SAUDARAKU, HADIRKAN NIAT DI DALAM SHOLATMU !!!…

cinta kajian sunnah

cinta kajian sunnah

NIAT DI DALAM SHOLAT

 بسم الله الرحمن الرحيم

Dalil tentang niat di bawah ini menerangkan tentang disyariatkannya niat ketika hendak mengerjakan suatu amalan dari beberapa amalan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Karena tanpa niat, amalan yang dikerjakan oleh seseorang dari kaum muslimin itu akan sia-sia dan tidak akan mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun untuknya di akhirat kelak. Niat itu berupa tujuan atau maksud hati dari mengerjakan amal tersebut yaitu mengharapkan dan mendambakan keridloan Allah Subhanahu wa ta’ala dan balasan kebaikan semata-mata dari-Nya.

Pun demikian di dalam sholat, setiap muslim wajib menghadirkan niat di dalam hatinya tanpa melafazhkannya dengan lisannya. Tanpa menghadirkan niat di dalam hatinya maka sholat yang dikerjakannya tersebut tidak ada nilainya di sisi Allah Azza wa Jalla.

عن علقمة بن وقاص الليثي يَقُوْلُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ رضي الله عنه (يَخْطُبُ ) عَلَى اْلمـِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا النَّاسُ) إِنمَّاَ اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ (و فى رواية: اْلعَمَلُ بِالنِّيَةِ) وَ إِنمَّاَ لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلىَ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا (و فى رواية: يَتَزَوَّجُهَا) فَهِجْرَتُهُ إِلىَ مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

 Dari Alqomah bin Waqqash al-Laitsiy berkata, aku pernah mendengar Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu berkhutbah di atas mimbar seraya berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niatnya (di dalam satu riwayat, “Amal itu tergantung dengan niat”). Dan tiap-tiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang (niat) hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rosul-Nya, tetapi barangsiapa yang (niat) hijrahnya kepada dunia yang ia peroleh atau seorang wanita yang ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang ia hijrahkan”. [HR al-Bukhoriy: 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953, Muslim: 1907, Abu Dawud: 2201. at-Turmudziy: 1647, an-Nasa’iy: I/ 58-60, Ibnu Majah: 4227, Ahmad: I/ 25, Ibnu Khuzaimah: 142, al-Humaidiy: 28 dan ad-Daruquthniy: 128. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

 Berkata asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ikhlas karena Allah merupakan syarat diterimanya amal. Karena Allah tidak akan menerima suatu amal kecuali yang paling ikhlas dan yang paling benar. Adapun yang paling ikhlas adalah selama karena Allah dan yang paling benar adalah selama menyepakati alqur’an dan sunnah”. [2]

Maka setiap amalan yang dikerjakan oleh seorang muslim itu akan bernilai dan diganjar kebaikan oleh Allah Azza wa Jalla jika diawali dengan menghadirkan niat karena Allah ta’ala. Begitupun dengan sholat, ia wajib menghadirkan niat dalam sholatnya tersebut karena semata-mata Allah ta’ala semata, kemudian ia bertakbir sebagai pertanda memulai sholat. Dan niat itu tidak identik dengan melafalkannya dengan lisan, karena hal tersebut merupakan bid’ah tercela lantaran ketiadaan dalil dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat radliyallahu anhum, para tabi’in dan para imam rahimahumullah ajma’in.

Berkata DR Abdul Azhim bin Badawiy, “Yaitu seseorang berniat sholat yang ia berdiri tegak untuk melakukannya dan menentukannya dengan hatinya. Seperti wajibnya sholat zhuhur atau ashar atau sunnah keduanya misalnya. Namun tidak disyariatkan untuk melafazhkannya karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak melafazhkannya. Hanyalah Beliau apabila telah berdiri tegak untuk sholat, Beliau mengucapkan “Allahu Akbar”, dan tidak mengucapkan sesuatu apapun sebelumnya dan tidak juga melafazhkan niat sedikitpun. Beliau tidak pernah mengucapkan, ‘Usholli lillahi sholata kadza mustaqbilal qiblati arba’a raka’atin imaman aw ma’muman (aku sholat karena Allah untuk menunaikan sholat ini dengan menghadap qiblat empat raka’at sebagai imam atau makmum). Dan tidak berkata, “ada’an” (menunaikan langsung), “qodlo’an” (membayar qodlo) dan tidak pula fardlol waqti. Ini semuanya adalah termasuk sepuluh perkara bid’ah. Karena tidak ada seseorangpun yang menukil dengan sanad yang shahih dan yang dla’if, tidak dalam bentuk yang bersanad atau yang mursal, tidak ada satupun lafazh darinya, tidak juga dari seorangpun shahabatnya, tidak pula dianggap istihsan (dianggap baik) dari seorangpun tabi’in dan tidak juga dari imam yang empat”. [3]

Berkata asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh hafizhohullah, “Niat itu tidak akan gugur oleh suatu keadaan, karena hadits Umar radliyallahu anhu, ‘Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niatnya’. Tempatnya niat itu di hati dan hakikatnya itu adalah bertekad akan (mengerjakan) sesuatu. Dan tidak disyariatkan untuk melafazhkannya karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melafazhkannya dan tidak datang (satu atsarpun) bahwa ada salah seorang shahabat yang melakukan perbuatan itu”. [4]

Jumhur ulama beristidlal atas disyaratkan niat di dalam wudlu dengan dalil-dalil shahih lagi jelas dengan bentuk dijanjikan balasan. Maka sudah semestinya berkehendak membedakannya dengan selainnya agar mendapatkan pahala yang dijanjikan. Dan adapun dalam sholat maka tidak ada perselisihan (khilafiyah) di dalam pensyaratan niat di dalamnya.[5]

Berkata Ibnu Ajalan, “Tidak shalih amal itu kecuali dengan tiga hal, yaitu takwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, niat yang baik dan (amal yang) benar”. [6]

Berkata al-Hafizh Abu al-Hasan Thahir bin Mufawwiz al-Mu’arifiy, [7]

عمدة الدين عندنا كلمات           أربع من كلام خير البرية

اتق الشبهات و ازهد و دع ما       ليس يعنيكـ و اعملن بنية

Tiangnya agama di sisi kami ada empat

kalimat, dari ucapan sebaik-baiknya makhluk

Jagalah dirimu dari syubhat, zuhudlah, tinggalkan apa

yang tidak berguna bagimu dan beramallah dengan niat.

 Sebagaimana telah diterangkan dalam penjelasan-penjelasan bahwasanya niat itu tempatnya di hati bukan dilafazhkan oleh lisan, karena ketiadaan dalil dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, perbuatan para shahabat radliyallahu anhum ataupun dari para imam kaum muslimin.

Berkata Ibnu Rajab rahimahullah, “Niat adalah merupakan kehendak hati dan tidak wajib melafazhkan apa yang ada di hati dan tidak pula di dalam sesuatupun dari ibadah”. [8]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, “Bahwasanya niat itu tempatnya adalah hati. Maka melafazhkannya adalah perbuatan bid’ah”. [9]

Abu Abdillah Muhammad bin al-Qasim at-Tunisi al-Malikiy berkata,

النيّة من أعمال القلوب فالجهر بها بدعة مع ما في ذلك من التشويش على الناس

“Niat itu termasuk amalan hati., mengeraskannya adalah bid’ah. Terlebih lagi jika perbuatan itu membuat berisik orang lain”. [10]

Dan telah shahih dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya ia pernah mendengar seorang lelaki pada waktu ihramnya mengucapkan, “Ya Allah, aku menghendaki haji dan umrah”. Lalu ia berkata kepada lelaki itu, “Apakah kamu hendak memberitahu kepada manusia (akan perbuatanmu)?. Bukankah Allah mengetahui apa yang ada pada hatimu?”. [11]

Berkata al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan di awalnya; nawaytu raf’al hadatsi (artinya, “Aku berniat menghilangkan hadats”) dan tidak pula memperbolehkan sholat (dengannya) dan tidak seorangpun para shahabat radliyallahu anhum (yang mengucapkannya pula). Tidak diriwayatkan satupun huruf tentang hal itu darinya, tidak dengan sanad yang shahih dan tidak pula yang dla’if”. [12]

Maksud dari beberapa penjelasan di atas, bahwa amal agar diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan mendapatkan balasan kebaikan dari-Nya kelak pada hari kiamat itu, mesti berdasarkan atas dua perkara yaitu; ikhlas dan ittiba’.

Ikhlas adalah mengerjakan sesuatu amalan yang diperintahkan semata-mata dengan niat mengharapkan keridloan Allah Subhanahu wa ta’ala dari dalam hatinya. Jadi niat adalah amalan hati bukan lisan.

Adapun ittiba’ adalah mengerjakan satu dari berbagai amal shalih yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Alqur’an dan juga Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang telah tsabit darinya.

Demikian penjelasan singkat tentang disyariatkannya niat dalam sholat yang tidak akan dinilai dan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah Subhanahu wa ta’ala sholatnya seseorang jika tidak dilandasi dengan niat yang benar. Namun niat itu letaknya di dalam hati dan tidak dilafazhkan dengan lisan.

Wallahu a’lam bish showab.

 

[1] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 1, Mukhtashor Shahih Muslim: 1080, Shahiih Sunan Abi Dawud: 1927, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1344, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 73, Shahih Sunan Ibni Majah: 3405, Irwa’ al-Ghalil: 22, Misykah al-Mashobih: 1 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 8.

[2] Bahjah an-Nazhirin: I/ 32.

[3] Al-Wajiz fi Fiq-h as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz halaman 102 susunan DR Abdul Azhim bin Badawiy cetakan keempat tahun 1430H/ 2009M Dar Ibnu Rajab.

[4] Kitab al-Fiqh al-Muyassar fi Dlo’u al-Kitab wa as-Sunah halaman 68, susunan asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh, cetakan pertama tahun 1430/ 2009, Dar A’lam as-Sunnah.

[5] Fat-h al-Bariy: I/ 135.

[6] Jami’ al-Ulu wa al-Hikam: I/ 32.

[7] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam: I/ 26.

[8] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam: I/ 49.

[9] Taysir al-Allam: I/ 25.

[10]al-Qaul al-Mubin Fii Akhta’ al-Mushallin halaman 91, susunan asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman, Cetakan kedua tahun 1413H/ 1996M, Dar Ibnu al-Qayyim.

[11] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam: I/ 49 dan Tazkiyah an-Nufuus halaman 20..

[12] Zad al-Ma’ad: I/ 196.

JIKA ARAH QIBLAT LUPUT BAGIMU ??..

cinta kajian sunnah

cinta kajian sunnah

KAPAN GUGUR KEWAJIBAN MENGHADAP QIBLAT??

بسم الله الرحمن الرحيم

Sebagaimana telah diketahui akan kewajiban menghadap qiblat dalam menunaikan sholat sebab hal tersebut merupakan syarat sahnya sholat.

Namun kewajiban tersebut dapat dirukhshoh (mendapat keringanan) di dalam beberapa sebab keadaaan. Di antaranya ketika seseorang hendak melakukan sholat sunnah di atas kendaraan, dalam keadaan takut atau peperangan atau ketika tertimpa sakit yang ia hanya dapat berbaring dan dihadapkan ke arah selain qiblat atau ketika arah qiblat menjadi tersamar karena cuaca mendung atau keadaan gelap gulita.

Berkata DR Abdul Azhim bin Badawiy, “Dibolehkan meninggalkan menghadap qiblat dari sebab sangat takut dan pada waktu mengerjakan sholat nafilah (sunnah) dalam safar di atas kendaraan”. [1]

Menghadap qiblat sebagai salah satu syarat sholat yang harus dipenuhi dapat gugur kewajibannya dalam keadaan-keadaan berikut ini:

  1. Sholat tathawwu’/ nafilah (sholat sunnah).

Sholat sunnah bagi orang yang berkendaraan, baik kendaraannya berupa hewan tunggangan, seperti kuda, unta, himar (keledai), gajah dan sejenisnya. Ataupun berupa alat transportasi modern yang memungkinkan untuk sholat sunnah. Seperti mobil, kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan selainnya.

Seseorang sholat sunnah di atas kendaraannya berisyarat dengan ruku’ dan sujud. Keadaan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya, arah qiblatnya mengikuti arah kemanapun kendaraannya mengarah.

Dari Jabir bin Abdillah al-Anshariy radliyallahu anhu berkata,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ أَنْمَارٍ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ مُتَوَجِّهًا قِبَلَ الْمَشْرِقِ مُتَطَوِّعًا

“Aku melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam perang Anmar mengerjakan sholat sunnah di atas kendaraannya sementara kendaraan tersebut menghadap ke arah timur”. [HR al-Bukhoriy: 4140].

Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu juga mengabarkan,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيْضَةِ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

“Adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraan itu menghadap. Namun bila beliau hendak mengerjakan sholat fardlu, beliau turun dari tunggangannya lalu menghadap qiblat”. [HR al-Bukhoriy: 400, 1094, 1099, 4140].

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy rahimahullah menjelaskan faidah hukum dari hadits tersebut dengan mengatakan, “Hadits ini menunjukan untuk tidak meninggalkan menghadap qiblat dalam sholat fardlu, dan perkara ini sudah ijmak. Akan tetapi tatkala dalam kondisi takut yang sangat maka itu mendapatkan rukhsah”. [2]

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata,

وَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَ يُوْتِرُ عَلَيْهَا غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّى عَلَيْهَا اْلمـَكْتُوْبَةَ

“Rosulullah Shalallahu alaihi wa sallam pernah mengerjakan sholat sunnah di atas kendaraannya ke arah manapun ia menghadap. Dan juga mengerjakan sholat witir di atasnya, hanya saja Beliau tidak mengerjakan sholat wajib di atasnya”. [HR Muslim: 700 (39) dan al-Bukhoriy: 1098].

            Dari Amir bin Rabi’ah radliyallahu anhu berkata,

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ يُوْمِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَلَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ

“Aku melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sholatsunnah di atas kendaraannya, beliau memberi isyarat dengan kepalanya (ketika melakukan ruku’ dan sujud) menghadap ke arah mana saja kendaraan itu menghadap. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan hal itu dalam sholat wajib”. [HR al-Bukhoriy: 1097].

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwa beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاَةَ اللَّيْلِ إِلاَّ الْفَرَائِضَ وَ يُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ

“Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa mengerjakan sholat sunnah dalam perjalanan (safar) di atas kendaraan dengan menghadap ke arah yang dituju kendaraan tersebut yang beliau berisyarat padanya pada waktu sholat malam kecuali sholat wajib. Dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya”. [HR al-Bukhoriy: 1000].

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ وَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ

“Bahwa Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah di atas punggung kendaraannya ke arah manapun menghadap. Beliau memberikan isyarat dengan kepalanya. Ibnu Umarpun melakukan hal serupa”. [HR. al-Bukhoriy: 1105].

  1. Sholat Khauf

Sholat orang yang dicekam rasa takut seperti dalam keadaan perang dan yang semisalnya seperti orang yang sakit, orang yang lemah, dan orang yang dipaksa (di bawah tekanan).

Orang yang tidak mampu menghadap qiblat disebabkan takut, sakit, atau dipaksa, dikejar musuh ataupun dalam situasi berkecamuk perang maka diberi udzur baginya untuk sholat dengan tidak menghadap qiblat, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sekadar kesanggupannya”. [QS al-Baqarah/ 2: 286].

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kalian dalam keadaan takut maka sholatlah dalam keadaan berjalan kaki atau berkendaraan”. [QS al-Baqarah/ 2: 239].

            Ibnu Umar radliyallahu anhuma setelah menjelaskan tata cara sholat khauf, pada akhirnya beliau berkata,

فَأَنْ كَانَ خَوْفَ هُوَ أَشَدُّ مِنْ ذَلِكَ صَلُّوا رِجَالاَ قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِم أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةَ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيْهَا

“Bila keadaan ketakutan lebih dahsyat daripada itu, mereka sholat dengan berjalan di atas kaki-kaki mereka atau berkendaraan, dalam keadaan mereka menghadap qiblat ataupun tidak”. [HR al-Bukhoriy: 4535].

            Ibnu Umar radliyallahu anhuma juga berkata,

غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ نَجْدٍ فَوَازَيْنَا الْعَدُوَّ فَصَافَفْنَا لَهُمْ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لَنَا

“Aku pernah berperang bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di arah Najd. Kami berhadapan dengan musuh (yaitu perang Dzatur Riqa’), lalu beliau mengatur shaff/ barisan kami untuk menghadapi musuh. Setelahnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sholat mengimami kami ….”. [HR. Al-Bukhoriy: 942, 943, 4132, 4133, 4535]

            Hadits di atas menunjukkan ketika situasi perang, mereka tidak harus menghadap qiblat sebab waktu itu sedang menghadapi musuh. Namun mereka bisa menghadap ke mana saja sesuai dengan keadaan dan posisi musuh. Sebab jika mereka membelakangi musuh atau menyamping kiri atau kanan dari posisi musuh, maka musuh akan dapat dengan mudah menyerang dan mengalahkan mereka. (Al-Umm kitab ash-Sholah, bab al-Halain al-Ladzaini Yajuzu Fihima Istiqbalu Ghair al-Qiblah, al-Haw al-Kabir 2/70, 72,73, al-Majmu’ 3/212, 213, ar-Raudl al-Murbi’ Syar-h Zad al-Mustaqni’ 1/119, al-Muhalla bi al-Atsar 2/257, adz-Dzakhirah 2/118, 122, Subul as-Salam 1/214,215, al-Mulakhkhash al-Fiqhiy, 1/97, Taudlih al-Ahkam 2/20,21).

            Berkata Sayyid Sabiq, “Orang yang takut, dipaksa dan orang yang sakit, boleh bagi mereka untuk melakukan sholat tidak menghadap qiblat apabila mereka merasa lemah dari menghadapnya. Sebab Rosul Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka apapun yang kuperintahkan kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian”. [HR Muslim: 1337, al-Bukhoriy: 7288, at-Turmudziy: 2679, Ibnu Majah: 2 dan Ahmad: II/ 247, 258, 313, 328, 447-448, 457, 467, 482, 495, 503, 508, 517 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[3]

Allah ta’ala juga berfirman, “Jika kalian dalam keadaan takut maka sholatlah dalam keadaan berjalan kaki atau berkendaraan”. [QS al-Baqarah/ 2: 239]. Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, “Dengan menghadap qiblat atau tidak menghadap qiblat”. [4]

Begitupun orang yang menderita sakit dan terbaring di tempat tidur dengan peralatan infus dan selainnya. Sementara itu ia diletakkan tidak menghadap ke arah qiblat dan tidak memungkinkan mengarahkannya ke arah qiblat, sedangkan kewajiban sholat sudah datang dan khawatir luput darinya, maka ia sholat dengan menghadap ke arah tempat tidur itu menghadap.

Berikut fatwa asy-Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan, “Menghadap qiblat adalah salah satu syarat sahnya sholat. Allah berfirman,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ

Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah wajahmu ke arahnya. [QS. al-Baqarah/ 2: 144]

Maka menghadap qiblat adalah syarat sah sholat jika mampu dilakukan, baik bagi orang sakit maupun yang lainnya.

Orang sakit yang terbaring di ranjang, dia tetap wajib menghadap qiblat. Dia lakukan sendiri jika mampu atau dibantu orang lain. Jika dia tidak mampu menghadap qiblat, dan tidak ada yang bisa membantunya untuk menghadapkannya ke arah qiblat, sementara dia khawatir waktu sholat akan habis, maka dia boleh sholat sesuai keadaannya (tidak menghadap kiblat). Berdasarkan firman Allah,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

”Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian”. [at-Taghabun/ 64: 16].

Demikian pula sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ”Apabila aku perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, laksanakanlah semampu kalian”. [HR. Muslim dalam shahihnya].

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/10406/حكم-صلاة-المريض-على-السرير

  1. Orang yang Tersamar baginya Arah Kiblat

Orang yang mendapat keringanan untuk tidak menghadap qiblat juga adalah orang yang berada di suatu tempat namun ketika datang waktu sholat, tersamarlah baginya arah qiblat lantaran keadaannya yang gelap gulita karena datangnya waktu malam, mendung yang sangat tebal, berada di kawasan hutan yang tertutup rimbunnya pepohonan, berada dalam gedung yang sulit menentukan arah dan sebagainya. Dan di tempat itu pula, tidak ada seseorangpun yang dapat ditanya akan arah qiblat atau arah mata angin. Lalu iapun mengerjakan sholat ke arah yang ia duga arah qiblat. Namun beberapa waktu kemudian nampaklah baginya bahwa arahnya tersebut adalah keliru maka sholatnya itu telah memadainya dan ia tidak perlu lagi mengulang sholatnya tersebut.

Berkata DR Abdul Azhim bin Badawiy, “Faidah. Barangsiapa yang masih mencari (karena tersamarnya) arah qiblat lalu ia sholat ke arah yang ia duga (arah qiblat) kemudian jelas baginya kekeliruan (akan arah tersebut) maka ia tidak perlu lagi mengulang (sholatnya)”. [5]

Dari Amir bin Rabi’ah radliyallahu anhu mengabarkan,

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فِي لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ فَلَمْ نَدْرِ أَيْنَ الْقِبْلَةُ فَصَلَّى كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا عَلَى حِيَالِهِ فَلَمَّا أَصْبَحْنَا ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَ ))فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ((

“Kami pernah bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam satu safar di malam yang gelap gulita. Ketika hendak sholat, kami tidak tahu di mana arah qiblat. Maka masing-masing orang sholat menghadap arah depannya. Di pagi harinya, kami ceritakan hal itu kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, turunlah ayat ‘Maka ke mana saja kalian menghadap, di sanalah wajah Allah (QS al-Baqarah/ 2: 115)”. [HR at-Turmudziy: 345, Ibnu Majah: 1020, ath-Thayalisiy, al-Baihaqiy, ad-Daruquthniy dan Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah. Berkata Asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [6]

            Jabir radliyallahu anhu berkata, “Kami pernah bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam satu pasukan perang. Ketika itu, kami ditimpa mendung hingga kami bingung dan berselisih tentang arah qiblat. Pada akhirnya masing-masing dari kami sholat menurut arah yang diyakininya. Mulailah salah seorang dari kami membuat garis di hadapannya guna mengetahui posisi kami. Ketika pagi hari, kami melihat garis tersebut dan dari situ kami tahu bahwa kami sholat tidak menghadap arah qiblat. Kami ceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, namun beliau tidak menyuruh kami mengulang sholat.  Beliau bersabda, “Sholat kalian telah mencukupi”. [HR. ad-Daruquthniy, al-Hakim dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, ‘Dengan sekumpulan jalan ini, maka hadits dengan syahid ini dengan 3 jalannya dari Atha’ naik kepada derajat Hasan, in syaa Allah ta’ala’]. [7]

            Dari Abdullah bin ‘Umar radliyallahu anhuma berkata, “Tatkala orang-orang sedang mengerjakan sholat subuh di Quba`, tiba-tiba ada orang yang datang seraya berkata, ‘Semalam telah diturunkan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ayat Alqur’an. Beliau diperintah untuk sholat menghadap ke Ka’bah, maka hendaklah kalian menghadapnya’. Mendengar hal tersebut, orang-orang yang sedang sholat itu pun mengubah posisi menghadap ke arah Ka’bah. Tadinya wajah mereka menghadap ke arah Syam, kemudian mereka membelakanginya untuk menghadap ke arah Ka’bah”. [HR al-Bukhoriy: 403, 4491, 7251, Muslim: 1178, Abu Uwanah, Malik di dalam al-Muwaththa’, al-Baihaqiy, an-Nasa’iy: I/ 85, 122, ad-Darimiy: I/ 281, ad-Daruquthniy dan Ahmad: II/ 16, 26, 105, 113. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

            Hendaknya seseorang mencurahkan segala upayanya untuk mengetahui arah qiblatnya. Bila jelas baginya setelah selesai sholat bahwa ia menghadap selain arah qiblat, ia tidak perlu mengulang sholatnya karena sholat yang telah dikerjakannya itu telah mencukupi. [9]

            Bagi yang tidak bisa melihat Ka’bah (misalnya orang Indonesia), maka cukup menghadapkan tubuhnya ke arah Ka’bah berada yaitu ke arah barat bagi orang yang berada di timur Ka’bah. Dan tidak harus menghadap tepat persis ke Ka’bah. Oleh karena itu, tidak perlu serong beberapa derajat ke utara ketika sholat. Demikian, menurut pendapat yang paling kuat.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan para shahabat untuk sholat persis menghadap ke arah Ka’bah. Beliau bersabda, Antara timur dan barat adalah qiblat”.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

       مَا بَيْنَ اْلمـَشْرِقِ وَ اْلمـَغْرِبِ قِبْلَةٌ

            “ Apa yang ada di antara timur dan barat adalah qiblat”. [HR Ibnu Majah: 1011 dan at-Turmudziy: 342, 344. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Hadits ini beliau sampaikan ketika beliau di kota Madinah, sedangkan Mekkah berada di sebelah selatan kota Madinah. Beliau mengajarkan kepada para shahabat bahwa selama menghadap ke selatan (yaitu antara timur dan barat) maka sudah dianggap menghadap qiblat. Beliau tidak memerintahkan untuk menghadap tepat persis ke fisik bangunan Ka’bah [11] namun beliau hanya menetapkan arahnya, yaitu ke selatan.

Orang yang tidak mengetahui arah qiblat, maka wajib berusaha untuk mencari tahu arah qiblat. Hal ini bisa dilakukan dengan bebecara cara:

  1. Bertanya kepada penduduk setempat atau orang yang tahu arah qiblat.
  2. Jika tidak memungkinkan untuk bertanya maka bisa menggunakan tanda-tanda alam. Seperti arah terbit matahari dan terbenamnya, arah mata angin, dan sebagainya.

Jika dua cara di atas tidak memungkinkan maka sholat menghadap ke arah manapun berdasarkan dugaan kuat bahwasanya arah itu adalah qiblat.

Bagi orang yang tidak tahu arah qiblat dan memungkinkan baginya untuk mengetahui arah qiblat dengan bertanya kepada penduduk setempat namun dia tidak mau bertanya, sehingga sholatnya tidak menghadap ke arah qiblat maka sholatnya tidak sah dan harus diulangi.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

يحب على من نزل على شخص ضيفاً وأراد أن يتنفل أن يسأل عن القبلة فإذا أخبره اتجه إليها لأن بعض الناس تأخذه العزة بالإثم ومنعه الحياء وهو في غير محله عن السؤال عن القبلة بل أسأل عن القبلة حتى يخبرك صاحب البيت

أحياناً بعض الناس تأخذه العزة بالإثم ويتجه بناء على ظنه إلى جهة ما ويتبين أنها ليست القبلة وفي هذه الحال يجب عليه أن يعيد الصلاة لأنه استند إلى غير مستند شرعي والمستند إلى غير مستند شرعي لا تقبل عبادته لقول النبي صلى الله عليه وسلم: “من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد”. أخرجه مسلم

Wajib bagi orang yang bertamu di rumah seseorang, dan dia hendak sholat sunnah, hendaknya dia bertanya tentang arah qiblat. Jika tuan rumah memberi tahu, dia bisa sholat ke arah yang disarankan. Karena ada sebagian orang yang gengsi atau malu – dan ini malu yang tidak tepat, sehingga tidak mau bertanya tentang qiblat. Seharusnya dia bertanya arah qiblat, sehingga pemilik rumah memberi tahu.

Terkadang ada orang yang gengsi, lalu dia sholat ke arah sesuai dugaannya, kemudian dia diberi tahu bahwa itu bukan arah qiblat, dalam kondisi ini, dia wajib mengulangi sholatnya. Karena dia bersandar kepada dasar yang tidak diterima secara syariat. Dan orang yang bersandar kepada dasar yang tidak diterima secara syariat maka ibadahnya tidak diterima. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang melakukan amalan, tidak ada dasar syariatnya dari kami, maka amal itu tertolak”. [HR al-Bukhoriy secara ta’liq,[12] Muslim: 1718 lafazh ini baginya, Ahmad: VI/ 146, 180, 256 dan ad-Daruquthniy: 4491. Berkata asy-Syaikh al-Albani: Shahih].[13]

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/11334/ هل-استقبال-القبلة-من-شروط-صحة-الصلاة

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish showab.

[1] Al-Wajiz fi fiq-h as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz halaman 101 sususan DR Abdul Azhim Badawiy, cetakan keempat tahun 1430H/ 2009M, Dar Ibnu Rajab dan Dar al-Fawa’id.

[2] Fat-h al-Bariy Syar-h Shahih al-Bukhoriy: I/ 503 susunan al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalaniy, Dar al-Fikr.

[3] Mukhtashor Shahih Muslim: 639, Shahih Sunan Ibni Majah: 2, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 91, 3430, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 850, Irwa’ al-Ghalil: 155, 314 dan Misykah al-Mashobih: 2505.

[4] Fiq-h as-Sunnah: I/ 96 susunan Sayyid Sabiq, cetakan kedua tahun 1426H/ 2005M, Mu’assasah ar-Risalah.

[5] Al-Wajiz halaman 101.

[6] Shahih Sunan at-Turmudziy: 284, Shahih Sunan Ibnu Majah: 835 dan Irwa` al-Ghalil: 291.

[7] Irwa’ al-Ghalil: I/ 323-324.

[8] Irwa’ al-Ghalil: 290.

[9] Subul as-Salam Syar-h Bulugh al-Maram: I/ 395.

[10] Shahih Sunan Ibnu Majah: 826, Shahih Sunan at-Turmudziy: 282, 283, Irwa’ al-Ghalil: 292 dan Misykah al-Mashabih: 715.

[11] Subul as-Salam: I/ 397.

[12] Fat-h al-Bariy: XIII/ 317.

[13] Mukhtashor Shahih Muslim: 1237, Irwa’ al-Ghalil: 88, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6398 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 47.

SUDAH BENARKAH NIAT SHOLAT ANDA ???

cinta kajian sunnah

cinta kajian sunnah

PEMBAHASAN SEPUTAR NIAT DALAM SHOLAT

بسم الله الرحمن الرحيم

 Oleh; Asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhohullah

        Mengeraskan bacaan niat tidaklah wajib dan tidak pula sunnah dengan ijmak (kesepakatan) seluruh ulama. Bahkan hal tersebut adalah bid’ah yang bertentangan dengan syari’at. Jika seseorang berkeyakinan bahwa perbuatan ini adalah bagian dari ajaran syariat, maka ia orang yang jahil, menyimpang, dan berhak mendapatkan hukuman ta’zir jika ia tetap bersikeras dengan keyakinannya, dan tentu saja setelah diberikan pengertian dan penjelasan. Lebih parah lagi jika perbuatannya itu mengganggu orang yang ada di sebelahnya, atau ia mengulang-ulang bacaan niatnya.

Hal ini difatwakan oleh lebih dari seorang ulama. Di antaranya adalah al-Qodli Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin Umar asy-Syafi’iy berkata,

الجهر بالنّية وبالقراءة خلف الإمام ليس من السنّة بل مكروه فإن حصل به تشويش على المصلّين فحرام ومن قال بإن الجهر بلفظ النيّة من السنّة فهو مخطئ ولا يحلّ له ولا لغيره أن يقول في دين الله تعالى بغير علم

“Mengeraskan bacaan niat atau mengeraskan bacaan Alqur’an di belakang imam, bukan termasuk sunnah, bahkan makruh hukumnya. Jika membuat berisik jama’ah yang lain, maka hukumnya adalah haram. Yang berpendapat bahwa mengeraskan niat itu hukumnya sunnah, itu salah. Tidak halal baginya atau bagi yang lain berbicara tentang agama Allah Ta’ala tanpa ilmu (dalil)”.

Di antaranya juga, Abu Abdillah Muhammad bin al-Qasim at-Tunisi al-Malikiy berkata,

النيّة من أعمال القلوب فالجهر بها بدعة مع ما في ذلك من التشويش على الناس

“Niat itu termasuk amalan hati., mengeraskannya adalah bid’ah. Terlebih lagi jika perbuatan itu membuat berisik orang lain”.

Di antaranya juga, asy-Syaikh ‘Alauddin bin al-Aththar berkata,

ورفع الصّوت بالنيّة مع التشويش على المصلّين حرام إجماعاً ومع عدمه بدعة قبيحة، فإن قصد به الرّياء كان حراماً من وجهين كبيرة من الكبائر والمنْكِرُ على مَنْ قال بأن ذلك من السنّة مصيب ومصوّبة مخطئ ونسبته إلي دين الله اعتقاداً كفر وغير اعتقاد معصية

ويجب على كل مؤمن تمكَّن مِن زجره، ومنعه وردعه ولم ينقل هذا النقل عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولاعن أحدٍ من أصحابه ولا عن أحد ممن يقتدى به من علماء الإسلام

“Meninggikan (mengeraskan) suara untuk membaca niat sehingga membuat berisik di antara jama’ah hukumnya haram secara ijmak (konsensus para ulama). Jika tidak membuat berisik, ia adalah perbuatan bid’ah yang jelek. Jika ia melakukan hal tersebut dalam rangka riya, maka haramnya berlipat ganda. Ia juga merupakan dosa besar. Yang mengingkari bahwa perbuatan ini adalah sunnah, ia berbuat benar. Yang membenarkan bahwa perbuatan ini adalah sunnah, ia salah (keliru). Menisbatkan perbuatan ini pada agama Allah adalah keyakinan yang kufur. Jika tidak sampai meyakini hal tersebut, maka termasuk perbuatan maksiat. Setiap muslim wajib dengan serius mewaspadai perbuatan ini, melarangnya dan membantahnya. Tidak ada satupun riwayat dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang hal ini, tidak pula dari satupun shahabatnya, tidak pula dari para ulama Islam yang meneladani mereka”. [1]

Demikian juga, melafalkan niat secara sirr (samar) tidak wajib menurut para imam madzhab yang empat juga para imam yang lain. Tidak ada seorang pun yang berpendapat hal itu wajib. Baik dalam sholat, thaharah ataupun puasa.

Al-Imam Abu Dawud pernah bertanya kepada al-Imam Ahmad,

بقول المصلّي قبل التكبير شيئاً؟ قال: لا

“Apakah orang yang sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir?. Al-Imam Ahmad menjawab, “Tidak ada”. [2]

Al-Imam as-Suyuthiy rahimahullah berkata,

ومن البدع أيضاً: الوسوسة في نيّة الصّلاة ولم يكن ذلك من فعل النبي صلى الله عليه وسلم ولا أصحابة كانوا لا ينطقون بشيء من نية الصلاة بسوى التكبير وقد قال تعالى: لقد كان لكم في رسول الله أُسوة حسنة

“Termasuk bid’ah, was-was dalam niat sholat. Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan para shahabat beliau tidak pernah begitu. Mereka tidak pernah sedikitpun mengucapkan lafal niat sholat selain takbir. Dan Allah telah berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Telah ada pada diri Rosulullah teladan yang baik”. [QS al-Ahzab/ 34: 21].

Al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah berkata,

الوسوسة في النية الصلاة و الطهارة من جهل بالشرع أو خبل بالعقل

“Was-was dalam niat sholat dan thaharah itu adalah kebodohan terhadap syariat atau kekurang-warasan dalam akal”. [3]

Melafalkan niat itu menimbulkan banyak efek negatif. Anda lihat sendiri orang yang melafalkan niat dengan jelas dan rinci, lalu baru mencoba bertakbir. Ia menyangka pelafalan niatnya itu adalah usaha untuk menghadirkan niat.

Al-Imam Ibnu al-Jauziy berkata,

ومن ذلك تلبيسه عليهم فِي نية الصلاة فمنهم من يَقُول : أصلى صلاة كذا ثم يعيد هَذَا ظنا مِنْهُ أنه قد نقض النية والنية لا تنقض وأن لم يرض اللفظ ومنهم من يكبر ثم ينقض ثم يكبر ثم ينقض فَإِذَا ركع الإمام كبر الموسوس وركع معه فليت شعري مَا الذي أحضر النية حينئذ وما ذاك إلا لأن إبليس أراد أن يفوته الفضيلة وفي الموسوسين من يحلف بالله لا كبرت غير هذه المرة وفيهم من يحلف بالله بالخروج من ماله أَوْ بالطلاق وهذه كلها تلبيسات إبليس والشريعة سمحة سهلة سليمة من هذه الآفات وما جرى لرسول اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ولا لأصحابة شيء من هَذَا

“Di antara bisikan Iblis yaitu dalam niat sholat. Di antara mereka ada yang berkata ushalli sholata kadza (saya berniat sholat ini dan itu), lalu ia mengulang-ulangi lagi karena ia menyangka niatnya batal. Padahal niat itu tidak batal walaupun tidak diucapkan. Ada juga yang bertakbir, lalu tidak jadi, lalu takbir lagi, lalu tidak jadi lagi. Tapi ketika imam keburu ruku’, ia serta-merta bertakbir walaupun agak was-was demi mendapatkan ruku bersama imam. Mengapa begini?? Lalu niat apa yang ia hadirkan ketika itu?? Tidaklah ini terjadi kecuali karena iblis ingin membuat dia melewatkan berbagai keutamaan. Diantara mereka juga ada yang besumpah atas nama Allah untuk bertakbir lebih dari sekali. Ada juga yang bersumpah dengan nama Allah untuk mengeluarkan harta mereka atau dengan talak. Semua ini adalah bisikan iblis. Syariat Islam yang mudah dan lapang ini selamat dari semua penyakit ini. Tidak pernah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak juga para shahabatnya melakukan hal demikian”. [4]

KENAPA MASIH ADA YANG MELAFALKAN NIAT ??

Penyebab timbulnya was-was adalah karena niat terkadang hadir di hati si orang ini dengan keyakinan bahwa niat itu tidak ada di hatinya. Maka ia pun berusaha menghadirkannya dengan lisannya. Sehingga terjadi apa yang terjadi.

Abu Abdillah az-Zubairiy, seorang ulama Syafi’iyah, telah keliru dalam memahami perkataan al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullahu ta’ala yaitu ketika menyimpulkan bahwa wajib melafalkan niat dalam sholat dari perkataan beliau. Ini disebabkan oleh buruknya pemahaman terhadap ungkapan al-Imam asy-Syafi’iy berikut,

إذا نوى حجّاً وعمرة أجزأ وإنْ لم يتلفّظ وليس كالصّلاة لا تصح إلا بالنّطق

“Jika seseorang berniat haji atau umrah maka itu sah walaupun tidak diucapkan. Berbeda dengan sholat, sholat tidak sah kecuali dengan pengucapan”. [5]

Al-Imam an-Nawawiy berkata,

قال أصحابنا: غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنّطق في الصّلاة هذا بل مراده التكبير

“Para ulama madzhab kami berkata, yang berkata demikian telah salah. Bukanlah maksud al-Imam asy-Syafi’iy itu melafalkan niat dalam sholat, namun maksudnya adalah takbir”. [6] (Al Majmu’, 3/243)

Al-Imam Ibnu Abu al-Izz al-Hanafiy rahimahullah berkata,

لم يقل أحد من الأئمة الأربعة لا الشّافعيّ ولا غيره باشتراط التلفّظ بالنيّة وإنما النيّة محلّها القلب باتّفاقهم إلا أن بعض المتأخرين أوجب التلفّظ بها، وخرج وجهاً في مذهب الشافعي! قال النووي رحمه الله: وهو غلط انتهى وهو مسبوق بالإجماع قبله

“Tidak ada seorang imam pun dari imam yang empat, baik itu asy-Syafi’iy atau selainnya, yang mensyaratkan pelafalan niat. Niat itu tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan mereka (para imam). Hanya segelintir orang-orang belakangan saja yang mewajibkan pelafalan niat dan berdalih dengan salah satu pendapat dari madzhab asy-Syafi’iy. Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata itu adalah sebuah kesalahan. Selesai. Selain itu, sudah ada ijmak dalam masalah ini”. [7]

Al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam biasanya ketika memulai sholat beliau mengucapkan الله أكبر dan tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya. Beliau juga tidak pernah sama sekali melafalkan niat. Beliau tidak pernah mengucapkan ushallli lillah shalata kadza mustaqbilal qiblah arba’a raka’atin imaaman atau ma’muuman (saya meniatkan sholat ini untuk Allah, menghadap qiblat, empat raka’at, sebagai imam atau sebagai makmum). Beliau juga tidak pernah mengucapkan ada-an atau qadla-an juga tidak mengucapkan fardlal waqti. Ini semua adalah bid’ah. Dan sama sekali tidak ada satu pun riwayat yang memuat ucapan demikian, baik dari riwayat yang shahih, maupun yang dla’if, musnad, ataupun mursal. Juga tidak ada dari para shahabat. Juga tidak ada istihsan dari seorang tabi’in pun, atau dari ulama madzhab yang empat. Ucapan demikian hanya berasal dari orang-orang belakangan yang menyalah-gunakan perkataan al-Imam asy-Syafi’iy tentang sholat,

إنها ليست كالصّيام ولا يدخل فيها أحدُ إلا بذكر

“Sholat itu tidak seperti puasa, memulainya harus dengan dzikir”.

Mereka menyangka bahwa dzikir di sini adalah melafalkan niat. Padahal yang dimaksud oleh al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah adalah takbiratul ihram. Tidak mungkin tidak. Bagaimana mungkin asy-Syafi’iy menganjurkan hal yang tidak pernah sekalipun dilakukan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam sholat? Juga tidak pernah dilakukan khalifahnya juga para shahabatnya. Demikianlah petunjuk dan sirah mereka. Andai kita menemukan satu huruf saja dari mereka, maka tentu akan kita terima. Bahkan kita terima dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang paling sempurna selain dari mereka. Dan tidak ada sunnah kecuali apa yang datang dari sang pembawa syari’at, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam”. [8]

KHULASHOH

Ringkasnya, para ulama dari berbagai negeri dan berbagai generasi telah menyatakan bahwa melafalkan niat itu bid’ah. Pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut disunnahkan adalah pendapat yang salah, tidak sesuai dengan pendapat al-Imam asy-Syafi’iy dan tidak sesuai dengan dalil-dalil sunnah nabawi,

Diantaranya riwayat dari Aisyah radliyallahu anha berkata,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يستفتح الصَّلاة بالتّكبير

            “Biasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memulai sholatnya dengan takbir”. [HR Muslim: 498].

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwa Rosulullah Shallallahu alahi wa sallam bersabda kepada orang yang sholatnya jelek, ketika orang tersebut berkata, ‘Wahai Rosulullah, kalau begitu ajarkan saya sholat yang benar‘. Beliau bersabda kepadanya,

إذا قمت إلى الصّلاة فأسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة فكبّر ثم اقرأ بما تيسر معك من القرآن

“Jika engkau berdiri untuk sholat, maka sempurnakanlah wudlu, lalu menghadap qiblat. Lalu bertakbirlah, lalu bacalah ayat Alqur’an yang mudah bagimu”.

Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma berkata,

رأيت النَّبيَّ صلى الله عليه وسلم افتتح التكبير في الصلاة فرفع يديه

“Aku melihat Nabi Shallallahu alahi wa sallam memulai sholatnya dengan takbir, lalu mengangkat kedua tangannya”. [HR al-Bukhoriy: 738].

Nash-nash ini dan juga yang lain yang begitu banyak dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menunjukan bahwa memulai sholat adalah dengan takbir dan tidak mengucapkan apapun sebelumnya. Hal itu juga dikuatkan dengan ijmak para ulama bahwa,

إذا خالف اللسان القلب فالعبرة بما في القلب

“Jika ucapan lisan berbeda dengan apa yang ada di hati, maka yang dianggap adalah apa yang ada di hati”. [9]

Jika demikian, lalu apa faidahnya mengucapkan niat? Jika telah sepakat dan diyakini secara pasti bahwa apa yang diucapkan itu tidak ada gunanya jika bertentangan dengan apa yang ada di dalam hati.

Lalu hal ini pun menunjukkan adanya kegoncangan dalam pendapat orang yang mewajibkan menggandengan niat dengan takbiratul ihram dan mewajibkan atau menganjurkan niatnya dilafalkan. Bagaimana bisa melafalkan niat ketika lisan seseorang sibuk mengucapkan takbir?

Dalam hal ini Ibnu Abi al-Izz al-Hanafiy berkata, “al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan,

لايجوز ما لم يكن الذّكر اللساني مقارناً للقلبي وأكثر النّاس عاجزون عن ذلك باعترافهم والذي يدّعي المقارنة يدّعي ما يردّه صريح العقل وذلك أن اللسان ترجمان ما يحضر بالقلب والمترجم عنه سابق قطعاً على أن الحروف الملفوظ بها في النيّة منطبقة إلى آخر الزّمان وهي منقضية منصرمة لا تتصور المقارنة بين أنفسها فكيف تتصور مقارنتها لما يكون قبلها؟

“Tidak boleh melakukan perbuatan yang ucapan lisannya berbeda dengan ucapan hatinya secara bersamaan. Dan kebanyakan manusia mengakui mereka tidak bisa melakukan hal itu. Orang yang mengaku bisa melakukannya pun, ia telah mengakui hal yang ditolak oleh akal sehat. Karena lisan itu penerjemah apa yang hadir di dalam hati. Dan sesuatu yang diterjemahkan itu pasti ada lebih dahulu, karena setiap huruf yang diucapkan itu pasti dilandasi niat. Demikian seterusnya hingga selesai. Yang setelahnya adalah kelaziman dari sebelumnya. Tidak tergambar menggandengkan keduanya jika bersamaan, lalu bagaimana lagi menggabungkan sesuatu yang ada sebelumnya?”. [10]

Sumber: al-Qaul al-Mubin Fii Akhta’ al-Mushallin halaman 91-96, susunan asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman, Cetakan kedua tahun 1413H/ 1996M, Dar Ibnu al-Qayyim.

[1] Semua nukilan di atas dapat ditemukan di Majmu’ah ar-Rosa’il al-Kubra: I/254-257.

 [2] Masa’il al-Imam Ahmad halaman 31 dan Majmu’ Fatawa: XXII/ 28.

[3] Al-Amru Bi al-Ittiba’ wan Nahyu ‘An al-Ibtida’, lauhah (lembaran) 28.

[4] Talbis Iblis halaman 138.

[5] Al-Majmu: III/ 243.

[6] Al-Majmu’: III/ 243 dan at-Ta’alim oleh asy-Syaikh Bakr Abu Zaid halaman 100.

[7] Al-Ittiba’ halaman 62.

[8] Zaad al-Ma’ad: I/201.

[9] Al-Majmu’: I/ 367.

[10] Al-Atba’ halaman 61-62.

KA’BAH ADALAH QIBLAT UMAT ISLAM !!!

cinta kajian sunnah

cinta kajian sunnah

HUKUM MENGHADAP QIBLAT DALAM SHOLAT

بسم الله الرحمن الرحيم

Menghadap qiblat dalam sholat adalah merupakan salah satu dari syarat sahnya sholat. Para ulama telah berijmak akan kewajiban menghadap qiblat dalam pelaksanaan sholat. Kewajiban menghadap qiblat ini berdasarkan Alqur’an, Sunnah dan ijmak para ulama.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa tidak ada perselisihan pendapat dalam kewajiban menghadap qiblat. [1]

Berkata asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh hafizhohullah, “Syarat-syarat sholat itu ada sembilan; 1). Islam, 2). Berakal, 3). Baligh, 4). Bersih dari dua hadats yang kecil dan yang besar, 5). Telah masuk waktu sholat yang ditentukan, 6). Menutup aurat dengan sesuatu yang tidak menampakkan kulit, 7). Menjauhi najis pada badan, pakaian dan tempat, 8). Menghadap qiblat dan 9). Niat (untuk mengerjakan sholat)”.[2]

Adapun DR Abdul Azhim bin Badawiy hafizhohullah berkata, “Disyaratkan sahnya sholat sebagai berikut; 1). Mengetahui masuknya waktu, 2). Bersih dari dua hadats, 3). Bersihnya pakaian, badan dan tempat sholat (dari najis), 4). Menutup aurat, 5). Menghadap qiblat dan 6). Niat (untuk mengerjakan sholat)”. [3]

Allah ta’ala telah berfirman dalam Alqur’an,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya”. [QS al-Baqarah/ 2: 144].

Sebelum ayat ini turun, Ummat Islam pada saat itu menghadap Bait al-Maqdis dalam sholatnya. Kemudian ayat ini turun  menasakh (menghapus) hukum tersebut dan memerintahkan untuk menghadap qiblat. Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, “Yang pertama kali dinasakh dalam Alqur’an adalah perkara qiblat”.

Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala menggunakan kata perintah (فَوَلِّ) yang menunjukkan perintah untuk menghadapkan wajah ke arab qiblat. Dan arah kiblat ditunjukan dalam kalimat (شَطْرَ) yang bermakna arah. Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah ta’ala memerintahkan untuk menghadap qiblat dari semua arah muka bumi, baik timur, barat, utara dan selatan”. [4]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Bassam, “Qiblat waktu pertama kali hijrah adalah ke arah Baitul Maqdis (Syam) kemudian dipindah ke arah Ka’bah. Sesungguhnya qiblat kaum muslimin telah tetap ke arah Ka’bah yang mulia. Maka wajib menghadap ke arah bangunan ka’bah ketika secara langsung melihat (menyaksikan)nya dan menghadap ke arahnya ketika jauh darinya”. [5]

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Dan firman-Nya ((Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya)), Allah ta’ala telah memerintahkan agar menghadap qiblat dari segala arah di bumi, apakah dari timur, barat, utara dan selatan. Dan tidak ada pengecualian dari hal ini sedikitpun kecuali sholat nafilah (sunnah), karena seseorang boleh mengerjakan sholat ke arah mana saja sedangkan hatinya tetap menghadap qiblat. Demikian juga dalam keadaan berperang, seseorang sholat dalam segala keadaan. Begitupun ketika seseorang dalam keadaan jahil (tidak tahu) akan arah qiblat maka ia boleh sholat sesuai dengan ijtihadnya, meskipun ia keliru di dalam hal tersebut. Karena Allah ta’ala tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. [6]

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat kewajiban menghadap qiblat di dalam sholat dan ditempat manapun seseorang menunaikan sholat maka ia mesti menghadap ke arah Mekkah”. [7]

Al-Imam al-Qurthubiy rahimahullah berkata, “Tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa ka’bah adalah qiblat dari semua penjuru. Dan merekapun berijmak bahwasanya barangsiapa yang menyaksikannya secara langsung dengan mata kepala maka diwajibkan atasnya untuk menghadapnya. Dan bahwasannya barangsiapa tidak menghadapnya sedang dia melihat langsung (ka’bah) dan mengetahui arahnya maka tidak ada sholat baginya dan dia harus mengulang sholatnya”. [8]

Al-Imam al-Qurthubiy rahimahullah juga mengatakan, “Dan mereka (para ulama) telah berijmak bahwa barangsiapa ghaib (yaitu tidak melihat ka’bah secara langsung) maka hendaknya dia menghadap arah ka’bah tersebut. Jika tidak nampak, maka baginya menggunakan petunjuk yang memungkinkan dari bintang, angin, gunung dan selainnya yang memungkinkan bisa dijadikan petunjuk untuk menunjukan arah qiblat”. [9]

Adapun landasan dalil dari Sunnah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhoriy dan Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwa Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ

“Jika engkau hendak mendirikan sholat maka sempurnakanlah wudlumu, kemudian menghadaplah ke qiblat lalu bertakbirlah”.  [HR. al-Bukhoriy: 6251, Muslim: 397 (46), Ibnu Majah: 1060 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan akan wajibnya menghadap qiblat dan ini juga sesuai ijmak (kesepakatan) kaum muslimin kecuali dalam keadaan lemah atau merasa takut lantaran berkecamuknya peperangan atau ketika sholat tathowwu’ (sunnah) sebagaimana akan datang penjelasannya. Dan sungguh-sungguh Alqur’an dan sunnah yang mutawatir telah menunjukkan hal tersebut”. [11]

Berkata al-Imam ash-Shan’aniy rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan kewajiban menghadap qiblat sebelum takbiratul ihram. Sungguh telah berlalu kewajibannya dan penjelasan akan dimaafkan menghadap (kepada selain qiblat) bagi yang sholat sunnah dalam keadaan berkendaraan”. [12]

Dua dalil dan penjelasannya di atas, menerangkan akan kewajiban menghadap qiblat dalam sholat dan bahwa perkara ini termasuk perkara yang sudah diijmakkan oleh para ulama dan ummat Islam. Kemudian, pengamalan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya memperkuat dalil masalah ini, berikut beberapa riwayat yang menjelaskan perihal menghadap qiblat.

Dari al-Barra’ bahwa Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Anshar. Ketika itu Rosulullah sholat menghadap Baitul Maqdis (Al-Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. [13] Sesungguhnya Rosulullah lebih suka Baitullah (Ka’bah) sebagai qiblatnya. Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pertama kali melaksanakan sholat dengan menghadap Ka’bah adalah sholat Ashar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku’ menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, “Demi Allah, baru saja saya sholat bersama Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam menghadap ke Baitullah di Mekkah”. Maka dengan segera mereka mengubah qiblat menghadap ke Baitullah. Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya sholat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu. Zuhair berkata, “Abu Ishaq mengatakan dari al-Barra’ dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa qiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah qiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya sholat itu”. Lalu turunlah ayat, “Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”. [QS al-Baqarah/2 : 143].

Dan dari Ibnu Umar radliyallahu anhu berkata, ketika orang-orang berada di Quba’ (waktu sholat shubuh) tiba-tiba ada seseorang datang kepada mereka, lalu ia berkata,

إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ وَ قَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةَ فَاسْتَقْبِلُوْهَا وَ كَانَتْ وُجُوْهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوْا إِلَى اْلكَعْبَةِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pada malam ini telah diturunkan kapadanya ayat Alquran, dan sesungguhnya ia diperintahkan untuk menghadap qiblat, oleh karena itu menghadaplah ke qiblat, sedang muka-muka mereka waktu itu menghadap ke Syam, kemudian mereka berputar ke jurusan Ka’bah”. [HR al-Bukhoriy: 403, Muslim: 526 (13) dan Ahmad: II/ 113].

Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radliyallahu anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يُصَلِّى نَحْوَ بَيْتِ اْلـمَقْدِسِ فَنَزَلَتْ ((قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ فَلَنُوَلَّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهُ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ)) فَمَرَّ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ وَ هُمْ رُكُوْعٌ فِى صَلَاةِ اْلفَجْرِ وَ قَدْ صَلُّوْا رَكْعَةً فَنَادَى أَلَا إِنَّ اْلقِبْلَةَ قَدْ حُوِّلَتْ فَمَالُوْا كَمَا هُمْ نَحْوَ اْلقِبْلَةِ

“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam, pernah sholat menghadap kearah baitul maqdis, lalu turunlah ayat, ((Sesungguhnya kami mengetahui berbolak-baliknya mukamu ke langit, oleh karena itu (sekarang) Kami memalingkan kamu ke satu kiblat yang pasti kamu ridloi, maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram)). Kemudian seorang laki-laki dari Bani Salamah berjalan (sedang mereka semua sedang ruku’ dalam sholat subuh) dan mereka sudah sholat satu raka’at. Lalu ia menyeru, “Ketahuilah! sesunguhnya qiblat telah dipindahkan. Lalu mereka berpaling sebagaimana keadaan mereka ke arah qiblat”. [HR Muslim: 527 (15), Ahmad: III/ 284 dan Abu Dawud: 1045. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

Berikut penjelasan ulama dari empat madzhab yang menjelaskan tentang menghadap qiblat dalam sholat,

Al-Kasaniy rahimahullah menjelaskan bahwa menghadap qiblat sudah diijmakkan oleh ummat ini, kemudian beliau berkata, “Hukum asalnya, sesungguhnya menghadap qiblat dalam sholat merupakan syarat tambahan yang tidak dipahami maknanya”. [15]

Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, “Ummat Islam telah sepakat bahwa menghadap ke arah al-Bait (Ka’bah) termasuk syarat dari syarat-syarat (sahnya) sholat”. [16]

Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata, “Bab Ketiga Mengenai Menghadap qiblat.  Menghadap qiblat adalah syarat sah sholat fardlu kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat dalam peperangan yang dibolehkan, dan semua hal yang menyebabkan ketakutan.  Menghadap qiblat juga menjadi syarat sah untuk sholat sunnah kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat, perjalanan yang mubah, dan tidak mampu, seperti orang yang sakit dan tidak ada yang menghadapkannya”. [17]

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Telah kami sebutkan bahwasanya menghadap qiblat adalah syarat sahnya sholat. Tidak ada perbedaan antara sholat fardlu dengan sholat sunnah  karena menghadap qiblat itu adalah syarat sholat, dan dalam masalah ini sama antara fardlu dan sunnah; seperti halnya bersuci dan menutup aurat.  Dikarenanya firman Allah Ta’ala, “Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya, berlaku umum baik untuk sholat fardlu maupun nafilah”. [18]

Demikianlah penjelasan beberapa ulama dari empat madzhab tentang menghadap qiblat. Pandangan ulama empat madzhab ini, dijelaskan pula oleh al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah tatkala menjelaskan salah satu hadits tentang menghadap qiblat, beliau berkata, “Sesungguhnya yang diwajibkan bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah menghadap ke arah bukan pada bangunan Ka’bah (al-Ain).  Ini adalah pendapat yang dianut oleh (al-Imam) Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad serta pendapat ini adalah pendapat yang nampak dari al-Syafi’iy sebagaimana dinukil oleh al-Muzanniy”. [19]

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukumnya apabila sholat telah ditunaikan dan jelas tidak menghadap ke arah qiblat setelah berijtihad (mencari arah qiblat)?. Apakah ada perbedaan sholat di negeri umat muslim atau negeri kaum kafir atau di padang sahara?”. Lalu beliau menjawab, “Jika seorang muslim dalam suatu perjalanan (safar) atau berada di suatu negara yang tidak mudah baginya mencari arah qiblat maka sholatnya sah, apabila ia telah berijtihad di dalam menentukan arah kemudian (ternyata) ia sholat ke arah selainnya. Adapun jika ia berada di negara kaum muslimin, maka sholatnya tidak sah sebab masih memungkinkan baginya untuk bertanya kepada orang akan arah qiblat sebagaimana masih memungkinkan baginya untuk mengetahui arah qiblat melalui bentuk masjid”. [20]

Hampir seperti ini pula yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya mengenai sekelompok orang yang sholat menghadap ke arah selain qiblat. [21]

Yang dikecualikan dalam masalah menghadap qiblat yaitu sholat sunnah dalam perjalanan, dalam kondisi ini maka mengikuti kemana arah kendaraan, kemudian dalam kondisi perang dan seseorang yang tidak mengetahui arah qiblat setelah dia berusaha berijtihad mencari arah qiblat yang benar. [22]

Dari Jabir radliyallahu anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

“Adalah Rosulullah shallallahu alahi wa sallam sholat di atas kendaraannya dengan menghadap arah yang dituju kendaraan. Dan jika beliau hendak sholat fardlu maka beliau turun dan menghadap qiblat”. [HR al-Bukhoriy: 400, 1094, 1099, 4140].

Ibn Hajar al-Asqalaniy rahimahullah menjelaskan faidah hukum dari hadits tersebut dengan mengatakan, “Hadits ini menunjukan untuk tidak meninggalkan menghadap qiblat dalam sholat fardlu, dan perkara ini sudah ijmak. Akan tetapi tatkala dalam kondisi takut yang sangat maka itu mendapatkan rukhsah”. [23]

Dari Ibn Umar radliyallahu anhuma bahwa beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاَةَ اللَّيْلِ إِلاَّ الْفَرَائِضَ وَ يُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ

“Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa mengerjakan sholat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan sholat wajib di atas kendaraannya”. [HR al-Bukhoriy: 1000].

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ وَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ

“Bahwa Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah di atas punggung unta kemanapun arah menghadap. Beliau memberikan isyarat dengan kepalanya. Ibnu Umarpun melakukan hal serupa”. [HR. al-Bukhoriy: 1105].

Dalil-dalil diatas menunjukkan bahwa seorang muslim dibolehkan untuk mengerjakan sholat nafilah (sunnah) di atas kendaraan, semisal kuda, unta, kendaraan bermotor dan semisalnya jika memungkinkan. Ia menghadapkan kendaraan tersebut ke arah qiblat atau tidak menghadapkannya dan kemudian mengikuti arah kendaraan itu berjalan. Lalu ia sholat dengan memberikan isyarat dengan kepalanya, ia menundukkan kepalanya waktu sujud lebih rendah daripada waktu ruku.

Adapun sholat fardlu, maka sebaiknya ia turun dari kendaraan tersebut dan sholat dengan menghadap qiblat kecuali kendaraan yang tidak mungkin berhenti di sembarang tempat semisal, pesawat terbang, kapal laut, kereta api ataupun kendaraan umum.

Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam bish showab.

[1] Majmu’ah al-Fatawa: XI/ 483 susunan Ahmad bin Abd al-Halim Ibnu Taimiyyah Takhrij Amir al-Jazar dan Anwar al-Baz, Maktabah al-Ubaikan Riyadl, Cetakan Pertama, tahun 1998.

[2] Kitab al-Fiqh al-Muyassar halaman 66-67 susunan asy-Syaikh Shalih bin Abdulaziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh cetakan pertama tahun 1430H/ 2009M, Dar A’lam as-Sunnah.

[3] Al-Wajiz fi Fiqh as-Sunna wa al-Kitab al-Aziz halaman 98-102 susunan DR Abdulazhim bin Badawiy, Cetakan keempat tahun 1430H/ 2009M, Dar IbnU Rajab.

[4] Umdah at-Tafsir an al-Hafizh Ibni katsir: I/ 195 susunan Ahmad Syakir,  Dar al-wafa Beirut, Cetakan kedua tahun 2005.

[5] Taysir al-Allam Syar-h Umdah al-Ahkam: I/ 160 susunan asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Bassam, Cetakan Pertama tahun 1414H/ 1994M, Maktabah Dar al-Faiha’ dan Maktabah Dar as-Salam.

[6] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: I/ 241 sususan al-Hafizh Ibnu Katsir, Dar al-Fikr, tahun 1412H/ 1992M.

[7] Aysar at-Tafasir: I/ 129 susunan asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, Cetakan pertama tahun 1415H/ 1994M.

[8] al-Jami Li ahkam al-Qur’an: II/ 156 susunan Muhammad bin Ahmad al-Qurthubiy, Dar al-Kitab al-Arabiy Beirut, Cetakan Keempat, tahun2001.

[9] al-Jami Li ahkam al-Qur’an: II/ 156.

[10] Mukhtashor Shahih Muslim: 261, Shahih Sunan Ibnu Majah: 869, Irwa al-Ghalil: 289, Ash-l Shifat Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: I/ 55 dan Shifat Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam min at-Takbir ila at-Taslim ka’annaka taroha halaman 75.

[11] Nail al-Authar Syar-h Muntaqo al-Akhbar: II/ 193 susunan Muhammad bin Ali asy-Syaukaniy, Dar al-Hadits Kairo, tahun 1413H/ 1993M.

[12] Subul as-Salam Syar-h Bulugh al-Maram: I/ 463 dan juga I/ 397, susunan al-Imam al-Allamah Muhammad bin Isma’il ash-Shan’aniy (wafat tahun 1182H), Maktabah al-Ma’arif ar-Riyadl Cetakan Pertama tahun 1427H/ 2006M.

[13] HR Muslim: 525 dan Mukhtashor Shahih Muslim: 262.

[14] Shahih Sunan Abu Dawud: 923 dan Ash-l Shifah Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: I/ 75 susunan asy-Syaikh al-Albaniy, Cetakan Pertama tahun 1427H/ 2006M, Maktabah al-Ma’arif.

[15] Bada’i ash-Shana’iy Fi Tartib al-Syara’iy: I/ 308 susunan Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Ihya al-Turats al-Arabi Beirut, Cetakan Kedelapan, tahun 1998.

[16] Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid halaman 93, susunan Muhammad bin Ahmad bin Rusyd,  Cetakan Pertama, Dar al-Kutub al-Arabiy Beirut, tahun 2009.

[17] Raudlah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin: I/ 209, susunan Yahya bin Syaraf al-Nawawiy, al-Maktab al-Islamiy Beirut, Cetakan Ketiga, 1991.

[18] al-Mughniy: II/ 100, susunan Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah,  Dar Alam al-Kutub Riyadl, Cetakan Ketiga, 1997.

[19] Nail al-Authar Syar-h Muntaqo al-Akhbar: II/ 197.

[20] Arkan al-Islam halaman 149 susunan Muhammad Luqman as-Salafiy, Cetakan Pertama tahun 1420H, Dar ad-Da’iy.

[21] Fatawa al-Aqidah wa ma’ahu Fatawa ash-Shiyam wa al-Hajj wa az-Zakah wa ash-Sholah halaman 548-549, Dar Ibnu al-Haitsam.

[22] Untuk lebih jelas dan luasnya silahkan baca beberapa dalil dan atsar lainnya di dalam kitab Ash-l Shifah Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: I/ 55-78.

[23] Fat-h al-Bariy Syar-h Shahih al-Bukhoriy: I/ 503 susunan al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalaniy, Dar al-Fikr.

 

WAHAI SAUDARAKU, JANGANLAH ANDA TINGGALKAN SHOLAT…!!!

HUKUM MENINGGALKAN SHOLAT WAJIB LIMA WAKTU

بسم الله الرحمن الرحيم

Sholat5Telah kita ketahui berdasarkan dalil-dalil Alqur’an dan hadits shahih serta kesepakatan para ulama tentang wajibnya mengerjakan sholat lima waktu dan kafirnya orang yang menentang kewajiban tersebut. [1] Namun, bagi yang meninggalkannya karena malas, terlebih lagi ia masih mengimani bahwa sholat itu amalan yang disyariatkan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara yang mengkafirkan dengan yang tidak mengkafirkan dan apakah ia dibunuh atau tidak. [2]

Masalah hukum orang yang meninggalkan sholat ini memang merupakan masalah khilafiyyah sejak zaman dahulu di kalangan salaful ummah, dan perselisihannya sudah teranggap (mu’tabar). Oleh karena itu, janganlah kita gegabah menuduh orang yang menyelisihi pendapat kita dalam hal ini, semisal kita mengatakannya Murji`iy (pengikut pemahaman Murji`ah, karena tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat) atau menvonisnya dengan Khorijiy (pengikut pemahaman Khowarij, karena mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat). Hukum asal dalam hal khilaf yang mu’tabar adalah seseorang tidak boleh mengingkari pendapat orang lain dan mencelanya.

Mencela seseorang karena mengikuti pendapat ulama dari kalangan salaf (para imam yang dikenal) sama dengan mencela ulama salaf tersebut. Karena itu sekali lagi kita tegaskan, janganlah kita mentahdzir (memboikot), merendahkan dan mencela saudara kita dalam permasalahan-permasalahan yang kita dapati para ulama kita juga berbeda pendapat di dalamnya. Memang masalah fiqih yang seperti ini, kita dapati para ulama sering berbeda pendapat, dan mereka pun melapangkan bagi saudaranya selama permasalahan itu memang dibolehkan/ dilapangkan untuk berijtihad.

Orang yang meninggalkan sholat fardlu dengan sengaja berarti ia telah melakukan dosa yang sangat besar. Dosanya di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala lebih besar daripada dosa membunuh jiwa yang tidak halal untuk dibunuh, atau dosa mengambil harta orang lain secara batil, atau dosa zina, mencuri dan minum khamer. Meninggalkan sholat berarti menghadapkan diri kepada hukuman Allah Azza wa Jalla dan kemurkaan-Nya. Ia akan dihinakan oleh Allah ta’ala baik di dunia maupun di akhiratnya kelak. [3]

Tentang hukuman di akhirat bagi orang yang menyia-nyiakan sholat dinyatakan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,

مَا سَلَكَكُمْ فِى سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ اْلمـُصَلِّينَ

“Apakah yang memasukkan kalian ke dalam neraka Saqar?”. Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat”. [QS al-Muddatstsir/ 74: 42-43].

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka celakalah orang-orang yang sholat, yaitu mereka yang lalai dari sholatnya”. [QS al-Ma’un/ 107: 4-5].

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Dan Allah tidak mengatakan ‘mereka lalai di dalam sholatnya’. Adakalanya dari awal waktunya, lalu ia selalu melambatkannya atau kebanyakan di akhir waktu. Adakalanya dari pelaksanaannya dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya atas arah yang diperintahkan. Dan adakalanya dari kekhusyu’an di dalam mengerjakannya dan mentadabburi (memahami) makna-maknanya, maka lafazh tersebut meliputi semuanya itu”. [4]

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَ اتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan”. [QS Maryam/ 19: 59].

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

1)). Abdullah bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Hubaib dari kalangan Malikiyyah berpendapat kafir [5] orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja walaupun ia tidak menentang kewajiban sholat. Pendapat ini dihikayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan al-Hakam bin Uyainah radliyallahu anhum. Sebagian pengikut al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah juga berpendapat demikian. [6]

Mereka berargumen dengan firman Allah ta’ala,

      فَإِذَا انسَلَخَ اْلأَشْهُرُ اْلحُرُمُ فَاقْتُلُوا اْلمـُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَ خُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِن تَابُوْا وَ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَ ءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Apabila telah habis bulan-bulan haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [QS at-Taubah/ 9: 5].

Dalam ayat di atas Allah Jalla wa Ala menetapkan harus terpenuhinya tiga syarat barulah seorang yang tadinya musyrik dibebaskan dari hukuman bunuh sebagai orang kafir yaitu bertaubat, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Bila tiga syarat ini terpenuhi berarti ia telah menjadi seorang muslim yang terpelihara darahnya. Namun bila tidak, ia bukanlah seorang muslim. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan sholat dengan sengaja, tidak mau menunaikannya, berarti tidak memenuhi syarat untuk dibiarkan berjalan, yang berarti ia boleh dibunuh. [7]

Argumen mereka dari hadits adalah hadits Jabir bin Abdillah radliyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَ بَيْنَ الشِّرْكِ وَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat”. [HR Muslim: 82, Abu Dawud: 4678, at-Turmudziy: 2619, Ibnu Majah: 1078, Ahmad: III/ 370, ad-Daruquthniy: 1735 dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Demikian pula hadits Buraidah bin Hushaib radliyallahu anhu, ia berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kita dan mereka adalah sholat, maka barangsiapa yang meninggalkan sholat berarti ia kafir”. [HR at-Turmudziy: 2621, Ibnu Majah: 1079, an-Nasa’iy: I/ 231-232, Ahmad: V/346, 355, ad-Daruquthniy: 1733, al-Hakim dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Dalam dua hadits di atas dinyatakan secara umum “meninggalkan sholat” tanpa ada penyebutan “meninggalkan karena menentang kewajibannya”. Berarti ancaman dalam hadits diberlakukan secara umum, baik bagi orang yang meninggalkan sholat karena menentang kewajibannya atau pun tidak.

Dari Abu ad-Darda’ radliyallahu anhu, Rosulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ شَيْئًا وَ إِنْ قُطِّعْتَ وَ إِنْ حُرِّقْتَ وَ لاَ تَتْرُكْ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمَّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ وَ لاَتَشْرِبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهُ مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ

“Janganlah kamu berbuat syirik sedikit pun walaupun kamu dipenggal atau pun dibakar. Jangan pula meninggalkan sholat wajib dengan sengaja, maka barangsiapa yang meninggalkan sholat dengan sengaja sungguh lepas jaminan darinya. Janganlah pula minum khamer karena sesungguhnya khamer itu pintu setiap kejelekan”. [HR Ibnu Majah: 4034. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu, “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah”. Sedangkan dalam riwayat Ummu Aiman dan Umayyah, “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah dan Rosul-Nya”. [11]

Demikian pula pernyataan para shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, diantaranya,

Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu berkata,

لاَ حَظَّ فِي الإِسْلامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian (sedikit pun) dalam Islam bagi seseorang yang meninggalkan sholat”. [12]

Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu berkata,

مَنْ لَمْ يُصَلِّ فَهُوَ كَافِرٌ

“Barangsiapa yang tidak sholat maka dia kafir”. [13]

Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu berkata,

مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَلاَ دِيْنَ لَهُ

“Barangsiapa yang meninggalkan sholat, maka tidak ada agama baginya”. [Atsar riwayat Ahmad bin Nash-r secara mauquf. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [14]

Abu ad-Darda’ radliyalallahu anhu berkata,

لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ وَ لاَصَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ

“Tidak ada keimanan bagi yang tidak sholat, dan tidak ada (sah) sholat bagi yang tidak berwudlu”. [Atsar riwayat Ibnu Abdul Barr dan selainnya secara mauquf. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

Berkata al-Hakam bin Utaibah radliyallahu anhu, “Barangsiapa yang meninggalkan sholat dengan sengaja maka sungguh-sungguh ia telah kafir. Barangsiapa yang meninggalkan zakat dengan sengaja maka sungguh-sungguh ia telah kafir. Barangsiapa yang meninggalkan haji dengan sengaja maka sungguh-sungguh ia telah kafir. Barangsiapa yang meninggalkan shaum/ puasa dengan sengaja maka sungguh-sungguh ia telah kafir”.

            Berkata Sa’id bin Jubair radliyallahu anhu, “Barangsiapa yang meninggalkan sholat dengan sengaja maka sungguh-sungguh ia telah kafir kepada Allah. Barangsiapa yang meninggalkan zakat dengan sengaja maka sungguh-sungguh ia telah kafir kepada Allah. Barangsiapa yang meninggalkan shaum/ puasa dengan sengaja maka sungguh-sungguh ia telah kafir kepada Allah”. [16]

            Dalil-dalil hadits dan atsar diatas menggambarkan tentang berlakunya ketetapan bagi orang yang meninggalkan sholat sebagai orang yang kafir, musyrik, lepasnya jaminan terhadapnya, tidak memiliki agama, tidak memiliki keimanan dan selainnya.

            Seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

            “Adalah para shahabat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak memandang adanya sesuatu dari amalan-amalan yang bila ditinggalkan dapat mengkafirkan pelakunya kecuali amalan sholat”. [HR. at-Turmudziy: 2622. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

            Abdullah bin Syaqiq menyebutkan bahwa para shahabat sepakat ‘orang yang meninggalkan sholat itu kafir’ dan mereka tidak mensyaratkan ‘harus disertai dengan pengingkaran akan kewajibannya’ atau ‘menentang kewajiban sholat’. Karena yang mengatakan sholat itu tidak wajib, jelas sekali kekafirannya bagi semua orang. [18]

2)). Sementara itu, dinukilkan pula pendapat mayoritas ulama yang memandang tidak atau belum kafirnya orang yang meninggalkan sholat secara sengaja. Al-Imam Abdul Haq al-Isybiliy rahimahullah dalam kitabnya[19] menyatakan, “Seluruh kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah, baik ahli haditsnya maupun selain mereka, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan sholat secara sengaja dalam keadaan ia mengimani kewajiban sholat dan mengakui/menetapkannya, tidaklah dikafirkan. Namun dia telah melakukan suatu perbuatan dosa yang sangat besar. Adapun hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang secara zhahir menyebutkan kafirnya orang yang meninggalkan sholat, demikian pula ucapan Umar radliyallahu anhu dan selainnya, mereka takwil sebagaimana mereka mentakwil sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

لَا يَزْنِى الزَّانِى حِيْنَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman saat melakukan perbuatan zina tersebut”. [20] [HR Muslim: 57, al-Bukhoriy: 2475, 5588, 6772, 6782, 6809, 6810, an-Nasa’iy: VII/ 64, 65, 313, at-Turmudziy: 2625, Abu Dawud: 4689, Ibnu Majah: 3936 dan Ahmad: II/ 317, 376, 386, , 479, III/ 346, VI/ 139. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[21]

Demikian pula hadits-hadits lain yang senada dengan ini. Adapun ahlul ilmi yang berpendapat dibunuhnya orang yang meninggalkan sholat, hanyalah memaksudkan ia dibunuh sebagai hukum had, bukan karena ia kafir. Demikian pendapat ini dipegangi oleh al-Imam Malik, asy-Syafi’iy, dan selain keduanya”.

Berkata Hammad bin Yazid, Mak-hul, al-Imam Malik dan al-Imam asy-Syafi’iy rahimahumullah, “Orang yang meninggalkan sholat itu seperti orang yang murtad namun ia tidak keluar dari agama”. [22]

Berkata DR Abdul Azhim bin Badawiy hafizhohullah, “Namun yang rajih (pendapat yang kuat) dari pendapat para ulama, bahwa yang dimaksud dengan kufur disini adalah kufur ashghar (kecil) yang tidak mengeluarkan (pelakunya) dari agama”. [23]

Al-Hafizh al-‘Iraqiy rahimahullah berkata, “Jumhur ahlul ilmi berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat bila memang ia tidak menentang kewajibannya. Ini merupakan pendapat para imam; Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’iy, dan juga satu riwayat dari al-Imam Ahmad bin Hambal. Terhadap hadits-hadits yang shahih dalam masalah hukum meninggalkan sholat ini, mereka menjawab dengan beberapa jawaban, di antaranya:

Pertama: Makna dari hadits-hadits tersebut adalah orang yang meninggalkan sholat pantas mendapatkan hukuman yang diberikan kepada orang kafir yaitu dibunuh.

Kedua: Vonis kafir yang ada dalam hadits-hadits tersebut diberlakukan kepada orang yang menganggap halal meninggalkan sholat tanpa udzur.

Ketiga: Meninggalkan sholat terkadang dapat mengantarkan pelakunya kepada kekafiran, sebagaimana dinyatakan bahwa ‘perbuatan maksiat adalah pos kekafiran’.

Keempat: Perbuatan meninggalkan sholat adalah perbuatan orang-orang kafir. [24]

Dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah firman Allah Azza wa Jalla,

إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَ يَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَن يَّشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan-Nya dengan sesuatu (syirik) dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. [QS an-Nisa’/ 4: 48, 116].

Sementara tidak mengerjakan sholat bukan perbuatan syirik, namun salah satu perbuatan dosa besar yang Allah Azza wa Jalla janjikan untuk diberikan pengampunan bagi siapa yang Allah ta’ala kehendaki.

Juga hadits-hadits yang banyak, di antaranya hadits Ubadah bin ash-Shamit radliyallahu anhu dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى اْلعِبَادِ فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ اْلجَنَّةَ وَ مَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَ إِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ اْلجَنَّةَ

“Sholat lima waktu Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan di antara kelima sholat tersebut karena meremehkan keberadaannya maka ia mendapatkan janji dari sisi Allah untuk Allah masukkan ke surga. Namun siapa yang tidak mengerjakannya maka tidak ada baginya janji dari sisi Allah, jika Allah menghendaki Allah akan mengadzabnya, dan jika Allah menghendaki maka Allah akan mengampuninya”. [HR. Abu Dawud: 1420, 425, an-Nasa’iy: I/ 230, Ibnu Majah: 1401 dan Ahmad: V/ 315, 319. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

Hadits Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ اْلعَبْدُ اْلمـُسْلِمُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ الصَّلَاةُ اْلمـَكْتُوْبَةُ فَإِنْ أَتَمَّهَا وَ إِلَّا قِيْلَ انْظُرُوْا هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ أُكْمِلَتِ اْلفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ اْلأَعْمَالِ اْلمـَفْرُوْضَةِ مِثْلُ ذَلِكَ

“Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba nanti pada hari kiamat adalah sholat wajib. Jika ia sempurnakan sholat yang wajib tersebut maka sempurna amalannya, namun jika tidak dikatakanlah, ‘Lihatlah, apakah orang ini memiliki amalan tathawwu’ (sholat sunnah)?’ Bila ia memiliki amalan tathawwu’, disempurnakanlah sholat wajib yang dikerjakannya dengan sholat sunnahnya. Kemudian seluruh amalan yang difardlukan juga diperbuat semisal itu”. [HR Ibnu Majah: 1425, Abu Dawud: 864, an-Nasa’iy: I/ 232 dan at-Turmudziy: 413. Berkata Asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

Demikian pula hadits dalam ash-Shahihain yang dibawakan oleh Ubadah bin ash- Shamit radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ وَ أَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ وَ كَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَ رُوْحٌ مِنْهُ وَ اْلجَنَّةُ حَقٌّ وَ النَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللهُ اْلجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ اْلعَمَلِ (فى رواية مسلم: مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ اْلجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ)

“Siapa yang mengucapkan, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya, Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya, kalimat-Nya yang Dia sampaikan melalui Maryam dan ruh ciptaan-Nya, surga itu benar adanya dan neraka pun adanya’, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selama ia mengamalkannya. (Dalam riwayat Muslim ada tambahan, ‘dari 8 pintu surga manapun yang ia kehendaki’)”. [HR al-Bukhoriy: 3435, Muslim: 28, Ahmad: V/ 313-314 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

Dalam riwayat yang lain dari al-Imam Muslim, dari Ubadah bin ash-Shamit juga bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ النَّارَ

“Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rosulullah, maka Allah haramkan neraka baginya”. [HR Muslim: 29, dan at-Turmudziy: 2638. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]

Selain itu, banyak didapatkan dalil yang menunjukkan tidak kekalnya seorang muslim yang masih memiliki iman walau sedikit di dalam neraka, bila ia telah mengucapkan kalimat syahadatain lalu kalimat tersebut terpelihara dan tidak gugur. Seperti hadits Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ فِى قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيْرَةٍ مِنْ خَيْرٍ وَ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ فِى قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ فِى قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ

“Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan (iman) seberat sya’ir (satu jenis gandum). Kemudian akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat burrah (satu jenis gandum juga). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat dzarrah (biji sawi)”. [HR. al-Bukhoriy: 44, at-Turmudziy: 2593 dan Ahmad: III/ 116. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]

Ulama yang berpandangan tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat tidaklah kemudian membebaskan pelakunya dari hukuman atau meringan-ringankan hukumannya. Bahkan sebaliknya, hukuman berat dijatuhkan sebagaimana yang akan kita baca dalam keterangan berikut ini.

Ibnu Syihab az-Zuhriy, Sa’id ibnu al-Musayyab, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Abu Hanifah, Dawud bin ‘Ali dan al-Muzaniy berpendapat, orang yang meninggalkan sholat karena malas, tidaklah divonis kafir, namun fasik. Ia harus ditahan atau dipenjara oleh pemerintah muslimin [30] dan dipukul dengan pukulan yang keras sampai darahnya bercucuran. Hukuman ini terus ditimpakan padanya sampai ia mau bertaubat dan mengerjakan sholat atau sampai mati dalam penjara. [31] Hukuman bunuh tidak sampai dijatuhkan padanya kecuali bila ia menentang kewajiban sholat, karena ada hadits Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berikut ini,

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنِّى رَسُوْلُ اللهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَ الثَّيِّبُ الزَّانِى وَ اْلمـُفَارِقُ لِدِيْنِهِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal ditumpahkan darah seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja dan ia bersaksi bahwa aku adalah Rosulullah, kecuali salah satu dari tiga golongan, yaitu seseorang yang sudah/pernah menikah melakukan perbuatan zina, karena jiwa dibalas jiwa (seseorang membunuh orang lain maka balasannya ia diqishash/dibunuh juga), dan orang yang meninggalkan agamanya, berpisah dengan jamaahnya kaum muslimin”. [HR Al-Bukhoriy: 6878 dan Muslim: 1676, at-Turmudziy: 1402, an-Nasa’iy: VII/ 90, Ibnu Majah: 2534. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]

Di dalam hadits di atas tidak disebutkan hukum bunuh bagi orang yang meninggalkan sholat. [33]

Madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan sholat tanpa ada udzur, ia diminta bertaubat dari perbuatannya. Bila tidak mau bertaubat maka dibunuh dengan cara dipenggal dengan pedang menurut pendapat jumhur.

Namun hukuman bunuh ini dijatuhkan sebagai hukum had baginya bukan dibunuh karena kafir lantaran murtad. Setelah meninggal, ia dikafani, disholati, dan dikuburkan di pemakaman muslimin. [34]

Terdapat keterangan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah [35] sehubungan dengan perkara sholat ini, tampak bahwa beliau membagi manusia menjadi empat macam,

1). Orang yang menolak untuk mengerjakan sholat sampai ia dibunuh, sementara di hatinya sama sekali tidak ada pengakuan akan kewajiban sholat dan tidak ada keinginan untuk mengerjakannya. Orang ini kafir menurut kesepakatan kaum muslimin.

2). Orang yang terus-menerus meninggalkan sholat sampai meninggalnya, sama sekali ia tidak pernah sujud kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Ia pun tidak mengakui kewajibannya maka orang ini pun kafir.

3). Orang yang tidak menjaga sholat lima waktu, ini adalah keadaan kebanyakan manusia. Sekali waktu ia mengerjakan sholat, pada kali lain ia meninggalkannya. Orang yang keadaannya seperti ini berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki akan diadzab, kalau tidak maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan mengampuninya. Dalilnya adalah hadits Ubadah bin ash-Shamit radliyallahu anhu yang telah disebutkan di atas.

4). Kaum mukminin yang menjaga sholat mereka. Inilah yang mendapat janji untuk masuk surga Allah Subhanahu wa ta’ala.

Dari perbedaan pendapat yang ada dan telah disebutkan di atas maka penulis sendiri lebih condong pada pendapat yang menyatakan tidak kafir, karena perbuatan tersebut termasuk kufrun duna kufrin yakni kekufuran yang tidak menyebabkannya jatuh ke dalam kekufuran (murtadd atau keluar dari Islam). Dan inilah pendapat yang menenangkan hati kami. Wallahu ta’ala a’lam bi ash-Showab.

Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata ketika menguatkan pendapat ini, “Terus-menerus kaum muslimin saling mewarisi dengan orang yang meninggalkan sholat (dari kalangan kerabat mereka). Seandainya orang yang meninggalkan sholat itu kafir dan tidak akan diampuni dosanya, tentu tidak boleh mewarisi dan tidak mewariskan harta kepada kerabatnya. Adapun jawaban argumen yang dibawakan oleh yang berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan sholat dengan hadits Jabir, hadits Buraidah dan riwayat Abdullah bin Syaqiq, adalah bahwa hadits-hadits tersebut dibawa maknanya kepada orang yang meninggalkan sholat akan menjadi serikat bagi orang kafir dalam sebagian hukum yang diberlakukan kepadanya, yaitu ia harus dibunuh. Dengan takwil ini terkumpullah nash-nash syariat dan kaidah-kaidah yang telah disebutkan”. [36]

Demikian penjelasan singkat tentang hukumnya seorang muslim yang meninggalkan sholat. Jika ia meninggalkan sholat, baik karena sengaja, rasa malas, enggan, terlupa dan selainnya namun ia masih meyakini kewajiban sholat dan tidak menentang apalagi membenci kewajiban tersebut maka ia jatuh ke dalam kufur kecil tetapi tidak mengeluarkannya dari agama atau ia masih tetap seorang muslim. Disamping itu pula, ia telah melakukan dosa besar yang ia akan diancam ke dalam neraka dan tidak akan kekal di dalamnya.

Jika ia tidak mengerjakan sholat dan di dalam hatinya ia tidak meyakini akan wajibnya sholat, membenci dan menentang kewajiban tersebut bahkan berusaha menghalangi orang lain dari melakukannya, maka ia jatuh ke dalam kufur besar yang mengeluarkannya dari agama dan memasukkannya ke dalam neraka dalam keadaan kekal di dalamnya. Selama ia telah diberi penjelasan, peringatan dan nashihat tetapi ia masih tetap di dalam keyakinan tersebut.

Wallahu a’lam bi ash-Showab.

 

[1] Lihat di https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2014/02/24/saudaraku-ketahuilah-bahwa-sholat-itu-hukumnya-fardlu-ain/

[2]Sufyan bin Sa’id ats-Tsauriy, Abu ‘Amr al-Auza’iy, Abdullah Ibnul Mubarak, Hammad bin Zaid, Waki’ ibnul Jarrah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahuywah, dan murid/ pengikut mereka berpandangan bahwa orang yang meninggalkan sholat dibunuh. Kemudian mereka berbeda pendapat, apakah dibunuh sebagai seorang muslim yang menjalani hukum had sebagaimana dibunuhnya zina muhshan (orang yang sudah/pernah menikah lalu berzina), ataukah dibunuh karena kafir sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad dan zindiq. [Ash-Sholatu wa Hukmu Tarikiha, karya Ibnu al-Qayyim rahimahullah, halaman 6 dan 18-19].

[3]Ash-Sholatu wa Hukmu Tarikiha, halaman 6.

[4] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: IV/ 681.

[5]Bila sampai vonis kafir dijatuhkan berarti diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir/murtad. Seperti tidak memperoleh warisan dari kerabatnya yang meninggal atau mewariskan kepada ahli warisnya yang muslim, tidak bisa menjadi wali nikah atau diwali nikahkan, bila sudah beristri (dan istrinya seorang muslimah) maka ia harus menceraikan istrinya, bila belum maka tidak boleh dinikahkan dengan wanita muslimah. Bila ia meninggal dunia, jenazahnya tidak diurus sebagaimana kaum muslimin dan tidak boleh dimakamkan di pekuburan kaum muslimin dan seterusnya.

[6]Al-Majmu’: III/19, al-Minhaj: II/257, Nail al-Authar: II/403.

[7]Ada dua riwayat dari al-Imam Ahmad dalam masalah membunuh orang yang meninggalkan sholat ini.

Pertama: Ia dibunuh sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad. Demikian pendapat ini dipegangi oleh Sa’id bin Jubair, Amir asy-Sya’biy, Ibrahim an-Nakha’iy, Abu ‘Amr al-Auza’iy, Ayyub as-Sikhtiyaniy, Abdullah Ibnu al-Mubarak, Ishaq bin Rahiwayh, Abdul Malik bin Hubaib dari kalangan Malikiyyah, satu sisi dalam madzhab al-Imam asy-Syafi’iy, ath-Thahawiy menghikayatkan dari al-Imam asy-Syafi’iy sendiri dan Abu Muhammad ibnu Hazm menghikayatkannya dari ‘Umar bin al-Khaththab, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah dan selain mereka dari kalangan shahabat.

Kedua: Dibunuh sebagai hukum had, bukan karena kafir. Demikian pendapat Malik, asy-Syafi’iy, dan Abu Abdillah Ibnu Baththah memilih riwayat ini. [Ash-Sholatu wa Hukmu Tarikiha, halaman 18-19].

 [8] Mukhtashor Shahih Muslim: 204, Shahih Sunan Abu Dawud: 3912, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2111, Shahih Sunan Ibnu Majah: 883, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2848, Misykah al-Mashabih: 569 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 563 dan juga masih banyak hadits yang semakna dengan hadits tersebut dari nomor 563-577.

[9] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2113, Shahih Sunan Ibnu Majah: 884, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 449, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4143, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 564 dan Misykah al-Mashabih: 574.

[10] Shahih Sunan Ibnu Majah: 3259, Irwa’ al-Ghalil: 2026, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7339, Misykah al-Mashabih: 580 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 566.

[11]lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 568 dan 570, 571.

[12]Al-Mughniy: III/ 355.

[13] Al-Mughniy: III/ 355.

[14]Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 573.

[15]Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 574.

[16] Al-Iman halaman 287 karya Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

[17] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2114 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 564.

[18]al-Majmu’: III/19, al-Minhaj: II/257, Tharh at-Tatsrib: I/323 dan Nail al-Authar: II/403.

[19]ash-Sholah wa at-Tahajjud halaman 96.

[20]Yakni si pezina tidak mungkin melakukan perbuatan zina dikala imannya sempurna. Hanyalah ia jatuh ke dalam perbuatan nista tersebut karena imannya sedang lemah. Dengan demikian hadits ini bukanlah menunjukkan bahwa pezina itu tidak punya iman dalam arti keluar dari iman dan masuk ke dalam kekafiran, namun si pezina tetap seorang muslim dengan keimanan yang sekadar mensahkan keislamannya.

 [21] Mukhtashor Shahih Muslim: 43, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4526, 4527, 5230, 5231, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2117, Shahih Sunan Abu Dawud: 3923, Shahih Sunan Ibnu Majah: 3179, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3000 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7706, 7707, 7708.

[22] Aun al-Ma’bud: XII/ 284.

[23] Al-Wajiz fi Fiq-hi as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz halaman 80 susunan DR Abdul Azhim bin Badawiy penerbit Dar al-Fawa’id dan Dar Ibnu Rajab cetakan keempat tahun 1430H/ 2009M.

[24]Tharhu at-Tatsrib: I/324-325.

[25] Shahih Sunan Abu Dawud: 1258, 410, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 447, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1150, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3242, 3243, Misykah al-Mashabih: 570 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 366.

[26] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1172, Shahih Sunan Abu Dawud: 770, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 452, Shahih Sunan at-Turmudziy: 337 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2020, 2571.

[27] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6320 dan Misykah al-Mashabih: 27.

[28] Mukhtashor Shahih Muslim: 11, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2126 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6319.

[29] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2091 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8061.

[30] Yang harus selalu diingat, hukum had bukanlah ditegakkan oleh orang per orang atau komunitas pengajian atau suatu perkumpulan/ organisasi perorangan, namun yang berwenang dalam penegakkannya adalah wulatul umur, yaitu pemerintah kaum muslimin.

 [31]Dan orang tersebut mati tentunya bukan sebagai orang kafir tapi sebagai orang fasik, yaitu seorang mukmin yang mengerjakan perbuatan dosa besar. Sehingga pengurusan jenazahnya tetap diselenggarakan oleh kaum muslimin sebagaimana penyelenggaraan jenazah orang Islam. Ia dimandikan, dikafani, disholati dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin.

[32] Mukhtashor Shahih Muslim: 1023, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1131, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3750, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2053, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7643, Irwa’ al-Ghalil: 2196, al-Majmu’: III/19 dan ash-Sholatu wa Hukmu Tarikiha, halaman 7.

[33]Al-Minhaj: II/257.

[34]Al-Majmu’: III/ 17, al-Minhaj: II/ 257, Nail al-Awthar: II/ 403.

[35]Majmu’ Fatawa: XXII/ 40-53.

[36]Al-Majmu’: III/ 19.

YUK, SEMPURNAKAN AMALAN PADA HARI JUM’AT !!..

AMALAN-AMALAN PADA HARI JUM’AT SESUAI SUNNAH NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

بسم الله الرحمن الرحيم

Jum'at2Hari Jum’at adalah hari mulia yang pada hari itu seluruh kaum muslimin di seluruh dunia berkumpul padanya untuk memuliakannya. Karena di dalamnya terdapat banyak faidah dan keutamaan yang besar. Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rosulullah dan para shahabatnya, bagaimana seharusnya menyambut hari tersebut agar amal tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Berikut ini, ada beberapa adab dan amalan yang harus diperhatikan bagi setiap muslim yang ingin menghidupkan syariat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari Jumat untuk mendapatkan banyak keutamaan dan pahala. Amalan tersebut ada yang hukumnya wajib dan ada juga yang sunnah, di antaranya,

1). Disunnahkan pada sholat Shubuh di hari Jum’at, imam membaca surat as-Sajdah dan al-Insan secara sempurna.

Hal ini sebagaimana yang telah dikerjakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, karenanya tidak diperbolehkan untuk memotong sebagiannya seperti yang banyak dilakukan oleh para imam sholat.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَقْرَأُ فِى اْلجُمُعَةِ فِى صَلَاةِ اْلفَجْرِ ((الم تنزيل- السجدة)) وَ ((هل أتى على الإنسان- الإنسان)) -الحديث

Adalah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membaca di dalam sholat fajar pada hari Jum’at, “Aliif Laam Miim Tanziil (Surat al-Sajdah pada rakaat pertama) dan (pada rakaat kedua) Surat al-Insan”. [HR. al-Bukhoriy: 891, 1068, Muslim: 880, ad-Darimiy: I/ 362, an-Nasa’iy: I/ 151, Ibnu Majah: 823, Ahmad: II/ 430, 472, al-Baihaqiy dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

Dari Ibnu Abbas radliyallah anhuma berkata, Adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam membaca dalam shalat Shubuh pada hari Jum’at, “Aliif Laam Miim Tanziil (Surat al-Sajdah) dan Surat al-Insan”. [HR Ibnu Majah: 821, an-Nasa’iy: I/ 151, 209-210, Abu Dawud: 1074, Ahmad: I/ 328, 340, 354, al-Baihaqiy, ath-Thoyalisiy dan ath-Thohawiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

Dua dalil hadits di atas menerangkan amalan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika menunaikan sholat Shubuh bersama para shahabat radliyallahu anhum pada hari Jum’at. Yaitu setelah membaca surat al-Fatihah, Beliau membaca surat as-Sajadah (surat ke 32) hingga selesai pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua membaca surat al-Insan atau surat ad-Dahr (surat ke 76) hingga selesai. Namun hal ini hanyalah mustahabbah (dianjurkan) bagi imam sholat yang telah hafal kedua surat tersebut, dan membacanya sebaiknya secara menyeluruh sampai selesai dan tidak memotongnya.

2).Membaca Surat al-Kahfi

            Amalan selanjutnya adalah melazimkan membaca surat al-kahfi (surat ke 18) setia hari Jum’at. Hal ini sangat dianjurkan bagi setiap muslim, terlebih yang mempunyai waktu luang karena di dalamnya terdapat kebaikan.

            Diantara kebaikannya adalah bagi setiap muslim yang melazimkan membacanya kelak pada hari kiamat akan diberikan cahaya dari tempat ia berada sampai Mekkah dan iapun akan diterangi oleh cahaya di antara dua Jum’at.

            Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, dia akan disinari cahaya antara dia dan Ka’bah”. [HR Ibnu Hibban dan ad-Darimiy: II/ 454. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ اْلكَهْفِ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا إِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ مِنْ مَقَامِهِ إِلىَ مَكَّةَ وَ مَنْ قَرَأَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ آخِرِهَا ثُمَّ خَرَجَ الدَّجَّالُ لَمْ يَضُرَّهُ

“Barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi maka surat itu akan menjadi cahaya baginya sampai hari kiamat dari tempatnya sampai Mekah. Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari akhirnya kemudian Dajjal keluar maka Dajjal itu tidak dapat membahayakannya”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Awsath, al-Hakim: 2116, adl-Dliya’, an-Nasa’iy dan as-Sunniy di dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah halaman 37. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

            Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

“Barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, maka Allah akan menyinarinya dengan cahaya di antara dua Jum’at”. [HR al-Hakim dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

3). Memperbanyak Sholawat Nabi

Dari Aus bin Aus radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ

“Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan, dan pada hari itu juga ditiup sangkakala dan akan terjadi kematian seluruh makhluk. Oleh karena itu perbanyaklah sholawat di hari Jum’at, karena sholawat akan disampaikan kepadaku.”

Para shahabat berkata, “Ya Rosulullah, bagaimana sholawat kami atasmu akan disampaikan padamu sedangkan kelak engkau telah lebur dengan tanah?”.

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi”. [HR Abu Dawud: 1047, an-Nasai’y: III/ 91-92, Ibnu Majah: 1085, 1636, Ahmad: IV/ 8, dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Hari Jum’at adalah penghulunya hari dan yang paling utama. Yaitu paling utama di sisi Allah dari pada hari Adl-ha dan hari Fith-ri. Terdapat dorongan atau motivasi untuk memperbanyak mengucapkan sholawat atas Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pada hari Jum’at. Para Nabi itu hidup di dalam kubur mereka. Sholawat atas nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan sampai ke dalam kuburnya sebagai bentuk pemuliaan dari Allah ta’ala kepada Rosulullah Shallallahu alihi wa sallam dan penghormatan dari Allah ta’ala kepada hamba-Nya yang mengikuti washiyat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [7]

Dalil dan penjelasannya di atas menegaskan akan anjuran bagi setiap muslim untuk membiasakan diri mengucapkan sholawat dengan sholawat-sholawat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang telah disyariatkan pada hari Jum’at, sebab di dalamnya banyak terdapat kebaikan dan keutamaan.

4). Melaksanakan sholat Jum’at bagi laki-laki muslim, merdeka, mukallaf, dan tinggal di negerinya.

            Berkata DR Abdul Azhim bin Badawiy hafizhohullah, “Menyaksikan sholat Jum’at itu merupakan wajib ain bagi setiap muslim kecuali lima golongan yaitu hamba sahaya, wanita, anak-anak, orang yang sedang sakit (keras) atau musafir”. [8]

Atas mereka sholat Jum’at hukumnya wajib. Sementara bagi budak, wanita, anak kecil dan musafir, maka sholat Jum’at tidak wajib atas mereka. Namun, jika mereka menghadirinya, maka tidak apa-apa dan sudah gugur kewajiban Zhuhurnya. Dan kewajiban menghadiri sholat Jum’at menjadi gugur disebabkan beberapa sebab, di antaranya sakit dan rasa takut. [9]

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. [QS al-Jumu’ah/ 62: 9].

Dari Thariq bin Syihab radliyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

            اْلجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ

            “Jum’at itu adalah perkara yang hak lagi diwajibkan bagi setiap muslim di dalam berjamaah kecuali empat golongan yaitu hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sedang sakit (keras)”. [HR Abu Dawud: 1067 dan al-Hakim: 1101. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Dari Hafshah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

            رَوَاحُ اْلجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

            “Berangkat Jum’at itu wajib bagi setiap yang telah baligh”. [HR an-Nasa’iy: III/ 89. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

            Dalil-dalil hadits shahih diatas menegaskan bahwa setiap muslim telah diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk menunaikan sholat Jum’at secara berjamaah di masjid jami’ dan hukumnya adalah fardlu ain. Maka barangsiapa yang menunaikannya dengan baik dan benar maka ia berhak untuk mendapatkan ganjaran kebaikan kelak pada hari kiamat. Namun barangsiapa yang meninggalkannya secara sengaja dan tanpa udzur syar’iy maka iapun kelak berhak mendapatkan ganjaran keburukan pada hari kiamat. Dan di duniapun ia akan dikunci mati hatinya sehingga ia tidak akan lagi mendapatkan hidayah-Nya dan ia digolongkan sebagai kaum munafikin. Al-Iyadzu billah.

Dari Abu al-Ja’d adl-Dlomriy, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

            مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ

            “Barangsiapa yang meninggalkan tiga kali sholat Jum’at dalam keadaan meremehkannya maka Allah akan mengunci mati hatinya”. [HR Abu Dawud: 1052, Ibnu Majah: 1125, at-Turmudziy: 500, an-Nasa’iy: III/ 88, Ibnu Khuzaimah: 1857. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [12]

            Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban,

            مَنْ تَرَكَ اْلجُمُعَةَ ثَلَاثًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَهُوَ مُنَافِقٌ

            “Barangsiapa yang meninggalkan Jum’at sebanyak tiga kali tanpa udzur maka dia adalah seorang munafik”.

Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radliyallahu anhuma bahwasanya mereka mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda di atas kayu mimbarnya,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ اْلجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ اْلغَافِلِيْنَ

“Hendaklah orang-orang yang sering meninggalkan sholat Jum’at segera menghentikan kebiasaan mereka itu, atau Allah akan mengunci mati hati mereka sehingga mereka termasuk golongan orang-orang yang lalai”. [HR Muslim: 865, an-Nasa’iy: III/ 88-89 dan Ibnu Khuzaimah: 1855. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Sholat Jum’at itu hukumnya fardlu ain dan tidak boleh ditunaikan kecuali dengan berjamaah. Terdapat ancaman keras bagi orang yang meninggalkan sholat Jum’a sebanyak tiga kali Jum’at dalam keadaan meremehkannya dan tanpa ada udzur yang syar’iy dengan ancaman akan dikunci mati hatinya (yaitu tidak akan mendapatkan hidayah)”. [14]

5). Mandi Jumat

Mandi pada hari Jum’at itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang telah baligh berdasarkan dalil-dalil hadits shahih berikut ini. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabat biasa.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata,

اْلغُسْلُ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi pada hari jum’at itu wajib bagi setiap orang yang telah bermimpi (atau baligh)”. [HR al-Bukhoriy: 858, 879, 880, 895, 2665, Muslim: 846, Abu Dawud: 341, 344, an-Nasa’iy: III/ 92, 93, Ibnu Majah: 1089, Ahmad: III/ 6 dan ad-Darimiy: I/ 361. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Mandi jum’at itu wajib pada hak setiap orang yang telah sampai kewajiban melakukan jum’at baginya”. [16]

Dari Hafshah radliyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ رَوَاحُ اْلجُمُعَةِ وَ عَلَى كُلِّ مَنْ رَاحَ إِلىَ اْلجُمُعَةِ اْلغُسْلُ

“Wajib bagi tiap yang telah bermimpi untuk berangkat jum’at dan wajib bagi yang berangkat jum’at untuk mandi”. [HR Abu Dawud: 342. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ اْلجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ

“Apabila seseorang di antara kalian hendak mendatangi jum’at maka mandilah”. [HR al-Bukhoriy: 877, 893, 919, Muslim: 844, an-Nasa’iy: III/ 93 dan Ibnu Majah: 1088. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajibnya mandi untuk hari jum’at”. [19]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ غُسْلَ اْلجَنَابَةِ

“Barangsiapa mandi hari jum’at seperti mandi janabat, …”. [HR al-Bukhoriy: 881, Muslim: 850, an-Nasa’iy: III/ 99 dan Abu Dawud: 351. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[20]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ”Di dalam hadits ini bukan menafikan (meniadakan) mandi karena sungguh-sungguh telah datang dari arah yang lain di dalam dua kitab shahih dengan lafazh, ((”barangsiapa mandi”)) maka hal tersebut mengandung penyebutan wudlu bagi orang yang telah terdahulu mandinya untuk pergi. Maka ia membutuhkan pengulangan wudlu”. [21]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, ”Kesimpulannya adalah bahwa hadits-hadits yang menerangkan wajib mandi jum’at, di dalamnya merupakan hukum tambahan atas hadits-hadits yang bersifat penganjuran, dan hal tersebut tidak saling bertentangan. Dan menjadi suatu kewajiban adalah mengambil yang mengandung tambahan darinya” (Yaitu yang menetapkan hukum wajib mandi bagi yang pergi berangkat jum’at). [22]

Kesimpulannya, mandi hari Jum’at itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang hendak berangkat menunaikan sholat Jum’at. [23]

6). Menggunakan Minyak Wangi.

            Amalan yang dianjurkan ketika hendak menunaikan sholat Jum’at adalah mengenakan pakaiannya yang terbaik dan memakai harum-haruman. Sebab memakai pakaian lusuh, kotor dan berbau dan tubuhpun mengeluarkan keringat dan bau yang tak sedap jelas akan mengganggu ketenangan dan kekhusu’an orang-orang yang menghadiri Jum’at di antara manusia dan para Malaikat.

            Oleh sebab itu, setiap muslim disyariatkan untuk mengenakan pakaian yang terbaik dan memakai wewangian. Bahkan jika tidak ada, diperbolehkan baginya untuk memakai wewangian wanita, yakni yang nampak warnanya dan tidak nampak baunya.

Dari Abu Dzarr al-Ghifariy radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَأَحْسَنَ غُسْلَهُ وَ تَطَهَّرَ فَأَحْسَنَ طَهُوْرَهُ وَ لَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَ مَسَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ مِنْ طِيْبِ أَهْلِهِ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ وَ لَمْ يَلْغُ وَ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ غُفِرَ لَهُ مِنْ بَيْنِهِ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى

“Barangsiapa mandi pada hari jum’at lalu ia membaguskan mandinya, bersuci lalu ia membaguskan bersucinya, memakai dari pakaian yang terbagusnya, menggunakan wewangian keluarganya yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya. Kemudian ia mendatangi jum’at, tidak berbicara dan tidak pula memisahkan antara dua orang (yang sedang duduk) maka diampuni baginya (dosa-dosanya) antaranya dan antara jum’at berikutnya”. [HR Ibnu Majah: 1097. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [24]

Dari Salman al-Farisiy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ يَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَ يَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ طِيْبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يُخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى

“Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at, bersuci apa yang ia sanggupi dari bersuci, menyemprotkan wewangian dari wewangiannya atau menggunakan harum-haruman rumahnya kemudian ia keluar serta tidak memisahkan antara dua orang lalu ia sholat apa yang telah ditetapkan untuknya kemudian ia diam ketika imam berbicara melainkan diampuni baginya apa yang di antaranya dan antara jum’at berikutnya”. [HR al-Bukhoriy: 883, 910. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيْدٍ جَعَلَهُ اللهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ فَمَنْ جَاءَ إِلىَ اْلجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ وَ إِنْ كَانَ طِيْبٌ فَيَمَسَّ مِنْهُ وَ عَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ

“Sesungguhnya ini adalah hari raya yang telah dijadikan oleh Allah bagi kaum muslimin. Barangsiapa yang datang kepada jum’at maka mandilah, jika ia memiliki harum-haruman maka kenakanlah dan wajib bagi kalian agar bersiwak”. [HR Ibnu Majah: 1098. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [26]

Memakai wewangian, bersiwak dan mengenakan pakaian terbagusnya merupakan adab menghadiri sholat Jum’at yang mesti diperhatikan oleh setiap muslim.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy dan Abu Hurairah radliyallahu anhuma berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَلَمْ يَتَخَطَّ أَعْنَاقَ النَّاسِ ثُمَّ صَلَّى مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ كَانَتْ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهَا وَ بَيْنَ جُمْعَتِهِ الَّتِى قَبْلَهَا

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at, lalu memakai pakaiannya yang terbagus dan memakai wewangian, jika punya. Kemudian berjalan menuju sholat Jum’at. Lalu tidak melangkahi pundak-pundak manusia dan sholat sebagaimana yang ditetapkan Allah baginya, kemudian ia diam ketika imam keluar sehingga selesai dari sholatnya. Maka sholatnya itu menjadi kiffarat (penghapus dosa) di antara Jum’at itu dengan Jum’at sebelumnya”. [HR Abu Dawud: 343. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [27]

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اْلغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَالسِّوَاكُ وَ يَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قُدِّرَ لَهُ وَ لَوْ مِنْ طِيْبِ اْلمـَرْأَةِ

“Mandi hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang baligh. Begitu pula dengan bersiwak dan memakai wewangian, jika mampu (atau ada), meskipun dari wewangian wanita”. [HR Abu Dawud: 344, Muslim: 846 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]

7). Bersegera Untuk Berangkat ke Masjid.

            Yang banyak diremehkan kaum muslimin pada umumnya adalah suka menunda-nunda waktu untuk berangkat sholat Jum’at, padahal tidak ada alasan syar’iy yang menjadi pernybabnya.

            Jika mereka tahu faidah dan keutamaan di dalam menyegerakan diri berangkat ke masjid untuk sholat Jum’at niscaya mereka tidak akan melakukannya. Untuk itulah di bawah ini akan dituangkan beberapa dalil perintah dan keutamaan di dalam menyegerakan diri berangkat menuju masjid untuk menunaikan sholat Jum’at.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ غُسْلَ اْلجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَدَنَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَقَرَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ دَجَاجَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ اْلخَامِسَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ اْلمـَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ

“Barangsiapa mandi hari jum’at seperti mandi janabat kemudian berangkat maka seolah-olah ia berkurban seekor unta. Barangsiapa yang berangkat pada saat yang kedua maka seolah-olah ia berkurban seekor sapi. Barangsiapa berangkat pada saat yang ketiga maka seolah-olah ia berkurban seekor kambing yang dewasa. Barangsiapa yang berangkat pada waktu yang keempat maka seolah-olah ia berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang berangkat pada saat yang kelima maka seolah-olah ia berkurban sebutir telur. Maka apabila imam telah keluar maka para malaikat hadir untuk mendengarkan khutbah”. [HR al-Bukhoriy: 881, Muslim: 850, an-Nasa’iy: III: 99 dan Abu Dawud: 351. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat isyarat untuk melakukan jimak (hubungan suami istri) pada hari Jum’at agar dapat mandi janabat. Dan hikmahnya sangat jelas yaitu agar jiwa menjadi tenang ketika berangkat untuk sholat dan matanya tidak jelalatan kepada sesuatu yang ia lihat. Terdapat keutamaan bersegera berangkat menuju masjid pada hari Jum’at”. [30]

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلَائِكَةُ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

“Apabila hari Jum’at tiba, pada pintu-pintu masjid terdapat para Malaikat yang mencatat urutan orang datang, yang pertama dicatat pertama. Jika imam duduk, merekapun menutup buku catatan, dan ikut mendengarkan khutbah”. [HR Ibnu Majah: 1092 dan an-Nasa’iy: III/ 98. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [31]

Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata,

كُــنَّا نُبَكِّرُ بِاْلجُمُعَةِ وَ نُقِيْلُ بَعْدَ اْلجُمُعَةِ

“Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat”. [HR al-Bukhoriy: 905, 940].

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Makna hadits ini yaitu para shahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang (qaylulah), berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zhuhur ketika panas, sesungguhnya para shahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya”. [32]

8). Sholat Sunnah Ketika Menunggu Imam atau Khotib

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّى مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَ فَضْلُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ

“Barangsiapa mandi (untuk Jum’at) lalu mendatangi sholat Jum’at kemudian sholat semampunya dan diam mendengarkan khutbah hingga selesai. Lalu sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari”. [HR Muslim: 857 (26). Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [33]

Maka kalimat “kemudian sholat semampunya”, hal ini menunjukkan dianjurkannya sholat (mutlaq) semampunya sehingga imam/ khatib datang memulai khutbahnya.

9). Wajib mendengarkan khutbah yang disampaikan imam dengan seksama, tidak boleh sibuk sendiri sehingga tidak memperhatikannya. Akibatnya, Jum’atannya akan sia-sia.

Dari Abu Hurairah radliyallahuanhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

            إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ : أَنْصِتْ وَ اْلإِمَامُ َيخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Apabila engkau berkata kepada kawanmu, “diam”, sedangkan imam sedangberkhutbah maka sungguh-sungguh engkau telah sia-sia”. [HR al-Bukhoriy: 394,Muslim: 851, Abu Dawud: 1112, at-Turmudziy: 512, an-Nasa’iy: III/ 104, Ibnu Majah: 1110, Ahmad: II/ 272, 393, 396, 474, 485, 518, 532, ad-Darimiy: I/ 364 dan Ibnu Khuzaimah: 1805. Berkata asy-Syaikhal-Albaniy: shahih]. [34]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhuberkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ فَدَنَا وَ اسْتَمَعَ وَ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ وَ زِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَ مَنْ مَسَّ اْلحَصَى فَقَدْ لَغَى

“Barangsiapa berwudlu lalu membaguskan wudlunya kemudian mendatangi jum’at lalu mendekat (kepada imam), menyimak dan diam maka diampunilah (dosa)nya antaranya dan antara jum’at (berikutnya) serta ada tambahan tiga hari. Barangsiapa yang menyentuh (memain-mainkan) kerikil maka sungguh-sungguh telah sia-sia”. [HR at-Turmudziy: 498, Muslim: 857 (27), Abu Dawud: 1050 dan Ibnu Majah: 1090. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Dalam hadits ini terdapat larangan dari mempermainkan batu-batu kerikil dan bentuk-bentuk permainan lainnya disaat imam sedang berkhutbah. Hadits tersebut juga memberikan isyarat keharusan menghadirkan hati dan anggota tubuh dikala mendengarkan khutbah. Sedangkan makna lagha (perbuatan sia-sia) adalah perbuatan batil yang tercela dan hilang pahalanya”. [36]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَكَلَّمْتَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَقَدْ لَغَوْتَ وَ أَلْغَيْتَ يعنى : وَاْلإِمَامُ َيخْطُبُ

“Apabila engkau berbicara pada hari jum’at  maka sungguh-sungguh engkau telah sia-sia dan menggugurkan”. Yakni ketika imam sedang berkhutbah. [HR Ibnu Khuzaimah: 1804. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [37]

Beberapa dalil di atas menegaskan perintah untuk diam dan menyimak khutbah yang disampaikan oleh khatib sepanjang khutbahnya. Dan juga terdapat larangan dari melakukan beberapa perbuatan yang dapat membatalkan nilai pahala (Jum’at) semisal berbicara, bersenda gurau, bermain batu kerikil, membaca buku atau buletin dakwah, membaca sms-an, buka fesbuk dan selainnya. Hal ini selain menggugurkan pahala jum’atan juga akan mengganggu ketenangan dan kekhusyu’an orang lain. [38]

10). Tidak Duduk dengan Memeluk Lutut Ketika Khatib Sedang Berkhutbah.

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنِ اْلحُبْوَةِ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ اْلإِمَامُ يَخْطُبُ

“Bahwasanya Rosulullah melarang dari ihtiba’/ hubwah (duduk sambil memegang lutut) pada saat sholat Jumat ketika imam sedang berkhotbah”. [HR Abu Dawud: 1110, at-Turmudziy: 514, Ibnu Majah: 1134 dan Ibnu Khuzaimah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [39]

Dalil di atas menegaskan akan larangan duduk dalam keadaan ihtiba’/ hubwah yaitu duduk dengan memeluk lutut pada hari Jum’at di saat imam sedang berkhutbah. Sebab duduk seperti itu dapat membuat orang tersebut tertidur dan juga dapat menyingkap auratnya bagi yang hanya mengenakan sarung atau sehelai pakaian saja.

11). Jika sudah selesai melaksanakan sholat Jum’at, disunnahkan mengerjakan sholat sunnah sesudahnya.

Amalan sunnah yang banyak dikerjakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam setelah selesai dari sholat Jum’at adalah sholat empat rakaat. Atau jika tergesa-gesa, Beliau sholat dua rakaat di masjid lalu dua rakaat lagi di rumahnya.

Dalam menunaikan sholat sunnah tersebut dianjurkan agar tidak dilaksanakan secara langsung setelah selesai sholat Jum’at namun menyelanginya dengan berbicara kepada seseorang atau keluar dari masjid lalu sholat.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ اْلجُمُعَةَ فَيْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا

“Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat”. [HR Muslim: 881 (67), Abu Dawud: 1131, at-Turmudziy: 522, an-Nasa’iy: III/ 113, Ibnu Majah: 1132, Ahmad: II/ 249, 443, 499, ad-Darimiy: I/ 370, al-Baihaqiy dan ath-Thahawiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [40]

Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata,

فَإِنْ عَجِلَ بِكَ شَيْءٌ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ فِى اْلمـَسْجِدِ وَ رَكْعَتَيْنِ إِذَا رَجَعْتَ

“Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang”. [HR Muslim: 881 (68)]. [41]

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma, bahwasanya ia menjelaskan tentang sholat sunnahnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata,

فَكَانَ لَا يُصَلَّى بَعْدَ اْلجُمُعَةِ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ

“Adalah Beliau tidak pernah sholat setelah Jum’at sehingga ia kembali lalu sholat dua rakaat di rumahnya”. [HR Muslim: 882 (71), al-Bukhoriy: 937, 1165, 1172, 1180, an-Nasa’iy: III/ 113, Abu Dawud: 1132 dan Ibnu Majah: 1130. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [42]

                Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, bahwasanya ia pernah melihat seseorang sedang sholat dua rakaat (setelah sholat Jum’at) pada hari Jum’at di tempatnya. Maka iapun mendorongnya dan berkata, “Apakah engkau sholat Jum’at itu empat rakaat?”. Adalah Ibnu Umar sholat pada hari Jum’at (setelah sholat Jum’at) dua rakaat di rumahnya. Lalu ia berkata,

      هَكَذَا فَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم

            “Demikianlah yang dilakukan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR Abu Dawud: 1127. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [43]

Dari Umar bin Atha bin Abu al-Khuwar menceritakan bahwa Nafi’ bin Jubair pernah mengutusnya kepada as-Sa’ib bin Yazid bin Ukhti Namir untuk menanyakan tentang pengalamannya sholat bersama Mu’awiyah radliyallahu anhu. As-Sa’ib berkata, “Ya, aku pernah mengerjakan sholat Jum’at bersamanya di al-Maqshurah. Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung bangkit untuk mengerjakan sholat (sunnah). Setelah keluar, ia menyuruh seseorang untuk memanggilkanku. Ia berkata (kepadaku),

لَا تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ إِذَا صَلَّيْتَ اْلجُمُعَةَ فَلَا تُصَلِّهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وَ سلم أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوْصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ

“Jangan engkau ulangi perbuatanmu seperti itu. Jika engkau telah mengerjakan sholat Jum’at, maka janganlah menyambungnya dengan sholat sunnah hingga engkau berbicara atau keluar dari masjid. Karena Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kami agar tidak menyambung sholat (fardlu) dengan sholat (sunnah) hingga memutusnya dengan berbicara atau keluar dari masjid”. [HR Muslim: 883 dan Abu Dawud: 1129. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44]

            Dalil di atas menjelaskan akan larangan bagi setiap muslim dari menyambung sholat Jum’at dengan sholat sunnah hingga ia berpindah tempat yang ia mengerjakan sholat Jum’atnya ke tempat lainnya atau memisahkan antara keduanya dengan berbicara kepada seseorang atau keluar masjid lalu masuk lagi ke dalamnya untuk menunaikan sholat sunnah.

12). Memperbanyak doa di penghujung hari Jum’at, karena termasuk waktu mustajab untuk dikabulkannya doa.

            Bagi setiap muslim yang selalu berharap kebaikan dan keutamaan, ia tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu sekejappun untuk mendapatkannya. Ketika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menetapkan akan adanya waktu yang mustajab pada hari Jum’at dengan terkabulnya doa, maka ia akan segera dan selalu berusaha memanfaatkan sebaik mungkin waktu tersebut untuk mendapatkannya. Dan waktu yang paling tepat itu adanya setelah ashar, sebagaimana akan datang dalilnya.

Dari Abu Hurairah radliyallah anhu berkata, Abu al-Qasim (Rosulullah) Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Sesungguhnya pada hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya”. Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, yang kami pahami, untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat). [HR al-Bukhoriy: 935, 5294, 6400, Muslim: 852 (14), Ibnu Majah: 1137, an-Nasa’iy: III/ 115, 116, Ahmad dan Malik. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [45]

Banyak pendapat yang menjelaskan tentang waktunya sebagaimana dijelaskan oleh al-Allamah Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah sehingga mencapai 11 pendapat. Dan yang paling rajih adalah “Waktu yang diijabah (dikabulkannya doa) pada hari Jum’at itu ada pada akhir waktu setelah Ashar”. [46]

Al-Allamah Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Ini merupakan pendapat yang paling rajih (kuat) dari dua pendapat yang ada. Ini merupakan pendapat Abdullah bin Salam, Abu Hurairah dan beberapa ulama selain mereka”. [47]

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu, dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَوْمُ اْلجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لَا يُوْجَدُ فِيْهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلَّا ءَاتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوْهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ اْلعَصْرِ

“Hari Jum’at itu terdiri dari dua belas jam )yang di dalamnya terdapat suatu waktu, yang tidaklah seorang muslim memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Maka carilah waktu tersebut di akhir waktu setelah Ashar”. [HR an-Nasa’iy: III/ 99-100, as-Sunan al-Kubra: 1760, Abu Dawud: 1048 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [48]

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْتَمِسُوْا السَّاعَةَ الَّتِى تُرْجَى فِى يَوْمِ اْلجُمُعَةِ بَعْدِ اْلعَصْرِ إِلَى غَيْبُوْبَةِ الشَّمْسِ

“Carilah waktu yang diharapkan (terkabulnya doa) pada hari Jum’at itu setelah Ashar sampai terbenamnya matahari”. [HR at-Turmudziy: 489. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [49]

Demikian sekelumit pembahasan tentang amalan-amalan yang dapat dikerjakan oleh kaum muslimin pada setiap hari Jum’at dengan berdasarkan kepada dalil-dalil shahih yang telah tsabit dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Dan semoga dengan pembahasan ini, Allah Subhanahu wa ta’ala dapat memudahkan diriku, memudahkan istri, putra-putri dan keturunanku, para kerabat dan shahabatku dan semua kaum muslimin untuk mengamalkannya dan menghiasi diri kita semua dengan amalan-amalan tersebut sampai akhir hayat.

Wallahu a’lam bish showab.

 

[1] Mukhtashor Shahih Muslim: 403 dari Ibnu Abbas, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 478 (I/ 216), Shahih Sunan Ibnu Majah: 672, Irwa’ al-Ghalil: 627, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 915 dan Ash-l Shifat Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: II/ 444 karya asy-Syaikh al-Albaniy penerbit Maktabah al-Ma’arif, cetakan pertama tahun 1427H/ 2006M.

[2] Shahih Sunan Ibnu Majah: 670, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 916 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 949. Hadits ini juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Sa’d bin Abi Waqqosh dan Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhum. Lihat takhrij lengkapnya di Ash-l Shifat Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: II/ 444-446.

[3] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6471.

[4] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2333, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6170, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 220, Nail al-Awthar bi takhriij Ahadits Kitab al-Adzkar: 78 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 341.

[5] Irwa’ al-Ghalil: 626, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 738, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6470 dan Misykah al-Mashobih: 2175.

[6] Shahih Sunan Abu Dawud: 925, Shahih Sunan Ibnu Majah: 889, 1326, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1301, Irwa’ al-Ghalil: 4, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2212, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 698, Misykah al-Mashobih: 1361 dan Fadl-lu ash-Sholah ala an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: 22 halaman 35 tahqiq asy-Syaikh al-Albaniy penerbit al-Maktab al-Islamiy cetakan ketiga 1397H/ 1977M.

[7] Bahjah an-Nazhirin: II/ 324.

[8] Al-Wajiz Fi Fiq-h as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz halaman 177 susunan DR Abdul Azhim bin Badawiy penerbit Dar al-Fawa’id dan Dar Ibnu Rajab cetakan keempat tahun 1430 H/ 2009 M.

[9] Syar-h al-Mumti’: V/ 7-24.

[10] Shahih Sunan Abu Dawud: 942, Irwa’ al-Ghalil: 592, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3111 dan Misykah al-Mashobih: 1377. Adapun gugur dari yang sedang safar, dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada kewajiban bagi yang sedang safar untuk sholat Jum’at”. [HR ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Irwa’ al-Ghalil: 594 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5405].

[11] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1299 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3521.

[12] Shahih Sunan Abu Dawud: 928, Shahih Sunan Ibnu Majah: 923, Shahih Sunan at-Turmudziy: 414, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1297, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6143, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 729 dan Misykah al-Mashobih: 1371.

[13] Mukhtashor Shahih Muslim: 426, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1298, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5480 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 727.

[14] Bahjah an-Nazhirin: II/ 314.

[15]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 470, Mukhtashor Shahih Muslim: 405, Shahih Sunan Abi Dawud: 329, 332, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1302, 1304, Shahih Sunan Ibni Majah: 893, Irwa’ al-Ghalil: 143, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4155, 4177, 4178 dan Misykah al-Mashobih: 538.

[16] Bahjah an-Nazhirin: II/ 315.

[17]Shahih Sunan Abi Dawud: 330 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4036.

[18]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 468, Mukhtashor Shahih Muslim: 404, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1303, Shahih Sunan Ibni Majah: 892, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 458, 559, Irwa’ al-Ghalil: 145 dan Misykah al-Mashobih: 537.

[19]Bahjah an-Nazhirin: II/ 315.

[20]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 471, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1315, Shahih Sunan Abi Dawud: 338, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6063 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 710

[21] Fat-h al-Bariy: II/ 362.

[22] Tamam al-Minnah halaman 120 dan al-Ajwibah an-Nafi’ah halaman 89-91, keduanya susunan asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah.

[23] Untuk lebih lengkapnya silahkan kunjungi; https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2012/06/05/hukum-mandi-jumat/

[24]Shahih Sunan Ibni Majah: 900 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6064.

[25]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 473, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7736, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 689 dan Misykah al-Mashobih: 1381.

[26]Shahih Sunan Ibni Majah: 901, Shahih al-Jami’ ash- Shaghir: 2258 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1398.

[27] Shahih Sunan Abu Dawud: 331.

[28] Shahih Sunan Abu Dawud: 332, Mukhtashor Shahih Muslim: 405 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4177.

[29]Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 471, Mukhtashor Shahih Muslim: 406, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1315, Shahih Sunan Abi Dawud: 338, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6063 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 710.

[30] Bahjah an-Nazhirin: II/ 318.

[31] Shahih Sunan Ibnu Majah: 896, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1312, 1313, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 775 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 713.

[32]Fat-h al-Bariy: II/388.

[33] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6062.

[34]Shahih Sunan at-Turmudziy: 423, Shahih Sunanan-Nasa’iy: 1328, 1329, Shahih Sunan Abu Dawud: 983, Shahih Sunan IbnuMajah: 911, Irwa’ al-Ghalil: 619, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 718dan Misykah al-Mashobih: 1385.

[35]Shahih Sunan at-Turmudziy: 412, Shahih Sunan Abu Dawud: 927, Shahiih Sunan Ibnu Majah: 894, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6179, Misykah al-Mashobih: 1383 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 683.

[36] Syar-h Shahih Muslim: VI/ 147.

[37]Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 719.

[38] Silahkan baca lebih lengkapnya di, https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2012/06/09/diam-ketika-khutbah-jumat/

[39] Shahih Sunan Abu Dawud: 982, Shahih Sunan at-Turmudziy: 424, Shahih Sunan Ibnu Majah: 930 dan Misykah al-Mashabih: 1293.

[40] Shahih Sunan Abu Dawud: 1001, Shahih Sunan at-Turmudziy: 432, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1351, Shahih Sunan Ibnu Majah: 928, Irwa’ al-Ghalil: 625 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 640.

[41] Irwa’ al-Ghalil: III/ 93.

[42] Shahih Sunan Abu Dawud: 1002, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1352, 1353 dan Shahih Sunan Ibnu Majah: 926.

[43] Shahih Sunan Abu Dawud: 997.

[44] Shahih Sunan Abu Dawud: 999 dan shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 639.

[45] Mukhtashor Shahih Muslim: 401, Shahih Sunan Ibnu Majah: 933, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1355, 1356, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2120 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 702.

[46] Zad al-Ma’ad: I/ 388-390 susunan Al-Imam Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, penerbit Mu’assasah ar-Risalah dan Maktabah al-Manar al-Islamiyah cetakan ke 27 tahun 1414H/ 1994M dan Bahjah an-Nazhirin: II/ 320.

[47] Zad al-Ma’ad: I/ 390. Maksudnya dari 11 pendapat yang ada, maka ada dua yang rajih (kuat) karena berdasarkan kepada dalil.

[48] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1316, Shahih Sunan Abu Dawud: 926, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8190 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 705.

[49] Shahih Sunan at-Turmudziy: 406 dan Misykah al-Mashabih: 1360.

By Abu Ubaidullah Alfaruq Dikirimkan di FIQIH, SHALAT

SAUDARAKU, KETAHUILAH BAHWA SHOLAT ITU HUKUMNYA FARDLU AIN…

KEWAJIBAN SHOLAT

بسم الله الرحمن الرحيم

masjid1Sholat Adalah Ibadah Para Nabi

Islam dengan segala kesempurnaannya telah mengajak para pemeluknya untuk senantiasa beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, Pencipta dan Pemberi rizki mereka. Yang dengannya mereka dapat masuk ke dalam surga dan dihindarkan dari siksa api neraka. Bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah diutus kepada mereka untuk memberikan contoh dan menjelaskan kaifiyatnya kepada mereka. Sebab tidak ada sesuatu yang dapat memasukkan mereka ke dalam surga dan menjauhkan mereka ke dalam neraka, melainkan telah dijelaskan kepada mereka.

Abu Dzarr berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kita (wafat), dan tiada seekorpun burung yang (terbang) membolak-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan Beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kami. Berkata (Abu Dzarr), “Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَ يُبَاعِدُ مِنَ النَّـارِ إِلاَّ  وَ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak tinggal sesuatupun yang mendekatkan (kalian) ke sorga dan menjauhkan (kalian) dari neraka, melainkan sungguh-sungguh telah dijelaskan kepada kalian”. [HR ath-Thabraniy di dalam kitab “al-Mu’jam al-Kabir” dan Ahmad: V/ 153, 162 tanpa kalimat yang kedua. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hadits ini sanadnya shahih].[1]

Perlu diketahui, bahwa ibadah sholat tidaklah hanya dikhususkan bagi umat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam saja, tetapi juga disyari’atkan kepada para nabi dan rosul sebelum Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Mereka pun memerintahkan kepada umat-umat mereka untuk mengerjakan sholat. Mari kita simak beberapa ayat di dalam Alqur’an yang menjelaskan amalan para Nabi dan Rosul alaihim as-Salam, di antaranya adalah sholat.

Nabi Ibrahim alaihi as-Salam

Allah Subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan tentang kekasih-Nya Ibrahim alaihi as-Salam ketika dia pergi bersama Isma’il alaihi as-Salam, kemudian dia meninggalkannya di sebuah lembah yang tiada kehidupan di dalamnya. Ibrahim alaihi as-Salam berdoa kepada Rabbnya,

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ

“Wahai Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, wahai Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan sholat”. [QS. Ibrahim/ 14: 37].

Ibrahim tidak menyebutkan amalan lain selain sholat. Hal ini menunjukkan bahwa tiada amalan yang lebih afdlal ketimbang sholat, dan tiada yang menyamainya. Allah ta’alapun berfirman kembali,

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud“. [QS. al-Hajj/ 22: 26].

Ibrahim pun berkata dalam doanya,

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

“Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat, wahai Rabb kami, perkenankanlah doaku”. [QS Ibrahim/ 14: 40].

Nabi Isma’il alaihi as-Salam

Allah Azza wa Jalla berfirman mengenai nabi Isma’il alaihi as-Salam,

وَ اذْكُرْ فِى اْلكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ اْلوَعْدِ وَ كَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا وَ كَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَ الزَّكَاةِ وَ كَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا

“Dan ceritakanlah tentang Isma’il di dalam al-Kitab (Alqur’an). Sesungguhnya ia adalah orang yang benar janjinya dan ia juga adalah seorang nabi dan rosul. Dan ia menyuruh ahlinya (yakni umatnya) untuk mendirikan sholat dan menunaikan zakat”. [QS Maryam/ 19: 54-55].

Nabi Ishaq alaihi as-Salam

Allah kembali berfirman mengenai Nabi Ishaq alaihi as-Salam dan keturunan-keturunannya,

وَ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَ يَعْقُوبَ نَافِلَةً وَ كُلًّا جَعَلْنَا صَالِحِينَ وَ جَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَ أَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَ إِقَامَ الصَّلَاةِ وَ إِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَ كَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

Dan Kami telah memberikan kepada-nya (Ibrahim) lshak dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang shalih. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah”. [QS. al-Anbiya/ 21: 72, 73].

Nabi Syu’aib alaihi as-Salam

Allah pun berfirman mengenai kisah Nabi Syu’aib alaihi as-Salam ketika beliau melarang kaumnya beribadah kepada selain Allah dan melarang kaumnya curang dalam timbangan dan takaran. Maka kaumnya berkata kepada Syu’aib alaihi as-Salam,

قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا

Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah sholatmu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami ?”. [QS Hud/ 11: 87].

Hal ini menunjukkan bahwa kaumnya Syu’aib tidak menganggap ibadah sholat ini adalah ibadah yang sangat agung.

Nabi Yunus alaihi as-Salam

Allah menceritakan tentang kisah Nabi Yunus alaihi as-Salam ketika beliau ditelan oleh ikan yang sangat besar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Maka seandainya dia tidak termasuk orang yang mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit”. [QS. ash-Shaffat/ 37: 143, 144].

Ibnu Abbas mengatakan, “Orang yang mengingat Allah maksudnya; orang yang menunaikan sholat”. Demikian pula pendapat Said bin Jubair, Qatadah dan selainnya. [Lihat Tafsir ath-Thabariy: XXI/109]

Nabi Musa alaihi as-Salam

Nabi Musa alaihi as-Salam, salah seorang nabi yang Allah dekati dan Allah berbicara dengan langsung kepadanya. Hal pertama yang Allah wajibkan kepada Musa, setelah Allah syariatkan ibadah kepadanya, adalah sholat. Bahkan tidak ada nash yang menyebutkan ibadah lain yang Allah bebankan kepada Musa selain sholat. Allah berfirman kepada Nabi Musa dengan kalimat-Nya tanpa ada penerjemah,

وَ أَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى إِنَّنِى أَنَا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِى وَ أَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِى

“Dan Aku telah memilihmu (Musa), maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu!. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku, maka dirikanlah sholat untuk mengingatku”. [QS Thaha/ 20: 13-14].

Maka hal ini menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari ibadah sholat dibandingkan amalan-amalan lainnya. Allah ta’ala memulai perkataan-Nya kepada Musa dengan perintah untuk sholat. Demikian pula hal pertama yang Allah ta’ala perintahkan kepada Musa untuk didakwahkan kepada Bani Israil –setelah beriman kepadaNya- adalah ibadah sholat. Allah Jalla wa Ala berfirman,

وَ أَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ وَ أَخِيهِ أَن تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَ اجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَ أَقِيمُوا الصَّلَاةَ

“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: ‘Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sholat dan dirikanlah sholat”. [QS Yunus/ 10: 87].

Nabi Dawud alaihi as-Salam

Nabi Dawud alaihi as-Salam, salah seorang Nabi Allah. Allah sucikan beliau ketika beliau melakukan sebuah kekeliruan dan beliau hendak bertaubat, maka Allah ta’ala jadikan sholat sebagai jalan keluar untuk taubatnya. Allah ta’ala berfirman,

فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَ خَرَّ رَاكِعًا وَ أَنَابَ

“Maka ia meminta ampun kepada Rabbnya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. [QS Shad/ 38: 24].

Nabi Sulaiman bin Dawud alaihima as-Salam

Nabi Sulaiman putra Nabi Dawud alaihi as-Salam, diperlihatkan kepadanya kuda-kuda di waktu sore hingga akhirnya beliau tersibukkan memandang keindahan kuda-kudanya sampai terlewat waktu sholat Ashar, beliaupun menyesal dan bersedih. Beliau mencera dirinya sendiri yang telah melewatkan waktu sholat karena kuda-kudanya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَ وَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَن ذِكْرِ رَبِّي حَتَّىٰ تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ  رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالْأَعْنَاقِ

“Dan Kami karuniakan kepada Dawud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabbnya), (ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore, maka ia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Rabbku sampai kuda itu hilang dari pandangan”. “Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku”. Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu”. [QS Shad/ 38: 30-33].

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Para mufassir dan dan para salaf menyebutkan bahwa Sulaiman sibuk dengan melihat kuda-kudanya sampai diapun terlewat waktu sholat Ashar. Sulaiman tidak meninggalkan sholat Ashar dengan sengaja akan tetapi karena lupa, sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah terlewat sholat Ashar di waktu perang Khandaq sampai-sampai beliau baru mengerjakan sholat Ashar setelah matahari tenggelam”.  [2]

Demikian beberapa ayat yang menjelaskan bahwa para Nabi alaihim as-Salam juga telah diwajibkan sholat atas mereka. Namun kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan sholat mereka itu berbeda-beda sesuai dengan syariat masing-masing dari para nabi dan rosul.

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

أَنَا أَوْلَى النَّاسَ بِعِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ فِى الدُّنْيَا وَ اْلآخِرَةِ وَ اْلأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتًّى وَ دِيْنُهُمْ وَاحِدٍ

 “Aku adalah manusia yang paling utama/dekat bagi Isa bin Maryam di dunia dan akhirat. Para nabi adalah bersaudara sebab allat (satu ayah) sedangkan ibu mereka berbeda-beda, dan dien/agama mereka satu”. [HR al-Bukhoriy: 3443 dan lafazh hadits ini baginya, Muslim: 2365 (145) dan Ahmad: II/ 319, 406. Berkata asy-syaikh al-Albaniy: shahih]. [3]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Dan makna hadits tersebut adalah bahwasanya dasar/ pokok agama mereka satu yaitu tauhid, walaupun berbeda-beda cabang syariatnya”. [4]

Berkata jumhur (sekelompok besar) ulama, “Makna hadits tersebut adalah dasar iman mereka satu yaitu tauhid dan syariat mereka berbeda-beda. Maka sesungguhnya mereka sesuai di dalam dasar tauhid dan adapun cabang-cabang syariatnya terjadi perbedaan di dalamnya”. [5]

Kedudukan Sholat Dalam Islam

Setelah kita mengetahui bahwa sholat merupakan bagian dari agama para nabi dan rosul maka bagaimanakah kedudukan sholat itu sendiri menurut kaca mata Islam?.

Sholat dalam agama Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, hal ini bisa disimpulkan bila kita mencermati nash-nash Alqur’an  maupun Sunnah. Di antaranya sebagai berikut,

1)). Mendirikan sholat merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda keimanan seseorang.

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

       إِنَّمَا اْلمـُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَّ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَ مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama “Allah” gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan kepada Rabb-Nya mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizqi yang Kami berikan kepada mereka”. [QS al-Anfal/ 8: 2-3].

فَإِن تَابُوا وَ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَ ءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Jika mereka telah bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [QS at-Taubah/ 9: 5].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ayat ini menjelaskan bahwa siapapun yang bertaubat lalu beriman kepada Allah dan Muhammad Rosulullah, menegakkan sholat dan membayar zakat maka terpeliharalah darah dan hartanya. Tidak pantas seseorang untuk menentangnya dengan membunuh dan menawannya. Hal ini meliputi orang yang  keadaannya seperti itu, yaitu yang nampak secara hakiki atau lahiriyah”. [6]

2)). Sholat merupakan rukun Islam yang kedua.

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله وَ إِقَامِ الصَّلاَةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ وَ حَجِّ الْبَيْتِ

“Islam dibangun di atas lima (rukun); Syahadat Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur-Rosulullah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, shaum Ramadlan dan berhaji ke Baitullah (Makkah)”. [HR al-Bukhoriy: 8, 4515, Muslim: 16, an-Nasa’iy: II/ 268, at-Turmudziy: 2609 dan Ahmad: II/ 143. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Adapun menegakkan sholat maka sungguh-sungguh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menjadikannya  sebagai tiangnya Islam. Sebagaimana di dalam hadits Mu’adz bin Jabal yang shahih dengan syawahidnya, “Kepala/ Pokok dari seluruh perkara (agama) adalah Islam dan tiangnya adalah sholat”. Maka bangunan tidak akan berdiri tegak kecuali dengan tiangnya dan tidak akan pula berdiri kokoh kecuali dengan tiangnya. Jika tiangnya runtuh maka runtuh bangunan tersebut dan tidak akan kokoh pula bangunan itu tanpanya”. [8]

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ يُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوْا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا  ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنَّى دِمَاءَهُمْ وَ أَموَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَ حِسَابُهُمْ عَلىَ اللهِ

 “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwasanya tiada ilah yang patut disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu adalah utusan Allah, mengerjakan sholat dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan yang demikian itu, maka terpeliharalah dariku, darah dan harta mereka kecuali dengan hak Islam dan hisabnya terserah kepada Allah”. [HR al-Bukhoriy: 25 dan Muslim: 22 dari Ibnu Umar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: I/ 75, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 39, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: I/ 212, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah” 408 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1371].

3)). Sholat merupakan tiang agama.

Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ  وَ عَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ وَ ذَرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ

“Kepala dari seluruh perkara (agama) adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncaknya adalah jihad”. [HR at-Turmudziy: 2616, Ibnu Majah: 3973, al-Hakim: 3601 dan Ahmad: V/ 231, 236, 237. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [9]

4)). Sholat adalah amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat

Dan sholat juga menjadi tolok ukur dari seluruh amal ibadah yang lainnya. Jika sholatnya baik maka amal-amal yang lainnya juga baik namun jika buruk maka amal-amal lainnya juga buruk.

Dari Abdullah bin Qurth radliyallahu anhu berkata, Rosulullah shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ اْلعَبْدُ يَوْمُ اْلقِيَامَةِ الصَّلَاةُ فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ وَ إِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ

“Yang pertama kali yang dihisab pada seorang hamba di hari kiamat adalah sholat, jika sholatnya baik maka baiklah seluruh amalannya, dan jika sholatnya rusak maka rusaklah seluruh amalannya”. [HR. ath-Thabraniy di dalam al-Awsath dan adl-Dliya’ al-Muqaddisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah shalallahu alaihi wa sallam,

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ اْلعَبْدُ يَوْمُ اْلقِيَامَةِ الصَّلَاةُ يُنْظَرُ فِى صَلاَتِهِ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَ إِنْ فَسَدَتْ خَابَ وَ خَسِرَ

“Yang pertama kali yang dihisab pada seorang hamba di hari kiamat adalah sholat, akan dilihat sholatnya. Jika sholatnya baik maka ia telah beruntung. Tapi jika rusak maka ia kecewa dan rugi”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Awsath. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

5)). Turunnya perintah sholat tanpa melalui perantara Malaikat Jibril.

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika menerima perintah sholat Beliau sendiri yang menerima secara langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala di atas langit yang ke tujuh ketika mi’rajnya beliau.

Sholat Perintah Agung Dari Allah subhanahu wa ta’ala

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan secara tegas di dalam Alqur’an tentang kewajiban sholat. Diantaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala,

            وَ أَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَ ءَاتُوا الزَّكَاةَ وَ ارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’”. [QS al-Baqarah/ 2: 43].

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَآءَ وَ يُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَ يُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَ ذَلِكَ دِينُ اْلقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”. [QS al-Bayyinah/ 98: 5].

Terlebih lagi perintah sholat lima waktu diwahyukan secara langsung dari Allah Azza wa Jalla tanpa melalui perantara malaikat Jibril alaihi as-Salam. Al-Imam al-Bukhoriy dan Muslim keduanya meriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik radliyallahu anhu, bahwasanya pada suatu malam ketika Nabi shalallahu alaihi wasallam berada di rumah Ummu Hani’ di Makkah, malaikat Jibril alaihi as-Salam datang menjemput beliau shalallahu alaihi wa sallam untuk menghadap Allah subhanahu wa ta’ala. Keduanya mengendarai seekor Buraq, yang lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bighal (peranakan kuda dengan keledai), yang langkah kakinya sejauh mata memandang.

Di dalam sebuah hadits dengan riwayat yang panjang di bahagian akhirnya dari Anas bin Malik dari Malik bin Sha’sha’ah radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Kemudian diwajibkan atasku sholat lima puluh kali (dalam sehari). Aku menerimanya hingga aku datang pada Musa Alaihi as-Salam dan bertanya, “Apa yang telah diwajibkan?”. Aku jawab, “Aku diwajibkan sholat lima puluh kali”. Musa berkata, “Akulah orang yang lebih tahu tentang manusia daripada engkau. Aku sudah berusaha menangani Bani Isra’il dengan sungguh-sungguh. Dan ummatmu tidak akan sanggup melaksanakan kewajiban sholat itu. Maka itu kembalilah kau kepada Rabbmu dan mintalah (keringanan)“. Maka aku meminta keringanan lalu Allah memberiku empat puluh kali sholat lalu aku menerimanya dan Musa kembali menasehati aku agar meminta keringanan lagi, kemudian kejadian berulang seperti itu (nasehat Musa) hingga dijadikan tiga puluh kali lalu kejadian berulang seperti itu lagi hingga dijadikan dua puluh kali kemudian kejadian berulang lagi hingga menjadi sepuluh lalu aku menemui Musa dan dia kembali berkata seperti tadi hingga dijadikan lima waktu lalu kembali aku menemui Musa dan dia bertanya, “Apa yang kamu dapatkan?”. Aku jawab, “Telah ditetapkan lima waktu”. Dia berkata seperti tadi lagi. Aku katakan, “Aku telah menerimanya dengan baik”. Tiba-tiba ada suara yang berseru, “Sungguh Aku telah putuskan kewajiban dariku ini dan Aku telah ringankan untuk hamba-hambaKu dan aku akan balas setiap satu kebaikan (sholat) dengan sepuluh balasan (pahala)“. [HR Al-Bukhoriy: 3207, 3393, 3430, 3887, Muslim: 162 dan Ahmad: III/ 148. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Melatih Anak-anak Untuk Sholat Sejak Dini

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi-Nya supaya mengajak keluarganya untuk memenuhi kewajiban sholat. Namun ayat ini juga berlaku bagi umatnya. Allah subahanhu wata’ala berfirman,

وَ أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Dan perintahkanlah keluargamu supaya mendirikan sholat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya …”. [QS Thaha/ 20: 132].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Wajibnya memerintahkan sholat kepada istri, anak-anak dan kaum muslimin dan keharusan bersabar atasnya”. [13]

Dari Abdullah bin Amr radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah shalallahu alaihi wa sallam,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَ اضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا فِيْ اْلمـَضَاجِعِ

“Perintahlah anak-anak kalian untuk sholat (mulai) pada usia 7 tahun, pukullah mereka (yang enggan untuk sholat) setelah usia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka”. [HR. Abu Dawud: 495, Ahmad: II/ 180, 187 dan ad-Daruquthniy: 85 dari Ibnu Amr, Abu Dawud: 494, at-Turmudziy: 407 dan Ibnu Khuzaimah: 1002 secara ta’liq dari Saburoh. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih].  [14]

 Tidak Ada Rukhshah Untuk Meninggalkan Sholat

Kewajiban menegakkan sholat lima waktu berlaku di manapun dan bagaimanapun keadaannya, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk meninggalkannya. Agama Islam pun telah menjelaskan tata cara sholat dalam berbagai kondisi darurat, seperti,

1)). Dalam keadaan bahaya, seperti perang, dikejar musuh, suasana mencekam karena sedang terkena bencana alam dan semisalnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

     فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kalian dalam keadaan takut, maka sholatlah sambil berjalan atau berkendaraan”. [QS al-Baqarah/ 2: 239].

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Karena Allah ta’ala telah memerintahkan para hamba-Nya untuk senantiasa menjaga sholat dan memelihara hukum-hukumnya. Allah juga menguatkan perkara itu dengan tegas. Dan juga menyebutkan keadaan yang seseorang dibuat sibuk dengannya dari menunaikannya dengan sempurna, yaitu ketika keadaan berperang atau berkecamuknya pertempuran”. [15]

2)). Dalam keadaan sakit.

Jika seseorang sedang tertimpa sakit yang menyebabkan ia tidak mampu berdiri untuk sholat maka ia diperkenankan untuk sholat dalam keadaan duduk baik duduk di atas lantai atau menggunakan kursi. Begitu pula, jika ia tidak mampu untuk duduk maka ia diperbolehkan untuk sholat dalam keadaan berbaring, bahkan jika ia juga tidak mampu untuk berbaring maka tidak mengapa ia sholat hanya dengan berisyarat.

Hal ini menunjukkan bahwa sholat itu wajib dikerjakan oleh setiap muslim apapun keadaannya. Meskipun setiap keadaan itu mempunyai nilai pahala yang berbeda, namun Allah ta’ala tidak pernah membebani suatu jiwa melainkan seukuran dengan kemampuannya.

Dari Imran bin Hushain radliyallahu anhu berkata, ‘Aku terkena penyakit wasir, lalu aku bertanya kepada Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tentang sholat. Lalu berliau bersabda,

صَلِّ قّائِمًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ وَفَيْ رِوَايَةٍ : وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً

“Sholatlah dengan berdiri, jika tidak mampu berdiri maka (sholatlah) dengan duduk, jika tidak mampu duduk maka (sholatlah) dengan berbaring”. Di dalam satu riwayat (al-Baihaqiy) ada tambahan, “Jika tidak mampu berbaring maka cukup dengan isyarat”. [HR al-Bukhoriy: 1117, Abu Dawud: 952, at-Turmudziy, Ahmad: IV/ 426, ad-Daruquthniy, Ibnu al-Jarud dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]

Namun pahala orang yang sholat sambil berdiri itu lebih utama. Dan sholatnya orang yang duduk itu separuh pahala dari orang yang sholat dalam keadaan duduk.

Dari Imran berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengenai sholatnya seseorang dalam keadaan duduk. Lalu beliau bersabda,

 مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَ مَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ اْلقَائِمِ وَ مَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ اْلقَاعِدِ

“Barangsiapa yang sholat dalam keadaan berdiri maka itu lebih utama. Orang sholat dalam keadaan duduk maka ia akan memperoleh separuh dari pahala orang yang sholat dalam keadaan berdiri. Orang yang sholat dalam keadaan berbaring maka ia akan memperoleh separuh dari pahala orang yang sholat dalam keadaan duduk. [HR al-Bukhoriy: 1115, 1116, Abu Dawud: 951, an-Nasa’iy: I/ 245, Ahmad: IV/ 435, 442, 443 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

3)). Dalam keadaan bersafar juga wajib melaksanakan sholat, bahkan Allah? memberikan keringanan bagi musafir (orang yang bepergian) untuk menjamak (menggabungkan dua sholat dalam satu waktu) seperti menjamak sholat zhuhur dengan sholat ashar di waktu zhuhur (jamak taqdim) atau di waktu ashar (jamak ta’khir) dan juga seperti menjamak sholat maghrib dengan sholat isya dengan cara seperti semula. Dan juga diperbolehkan baginya untuk mengqashar (meringkas sholat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat seperti sholat isya, zhuhur ataupun ashar). Mengenai sholat qoshor dan jamak ini, in syaa Allah akan dibahas dalam kesempatan lain. Semoga Allah ta’ala memberikan kemudahan bagi kita untuk membahas, mempelajari dan mengamalkannya.

4)). Dalam keadaan lupa atau tertidur.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah shalallahu alaihi wasallam,

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barangsiapa yang lupa suatu sholat atau tertidur darinya, maka kaffarah (tebusan)nya adalah sholat pada waktu ia teringat (sadar)”. [HR Muslim:  680, Abu Dawud: 435, at-Turmudziy: 178, an-Nasa’iy: I/ 296, Ibnu Majah: 695, 696 dan Ahmad: III/ 100, 267, 282, 243. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

 مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ

“Barangsiapa yang lupa suatu sholat maka hendaklah ia sholat ketika ia ingat (belum sholat). Karena tidak ada kiffarat (tebusan) baginya kecuali melakukan hal tersebut”. [HR al-Bukhoriy: 597, Abu Dawud: 442 dan an-Nasa’iy: I/ 296. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

5)). Tidak mendapat air untuk bersuci (wudlu atau mandi junub) atau secara medis tidak boleh menyentuh air, maka diberikan keringanan untuk bersuci dengan tanah/debu yang dikenal dengan tayammum. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

 وَ إِن كُنتُم مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ اْلغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَ أَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَ لَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian kembali dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jimak) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian, Allah tidak ingin memberatkan kalian, tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur”. [QS al-Maidah/ 5: 6].

Dari Amr bin al-Ash radliyallahu anhu berkata, ”Aku pernah bermimpi di suatu malam yang sangat dingin pada waktu perang Dzat as-Salasil. Aku khawatir jika aku mandi maka aku akan binasa. Lalu aku tayammum kemudian sholat shubuh bersama para shahabatku”. Lalu mereka menceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,

يَا عَمْرُو صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِكَ وَ أَنْتَ جُنُبٌ؟

”Wahai Amr, engkau sholat bersama para shahabatmu sedangkan engkau dalam keadaan junub?”. Lalu aku khabarkan kepada Beliau penyebab yang mencegahku dari mandi. Dan aku berkata, ”Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman, ((dan janganlah kalian membunuh diri kalian sesungguhnya Allah amat penyayang kepada kalian. QS. An-Nisa’/4: 29))”. Maka tertawalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan tidak berkata sesuatu apapun. [HR Abu Dawud: 334, Ahmad: IV/ 203-204, al-Hakim: 648 dan al-Bukhoriy secara ta’liq di dalam Fat-h al-Bariy: I/ 454. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, ”Di dalam hadits ini diperbolehkan tayammum bagi orang yang khawatir jatuh ke dalam kebinasaan dari sebab menggunakan air, sama saja karena cuaca dingin atau selainnya. Diperbolehkan sholat orang yang tayammum bersama orang yang berwudlu dan diperbolehkan berijtihad di masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. [21]

Namun jika ia tidak mendapatkan kedua alat bersuci yatu air dan tanah/debu maka tetap baginya untuk menunaikan kewajiban sholat sesuai dengan kemampuannya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberikan beban kepada siapapun kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Demikian penjelasan singkat tentang kewajiban dan keutamaan sholat lima waktu. Hendaknya kita selalu menjaga dan memelihara sholat-sholat tersebut sebaik-baiknya. Dan hendaknya juga, kita mengajar, mendidik dan memerintahkan keluarga kita untuk senantiasa mengerjakannya sepanjang waktu hingga kematian menjemput mereka dan bersabar di dalamnya.

Semoga pembahasan singkat ini dapat bermanfaat bagiku dan keluargaku serta seluruh kaum muslimin. Wallahu a’lam bish showab.


[1] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1803.

[2] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: IV/ 43 cetakan Dar al-Fikr.

[3] Fath al-Bariy: VI/ 478, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy, oleh asy-syaikh al-Albaniy: II/ 442, nomor hadits 1457, Mukhtashor shahih al-Bukhoriy oleh al-Imam az-zubaidiy nomor 1437, al-Jami’ ash-Shahih: VII/ 96, Shahih Muslim  bi syar-h an-Nawawiy: XV/ 119-120, Mukhtasor Shahih Muslim oleh asy-syaikh al-Albaniy nomor 1618, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir nomor 1452, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah nomor 2182, Tahqiq Misykah al-Mashobih nomor 5722, Qoshosh al-Anbiya’ oleh al-Hafizh Ibnu Katsir halaman 541, 542 dan ar-Rusul wa ar-Risalat oleh DR. Umar Sulaiman al-Asyqor halaman 252.

[4] Fat-h al-Bariy: VI/ 489 cetakan Dar al-Fikr.

[5] Shahih Muslim bi syar-h an-Nawawiy: XV/ 120.

[6] Bahjah an-Nazhirin: I/ 459.

[7] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 5, Mukhtashor Shahih Muslim: 62, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4628, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2104, Irwa’ al-Ghalil: 781, Shahih at-Targhib waat-Tarhib: 347 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2840.

[8] Bahjah an-Nazhirin: II/ 272.

[9] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2110, Shahih Sunan Ibni Majah: 3209, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5136 dan Irwa’ al-Ghalil: 413.

[10] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1358, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 372 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2573.

[11] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 373.

[12] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 1652, Mukhtashor Shahih Muslim: 76 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 129.

[13] Aysar at-Tafasir: III/ 391.

[14] Shahih Sunan Abu Dawud: 466, 465, Shahih Sunan at-Turmudziy: 334, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5868, 5867, Misykah al-Mashobih: 572 dan Irwa’ al-Ghalil: 247, 298.

[15] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: I/ 364, Dar al-Fikr tahun 1412H/ 1992M.

[16] Shahih Sunan Abu Dawud: 839, Irwa’ al-Ghalil: 299 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3778.

[17] Shahih Sunan Abu Dawud: 838, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1566, Irwa’ al-Ghalil: II/ 8 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6363.

[18] Shahih Sunan Abu Dawud: 420, Shahih Sunan at-Turmudziy: 150, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 602, 603, 604Shahih Sunan Ibnu Majah: 569, 570 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6571.

[19] Shahih Sunan Abu Dawud: 426, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 597 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 6572.

[20] Shahih Sunan Abi Dawud: 323, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: I/ 99 (67), dan Irwa’ al-Ghalil: 154.

[21] Fat-h al-Bariy: I/ 454. Dan untuk lebih jelasnya silahkan baca di, https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2013/06/06/akhi-jika-kamu-takut-bahaya-air-maka-tayammumlah/

SAUDARAKU, SUDAHKAN ANDA BERSUTRAH DALAM SHOLAT ???

SUTRAH DALAM SHOLAT

بسم الله الرحمن الرحيم

Sutrah1PENGERTIAN SUTRAH

Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang, apa pun bentuk/jenisnya. Sutrah orang yang sholat adalah apa yang ditancapkan dan dipancangkan di hadapannya berupa tongkat atau yang lainnya ketika hendak mendirikan sholat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya yang sudah ada di hadapannya, seperti dinding atau tiang, guna mencegah orang yang hendak berlalu-lalang di depannya saat ia sedang sholat. Sutrah harus ada di hadapan orang yang sedang sholat karena dengan sholatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus munajat tersebut serta mengganggu hubungannya dengan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam sholatnya. Oleh sebab itu, barangsiapa yang sengaja lewat di depan orang yang sedang sholat, maka ia telah melakukan dosa yang besar. [1]

HUKUM SUTRAH

Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahli ilmu, antara yang berpendapat wajib dengan yang berpendapat sunnah, namun mereka sepakat bahwa sutrah disyariatkan dalam Islam. Namun disini, tidak akan dibahas tentang perbedaan  dan perselisihan hukumnya apakah menggunakan sutrah itu wajib atau sunnah muakkadah. Namun hanya menyebutkan dalil-dalil pensyariatannya di dalam hadits-hadits shahih, sebab hal ini yang disepakati oleh para ulama.

Dengan hal ini, hendaklah bagi setiap muslim dan muslimah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh kebanyakan kaum muslimin, bahkan oleh orang-orang yang telah dikenal sebagai orang yang berilmu dari para dai atau ustadz.

Di antara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut,

 Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ

“Janganlah engkau sholat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak, perangilah karena bersamanya ada qarin (setan)”. [HR. Ibnu Khuzaimah: 800, 820, al-Hakim: 960, Ibnu Hibban dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Sanadnya jayyid]. [2]

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّى فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ اْلقَرِيْنَ

“Jika seseorang di antara kalian sedang menunaikan sholat, maka janganlah ia membiarkan seseorang lewat di hadapannya (tanpa dicegah). Jika ia memaksa untuk lewat maka lawanlah ia karena ia bersama dengan qarin (setan)”.  [HR Muslim: 506, Ibnu Majah: 955, Ahmad dan Ibnu Khuzaimah: 816. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Dari Musa bin Thalhah bin Ubaidullah dari ayahnya berkata, bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخَّرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَ لَا يُبَالِى مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ

“Apabila seseorang di antara kalian telah meletakkan suatu benda di hadapannya setinggi pelana kuda, maka sholatlah dan tidak perlu menghiraukan orang yang lewat di belakang benda tersebut”. [HR Muslim: 499, at-Turmudziy: 335, Ibnu Majah: 940, Abu Dawud: 685 dan Ahmad: I/ 161-162. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Dari Abu Dzarr radliyallahu anhu berkata, bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّى فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ اْلحِمَارُ وَ اْلمـَرْأَةُ وَ اْلكَلْبُ اْلأَسْوَدُ

“Jika seseorang di antara kalian akan menunaikan sholat, maka hendaklah ia membuat sutrah setinggi pelana kuda di hadapannya. Jika ia tidak membuat sutrah setinggi pelana kuda di hadapannya, niscaya sholatnya akan putus (atau batal) oleh sebab lewatnya keledai, wanita (haidl) dan anjing hitam”. [HR Muslim: 510, at-Turmudziy: 338, an-Nasa’iy: II/ 63 dan Ibnu Khuzaimah: 806. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ اْلعِيْدِ أَمَرَ بِاْلحِرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّى إِلَيْهِ وَ النَّاسُ وَرَاءَهُ وَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِى السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ

“Bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila keluar hendak menunaikan sholat ied, Beliau menyuruh mengambil sebilah tombak lalu ditancapkan di depannya. Kemudian Beliau sholat menghadap ke arah tombak tersebut dan juga orang-orang yang berada di belakangnya. Inilah yang biasa Beliau lakukan (yaitu meletakkan sutrah) ketika mengerjakan sholat dalam safar (perjalanan). Dari sini jugalah para pemimpin mengambil sunnah ini”. [HR al-Bukhoriy: 494, Muslim: 501 dan Abu Dawud: 687 dan Ahmad: II/ 142. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam hadits Ibnu Umar radliyallahu anhuma tersebut terdapat petunjuk mengenai terus menerusnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukan hal tersebut. Yakni ucapan Ibnu Umar radliyallahu anhuma setelah menyebutkan tombak atau tongkat, “Inilah juga yang biasa Beliau lakukan (meletakkan sutrah) ketika mengerjakan sholat dalam perjalanan”. [7]

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu, ia pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّى إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْ فِى نَحْرِهِ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Jika seseorang di antara kalian menunaikan sholat menghadap sesuatu yang dapat menghalanginya dari orang lain (menjadi sutrah), lalu ada seseorang yang hendak melanggarnya (lewat di hadapannya), maka cegahlah sebisamu. Jika ia bersikeras untuk melanggarnya maka lawanlah, karena ia adalah setan”. [HR al-Bukhoriy: 509, 3274, Muslim: 505 (259), Abu Dawud: 697, 700, Ibnu Majah: 954, an-Nasa’iy: I/ 123, Ibnu Khuzaimah: 819, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad: III/ 34, 43, 49, 57, 63, 93, ad-Darimiy: I/ 328 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Dari Sahal bin Abu Hatsmah berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لَا يَقْطَعِ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ

“Apabila seseorang di antara kalian menunaikan sholat ke arah sutrah maka hendaklah ia mendekat ke arahnya. Agar setan tidak dapat memutus sholatnya”. [HR Abu Dawud: 695, an-Nasa’iy: II/ 62, Ahmad: IV/ 2, Ibnu Khuzaimah: 803, al-Humaidiy: 401, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Berkata Ibnu Umar radliyallahu anhuma,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَ لْيَدْنُ مِنْهَا كَيْلَا يَمُرَّ الشَّيْطَانُ أَمَامَهُ

“Apabila seseorang di antara kalian hendak sholat, maka sholatlah dengan mengarah ke sutrah dan mendekatlah darinya, agar setan tidak melintas di hadapannya”. [Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih]. [10]

Dari Nafi’ maulanya Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata,

كَانَ ابن عمر رضي الله عنهما إِذَا لَمْ يَجِدْ سَبِيْلًا إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي اْلمـَسْجِدِ قَالَ لِى: وَلِّنِى ظَهْرَكَ

“Apabila Ibnu Umar radliyallahu anhuma tidak menjumpai tiang masjid (untuk dijadikan sutrah) maka ia berkata kepadaku, ‘Balikkanlah punggungmu untukku (untuk dijadikan sutrah}”. [Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih]. [11]

Dari Qurrah bin Iyas berkata,

رَآنِى عُمَرُ وَ أَنَا أُصَلِّى بَيْنَ أُسْطُوَانَتَيْنِ فَأَخَذَ بِقَفَائِى فَأَدْنَانِى إِلَى سُتْرَةٍ فَقَالَ: صَلِّ إِلَيْهَا

“Umar radliyallahu anhu pernah melihatku sedang mengerjakan sholat di antara dua tiang masjid, kemudian ia memegang pundakku lalu mendekatkanku kepada salah satu dari tiang masjid itu seraya berka, ‘Sholatlah ke arah tiang itu!”.  [Atsar riwayat al-Bukhoriy secara mu’allaq  dengan redaksi kalimat aktif. Sedangkan Ibnu Abi Syaibah memaushulkannya. [12]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Umar radliyallahu anhu berkeinginan agar Qurrah bin Iyas mengerjakan sholat dengan menghadap sutrah”. [13]

Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata,

أَرْبَعٌ مِنَ اْلجِفَاءِ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ إِلَى غَيْرِ سُتْرَةٍ وَأَنْ يَمْسَحَ جَبْهَتَهُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ أَوْ يَبُوْلَ قَائِمًا أَوْ يَسْمَعَ اْلمـُنَادِيَ ثُمَّ لَا يُجِيْبُهُ

“Ada empat hal yang tidak termasuk dari beradab, yaitu seseorang yang mengerjakan sholat tanpa menghadap sutrah, mengusap dahi sebelum berpaling (dari sholat, buang air kecil sambil berdiri dan mendengar muadzin beradzan namun ia tidak menjawab (adzan)nya”. [Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih]. [14]

Salamah bin al-Akwa’ dahulu juga telah menyusun bebatuan (sampai menyerupai dinding) ketika di padang pasir. Jika ia ingin mengerjakan sholat maka ia sholat menghadapnya”. [Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah]. [15]

Berkata asy-Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman hafizhohullah, “Di dalam atsar ini tidak ada perbedaan, baik itu di padang pasir maupun di dalam gedung. Dan zhahirnya hadits-hadits yang terdahulu dan perbuatan yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah menguatkan hukum meletakkan sutrah ketika mengerjakan sholat, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah (di dalam Nail al-Awthar: III/ 9)”. [16]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah “Sutrah dalam sholat menjadi kewajiban bagi imam dan orang yang sholat sendirian, sekalipun di dalam masjid besar. Demikianlah pendapat Ibnu Hani’ dalam Kitab Masa’il al-Imam Ahmad. Kata Ibnu Hani’, “Pada suatu hari aku sholat tanpa sutrah di hadapanku yang mana ketika itu aku melaksanakan sholat di dalam masjid Jami’. Al-Imam Ahmad melihat hal tersebut, lalu beliau pun berkata kepadaku, “Hendaklah engkau bersutrahlah dengan sesuatu!”. Aku pun menjadikan seseorang sebagai sutrah sholatku.” 

Aku berkata, “Peristiwa ini adalah isyarat dari al-Imam Ahmad bahwa orang yang sholat di masjid besar atau masjid kecil tidak memiliki perbedaan dalam menggunakan sutrah di hadapannya. Pendapat inilah yang benar, tetapi kebanyakan orang-orang yang sholat telah mengabaikan sunnah ini termasuk para imam-imam masjid dan selainnya di setiap tempat yang aku kunjungi termasuk Arab Saudi ketika mana aku diberi kesempatan thawaf buat pertama kalinya pada bulan Rajab tahun 1410 H. 

Sepatutnya para ulama agar mengingatkan masyarakat tentang perkara ini, menganjurkan mereka supaya mengamalkannya, dan menjelaskan hukum kepada mereka yang berkaitan dengannya. Kewajiban sutrah ini juga turut berlaku di dua tanah Haram (Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi)”.  [17]

Ibnu Khuzaimah rahimahullah (Wafat tahun 311H) berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,

لَا تُصَلُّوْا إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ

“Janganlah kamu sholat melainkan dengan menghadap sutrah.” 

Beliau Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang hendak melaksanakan sholat melainkan dengan menghadap sutrah. Oleh itu, mana mungkin beliau melakukan sesuatu yang beliau sendiri larang?”. [18]

Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy rahimahullah (Wafat tahun 974H) berkata, “Sutrah adalah wajib di sisi sebahagian besar ulama”. [19]

Al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah berkata, “Perkataan beliau (Rasulullah), ‘Maka sholatlah menghadap sutrah’, padanya terdapat petunjuk bahwa mengenakan sutrah (ketika sholat) adalah wajib”. [20]

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy rahimahullah berkata, “Adapun persoalan meletakkan sutrah (ketika sholat), maka hukumnya yang tepat adalah wajib berdasarkan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Apabila salah seorang di antara kamu sholat, maka sholatlah menghadap sutrah dan mendekatlah kepadanya”. [21]

Berkata DR Abdul Azhim bin Badawiy hafizhohullah, “Wajib bagi seseorang apabila hendak menunaikan sholat untuk meletakkan sutrah dihadapannya untuk mencegah orang yang lewat di depannya dan menahan pandangan dari apa yang terjadi di belakang sutrahnya”. [22]

Demikian beberapa dalil hadits dan atsar dari sekian banyak dalil yang menjelaskan disyariatkannya penggunaan sutrah di dalam sholat, yang wajib ataupun yang sunnahnya.

Semoga kaum muslimin, khususnya para dai dan ulamanya memperhatikan masalah ini dan berusaha untuk selalu menyampaikan kepada mereka dengan sungguh-sungguh dan juga menyontohkan kepada mereka akan disyariatkannya penggunaan sutrah di dalam sholat. Hal ini dikarenakan pentingnya masalah ini, sebagaimana telah diperintahkan dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits terdahulu. Dan juga telah diamalkan oleh para shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam atsar-atsar yang telah lalu.

Meskipun banyak di kalangan kaum muslimin di berbagai tempat yang mengabaikan masalah ini dan menganggapnya sepele. Sehingga tidak sedikit dijumpai dari mereka yang sholat tidak menghadap sutrah dan bahkan ketika sholat sendirian berada di pintu masuk dengan tanpa sutrah. Hal ini, menyebabkan sholatnya sia-sia dan orang lain berdosa.

Mungkin kebanyakan mereka menganggap bahwa penggunaan sutrah ini hanya sunnah saja, yakni dikerjakan berpahala dan ditinggalkan tiada dosa. Padahal sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang dihukumkan wajib atau minimal sunnah muakkadah. Namun asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah dengan tegas menetapkan akan wajibnya hukum menggunakan sutrah ini, sebagaimana yang telah  ia jelaskan ketika menanggapi pernyataan asy-Syaikh Sayyid Sabiq di dalam kitabnya Fiq-h as-Sunnah. Wallahu a’lam bish showab.

Asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullahu berkata, “Pendapat yang mengatakan sutrah itu mustahabb, menentang nash yang berisi perintah sholat di hadapan sutrah yang disebutkan dalam sejumlah hadits, salah satunya bahkan dibawakan oleh penulis (yaitu Sayyid Sabiq). Pada sebagian hadits tersebut ada larangan mengerjakan sholat bila di depan seorang yang sholat tidak ada sutrah. Ibnu Khuzaimah menjadikan hadits ini sebagai judul bab dalam kitab Shahih-nya. Beliau dan al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma secara marfu’,

لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ

“Jangan engkau sholat kecuali menghadap sutrah”.

 “Termasuk perkara yang menguatkan kewajiban sutrah, adanya sutrah di hadapan orang yang sholat merupakan sebab syar’iy tidak batalnya sholat orang tersebut dengan lewatnya wanita yang sudah baligh, keledai, dan anjing hitam di hadapan sutrahnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. Juga dengan adanya sutrah, orang yang sholat tersebut berhak menahan orang yang ingin lewat di hadapannya. Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan sutrah. Al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullahu dalam Nail al-Awthar (III/5) dan as-Sail al-Jarar (I/176) memegang pendapat yang mewajibkan sutrah ini. Dan pendapat ini merupakan zhahir ucapan Ibnu Hazm rahimahullahu dalam al-Muhalla (IV/8-15)”. [23]

KEUTAMAAN MENDEKAT KEPADA SUTRAH

Orang yang meletakkan sutrah atau menjadikan sesuatu yang ada di hadapannya sebagai sutrah, harus mendekat dengan sutrahnya tersebut agar setan tidak mengganggu sholatnya. Sebagaimana hal ini diperintahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ  

“Apabila salah seorang dari kalian sholat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak memutus sholatnya”.

Dipahami dari hadits di atas adalah bila seseorang sholat sementara di hadapannya ada sutrah namun jarak antara dia dengan sutrahnya jauh, berarti dia memberi peluang kepada setan untuk mengganggu sholatnya. Sehingga bagaimana kiranya bila ada orang yang sholat sementara di hadapannya tidak ada sutrah? Hadits ini bisa menjadi dalil tentang wajibnya sutrah.

Yang dimaksud dengan ‘agar setan tidak memutus sholatnya’ adalah agar setan tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan menguasainya dalam sholatnya.

Kata asy-Syaikh Ali al-Qariy rahimahullah, “Diambil faidah dari hadits ini bahwa sutrah dapat mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang sholat dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh sholatnya dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian sholatnya. Semuanya tergantung kejujuran orang yang sholat tersebut serta bagaimana penghadapan hatinya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dalam sholatnya. Sementara, tidak memakai sutrah akan memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang sedang dihadapinya berupa menghalangi perasaan khusyu’, tunduk, tadabbur alqur’an dan dzikir”. [24]

FAIDAH SUTRAH

Di dalam kaidah agama, jika Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam perintahkan sesuatu niscaya di dalamnya ada banyak kebaikan dan manfaat. Sebagaimana jika sesuatu itu dilarang, niscaya di dalamnya ada  banyak keburukan dan mudlarat.

Maka di dalam menggunakan sutrah di dalam sholat ini terdapat beberapa kebaikan atau manfaat yang disebutkan dalam kitab-kitab para ulama. Di antaranya;

1). Sholat dengan memakai sutrah berarti telah menjalankan dan menghidupkan sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sementara menghidupkan sunnah dan mengikutinya adalah merupakan jalan yang lurus.

Sebagaimana di dalam dalil,

وَ مَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا

Dan apa yang diberikan Rosul kepada kalian maka ambillah, dan apa yang telah beliau larang maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/ 59: 7].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengerjakan apa yang diperintahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan menjauhi apa yang telah dilarang olehnya. Sebab Beliau hanyalah menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari keburukan. [25]

Hal ini telah diperkuat lagi dengan hadits berikut ini,

عن أبى هريرة رضي الله عنه عَنِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: ذَرُوْنىِ مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهُمْ وَ اخْتِلاَفِهُمْ عَلىَ أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَ إِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Tinggalkanlah oleh kalian apa yang aku telah tinggalkan bagi kalian. Hanyalah binasanya orang-orang sebelum kalian, lantaran banyaknya pertanyaan mereka dan mereka senantiasa menyelisihi nabi-nabi mereka. Maka apapun yang kuperintahkan kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian. Dan apa yang aku larang terhadap kalian tentang sesuatu maka tinggalkanlah. [HR Muslim: 1337, al-Bukhoriy: 7288, at-Turmudziy: 2679, Ibnu Majah: 2  dan Ahmad: II/ 247, 258, 313, 328, 447-448, 457, 467, 482, 495, 503, 508, 517. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [26]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,Sepantasnya bagi Muslim untuk senantiasa mencari apa yang telah datang dari Allah Azza wa Jalla dan RosulNya Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian bersungguh-sungguh di dalam memahaminya dan diam di dalam keinginan Allah lalu menyibukkan diri di dalam mengamalkannya. [27]

2). Sutrah menjaga sholat dari hal-hal yang dapat memutuskannya.

3). Sutrah akan menutupi pandangan mata orang yang sholat dari apa yang ada di sekitarnya, karena pandangan matanya terbatas pada sutrahnya. Dengan terbatasnya pandangan berarti membatasi pikiran-pikiran yang dapat mengganggu kekhusyu’an di dalam sholat. Dan juga terjaga mata dari melihat ke kiri, kanan ataupun atas, karena orang yang suka berpaling dalam sholat adalah orang mencuri di dalam sholatnya.

4). Orang yang memakai sutrah berarti memberi tempat berlalu bagi orang-orang yang ingin lewat, sehingga mereka tidak harus berhenti menunggu selesainya orang yang sholat tersebut.

5). Dengan adanya sutrah, orang yang ingin lewat bisa melewati daerah bagian belakang sutrah.

6). Sutrah akan menjaga orang yang lewat dari berbuat dosa.

7). Tiang-tiang masjid dan dinding depan masjid yang dapat dijadikan sutrah itu lebih behak dipergunakan oleh orang yang sholat daripada orang yang mengobrol.

Demikian beberapa faidah dan keutamaan dalam menggunakan sutrah di dalam sholat, baik bagi imam atau orang yang sholat sendirian, baik sholat wajib ataupun sholat sunnah.

Oleh sebab itu jika ada seseorang masbuq dalam sholat yang berarti ia telah terlepas dari sutrahnya imam, maka hendaknya ia berusaha untuk mencari sutrah, apakah dengan punggung manusia, tiang masjid atau selainnya meskipun dengan menggeser sedikit ke arah kiri atau kanannya atau maju sedikit ke depan atau mundur ke belakang. Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam Malik rahimahullah.

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Apabila seseorang masbuq dalam sholatnya, sementara tiang masjid ada di sebelah kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser ke kanan atau ke kiri mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah, jika memang tiang itu dekat dengannya. Begitu pula jika tiang itu ada di depannya atau di belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke arah tiang tersebut selama tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu jauh, maka dia tetap sholat di tempatnya dan berusaha mencegah segala sesuatu yang lewat di hadapannya semampunya”. [28]

Bergeser seperti ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya lebih ringan daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya. [29]

Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, “Jika seseorang berdiri untuk meneruskan rakaat yang tertinggal hendaklah ia berjalan mendekati/ menghampiri tiang yang ada didekatnya. Sebab tiang itu dapat dipergunakan sebagai sutrahnya di sisa sholatnya.Namun jika di dekatnya tidak terdapat tiang, maka ia tetap sholat di tempatnya dan berusaha untuk mencegah orang yang akan lewat di hadapannya dengan semampunya. Orang yang berjalan di hadapannya (yakni sholat sendirian) akan memperoleh dosa. Tetapi jika lewat di antara shaff sholat yang dikerjakan secara berjamaah yang terdapat imam padanya maka hal itu tidaklah berdosa. Karena dalam sholat berjamaah itu, imam adalah sutrah bagi mereka. Wa billahi at-Taufiq”.  [30]

Pendapat inilah yang telah dikatakan oleh al-Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu Rusyd. Pendapat ini tidak sepatutnya untuk diselisihi (oleh setiap muslim yang sholat). Hal itu disebabkan makmum masbuq diperintahkan untuk menyempurnakan sholat yang tertinggal, tapi ia tidak lagi memiliki sutrah yang semula yaitu imamnya. Keadaan makmum masbuq ini sama seperti orang yang menjadikan hewan tunggangan sebagai sutrah, lalu hewan itu pergi melarikan diri. Dalam hal ini ia tidak dianggap sebagai orang yang teledor. Tetapi jika ada kemudahan baginya, hendaklah ia menjadikan sutrah di hadapannya agar orang-orang yang lewat di depannya tidak terjatuh dalam dosa. Maka wajiblah baginya untuk melakukan hal tersebut, namun jika ia tidak mempunyai kemudahan padanya hendaklah ia berusaha untuk mencegah orang yang lewat di hadapannya semampunya. [31]

UKURAN SUTRAH

Tidak Cukup dengan Garis

Berkata al-Imam ash-Shan’aniy rahimahullah, “Adapun sekedar garis di depan orang yang sholat tidaklah cukup sebagai sutrah. Meskipun telah datang hadits tentangnya dari hadits Abu Dawud, hanya saja hadits itu dla’if mudltharib”.  [32]

Al-Imam al-Qarafiy rahimahullah mengatakan, “Ini adalah pendapat jumhur fuqaha”.  [33]

Berkata asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhohullah, “Tidak boleh menjadikan sutrah dengan hanya membuat garis, sedangkan ia masih bisa menjadikan selainya sebagai sutrah.Meskipun hanya berupa tongkat, benda, kayu  atau gundukan tanah. Bahkan jikalau dengan menumpuk batu sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa’ radliyallahu anhu”. [34]

Yang perlu diungkapkan disini adalah bahwa hadits yang menjelaskan tentang membuat garis sebagai sutrah adalah dla’if (lemah). Walaupun ada sebagian ahli ilmu berpandangan garis dapat dijadikan sebagai sutrah.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَـمْ يَجِدْ شَيْئًا فَلْيَنْصَبْ عَصًا فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian sholat, hendaklah ia menjadikan sesuatu di hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu hendaklah ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia membuat sebuah garis dan tidak memudlaratkannya apa yang lewat di hadapannya”. [HR Abu Dawud: 689, Ibnu Majah: 943, Ahmad: II/ 249, Ibnu Khuzaimah: 811, 812, Musnad al-Humaidiy: II/ 451< Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dla’if]. [35]

Asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullahu berkata, “Hadits ini sanadnya dla’if tidak shahih. Walaupun orang-orang yang disebutkan oleh penulis Fiq-h as-Sunnah (Sayyid Sabiq) menganggapnya shahih. Namun ulama yang lebih banyak jumlahnya selain mereka telah mendla’ifkan hadits ini dan mereka lebih kuat argumennya. Terlebih lagi adanya perselisihan dalam riwayat dari al-Imam Ahmad rahimahullah tentang permasalahan ini.

Al-Hafizh rahimahullah telah menukilkan dalam at-Tahdzib dari al-Imam Ahmad rahimahullah, di mana disebutkan beliau berkata, “Permasalahan garis yang digunakan sebagai sutrah, haditsnya dla’if.”

Sementara dalam at-Talkhish, al-Hafizh rahimahullah menyebutkan penshahihan Ahmad sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullah dalam al-Istidzkar terhadap hadits di atas, kemudian beliau (al-Hafizh) berkata, “Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi`iy, al-Baghowiy rahimahumullah dan selain mereka, telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini.”

Dalam at-Tahdzib juga disebutkan, “Ad-Daraquthniy rahimahullah berkata, ‘Hadits ini tidak shahih, tidak tsabit’. Al-Imam asy-Syafi`iy rahimahullah berkata dalam Sunan Harmalah, ‘Seseorang yang sholat tidak cukup membuat garis di depannya untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana ada hadits yang tsabit’. Al-Imam Malik rahimahullah berkata dalam al-Mudawwanah, ‘Garis yang digunakan sebagai sutrah adalah batil’.

Dari kalangan ulama muta’akhirin yang mendla’ifkan hadits ini adalah Ibnu ash-Shalah, an-Nawawiy, al-’Iraqiy, dan yang lainnya. Inilah pendapat yang benar karena hadits ini memiliki dua illat (penyakit yang mencacati), yaitu idlthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan, terlebih lagi dihukumi shahih”. [36]

Al-Qadli Iyadl rahimahullah berdalil dengan hadits mu`akhiratur rahl untuk menyatakan garis di depan orang yang sholat tidaklah cukup sebagai sutrah. [37]

Al-Imam al-Qarafiy rahimahullah berkata menukil dari penulis kitab an-Nawadir, bahwa lubang dan sungai maupun segala sesuatu yang tidak tertancap dengan tegak, seperti garis misalnya, bukanlah termasuk sutrah”. [38]

Seandainya hadits di atas shahih sekalipun, maka garis adalah pengecuali atas yang lebih baik sehingga tidak boleh seseorang yang mendapati sesuatu yang dihadapannya berupa benda tinggi (sekitar 2/3 hasta) meninggalkannya dan menggantinya dengan garis. Apalagi didapati bahwa hadits tersebut dla’if sehingga tidak dapat dijadikan hujjah untuk menjadikan garis termasuk salah satu jenis sutrah. Wallahu a’lam bish-showwab.

TINGGI SUTRAH

Boleh menjadikan sesuatu yang tinggi semisal mu’khirat ar-rahl sebagai sutrah. Mu’khirat ar-rahl adalah kayu yang berada di bagian belakang pelana hewan tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang hewan tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta.  [39]

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwa ia berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya (dalam Perang Tabuk) tentang tinggi sutrah orang yang sholat. Maka beliau menjawab,

مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

“Semisal mu’khirat ar-rahl”.  [HR. Muslim: 500].

Dari Musa bin Thalhah bin Ubaidullah dari ayahnya berkata, bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخَّرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَ لَا يُبَالِى مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ

“Apabila seseorang di antara kalian telah meletakkan suatu benda di hadapannya setinggi pelana kuda, maka sholatlah dan tidak perlu menghiraukan orang yang lewat di belakang benda tersebut”. [HR Muslim: 499, at-Turmudziy: 335, Ibnu Majah: 940, Abu Dawud: 685 dan Ahmad: I/ 161-162. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [40]

Yang dimaksud dengan ar-Rahl itu adalah seukuran satu dzira’ (hasta), sebagaimana yang dijelaskan oleh Atho’, Qotadah, ats-Tsauriy dan Nafi’. [41] Sedangkan yang dimaksud dengan dzira’ adalah dari ujung siku-siku sampai ujung jari tengah. [42] Sekitar 46,2 cm. [43]

Jadi tinggi sutrah itu minimal 46,2 cm. Maka seseorang meletakkan pulpen, pensil, jam tangan, dompet, sapu tangan dan yang sejenisnya di hadapannya untuk dijadikan sutrah dalam sholat adalah batil, sebab tidak memenuhi syarat dalam tingginya sutrah. Bagi yang kesulitan untuk meletakkan sutrah seukuran tersebut , maka tidak boleh meletakkan sutrah yang lebih pendek dan rendah dari ukuran tersebut. Wallahu a’lam.

LEBAR SUTRAH

Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Adapun kadar lebar/tebalnya sutrah, setahu kami tidak ada batasannya. Maka boleh menjadikan sesuatu yang tipis/ tidak lebar sebagai sutrah seperti anak panah dan tombak, sebagaimana boleh menjadikan sesuatu yang tebal/lebar sebagai sutrah seperti tembok. Dan sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersutrah dengan tombak.

Abu Sa’id berkata, “Kami pernah bersutrah dengan anak panah dan batu ketika sholat.”

Dari Sabrah bin Ma’bad al-Juhaniy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ لِصَلَاتِهِ وَ لَوْ بِسَهْمٍ

“Apabila seseorang di antara kalian sholat maka bersutrahlah di dalam sholatnya walaupun hanya dengan sebuah anak panah”. [HR Ahmad: III/ 404, ath-Thabraniy di dalam al-kabir, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Khuzaimah: 810. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44] (Dishahihkan hadits ini oleh asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullahu dalam ash-Shahihah no. 2783)

Diriwayatkan oleh al-Atsram. al-Auza’iy berkata, “Mencukupi bagi seseorang anak panah dan cambuk (sebagai sutrah).”

Al-Imam Ahmad berkata, “Sesuatu yang lebar lebih menyenangkan bagiku, karena dari ucapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ‘walaupun hanya dengan sebuah anak panah’ menunjukkan yang selain anak panah lebih utama dijadikan sutrah”.[45]

 Demikian pula dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawiy rahimahullah bahwa dalam perkara ini tidak ada ketentuan yang paten sehingga diperkenankan bersutrah dengan sesuatu yang tebal/ lebar ataupun yang tipis. [46]

Demikian penjelasan tentang disyariatkannya penggunaan sutrah di dalam sholat bagi imam dan orang yang sholat sendirian. Hendaknya kaum muslimin tidak meremehkan dan mengabaikannya perkara ini, karena Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskannya di dalam hadits-haditsnya yang tsabit. Begitupun para shahabat radliyallahu anhum telah mengamalkan dan menerapkan apa yang telah diperintahkan dan dicontohkan oleh Beliau di dalam atsar-atsar mereka. Kemudian para ulamapun telah mengomentari dalil-dalil tersebut dengan menganjurkan bahkan mewajibkan kaum muslimin untuk mengamalkan sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mulai banyak dilupakan oleh mereka.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish showab.

 


[1]Al-Mausu’ah al-Fiq-hiya: XXIV/178, Al-Fiq-h al-Islamiy wa Adillatuh: II/939, Taudlih al-Ahkam: II/58.

[2]Ash-lu Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: I/ 115, Maktabah al-Ma’arif Riyadl cetakan Pertama 1427 H/ 2006 M atau shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 82, Maktabah al-Ma’arif Riyadl cetakan kedua (cetakan terbaru) tahun 1417 H/ 1996 M.

[3] Shahih Sunan Ibnu Majah: 780, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 755 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 562.

[4] Shahih Sunan Ibnu Majah: 768, Shahih Sunan at-Turmudziy: 275, Shahih Sunan Abu Dawud: 636, Ash-lu Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: I/ 119, shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 83, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 827.

[5] Shahih Sunan at-Turmudziy: 278, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 724 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 719.

[6] Shahih Sunan Abu Dawud: 638.

[7] Fat-h al-Bariy: I/ 572.

[8] Shahih Sunan Abu Dawud: 645, 648, Shahih Sunan Ibnu Majah: 778, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 730, Ash-lu Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: II/ 66, shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 84, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 651 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 561.

[9] Shahih Sunan Abu Dawud: 643, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 722, Ash-lu Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: I/ 115, shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 82, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1373, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 650 dan Misykah al-Mashobih: 782.

[10] Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 79 oleh asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman cetakan ke dua tahun 1413 H/ 1993 M, Dar Ibnu al-Qoyyim dan It-haf al-Ikhwah bi Ahkam ash-Sholah ila as-Sutrah halaman 63 Susunan Farih bin Shalih al-Bihlal cetakan kedua.

[11] Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 80 dan It-haf al-Ikhwah bi Ahkam ash-Sholah ila as-Sutrah halaman 66.

[12] Fat-h al-Bariy: I/ 577, Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 79 dan It-haf al-Ikhwah bi Ahkam ash-Sholah ila as-Sutrah halaman 63.

[13] Fat-h al-Bariy: I/ 577 dan Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 79.

[14] Fat-h al-Bariy: II/ 61, Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 79-80  dan It-haf al-Ikhwah bi Ahkam ash-Sholah ila as-Sutrah halaman 64.

[15] Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 81.

[16] Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 81.

[17] Catatan kaki pada kitab, Ash-lu Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: I/116-117 dan Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 82-83.

[18] Shahih Ibnu Khuzaimah: II/27-28, al-Maktab al-Islamiy cetakan kedua tahun 1412 H/ 1992 M.

[19] al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra: II/ 141,  Dar al-Fikr. 

[20] Nail al-Awthar: III/5, Dar Zamzam Riyadl, cetakan pertama 1413 H/ 1993 M.

[21] Dalam muhadharah beliau, As-ilah al-Ikhwati min Amrika. 

[22] Al-Wajiz halaman 111 oleh DR Abdul Azhim bin Badawiy, cetakan ke empat tahun 1430 H/ 2009 M, Dar al-Fawa’id dan Dar Ibnu Rajab.

[23]Tamam al-Minnah fi at-Ta’liq ala Fiq-h as-Sunnah halaman 300 susunan asy-Syaikh al-Albaniy cetakan ke empat tahun 1409 H, Dar ar-Royah.

[24] Ash-lu Shifah Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: I/ 115.

[25] Bahjah an-Nazhirin: I/ 233 dan semakna apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 404.

[26] Mukhtashor Shahih Muslim: 639, Shahih Sunan Ibni Majah: 2, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 91, 3430, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 850, Irwa’ al-Ghalil: 155, 314 dan Misykah al-Mashobih: 2505.

[27] Bahjah an-Nazhirin: I/ 237.

[28] Syar-h az-Zarqoniy ala Mukhtashor Kholil: I/ 208 dan Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 87.

[29]Adz-Dzakhirah: II/156.

[30] Fatawa Ibnu Rusyd: II/ 904 dan Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 87.

[31] Ahkam as-Sutrah halaman 26-27 dan Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 87-88.

[32]Subul as-Salam: I/ 418, oleh al-Imam ash-Shan’aniy dengan ta’liq asy-Syaikh al-Albaniy, cetakan Pertama tahun 1427 H/ 2006 H, Maktabah al-Ma’arif Riyadl.

[33]Adz-Dzakhirah: II/154.

[34] Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 85.

[35] Dla’if Sunan Abu Dawud: 134, Dla’if Sunan Ibnu Majah: 196, Dla’if al-Jami’ ash-Shaghir: 569 dan Misykah al-Mashobih: 781.

[36] Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 85, Tamam al-Minnah halaman 300-301, Ahkam as-Sutrah halaman 98-102 dan Syar-h an-Nawawiy ala Shahih Muslim: IV/ 216.

[37] Al-Ikmal li al-Qadli Iyadl: II/ 414.

[38] Adz-Dzakhirah: II/ 155.

[39] Nail al-Awthar: III/6, Taudlih al-Ahkam: II/64 dan asy-Syar-h al-Mumti`: I/731.

[40] Shahih Sunan Ibnu Majah: 768, Shahih Sunan at-Turmudziy: 275, Shahih Sunan Abu Dawud: 636, Ash-lu Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam: I/ 119, shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 83, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 827.

[41] Mushannaf Abdurrazzaq, Shahih Ibnu Khuzaimah: 807, Sunan Abu Dawud: 686 dan Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 84.

[42] Lisan al-Arab: III/ 1495, Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 84 dan Hasyiyah Shahih Sunan Abu Dawud: I/ 134.

[43] Mu’jam Lughoh al-Fuqoha’ halaman 450, 451 dan Al-Qoul al-Mubin fi Akh-tho’ al-Mushollin halaman 84. Sedangkan di dalam Hasyiyah Sunan Abu Dawud: I/ 134 setinggi 47 cm.

[44] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2783.

[45] Lihat lebih lengkap di kitab al-Mughniy, kitab ash-Sholah, bab Imamah fash-l Qadru as-Sutrah.

[46] Al-Majmu’: III/227.

AKHI, JAUHI KEMAKSIATAN SEBELUM ENGKAU DISHOLATI ORANG LAIN…

HUKUM MENYOLATI ORANG YANG BUNUH DIRI

بسم الله الرحمن الرحيم

keranda1Sebagaimana telah dijelaskan tentang diharamkannya perbuatan bunuh diri, karena perbuatan tersebut merupakan tanda-tanda lemahnya keimanan seseorang yang lebih memilih jalan pintas dari mengakhiri kesulitan hidupnya dalam kehidupan di dunia yang fana ini. Biasanya kesulitan itu berupa faktor ekonomi, urusan asmara, sakit yang berkepanjangan dan menyakitkan, kena fitnah yang luar biasa, berat menanggung rasa malu dan sebagainya. Lalu ia berfikir bahwa dengan bunuh diri maka kesulitan dan kesusahannya dalam mengarungi hidup tersebut akan berakhir dan ia selamat darinya. Padahal jika ia tahu, ia akan mengalami sesuatu yang lebih berat lagi di alam barzakh dan pada hari kiamat, berupa fitnah dan siksaan di dalamnya.

Perbuatan membunuh diri tersebut merupakan dosa besar karena pelakunya diancam dengan siksa dan neraka Jahannam. Apakah perbuatan tersebut dengan cara minum racun, menusuk dirinya dengan pedang atau pisau tajam, mengantung dirinya di poson tinggi atau atap rumah, menjatuhkan diri dari tempat tinggi semisal jurang, apartemen dan semisalnya, menabrakkan dirinya kepada kendaraan mobil atau kereta yang melaju kencang dan lain sebagainya. Kelak ia akan mendapatkan siksaan seperti yang ia perbuat dengannya di dunia. Na’udzu billah min dzalik.

Adapun  berkenaan dengan menyolatkan jenazah orang yang bunuh diri terdapat beberapa penjelasan. Untuk itulah disini akan sedikit dibahas tentang hal tersebut, dengan dalil-dalil berikut ini,

Dari Jabir bin Samurah berkata, “Ada seorang lelaki sedang sakit, lalu ia berteriak. Lalu tetangganya datang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dan berkata, ‘Sesungguhnya ia telah meninggal dunia’. Beliau bertanya kepadanya (yaitu tetangganya), “Apakah engkau mengetahuinya?”. Ia menjawab, “Aku melihatnya”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ia belum meninggal dunia”. Berkata (Jabir), “Lalu ia kembali dan orang yang sakit itu menjerit kembali”. Lalu ia kembali mendatangi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata, “Sesungguhnya ia telah meninggal dunia”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ia belum meninggal dunia”.  Lalu ia kembali dan orang itu kembali pula menjerit. Istrinya berkata, “Datangilah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan kabarkan kepadanya!”. Lalu orang itu berkata, “Ya Allah, kutuklah dia”. Berkata (Jabir), “Lalu lelaki itu pergi dan melihat keadaannya (yaitu orang yang sakit itu) lalu ia melihatnya telah memotong dirinya dengan anak panah (bermata lebar) yang ada bersamanya, lalu pergi menemui Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk mengabarkannya bahwasanya orang itu telah meninggal dunia”. Nabi bertanya, “Apakah engkau mengetahuinya?”. Ia menjawab, “Aku melihatnya telah memotong dirinya dengan anak panah yang ada bersamanya”. Beliau bertanya kembali, “Engkau melihatnya?”. Ia menjawab, “Ya”. Maka beliau bersabda,

إِذًا لَا أُصَلِّي عَلَيْهِ

“Kalau begitu, saya tidak akan menyolatinya.” [HR Abu Dawud: 3185, Muslim: 978, Ahmad: V/ 87, 91, 92, 94, 96-97, 102, 107, Tirmidziy: 1068, an-Nasa’iy: I/ 279, Ibnu Majah: 1526, al-Hakim: 1387, Ibnu Hibban: 3092 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

  عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قَالَ: مَاتَ رَجُلٌ فَغَسَّلْنَاهُ وَ كَفَّنَّاهُ وَ حَنَّطْنَاهُ وَ وَضَعْنَاهُ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم حَيْثُ تُوْضَعُ اْلجَناَئِزُ عَنْدَ مَقَامِ جَبْرِيْلَ ثُمَّ آذَنَّا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ فَجَاءَ مَعَنَا [فَتَخَطَّى] خُطًى ثُمَّ قَالَ: لَعَلَّ عَلَى صَاحِبِكُمْ دَيْنًا؟ قَالُوْا: نَعَمْ دِيْنَارَانِ فَتَخَلَّفَ [قَالَ: صَلُّوْا عَلىَ صَاحِبِكُمْ] فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنَّا يُقَالُ لَهُ أَبُوْ قَتَادَةَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هُمَا عَلَيَّ فَجَعَلَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم ِ  يَقُوْلُ: هُمَا عَلَيْكَ وَ فىِ مَالِكَ وَ اْلمـَيِّتُ مِنْهُمَا بَرِيْءٌ ؟ فَقَالَ: نَعَمْ فَصَلَّى عَلَيْهِ فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِصلى الله عليه و سلم إِذَا لَقِيَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُوْلُ [وفى رواية: ثُمَ لَقِيَهُ مِنَ اْلغَدِ فَقَالَ]: مَا صَنَعَتِ الدِّيْنَارَانِ؟ [قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا مَاتَ أَمْسِ] حَتىَّ كَانَ آخِرَ ذَلِكَ [و فى الرواية الأخرى: ثُمَّ لَقِيَهُ مِنَ اْلغَدِ فَقاَلَ: مَا فَعَل الدِّيْنَارَانِ؟] قَالَ: قَدْ قَضَيْتُهُمَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: اْلآنَ حِيْنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ

Dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu anhu berkata, “Ada seorang laki-laki meninggal dunia, lalu kami memandikan, mengkafani dan memberinya wewangian. Kemudian kami letakkan jenazahnya untuk RosulullahShallallahu alaihi wa sallam  di tempat dimana jenazah biasa diletakkan yaitu di makam Jibril. Selanjutnya kamipun memberitahu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam  untuk menyolatkannya”. Lalu Beliau datang  bersama kami kemudian melangkah satu langkah dan bersabda, “Barangkali kawan kalian ini mempunyai hutang?”. Mereka menjawab, “Ya, yaitu sebanyak dua dinar”. Maka Beliaupun mundur (tidak jadi menyolatkannya). Beliau berkata, “Sholatkanlah teman kalian ini!”. Lalu ada seseorang di antara kami yang bernama Abu Qotadah berkata, “Wahai Rosulullah!, hutangnya yang dua dinar itu menjadi tanggunganku”. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam  bersabda, “Hutang dua dinar itu sekarang menjadi tanggunganmu dan dibayar dari hartamu dan mayit itu telah terlepas dari dua dinar tersebut”. Abu Qotadah menjawab, “Ya”. Lalu RosulullahShallallahu alaihi wa sallam  pun menyolatkannya. Kemudian Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam  apabila setiap kali bertemu dengan Abu Qotadah, beliau bertanya (dalam sebuah riwayat, kemudian beliau menemuinya pada keesokan harinya seraya bertanya), “Apa yang dilakukan oleh uang dua dinar itu?”. (Ia berkata, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya ia baru saja meninggal dunia kemarin)”, sehingga ia menjadi akhir dari itu. (Di dalam riwayat yang lain disebutkan, Kemudian Beliau menemuinya pada keesokan harinya seraya bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh uang dua dinar itu?)”. Dia menjawab, “Aku telah melunasi hutangnya yang dua dinar itu, wahai Rosulullah!”. Lalu beliau Shallallahu alaihi wa sallam  bersabda, “Sekarang, kulitnya telah menjadi dingin (dari adzab)”. [HR al-Hakim, al-Baihaqiy, ath-Thoyalisiy dan Ahmad: III/ 330. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [2]

Dari Abu Qotadah berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا دُعِيَ لِجِنَازَةٍ سَأَلَ عَنْهَا فَإِنْ أُثْنِيَ عَلَيْهَا خَيْرٌ قَامَ فَصَلَّى عَلَيْهَا وَ إِنْ أُثْنِيَ عَلَيْهَا غَيْرُ ذَلِكَ قَالَ لِأَهْلِهَا: شَأْنَكُمْ بِهَا وَ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهَا

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila diajak (untuk menyolati) jenazah maka Beliau bertanya (terlebih dahulu) tentangnya. Jika ia dipuji dengan kebaikan maka iapun berdiri untuk menyolatkannya. Namun jika jenazah itu dikomentari selain itu maka ia Beliau akan berkata kepada keluarganya, “Terserah kalian!”. Dan Beliau tidak menyolatkannya. [HR Ahmad: V/ 299, 300, 301, Ibnu Hibban: 3057 dan al-Hakim: 1388. Berkata al-Hakim: Ini adalah hadits shahih atas syarat al-Imam al-Bukhoriy dan Muslim, dan al-Imam adz-Dzahabiy menyepakatinya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dan keadaan hadits ini sebagaimana dikatakan keduanya]. [3]

Berdasarkan dalil-dalil di atas maka, berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah,

اْلفَاجِرُ اْلمـُنْبَعِثُ فِى اْلمـَعَاصِى وَ اْلمـَحَارِمِ مِثْلُ تَارِكُ الصَّلَاةِ وَ الزَّكَاةِ مَعَ اعْتِرَافِهِ بِوُجُوْبِهِمَا وَ الزَّانِى وَ مُدْمِنِ اْلخَمْرِ وَ نَحْوِهَمْ مِنَ اْلفُسَّاقِ فَإِنَّهُ يُصَلَّى عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنَّهُ يَنْبَغِى لِأَهْلِ اْلعِلْمِ وَ الدِّيْنِ أَنْ يَدَعُوْا الصَّلَاةَ عَلَيْهِمْ عُقُوْبَةً وَ تَأْدِيْبًا لِأَمْثَالِهِمْ

“Orang yang gemar berbuat dosa lagi cepat dalam mengerjakan perbuatan maksiat dan hal-hal yang diharamkan. Seperti meninggalkan kewajiban sholat, membayar zakat yang disertai pengetahuannya akan kewajiban keduanya, berzina, pecandu khomer dan semisal mereka dari kalangan orang-orang fasik. Maka sesungguhnya mereka tetap disholatkan (jenazah), hanya saja bagi ahli ilmu dan agama sepatutnya tidak ikut menyolatkan mereka sebagai bentuk hukuman dan pendidikan untuk orang-orang yang semisal mereka”. [4]

Berkata al-Imam Abu Isa at-Turmudziy rahimahullah (mengomentari hadits 1068), “Hadits ini adalah hadit hasan. Para Ahli ilmu berselisih tentang masalah ini. Berkata sebahagian mereka, ‘Semua orang yang sholat ke arah kiblat hendaknya disholatkan (jenazahnya) begitu pula orang diqishas karena membunuh orang. Ini adalah pendapat Sufyan ats-Tsauriy dan Ishaq’. Namun al-Imam Ahmad berpendapat ‘Imam tidak boleh menyolatkan atas orang yang membunuh sedangkan selain imam dibolehkan menyolatkannya”. [5]

Al-Imam Abu Dawud memberikan bab yang merupakan fiqih beliau terhadap hadits ini dengan judul bab, Imam (penguasa) tidak menyolatkan orang yang mati bunuh diri. [6]

Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah mengatakan,

وَ عَنْ مَالِكٍ وَغَيْرِهِ أَنَّ اْلإِمَامَ يَجْتَنِبُ الصَّلَاةَ عَلَى مَقْتُوْلٍ فِي حَدٍّ وَ أَنَّ أَهْلَ اْلفَضْلِ لَا يُصَلُّوْنَ عَلَى اْلفُسَّاقِ زَجْرًا لَهُمْ وَ عَنِ الزُّهْرِيِّ لَا يُصَلَّى عَلَى مَرْجُوْمٍ وَ يُصَلَّى عَلَى اْلمـَقْتُوْلِ فِي قِصَاصٍ

“Al-Imam Malik dan selainnya berpendapat bahwa hendaknya imam tidak menyolati orang yang mati karena kena had (dihukum). Dan bahwa para pemuka agama sepatutnya tidak menyolati orang-orang fasik, sebagai bentuk teguran (peringatan) bagi mereka. Sementara Az-Zuhriy berpendapat, ‘Sebaiknya pemuka masyarakat tidak menyolati orang yang mati sebab dirajam, namun boleh menyolati orang yang mati karena qishas”. [7]

Katanya lagi, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bagi orang yang mengatakan, ‘Orang yang mati membunuh dirinya tidak disholatkan disebabkan kemaksiatannya’. Inilah yang menjadi madzhabnya Umar bin Abdul Aziz dan al-Auza’iy. Sedangkan al-Hasan, an-Nakho’iy, Qotadah, Malik, Abu Hanifah, Syafi’iy dan jumhur Ulama mengatakan, ‘disholatkan’. Mereka menjawab tentang hadits ini, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri tidak menyolatinya sebagai peringatan bagi manusia akan perbuatan yang seperti itu. Sedangkan para shahabat menyolatinya.” [8]

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَمَنِ امْتَنَعَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَى أَحَدِهِمْ (يعنى اْلقَاتِلَ وَاْلغَالَّ وَاْلمـَدِيْنَ الَّذِى لَيْسَ لَهُ وَفَاءٌ) زَجْراً لِأَمْثَالِهِ عَنْ مِثْلِ فِعْلِهِ كَانَ حَسَنًا وَلَوِ امْتَنَعَ فِي الظَّاهِرِ وَ دَعَا لَهُ فِي اْلبَاطِنِ لِيَجْمَعَ بَيْنَ اْلمـَصْلَحَتَيْنِ كَانَ أَوْلَى مِنْ تَفْوِيْتِ إِحْدَاهُمَا

“Orang yang tidak mau menyolati jenazah yang mati karena qishas (membunuh), korupsi, dan punya utang (yang tidak punya kemampuan untuk melunasi) sebagai bentuk peringatan bagi yang lain agar tidak melakukan semacam itu adalah termasuk sikap yang baik. Dan andaikan dia tidak mau menyolati secara terang-terangan, namun tetap mendoakan secara diam-diam, sehingga bisa menggabungkan dua sikap paling maslahat, tentu itu pilihan terbaik dari pada meninggalkan salah satunya”. [9]

Di dalam kitab lainnya, Syaikh al-Islam rahimahullah mengatakan, “Jika diperbolehkan meninggalkan sholat (jenazah) bagi orang yang berhutang dan tidak melunasinya, maka bagi orang yang melakukan dosa-dosa besar itu tentu lebih utama lagi. Masuk ke dalam hal ini, orang yang membunuh dirinya dan orang yang khianat terhadap harta (korupsi), keduanya tidak disholatkan. Berdalil dengan ini pula, bahwa boleh bagi para pemuka masyarakat untuk tidak menyolatkan para pelaku dosa besar yang nampak dan juga tidak menyolatkan para penyeru kepada bid’ah. Namun jika menyolatkan mereka juga diperbolehkan”. [10]

Katanya lagi, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak menyolati orang yang telah membunuh dirinya, namun Beliau bersabda kepada para shahabatnya, ‘Sholatilah ia’. Maka diperbolehkan kepada umumnya manusia untuk menyolatinya. Adapun para imam (pemimpin) agama yang menjadi panutannya lalu tidak menyolatkannya sebagai bentuk peringatan kepada selainnya dalam rangka menteladani Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Maka hal ini adalah hak/ benar. Wallahu a’lam”. [11]

Dalam hal ini madzhab jumhur lebih kuat. Karena semata-mata Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak menyolatinya tidak berarti haram atau tidak boleh menyolatinya. Bahkan hadits ini di atas menunjukkan, bahwa beliau sendiri memang tidak menyolatinya, tetapi para Shahabat tetap menyolatinya.

Perhatikanlah sabda beliau, “Kalau begitu, saya tidak akan menyolatinya.” Yang menunjukkan bahwa para shahabat tetap menyolatkannya.

Maka setiap kaum muslimin apabila mati wajib disholatkan dengan wajib kifayah, baik dia seorang muslim yang shalih maupun muslim yang durhaka, seperti orang yang mati bunuh diri, pembunuh, perampok dan lain-lain. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menyolati wanita yang dihukum rajam karena zina, dimana wanita itu telah menyerahkan dirinya untuk dihukum rajam dan dia telah bertaubat dengan taubat yang sungguh-sungguh.

Akan tetapi dari hadits ini juga keluarlah hukum yang berkaitan dengan pelajaran dan peringatan, bahwa penguasa dan termasuk juga para Ulama atau pemuka agama disukai untuk tidak menyolatkan orang-orang yang mati bunuh diri dan yang selainnya dari orang-orang yang durhaka sebagai pelajaran bagi manusia akan perbuatan tersebut.

Al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah berkata,”Sholat jenazah atas orang fasik telah ditunjukkan oleh hadits ‘sholluu ‘ala man qoola laa ilaaha illallah’ [12] sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada bab Maa Jaa`a fi Imaamah al-Faasiq sebagai salah satu bab mengenai shalat jama’ah”. [13]

Jadi jenazah orang fasik (pelaku dosa besar) semisal bunuh diri, peminum khomer, koruptor dan sejenisnya, maka para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyolati jenazahnya. Ada tiga versi pendapat ulama mengenai hukum menyolati jenazah mereka, yaitu;

1). Jenazah orang fasik semisal bunuh diri, maka ia tidak disholati. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Umar bin Abdul Aziz dan al-Imam al-Auza’iy rahimahumullah. [14]

2). Yang tidak sholat hanya Imam, pemuka agama atau pemimpin kaum saja, sedangkan selain mereka diperbolehkan untuk menyolatkan. Ini adalah pendapat Madzhab Hanbaliy, dan dipilih oleh asy-Syaikh Nashiruddin al-Albaniy rahimahullah dan selainnya.[15]

3). Jenazah Orang fasik tetap wajib disholati. Ini adalah madzhab al-Imam Malik, asy-Syafi’iy, Abu Hanifah, dan jumhur (mayoritas ) ulama . [16]

            Demikian beberapa dalil dan penjelasannya tentang hukum menyolatkan orang yang melakukan bunuh diri serta perbuatan yang semisalnya seperti pecandu khomer, korupsi dan salainnya. Oleh karena itu diharapkan kepada semua lapisan masyarakat untuk memahaminya dengan benar agar dapat mendudukkan posisi mereka dengan tepat.

1). Bagi orang yang lekas berputus asa sehingga memiliki keinginan mengakhiri hidup dengan bunuh diri, hendaknya mereka segera menghentikan keinginan mereka untuk bunuh diri, hendaklah ia bersabar dengan berbagai cobaan yang menghampirinya. Atau bagi orang yang masih bergelimang dengan berbagai kemaksiatan dan dosa hendaknya segera meninggalkan dan menanggalkan berbagai kemaksiatan dan dosa tersebut sesegera mungkin. Atau malas untuk melakukan kewajiban-kewajibannya semisal sholat, shaum/ puasa, membayar zakat dan semisalnya hendaknya segera mengerjakan semua yang telah diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Roasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Karena selain semua perilaku tersebut akan mendatangkan kesengsaraan di alam kubur dan akhirat dengan adzab yang menyakitkan, juga ia tidak akan disholati jenazahnya oleh para ahli ilmu dan agama, maka ini jelas akan merugikannya.

عن عائشةرضي الله عنهاعَنِ النِّبِيُّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَا مِنْ مِيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ اْلمـُسْلِمِيْنَ يَبْلُغُوْنَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُوْنَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوْا فِيْهِ

Dari Aisyah radliyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang mayit yang disholatkan oleh sekelompok orang dari kaum muslimin yang mencapai seratus orang dan semuanya memberikan syafaat kepadanya, melainkan mereka diperkenankan memberikan syafaat kepadanya”. [HR Muslim: 947, an-Nasa’iy: IV/ 75, 76, at-Turmudziy: 1029, dan Ahmad: VI/ 32, 40, 97, 231. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [17]

 عن ابن عباسرضي الله عنهما قَالَ:  سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيَقُوْمُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُوْنَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُوْنَ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللهُ فَيْهِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada seorang muslim meninggal dunia lalu ada empat puluh orang yang tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah [18] menyolatkan jenazahnya melainkan Allah akan memberikan syafaat kepadanya melalui mereka”. [HR Muslim: 948, Abu Dawud: 3170, Ahmad: I/ 277-278 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].  [19]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Orang yang diterima syafaat dan dikabulkannya doa mereka adalah orang-orang yang bertauhid dengan benar yang tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Allah (tidak berbuat syirik)”. [20]

2). Bagi ahli ilmu dan agama yakni para ulama, masyayikh, ustadz, tokoh dan pemuka agama dan selain mereka dari orang-orang memiliki kelebihan dalam ilmu agama dan kemasyarakatan, hendaknya mereka meneladani Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini. Yakni tidak menyolatkan orang-orang yang mati bunuh diri, mati dalam keadaan berbuat maksiat semisal minum khomer, berzina, korupsi dan semisalnya atau mati dalam keadaan tidak melaksanakan salah satu dari kewajiban Islam. Meskipun perbuatan tersebut tidak menjatuhkan pelakunya dalam kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam karena ia masih mengakui dan mengitikadkan keislamannya, namun hendaknya para pemuka agama dan masyarakat itu tidak menyolatkan orang-orang tersebut dalam rangka menghukum, mendidik dan memperingatkan orang-orang selain mereka agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang oleh agama mereka. Hendaknya mereka menyerahkan urusan tersebut kepada keluarganya atau orang selain mereka untuk diurus jenazahnya.

3). Bagi para keluarga atau family dari orang-orang yang tidak disholatkan oleh para pemuka agama dan masyarakat hendaknya mereka memaklumi bahwa para pemuka agama dan masyarakat itu hanya menjalankan sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dengan tidak menyolatkan salah satu anggota keluarga mereka yang telah melakukan pelanggaran agama. Janganlah mereka kesal, marah dan dendam kepada orang yang tidak menyolatkan keluarganya yang telah meninggal dunia dengan dalih yang syar’iy, apalagi sholat jenazah itu hanyalah fardlu kifayah. Namun mereka tidak marah ketika ada pada di antara keluarga mereka yang tidak mengerjakan sholat jum’at atau tidak sholat berjamaah di masjid, padahal sholat jum’at dan sholat berjamaah itu fardlu ain.

            Demikian penjelasan ringkas dalam masalah ini, semoga bermanfaat bagiku, keluargaku, para kerabatku, shahabatku dan kaum muslimin seluruhnya. Semoga Allah menjaga dan memelihara kita dari berbagai kemaksiatan, membimbing kita kepada berbagai ketaatan dan mewafatkan kita di atas akidah salafush shalih dalam keadaan husnul khatimah.

Wallahu a’lam bish showab.


[1] Shahih Sunan Abu Dawud: 2727, Shahih Sunan at-Turmudziy: 853, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1237, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1855 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 109.

[2] Ahkam al-Jana’iz halaman 27, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2753 dan Adzab al-Qobri: 153.

[3] Ahkam al-Jana’iz halaman 109.

[4] Ahkam al-Jana’iz halaman 108-109.

[5] Shahih Sunan at-Turmudziy: I/ 310 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 109-110.

[6] Shahih Sunan Abu Dawud: II/ 613 dalam kitab al-Fara’idl pasal ke 51.

[7] Syar-h Muslim oleh al-Imam an-Nawawiy: VII/ 47-48.

[8] Syar-h Muslim: VII/ 47 dan Nail al-Awthar: IV/ 58.

[9] Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman 78 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 110.

[10] Majmu’ Fatawa: XXIV/ 289.

[11] Majmu’ Fatawa: XXIV/ 290.

[12] Adapun hadits yang berbunyi,

                صَلُّوْا عَلَى مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ صَلُّوْا وَرَاءَ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

            “Sholatilah orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha Illallah dan sholatlah kalian dibelakang orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah”. [HR ath-Thabraniy dan ad-Daruquthniy: 184 dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dla’if, lihat Dla’if al-Jami’ ash-Shaghir: 3483 dan Irwa’ al-Ghalil: 527].

[13] Nail al-Awthar: IV/ 58.

[14] Subul as-Salam Syar-h Bulugh al-Maram: II/ 291, oleh al-Imam ash-Shin’aniy dengan ta’liq asy-Syaikh al-Albaniy, Maktabah al-Ma’arif dan Nail al-Awthar: IV/ 58.

[15] Taudlih al-Ahkam: III/202 oleh asy-Syaikh al-Bassam dan Ahkam al-Jana’iz halaman 108-109.

[16] Nail al-Awthar: IV/ 58.

[17]Mukhtasor Shahih Muslim 482, Shahih Sunan at-Turmudziy: 821, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1881, 1882, Shahih al-Jami’ ash-Shagiir: 5786 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 126.

[18]Yakni tidak berbuat syirik.

[19]Mukhtashor Shahih Muslim: 483, Shahih Sunan Abi Dawud: 2714, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5708, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2267 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 127.

[20] Bahjah an-Nazhiriin: II/ 182.

TEMPATKAN POSISI SHAFF ANDA DENGAN BENAR !!!

POSISI SHAFF DI DALAM SHOLAT

بسم الله الرحمن الرحيم

Shaff21). Mengisi Shaff pertama

Dari al-Barra bin Azib radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

      إِنَّ اللهَ وَ مَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ اْلأَوَّلِ

            “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mengucapkan sholawat kepada shaff pertama”. [HR Abu Dawud: 664, an-Nasa’iy: II/ 89-90, Ibnu Majah: 997, 999 dan al-Hakim: 2146, 2156, 2173. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

Dari Jabir bin Samurah radliyallahu anhuma berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami lalu bersabda,

      أَلَا تَصُفُّوْنَ كَمَا تَصُفُّ اْلمـَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ؟ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ كَيْفَ تَصُفُّ اْلمـَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ؟ قَالَ: يُتِمُّوْنَ الصُّفُوْفَ اْلأَوَّلِ وَ يَتَرَاصُّوْنَ فِى الصَّفِّ

            “Tidakkah kalian bershaff (berbaris) sebagaimana bershaffnya para malaikat di sisi Rabb mereka?”. Kami bertanya, “Wahai Rosulullah bagaimana caranya para malaikat itu bershaff di sisi Rabb mereka?”. Beliau menjawab, “Yaitu mereka menyempurnakan shaff-shaff pertama dan rapat di dalam shaff”. [HR Muslim: 430 dan Abu Dawud: 661. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

            لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَ الصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوْا عَلَيْهِ

            “Seandainya manusia mengetahui apa yang terdapat di dalam (mengumandangkan) adzan dan shaff pertama, lalu mereka tidak menjumpai kecuali mereka harus mengundinya niscaya mereka akan mengundinya”. [HR al-Bukhoriy: 615, 653, 721, 2829, 5733  dan Muslim: 437]. [3]

Dari Abu Said Al-Khudriy bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melihat para sahabatnya terlambat, maka beliau bersabda kepada mereka,

تَقَدَّمُوا فَأْتَمُّوا بِي وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمُ اللَّهُ

“Kalian majulah ke depan dan bermakmumlah di belakangku, dan hendaklah orang yang datang setelah kalian bermakmum di belakang kalian. Senantiasa suatu kaum itu membiasakan diri terlambat mendatangi shalat, hingga Allah juga menunda (memberikan rahmat-Nya kepada) mereka”. [HR. Muslim: 438 dan Abu Dawud: 680. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk memenuhi shaff yang pertama dan terdepan terlebih dahulu lalu yang selanjutnya.

Bahkan dianjurkan untuk mengisi shaff yang berada di sebelah kanan imam, karena dahulu para shahabat radliyallahu anhum sangat menyukai jika mereka berdiri di shaff yang terdepan dan di sebelah kanan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits berikut,

Dari al-Barra’ bin Azib berkata,

‏ُكُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ ‏صلى الله عليه وسلم ‏أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ ‏رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ ‏‏أَوْ تَجْمَعُ ‏‏عِبَادَكَ ‏

 “Kami apabila sholat di belakang Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kami ingin berdiri di sebelah kanannya yang Beliau menghadapkan wajahnya kepada kami”. Berkata al-Barra’, Aku mendengar beliau berdoa, “Ya Allah jauhkanlah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hambaMu”. [Atsar riwayat Muslim: 709, Ibnu Majah: 1006, an-Nasa’iy: II/ 94 dan Abu Dawud: 615. Dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy]. [5]

Dari Aisyah berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat ke atas orang-orang yang berada di shaff sebelah kanan.” [HR Abu Dawud: 676. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [6]

2). Yang berhak di belakang Imam.

Ketika ikomat dikumandangkan, maka seluruh jamaah sholat hendaknya mempersiapkan diri dengan berdiri di belakang tempat berdirinya imam dengan membentuk barisan dengan merapatkan dan meluruskan shaff.

Hendaknya yang di belakang imam langsung itu adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian dan akal dari kalangan ahli ilmu, hafal banyak ayat dari Alqur’an dan fasih dalam membacanya, memahami aturan sholat yang sesuai syar’iy dan sebagainya. Hal ini disebabkan,

a). Bentuk penghormatan bagi orang yang memiliki ilmu Alqur’an dan sunnah.

b). Dapat mengingatkan imam jika terjadi kesalahan bacaan ayat atau kekeliruan gerakan sholat dari imam tersebut.

c). Dapat mengganti posisi imam, jika imam batal sholatnya karena suatu sebab.

Dari Abu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam meluruskan pundak-pundak kami ketika hendak mengerjakan sholat (secara berjamaah) dan bersabda,

اسْتَوُوْا وَ لاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ لِيَلِنِى مِنْكُمْ أَوْلُو اْلأَحْلَامِ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Luruskan (shaff-shaff kalian) dan janganlah berselisih yang akan menyebabkan hati-hati kalian juga berselisih. Hendaklah yang dekat denganku di antara kalian adalah orang-orang yang memiliki  kepintaran dan akal. Lalu orang-orang berikutnya kemudian orang-orang berikutnya”. [HR Muslim: 432 (122), Abu Dawud: 674, an-Nasa’iy: II/ 87, 88, 90, Ibnu Majah: 976 dan Ahmad: IV/ 122. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[7]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dianjurkan setelah imam itu (shaffnya) para hafizh (penghafal Alqur’an) dan orang yang memahami Alqur’an dan sunnah kemudian selain mereka. Terdapat penjelasan akan keutamaan ilmu tentang Alqur’an dan sunnah Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Karena hal tersebut menjadi penyebab didahulukannya mereka atas selain mereka (dalam banyak hal)”. [8]

Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

لِيَلِنِى مِنْكُمْ أُوْلُوا اْلأَحْلَامِ وَ النُّهَى ثُمَّ يَلُوْنَهُمْ (ثلاثا) وَ إِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتِ اْلأَسْوَاقِ

Hendaklah yang dekat denganku di antara kalian adalah orang-orang yang memiliki akal dan kepintaran, lalu orang-orang berikutnya (tiga kali). Dan jauhilah membuat kebisingan seperti di pasar”. [HR Muslim: 432 (123), Abu Dawud: 675, at-Turmudziy: 228 dan Ahmad: I/ 457. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat dalil dalam mendahulukan orang paling utama lalu selanjutnya di belakang imam. Karena mereka itu orang yang paling utama untuk dimuliakan. Boleh jadi mereka juga orang yang dibutuhkan oleh imam untuk menggantikannya (jika batal), maka hal ini tentu lebih utama. Penyebab lainnya adalah karena untuk mengingatkan imam apabila lupa (keliru), sedangkan selain mereka tidak dapat melakukan hal tersebut”. [10]

3). Shaff pria dan wanita.

Jika di dalam shaff sholat berjamaah terdapat banyak kaum laki-laki dan wanita, maka posisi shaff laki-laki adalah di depan bahkan yang terbaik bagi mereka adalah yang paling depan dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Sedangkan shaff para wanita adalah di belakang bahkan shaff yang terbaik bagi mereka adalah yang paling belakang dari shaff sedangkan yang paling buruk adalah yang paling depan.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah yang paling awal, dan sejelek-jeleknya adalah paling terakhir. Dan sebaik-baik shaff wanita adalah paling terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah yang paling awal”. [HR. Muslim: 440, Abu Dawud: 678, an-Nasa’iy: II/ 93, at-Turmudziy: 224, Ibnu Majah: 1000 dan Ahmad: II/ 247. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dianjurkan bagi kaum lelaki untuk bersegera datang ke masjid agar mereka mendapatkan keutamaan pahala mendahului (datang ke masjid) dan memperoleh shaff yang pertama. Sedangkan kaum wanita dianjurkan untuk mengakhirkan kehadirannya ke masjid agar memperoleh keutamaan shaff yang paling akhir”.  [12]

Dari Jabir bin Abdullah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ مُقَدَّمُهَا وَشَرُّهَا مُؤُخِّرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ مُؤُخِّرُهَا وَشَرُّهَا مُقَدَّمُهَا

“Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah di depan, dan sejelek-jeleknya adalah paling belakang. Dan sebaik-baik shaff wanita adalah paling belakang, dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan”. [HR Ibnu Majah: 1001. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [13]

Berkata asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhohullah, “Yang dimaksud dengan seburuk-buruk shaff pada kaum lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit pahala dan keutamaannya dan yang paling jauh dari tuntutan syariat. Sedangkan yang dimaksud sebaik-baiknya adalah kebalikannya”. [14]

4). Beberapa posisi imam dan makmum di dalam sholat.

Untuk lebih mudah dipahami akan dijelaskan secara ringkas disini beberapa posisi shaff yang dapat terjadi dalam keseharian kaum muslimin ketika hendak mengerjakan sholat.

a). Apabila makmum seorang pria saja.

Dari Jabir berkata,

كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فِى سَفِرٍ فَانْتَهَيْنَا إِلَى مَشْرَعَةٍ فَقَالَ: أَلَا تُشْرِعُ يَا جَابِرُ؟ قُلْتُ: بَلَى قَالَ فَنَزَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ أَشْرَعْتُ قَالَ ثُمَّ ذَهَبَ لِحَاجَتِهِ وَ وَضَعْتُ لَهُ وَضُوْءًا قَالَ فَجَاءَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ خَالَفَ بَيْنَ طَرَفَيْهِ فَقُمْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِى فَجَعَلَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ

“Saya pernah bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam suatu perjalanan. Lalu kami sampai di sebuah jalan di pinggir sungai. Beliau bersabda, “Jangan engkau memulainya wahai Jabir”?. Aku berkata, “Ya”. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallampun singgah dan akupun memulainya. Kemudian Beliau pergi untuk menunaikan hajatnya dan akupun menyediakan air wudlu untuknya. Lalu Beliaupun datang dan berwudlu, kemudian sholat dengan mengenakan satu kain yang diselempangkan antara dua ujungnya. Dan akupun berdiri di belakangnya lalu Beliau memegang telingaku dan meletakkanku di sebelah kanannya. [HR Muslim: 766].

Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma dia berkata,

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ قَالَ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

“Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi shalat ‘isya kemudian kembali ke rumah dan shalat sunnat empat rakaat, kemudian beliau tidur. Saat tengah malam beliau bangun dan shalat malam, aku lalu datang untuk ikut shalat bersama beliau dan berdiri di samping kiri beliau. Kemudian beliau menggeserku ke sebelah kanannya, lalu beliau shalat lima rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar suara dengkur beliau. Setelah itu beliau kemudian keluar untuk shalat (shubuh)”. [HR. al-Bukhari: 117, 138, 183, 697, 698, 699, 726, 728, 859, 5919, 6316, an-Nasa’iy: II/ 87 dan at-Turmudziy: 233. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

Imam al-Bukhariy rahimahullah memberikan judul bab terhadap hadits di atas,

بَابُ: يَقُوْمُ عَنْ يَمِيْنِ الإمامِ بِحِذائِهِ سَواء إِذا كانا اثْنَيْنِ

“Bab, (makmum) berdiri sejajar tepat di samping kanan imam jika mereka hanya sholat berdua”. [16]

Kemudian dalam Kitab Fat-h al-Bariy Syar-h Shahih al-Bukhariy, al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy rahimahullah (wafat tahun 852H) menguatkan apa yang ditegaskan oleh Imam al-Bukhariy tersebut dengan beberapa atsar shahabat dan tabi’in. Di antaranya adalah sebagaimana berikut,

Dari Abdullah bin Utbah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

دَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِالْهَاجِرَةِ فَوَجَدْتُهُ يُسَبِّحُ، فَقُمْتُ وَرَاءَهُ فَقَرَّبَنِي حَتَّى جَعَلَنِي حِذَاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ

“Aku pergi masuk mengunjungi Umar bin al-Khaththab pada waktu siang. Aku dapati beliau sedang sholat sunnah. Maka aku pun berdiri di belakangnya (sebagai makmum). Lalu beliau menarikku ke arahnya dan menempatkanku sejajar di sisi kanannya”. [17]

Ibnu Juraij berkata,

قُلْتُ لِعَطَاءٍ الرَّجُلُ يُصَلِّي مَعَ الرَّجُلِ أَيْنَ يَكُوْنُ مِنْهُ؟ قَالَ إِلَى شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ قُلْتُ أَيُحَاذِى بِهِ حَتَّى يَصِفَّ مَعَهُ لَا يَفُوْتُ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ أَتُحِبُّ أَنْ يُسَاوِيَهُ حَتَّى لَا تَكُوْنَ بَيْنَهُمَا فُرْجَةٌ قَالَ نَعَمْ

“Aku bertanya kepada Atha’, “jika seorang lelaki solat bersama seorang lelaki, maka di mana ia perlu berdiri?” Jawab Atha’, “Di sisi kanannya.” Aku bertanya lagi, “Adakah ia berdiri sejajar dengan imam sehingga posisi mereka seperti satu shaff, salah seorang dari keduanya tidak maju?”. Atha’ menjawab, “Benar.” Aku bertanya lagi, “Adakah engkau suka kalau ia berdiri rapat sehingga tidak ada lagi celah di antara keduanya?”. Atha’ menjawab, “Ya”. [18]

Dua hadits dan beberapa astar di atas menjelaskan bahwa jika ada dua orang hendak sholat, maka posisinya adalah makmum berada di sebelah kanan imam bukan di belakangnya sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat awam. Biasanya kaum awam jika terjadi hal seperti ini, akan tetap mengerjakan sholat, imam di depan sedangkan makmumnya tepat di belakangnya. Atau juga makmumnya di belakang sebelah kanan imam dan terkadang makmumnya maju sedikit dekat dengan imam namun tidak sejajar dengannya.

Padahal jika terjadi seorang imam mempunyai seorang makmum lelaki saja maka letak makmum itu di sebelah kanan tepat di sampingnya tidak mundur sedikitpun dengan menempelkan mata kaki dan bahu keduanya.

Dan jika sedang terjadi sholat yang terdiri dari seorang imam dan seorang makmum yang berdiri sejajar, lalu datang lagi seorang makmum pria maka imam berhak untuk mendorong makmum yang di sebelah kanannya untuk disejajarkan dengan makmum yang baru datang di belakangnya.

Hal ini didasarkan pada hadits Jabir yang panjang, yang sebagiannya berbunyi,

 ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

“Kemudian aku datang sampai berdiri di sebelah kiri Rosulullah, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga membuatku berdiri di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga membuat kami berdiri di belakang beliau”. [HR Muslim: 3010].

b). Posisi Imam, seorang makmum pria dan seorang makmum wanita.

Lalu jika terdapat makmum seorang lelaki dan seorang wanita, maka posisinya adalah letak makmum di sebelah kanan sejajar dengan imam dan letak wanita dibelakang mereka berdua.

Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma berkata,

      صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ عَائِشَةُ خَلْفَنَا تُصَلِّى مَعَنَا وَ أَنَا إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أُصَلِّى مَعَهُ

            “Aku sholat di sisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan Aisyah di belakang kami sholat bersama kami. Sedangkan aku di samping Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sholat bersamanya”. [HR an-Nasa’iy: II/ 86 dan Ahmad: I/ 304. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

Dari Anas radliyallahu anhu berkata,

      صَلَّى بِى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ بِامْرَأَةِ مِنْ أَهْلِى فَأَقَامَنِى عِنْ يَمِيْنِهِ وَ اْلمـَرْأَةُ خَلْفَنَا

           “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah sholat bersamaku dan seorang wanita dari keluargaku. Beliau menempatkan aku di sebelah kanannya dan wanita itu di belakang kami”. [HR an-Nasa’iy: II/ 86-87 dan Muslim: 660. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

c). Posisi Imam, dua orang makmum pria dan seorang wanita.

Lalu jika ada dua orang makmum lelaki dan seorang makmum wanita, maka letak posisi makmum lelaki adalah di belakang imam sedangkan letak makmun wanita berada di belakang makmum lelaki.

Dari Anas radliyallahu anhu berkata,

 صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

“Aku sholat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami” [HR al-Bukhoriy: 727, Muslim: 658, Abu Dawud: 612, at-Turmudziy: 234 dan an-Nasa’iy: II/ 85-86. Berkata asy-Syaikh al-Baniy: Shahih]. [21]

d). Posisi Imam, seorang makmum pria dan makmum dua wanita.

Apabila imam memiliki seorang makmum lelaki dan dua orang wanita, maka letak makmum pria berada di sebelahkan sejajar dengannya sebagaimana telah dijelaskan. Sedangkan letak kedua makmum wanitanya tetap berada di belakang imam dan makmum lelaki.

Dari Anas,

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ أَوْ خَالَتِهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا

“Sesungguhnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam solat dengannya dan ibunya atau bibinya. Anas berkata, “Lalu Rosulullah meletakkanku berdiri di sebelah kanannya dan wanita di belakang kami.” [HR Muslim: 660 (269), an-Nasa’iy: II/ 86, Abu Dawud: 609 dan Ahmad: III/ 258. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]

e).Posisi imam dan makmum lebih dari dua orang.

Sedangkan jika imam mempunyai banyak makmum dari golongan lelaki dan wanita, maka posisi mereka sebagaimana telah dijelaskan oleh keumuman dalil-dalil yang telah lalu.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dia berkata, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah yang paling awal, dan sejelek-jeleknya adalah paling terakhir. Dan sebaik-baik shaff wanita adalah paling terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah yang paling awal”. [HR. Muslim: 440, Abu Dawud: 678, an-Nasa’iy: II/ 93, at-Turmudziy: 224, Ibnu Majah: 1000 dan Ahmad: II/ 247. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]

Dari Jabir radliyallahu anhu di dalam hadits yang panjang, di antaranya,

ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

“Kemudian aku datang sampai berdiri di sebelah kiri Rosulullah, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga membuatku berdiri di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga membuat kami berdiri di belakang beliau”. [HR Muslim: 3010].

f). Posisi Imam dan makmumnya para wanita.

Lalu apabila kaum wanita hendak mengerjakan sholat berjamaah, sedangkan tidak ada imam lelaki maka posisinya adalah mereka membentuk shaff yang lurus dan rapat dengan menempelkan kaki dengan kaki dan bahu dengan bahu di antara mereka dan letak imam mereka ada di tengah-tengah mereka di shaff terdepan.

Hal ini pernah dilakukan dan dicontohkan oleh beberapa sahabat wanita seperti Ummu Salamah, Aisyah dan Ummu Waraqah radliyallahu anhunna.

Dari Raithoh al-Hanafiyah,

أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَقَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِي صَلَاةٍ مَكْتُوْبَةٍ

“Bahwasanya Aisyah dahulu pernah mengimami para wanita di dalam sholat wajib dan beliau berdiri (sejajar) ditengah-tengah mereka”. [HR. ‘Abdurrazaq, ad-Daruquthniy, al-Hakim dan al-Baihaqi].

Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didla’ifkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy, namun dia memiliki penguat dari hadits Hujairoh binti Hushain. Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah.[24]

Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan,

أَمَّتْنَا أُمُّ سَلَمَةَ فِي صَلَاةِ اْلعَصْرِ قَامَتْ بَيْنَنَا

“Ummu Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika sholat Ashar dan beliau berdiri di tengah-tengah kami”. [HR Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqiy. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya dari jalur Qotadah dari Ummul Hasan].

Dari Qotadah dari Ummu al-Hasan bahwasanya ia pernah melihat Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengimami para wanita dan ia berdiri bersama mereka di dalam shaff mereka. [HR Ibnu Abi Syaibah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: atsar ini sanadnya shahih].[25]

Ada pula ulama yang menganjurkan shalat jama’ah bagi wanita dengan sesama mereka berdasarkan hadits dalam riwayat Abu Dawud dalam Bab “Wanita sebagai imam”,

Dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin al-Harits berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَزُورُهَا فِى بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا. قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا.

“Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya. Dan beliau menjadikan untuknya seseorang untuk mengumandangkan adzan. Lalu beliau memerintah Ummu Waraqah untuk mengimami para wanita di rumah tersebut”. [HR Abu Dawud: 592. Berkata Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [26]

Abdurrahman bin Kholad mengatakan bahwa yang mengumandangkan adzan tersebut adalah seorang pria tua.

5). Hukum sholat sendirian di belakang imam.

Banyak terjadi di kalangan kaum muslimin yang mengerjakan sholat dengan menempatkan posisi shaff sendirian di belakang shaff padahal shaff-shaff yang di depannya masih ada yang kosong. Bahkan juga banyak ditemui beberapa dari kaum muslimin yang mengambil tempat sholat jauh dari shaff-shaff yang ada, yaitu mereka berdiri di sebelah kanan atau kiri atau bahkan di belakang sendirian dan menjauh dari shaff-shaff yang ada. Perilaku ini dikarenakan kejahilan mereka dan jauhnya mereka dari pengajaran alqur’an dan sunnah. Dan perbuatan ini jelas tidak dibenarkan dan wajib bagi yang melakukan ini untuk mengulang kembali sholatnya karena tidak ada sholat bagi orang yang sholat di belakang sendirian.

Dari Ali bin Syaiban (dan ia termasuk dari utusan) berkata, kami pernah keluar sehingga mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu kami berbaiat (berjanji setia) kepadanya dan sholat di belakangnya. Kemudian kami sholat dengan sholat yang lain di belakangnya. Lalu Beliau menyelesaikan sholatnya dan melihat seorang pria sholat sendirian di belakang shaff. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berdiri di dekatnya, ketika ia selesai sholat, Beliau bersabda,

اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ لَا صَلَاةَ لِلَّذِى خَلْفَ الصَّفِّ

“Ulangilah sholatmu, karena tidak ada sholat bagi orang yang di belakang shaff (sendirian)”. [HR Ibnu Majah: 1003, at-Turmudziy: 230 dan Ahmad: IV/ 23, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

Dari Hilal bin Yasaf berkata, Ziyad bin Abu al-Ja’d pernah menarik tanganku dan meletakkanku di dekat seorang syaikh di Roqqoh yang di kenal dengan nama Wabishoh bin Ma’bad. Lalu ia berkata,

أَنَّ رَجُلًا صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنْ يُعِيْدَ الصَّلَاةَ

“Pernah ada seorang pria sholat di belakang shaff sendirian lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengulangi (sholatnya)”. [HR Ibnu Majah: 1004, at-Turmudziy: 230, 231 dan Abu Dawud: 682. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]

Demikian beberapa penjelasan tentang posisi shaff di dalam sholat yang merupakan salah satu dari sunnah-sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang banyak diabaikan dan dianggap remeh oleh sebahagian besar kaum muslimin.

Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat untukku, keluargaku dan seluruh kaum muslimin agar semakin menyempurnakan ibadah sholat mereka dan mendapatkan balasan pahala yang terbaik kelak di hari kiamat, dimana pada hari itu tidak akan berguana lagi harta benda ataupun pangkat derajat.

Wallahu a’lam bish Showab.


[1] Shahih Sunan Abu Dawud: 618, Shahih Sunan Ibnu Majah: 816, 818, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 781, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1842, Misykah al-Mashobih: 1101, dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 507, 513.

[2] Shahih Sunan Abu Dawud: 615, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 496.

.[3] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 487.

[4] Shahih Sunan Abu Dawud: 631.

[5] Shahih Sunan Ibnu Majah: 824, Shahih Sunan Abu Dawud: 575, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 792 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 500.

[6] Shahih Sunan Abu Dawud: 628.

[7] Mukhtashor Shahih Muslim: 267, Shahih Sunan Abu Dawud: 626, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 777, Shahih Sunan Ibnu Majah: 796, Shahih al-Jami’ ash-Shahih: 961 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 511.

[8] Bahjah an-Nazhirin: II/ 283.

[9] Shahih Sunan at-Turmudziy: 189, Shahih Sunan Abu Dawud: 627 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5476.

[10] Al-Qoul al-Mubin halaman 220, Syar-h an-Nawawiy ala Shahih Muslim: II/ 155 dan Ma’alim as-Sunan: I/ 184-185.

[11] Mukhtashor Shahih Muslim: 269, Shahih Sunan Abu Dawud: 629, Shahih Sunan at-Turmudziy: 186, Shahih Sunan Ibnu Majah: 819, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 790, Shahih al-Jami ash-Shaghir: 3310 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 488.

[12] Bahjah an-Nazhirin: II/ 282.

[13] Shahih Ibnu Majah: 820.

[14] Al-Qoul al-Mubin halaman 218.

[15] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 776 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 193.

[16] Fat-h al-Bariy: II/ 190.

[17] Muwaththa’ Imam Malik: 32. Lihat Fat-h al-Bariy: II/ 191 dan al-Qoul al-Mubin halaman 215.

[18] Mushannaf ‘Abdurrozzaq: 3870. Lihat Fat-h al-Bariy: II/ 191 dan al-Qoul al-Mubin halaman 216.

[19] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 774.

[20] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 775.

[21] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 771, Shahih Sunan at-Turmudziy: 194 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 572.

[22] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 773 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 569.

[23] Mukhtashor Shahih Muslim: 269, Shahih Sunan Abu Dawud: 629, Shahih Sunan at-Turmudziy: 186, Shahih Sunan Ibnu Majah: 819, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 790, Shahih al-Jami ash-Shaghir: 3310 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 488.

[24] Lihat Tamam al-Minnah fi at-Ta’liq ala Fiq-h as-Sunnah halaman 154.

[25] Tamam al-Minnah halaman 154.

[26] Shahih Sunan Abu Dawud: 553.

[27] Shahih Sunan Ibnu Majah: 822, Shahih Sunan at-turmudziy: 191 dan Irwa al-Ghalil: II/ 328.

[28] Shahih Sunan Ibnu Majah: 823, Shahih Sunan at-Turmudziy: 191, 192 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 633.