abbas, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 478 (I/ 216), Shahih Sunan Ibnu Majah: 672, Irwa’ al-Ghalil: 627, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 915 dan Ash-l Shifat Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: II/ 444 karya asy-Syaikh al-Albaniy penerbit Maktabah al-Ma’arif, cetakan pertama tahun 1427H/ 2006M.
[2] Shahih Sunan Ibnu Majah: 670, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 916 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 949. Hadits ini juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Sa’d bin Abi Waqqosh dan Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhum. Lihat takhrij lengkapnya di Ash-l Shifat Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: II/ 444-446.
[3] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6471.
[4] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2333, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6170, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 220, Nail al-Awthar bi takhriij Ahadits Kitab al-Adzkar: 78 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 341.
[5] Irwa’ al-Ghalil: 626, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 738, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6470 dan Misykah al-Mashobih: 2175.
[6] Shahih Sunan Abu Dawud: 925, Shahih Sunan Ibnu Majah: 889, 1326, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1301, Irwa’ al-Ghalil: 4, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2212, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 698, Misykah al-Mashobih: 1361 dan Fadl-lu ash-Sholah ala an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: 22 halaman 35 tahqiq asy-Syaikh al-Albaniy penerbit al-Maktab al-Islamiy cetakan ketiga 1397H/ 1977M.
[7] Bahjah an-Nazhirin: II/ 324.
[8] Al-Wajiz Fi Fiq-h as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz halaman 177 susunan DR Abdul Azhim bin Badawiy penerbit Dar al-Fawa’id dan Dar Ibnu Rajab cetakan keempat tahun 1430 H/ 2009 M.
[9] Syar-h al-Mumti’: V/ 7-24.
[10] Shahih Sunan Abu Dawud: 942, Irwa’ al-Ghalil: 592, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3111 dan Misykah al-Mashobih: 1377. Adapun gugur dari yang sedang safar, dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada kewajiban bagi yang sedang safar untuk sholat Jum’at”. [HR ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Irwa’ al-Ghalil: 594 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5405].
[11] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1299 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3521.
[12] Shahih Sunan Abu Dawud: 928, Shahih Sunan Ibnu Majah: 923, Shahih Sunan at-Turmudziy: 414, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1297, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6143, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 729 dan Misykah al-Mashobih: 1371.
[13] Mukhtashor Shahih Muslim: 426, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1298, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5480 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 727.
[14] Bahjah an-Nazhirin: II/ 314.
[15]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 470, Mukhtashor Shahih Muslim: 405, Shahih Sunan Abi Dawud: 329, 332, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1302, 1304, Shahih Sunan Ibni Majah: 893, Irwa’ al-Ghalil: 143, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4155, 4177, 4178 dan Misykah al-Mashobih: 538.
[16] Bahjah an-Nazhirin: II/ 315.
[17]Shahih Sunan Abi Dawud: 330 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4036.
[18]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 468, Mukhtashor Shahih Muslim: 404, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1303, Shahih Sunan Ibni Majah: 892, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 458, 559, Irwa’ al-Ghalil: 145 dan Misykah al-Mashobih: 537.
[19]Bahjah an-Nazhirin: II/ 315.
[20]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 471, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1315, Shahih Sunan Abi Dawud: 338, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6063 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 710
[21] Fat-h al-Bariy: II/ 362.
[22] Tamam al-Minnah halaman 120 dan al-Ajwibah an-Nafi’ah halaman 89-91, keduanya susunan asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah.
[23] Untuk lebih lengkapnya silahkan kunjungi; https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2012/06/05/hukum-mandi-jumat/
[24]Shahih Sunan Ibni Majah: 900 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6064.
[25]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 473, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7736, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 689 dan Misykah al-Mashobih: 1381.
[26]Shahih Sunan Ibni Majah: 901, Shahih al-Jami’ ash- Shaghir: 2258 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1398.
[27] Shahih Sunan Abu Dawud: 331.
[28] Shahih Sunan Abu Dawud: 332, Mukhtashor Shahih Muslim: 405 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4177.
[29]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 471, Mukhtashor Shahih Muslim: 406, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1315, Shahih Sunan Abi Dawud: 338, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6063 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 710.
[30] Bahjah an-Nazhirin: II/ 318.
[31] Shahih Sunan Ibnu Majah: 896, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1312, 1313, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 775 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 713.
[32]Fat-h al-Bariy: II/388.
[33] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6062.
[34]Shahih Sunan at-Turmudziy: 423, Shahih Sunanan-Nasa’iy: 1328, 1329, Shahih Sunan Abu Dawud: 983, Shahih Sunan IbnuMajah: 911, Irwa’ al-Ghalil: 619, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 718dan Misykah al-Mashobih: 1385.
[35]Shahih Sunan at-Turmudziy: 412, Shahih Sunan Abu Dawud: 927, Shahiih Sunan Ibnu Majah: 894, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6179, Misykah al-Mashobih: 1383 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 683.
[36] Syar-h Shahih Muslim: VI/ 147.
[37]Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 719.
[38] Silahkan baca lebih lengkapnya di, https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2012/06/09/diam-ketika-khutbah-jumat/
[39] Shahih Sunan Abu Dawud: 982, Shahih Sunan at-Turmudziy: 424, Shahih Sunan Ibnu Majah: 930 dan Misykah al-Mashabih: 1293.
[40] Shahih Sunan Abu Dawud: 1001, Shahih Sunan at-Turmudziy: 432, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1351, Shahih Sunan Ibnu Majah: 928, Irwa’ al-Ghalil: 625 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 640.
[41] Irwa’ al-Ghalil: III/ 93.
[42] Shahih Sunan Abu Dawud: 1002, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1352, 1353 dan Shahih Sunan Ibnu Majah: 926.
[43] Shahih Sunan Abu Dawud: 997.
[44] Shahih Sunan Abu Dawud: 999 dan shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 639.
[45] Mukhtashor Shahih Muslim: 401, Shahih Sunan Ibnu Majah: 933, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1355, 1356, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2120 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 702.
[46] Zad al-Ma’ad: I/ 388-390 susunan Al-Imam Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, penerbit Mu’assasah ar-Risalah dan Maktabah al-Manar al-Islamiyah cetakan ke 27 tahun 1414H/ 1994M dan Bahjah an-Nazhirin: II/ 320.
[47] Zad al-Ma’ad: I/ 390. Maksudnya dari 11 pendapat yang ada, maka ada dua yang rajih (kuat) karena berdasarkan kepada dalil.
[48] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1316, Shahih Sunan Abu Dawud: 926, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8190 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 705.
[49] Shahih Sunan at-Turmudziy: 406 dan Misykah al-Mashabih: 1360.
-6.323815
106.887890